Kamis, 17 November 2011

Potret Individualisme dalam Lagu



Kenali musuhmu. Ia bernama: individualisme. Mari kita taklukkan.

in.di.vi.du.al.is.me n 1 paham yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh disamaratakan); 2 paham yang menghendaki kebebasan berbuat dan menganut suatu kepercayaan bagi setiap orang; paham yang mementingkan hak perseorangan di samping kepentingan masyarakat atau negara; 3 paham yang menganggap diri sendiri (kepribadian) lebih penting daripada orang lain.

Individualisme bicara tentang aku, aku, dan  aku.

… menghendaki kebebasan berbuat… terdengar seperti liberalisme.

li.be.ral.is.me n 1 aliran ketatanegaraan dan ekonomi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan pribadi untuk berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur); 2 usaha perjuangan menuju kebebasan.

… mementingkan hak perseorangan… jika kamu masih lebih mementingkan hak daripada kewajiban, bisa jadi kamu adalah seorang individualis.

in. di.vi.du.a.lis n 1 orang yang tetap mempertahankan kepribadian dan kebebasan diri; penganut paham individualisme; 2 orang yang mementingkan diri sendiri; orang yang egois.

Dari pengertian mengenai individualisme dan individualis—yang saya ambil dari KBBI elektronik—di atas, ada beberapa frasa yang saya soroti yaitu “mementingkan hak perseorangan di samping kepentingan masyarakat atau negara” dan “menganggap diri sendiri (kepribadian) lebih penting daripada orang lain” atau “mementingkan diri sendiri”. Semua ini merujuk pada pengertian sebuah istilah lain.

 aso.si.al a tidak bersifat sosial; tidak mempedulikan kepentingan masyarakat

Kadang sikap individualis diartikan juga sebagai kecenderungan seseorang untuk mengerjakan suatu hal serba sendirian. Selama masih mengerjakan sesuatu sendirian, ia tidak akan meminta bantuan orang lain. Kadang kita menyebut orang seperti ini dengan “mandiri” atau “independen”, meski keduanya memiliki pengertian yang lain lagi.

Bagaimana mengenali gejala individualisme? Simak lirik berikut ini. Jika kamu merasa itu mewakili hidupmu, boleh jadi kamu seorang individualis.

when I was young I never needed anyone/ and making love was just for fun/ those days are gone/ living alone I think of all the friends I’ve known/ but when I dial the telephone/ nobody’s home/ all by myself/ don’t wanna be/ all by myself anymore/ all by myself/ don’t wanna live/ all by myself anymore/ hard to be sure sometimes I feel so insecure/ and love so distant and obscure/ remains the cure/ (Eric Carmen – All by Myself)

Lirik berikut ini memberi gambaran yang lebih gamblang.

help, I need somebody/ help, not just anybody/ help, you know, I need somenone/ help/ when I was younger, so much younger than today/ I never needed anybody’s help in any way/ but now these days are gone, I’m not so self assured/ now I find, I’ve changed my mind, I’ve opened up the doors/ help me if you can, I’m feeling down/ and I do appreciate you being ‘round/ help me get my feet back on the ground/ won’t you, please, please help me?/ and now my life has change in, oh, so many ways/ my independence seems to vanish in the haze/ but every now and then I feel so insecure/ I know that I just need you like I’ve never done before/ (The Beatles – Help)  

Saya tebalkan kata-kata yang serupa di antara kedua lirik tersebut. Kesimpulannya sebagai berikut: ketika aku masih muda, aku tidak pernah membutuhkan siapapun, akibatnya sekarang aku merasa sangat gelisah.

Jadi, kata mereka yang menyanyikan lagu ini, mumpung masih muda, jangan sampai tidak pernah membutuhkan orang lain. Dengan membutuhkan seseorang, hidup seseorang itu bakal lebih berarti—setidaknya bagi yang membutuhkan—meski bisa pula ia malah merasa disusahkan. Sebagai contoh,

A : “hidupmu berarti bagiku karena aku bisa mendapat tumpangan untuk pulang.”
B : “kamu menyusahkanku karena selalu minta tumpangan.”

…tapi bisa juga…

A : “aku membutuhkan dia karena dia bisa menghiburku dengan kelakuan anehnya.”
B : “aku merasa memiliki arti dalam hidup ini karena bisa membuat orang lain melupakan kesedihannya.”

Bagaimanapun contohnya, sesal itu tak berguna. Begitupun sekadar meratapi nasib atau meraung-raung minta tolong. Seperti lirik di bawah ini. Ketika kita menyadari ada sesuatu yang perlu diperbaiki dari diri kita, lakukanlah.

bila kumerenungkan segala/ yang tlah kuperbuat/ hanya demi seorang/ dialah diriku/ ternyata hasil karya/ jerih payah yang dapat kusembahkan/ hanya demi seorang/ dialah diriku/ kualihkan perhatian/ yang terbenam di hatiku/ memikirkan kepentingan yang lain/ bila kau mengerti/ kumencari tempat tuk berpijak/ bila kau mengerti/ tiadakah di antara sekian banyak peranan/ tuk menjadi tempatku berpijak (Chaseiro – Tempat Berpijak)

Lirik di atas sebetulnya tidak hanya memberi dorongan untuk mengurangi sikap individualis, tapi juga mengangkat sisi positif dari paham tersebut. Mari kita lihat lagi satu pengertian dari individualisme.

…manusia secara pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh disamaratakan)…

Seorang kenalan pernah menerbitkan sebuah kutipan dari Einstein di Facebook yang kira-kira begini bunyinya:

“Setiap orang itu jenius. Namun jika kamu memaksa seekor ikan buat memanjat tebing, selamanya dia bakal berpikir kalau dia bodoh.”

Jadi untuk membuat seekor ikan berpikir kalau dia cerdas, cemplungkanlah ikan itu di air yang sesuai habitatnya. Cemplungkanlah ikan mas di kolam air tawar, bukan di laut.

Begitu pula yang lirik itu sampaikan. Sebaiknya kepentingan yang lebih besar didahulukan daripada kepentingan diri sendiri, namun itu disesuaikan dengan kesanggupan dan kebutuhan individu. Ingatlah teori kebutuhan Maslow yang menjadi patokan bagi manusia untuk merasa sebagai manusia seutuhnya.

Seperti ikan, dia hanya bisa berpijak di air, bukan di tebing. Dan di dunia yang luas ini, ada begitu banyak cara untuk menjadi insan yang bermanfaat. Tidak asal bermanfaat, tapi juga bisa menjadi tempat bagi kaki kita untuk berpijak. Kita tidak akan bisa berpijak dengan baik kalau ukuran sepatu kita kekecilan. Supaya bisa berpijak dengan enak, kita harus mencari ukuran sepatu yang pas. Bahkan jenis sepatu pun harus disesuaikan karena kita tidak mungkin mendaki gunung dengan sepatu hak tinggi.

Sebagaimana keseimbangan ekosistem perlu dijaga agar tak menimbulkan bencana alam, maka antara kepentingan individu dengan kepentingan bersama pun perlu diseimbangkan.

Selasa, 15 November 2011

Menuai Konflik dengan Cokelat

Judul : Chocolat
Pengarang : Joanne Haris
Penerbit : Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2007

Kata “konflik” berasal dari bahasa Latin “configere” yang berarti “saling memukul”. Dalam pengertian sosialogis, konflik dapat dipahami sebagai suatu “proses sosial” di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Lebih lanjut lagi menurut Sugeng (tanpa tahun), fokus perhatian masing-masing pihak terarah pada dua hal yaitu adanya lawan yang menghalangi serta adanya nilai lain yang hendak dicapai.

Para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama karena kekuatan dari kelompok atau kelas yang dominan. “Nilai-nilai bersama” yang dilihat oleh para fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benar-benar suatu konsensus yang benar; sebaliknya konsensus tersebut adalah ciptaan kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan mereka terhadap semua orang (Horton dan Hunt, 1987).

Konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif menurut Coser (Sugeng, tanpa tahun). Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti.

Dalam novel "Chocolat", kita dapat menyaksikan bagaimana warga Lansquenet-sous-Tannes terbagi menjadi dua kelompok yang bertentangan sejak kedatangan Vianne Rocher dan anak perempuannya, Anouk. Duduk perkaranya ialah Vianne Rocher mendirikan toko cokelat sekitar 1,5 bulan menjelang Minggu Paskah. Dengan keramahan dan gaya simpatiknya, Vianne Rocher berhasil memikat para pelanggan setia sejak mula. Ia juga suka memberikan cokelat gratis.

La Celeste Praline menjadi tempat yang nyaman bagi Guillaume Duplessis (pria tua kesepian), Narcisse (ahli kebun perengut), Armande Voizin (nenek dengan tingkah “agak” liar yang melarikan diri dari anaknya), Josephine Muscat (istri yang tidak bahagia), Luc (anak laki-laki gagap yang ditekan ibunya), hingga orang-orang gipsi nantinya, namun merupakan ancaman bagi Francis Reynaud (pastor paroki setempat) dan para pengikutnya yang berasal dari kalangan lebih mapan seperti Paul-Marie Muscat (pemilik kafe yang lebih dulu ada), Caroline Clairmont (anggota Dewan Masyarakat), dan Joline Drou (guru sekolah judes).

Tidak sekadar menggelitik iman warga, Vianne Rocher juga tidak ke gereja, memercayai takhayul serta ramalan, dan entah siapa ayah dari putrinya. Ia tidak mengindahkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Ia hanya mengurus dirinya sendiri.

“Kurasa masyarakat seharusnya mengurusi urusan mereka sendiri,” kataku dengan masam. “Bukan hakku—atau orang lain—untuk memutuskan bagaimana orang-orang harus menjalani hidup mereka.” (halaman 108)

Pembaca dari umat Katolik mungkin bisa lebih memahami konteks yang diangkat novel ini, tapi saya—sebagai pembaca muslim—tidak. Yang saya tangkap, umat Katolik semestinya berpuasa sekitar sebulan menjelang Minggu Paskah. Puasa yang dilakukan tidak seperti yang disyariatkan dalam Islam. Mereka tidak mengenal sahur apalagi waktu berbuka saat Maghrib. Sepertinya puasa yang dilakukan adalah puasa terhadap makanan dan minuman yang disukai. Minggu Paskah mungkin bisa diibaratkan sebagai Idul Fitri, di mana anjuran puasa sudah tuntas.

Dan siapa sih yang bisa menghindari cokelat? Bahkan Armande Voizin yang mengidap diabetes pun tidak.

Melalui khotbahnya tiap Minggu, Francis Reynaud terus menghimbau warga agar tidak mendatangi toko cokelat Vianne Rocher. Ada yang patuh, ada juga yang tidak peduli. Francis Reynaud memang tak selalu berhati mulia. Ia tidak setuju Guillame memelihara anjing. Ia acap mengeluhkan tabiat orang-orang yang melakukan pengakuan dosa padanya. Semakin hari semakin ia menahan diri, berlawanan dengan sikap warga yang semakin terbuka terhadap kenikmatan cokelat yang ditawarkan Vianne Rocher.

Pertentangan terus terjadi. Sementara sebagian warga tidak menyukai kedatangan kaum gipsi, Vianne Rocher malah menerima mereka dengan tangan terbuka. Buntutnya, perahu salah seorang dari kaum gipsi, Michel Roux, dibakar oknum yang hanya Reynaud dan Muscat ketahui. Dari yang mulanya diam-diam, perwakilan warga semakin menentang Vianne Rocher dengan mengedarkan selebaran agar memboikot perayaan cokelat yang akan Vianne Rocher cs selenggarakan pada Minggu Paskah.

Akankah Francis Reynaud berhasil menahan godaan hingga Minggu Paskah tiba? Akankah perayaan cokelat yang sudah dipersiapkan sungguh-sungguh oleh Vianne Rocher cs berlangsung sukses? Akankah Vianne Rocher menjadi pahlawan PAD bagi Lansquenet-sous-Tannes?

Dari lima cara yang lazim dipakai dalam penyelesaian konflik—konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi, dan détente—cara yang digunakan dalam novel ini tampaknya adalah koersi. Pertikaian diakhiri dengan paksaan psikologis. Pihak satu merangsang pihak lain dengan berbagai produk cokelat yang menggiurkan secara terus-menerus. Eh, ini analisis, bukan spoiler.

Saya mengerti mengapa The Scotsman—dari halaman endorsement—menyebut novel ini “nakal”. Sebuah perlawanan halus terhadap tradisi agama. Baca saja akhir cerita ini dan dapati siapa yang kalah. Mengapa toko cokelat nan menggoda ini harus dihadapkan dengan gereja— mengapa tidak dengan sekumpulan penduduk obesitas dan diabetes saja?

Gaya bertutur dalam novel ini menghadirkan nuansa gelap dalam benak. Segelap cokelat, namun tersusun oleh berbagai deskripsi cantik. Ada dua penutur dalam novel ini yaitu Vianne Rocher dan Francis Reynaud. Silih berganti, namun porsi Vianne lebih banyak, satu sama lain membawakan cerita dengan karakter khas masing-masing. Setiap bab dijuduli oleh nama hari dan tanggal tapi tanpa tahun, mulai dari “11 Februari, Selasa Sebelum Rabu Abuhingga “Senin, 31 Maret, Senin Paskah”.Hanya dalam rentang waktu demikian, serangkaian kejadian dapat membentuk alur nan padu.  

Font enak dibaca dengan ukuran pas. Agar pembaca non Katolik dapat lebih memahami konteks cerita, penjelasan mengenai tradisi Paskah sebaiknya diberikan. Selain itu, saya penasaran bagaimana membaca “Lansquenet-sous-Tannes”. Dalam novel “Snow” karya Orhan Pamuk yang diterbitkan Serambi (saya tidak memerhatikan tahun terbitnya), pada halaman depan terdapat petunjuk dalam melafalkan istilah berbahasa Turki.

Disebut-sebut sebagai “novel sastra yang mewah dan memanjakan” oleh Mirror—sekali lagi dari halaman endorsement—keindahan novel ini kiranya terletak pada kesubtilannya dalam menyampaikan gagasan yang menyinggung salah satu huruf dalam “SARA”. Hati-hati ya. 

sumber bacaan: 
1. Sugeng, B. Tanpa tahun. Penanganan Konflik Sosial. (diunduh melalui Google, 8/11/11, tapi enggak merhatiin situsnya hehe)
2. -Untuk sumber dari Horton dan Hunt, nanti saya cek lagi. Yang jelas, 1987. Sosiologi jilid 1. Erlangga.-

Minggu, 13 November 2011

Bermain ke Kebun Binatang

#1

Hari ini waktunya gajah diberi makan rumput. Gajahnya sangat besar dan rumputnya sangat banyak. Kemudian gajah diberi minum oleh pawangnya. Si gajah yang bernama Boni itu minum dengan lahapnya. “Segarnya air ini, tapi apa itu merah benar,” pikir Boni. Ternyata gajah itu suka minum sirup marjan.

“Masak gajah diberi sirup marjan. Itu kan minuman untuk kita, Yah, Yah,” sahut Anita kepada ayahnya.  

“Boni itu gajah yang spesial,” ujar seorang pria serba hitam yang muncul tiba-tiba.

“Kok bisa.”

“Karena Boni udah tayang di TV.

“Iya, dulu sebelum tampil di TV, dia tampil di majalah dulu sama Rong-rong,” kata pria berjubah hitam itu.


#2

Pada suatu hari libur, Bona, Papa, dan Mama pergi ke kebun binatang. Di sana Bona melihat hewan-hewan lucu-lucu di depan matanya dan menunjukkan kepada papa dan mamanya. Kemudian sampailah mereka di depan sebuah kandang raksasa. “Pa, Ma, kandangnya muat buat dua gajah.”

“Empat gajah juga bisa loh,” kata Mama.

“Wah berarti kandangnya penuh dong ya, Pa, Ma.

“Pa, kenapa sih kok Allah menciptakan binatang?” tanya Bona tiba-tiba.

“Kenapa ya?” tanya Mama.

“Supaya kita bisa melihat-lihat mereka di kebun ini,” kata Papa, “kalau tidak ada binatang, namanya kebun doang, bukan kebun binatang.”


(disalin sebagaimana adanya dengan sedikit penyesuaian berdasarkan hasil workshop “Cerita Anak” dalam Forum Fiksi FLP Yogyakarta, 10 November 2011, oleh
Rindang
Dyah
Rima
dan seorang mbak berkacamata yang saya enggak ingat namanya)

Senin, 07 November 2011

Arti Keluarga Inti



Generasi sekarang terdiri dari orang-orang dewasa yang menjunjung tinggi kepentingan pribadi dan terlalu bebal untuk melestarikan nilai-nilai dalam keluarga inti. Generasi seperti apa lagi yang akan mereka hasilkan? Fenomena itulah yang novel ini ungkap.

Harry Silver, seorang produser acara TV, berselingkuh. Hanya sekali. Namun itu sudah cukup untuk meruntuhkan kepercayaan istrinya untuk selamanya. Mereka berpisah. Sang istri, Gina, ingin menggapai kembali kehidupannya yang sebelumnya—yang ia telah korbankan demi pengabdiannya pada suami yang malah mengkhianatinya. Ketika Gina dalam upaya mewujudkan hal tersebut, Harry memperoleh kesempatan untuk menjadi orangtua tunggal bagi anak mereka, Pat. Tidak selalu mudah. Ia berusaha bisa menjadi sebaik ayahnya. Kedua orangtua Harrylah yang memberi gambaran bagi anak mereka akan figur keluarga inti ideal. Berhasilkah Harry memperbaiki hubungannya dengan Gina? Bagaimana dengan Cyd—wanita lain yang kemudian muncul dalam kehidupan Harry?

Yang dimaksud dengan keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kita bisa saja mempunyai keluarga lain di luar keluarga inti—Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada atau Keluarga Mahasiswa Islam Kehutanan misalnya. Tapi seperti kata Harry di halaman 315, “Tapi aku tidak bisa bersaing dengan pertalian darah”—ya, mereka tidak bisa bersaing dengan pertalian darah.

Dalam kehidupan saya sekarang, yang kiranya masih umum pula di Jogja, Bandung—Indonesia, kita mungkin tidak mengalami pergolakan berarti dalam pewarisan nilai-nilai dalam keluarga inti. Alur pikiran kita mengenai masa depan umumnya adalah: lulus – kerja – menikah – punya anak – punya cucu – meninggal. Meski, fenomena seperti perceraian, melajang seumur hidup, maupun hubungan yang jelas-jelas tak akan bisa menghasilkan keturunan secara biologis bukannya tidak terjadi sama sekali dalam masyarakat kita.

Sebagian media Barat masih menampilkan profil keluarga inti utuh sebagai gambaran masyarakat mereka. Itu yang saya tangkap dari menonton film seperti “An Education”, “Little Miss Sunshine”, “Wizard of Waverly Place”, “The Simpsons”, dan sebagainya. Tapi tidak sedikit pula yang menampilkan ketidakutuhan dalam artian: orangtua tunggal maupun dewasa lajang. Banyak serial Amerika yang biasa saya tonton di TV kabel menampilkan kehidupan demikian. Bisa dimengerti bahwa nilai-nilai kebebasan yang mereka anut jadi salah satu faktor yang menyebabkan maraknya kejadian ini.

Ada dialog Liz Lemmon dalam “30 Rock” terkait ini yang tidak lekang dalam ingatan saya. Dalam episode ini, ia sedang begitu mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupan lajangnya. Ia ingin merasakan jadi seorang ibu, membesarkan seorang anak, melimpahinya dengan penuh perhatian, meski setelah dewasa anak itu akan menolak ibunya. Kocak tapi jleb.

Sebelum makin melebar, novel ini sebetulnya menekankan tentang tanggung jawab yang harusnya dimiliki seseorang ketika sudah menghadirkan seorang anak ke dunia. Seperti yang disinggung dalam sinopsis di sampul belakang novel “The Nanny Diaries”, anak bukan sekadar simbol status. Ia juga bukan sekadar tanda mata hubungan seks dengan seseorang (halaman 304 novel ini). Akan menjadi seperti apa seorang anak yang dibesarkan dalam gambaran keluarga yang tidak utuh? Ia mungkin akan menjadi seseorang yang berhati-hati dalam kehidupan percintaannya kelak, begitu kata Harry pada ayahnya—saya belum menemukan lagi ia berkata begitu di halaman berapa.

Namun ini bukan semata persoalan si anak. Ini adalah persoalan dunia. Si anaklah yang suatu saat akan menentukan masa depan dunia—bersama sekian milyar anak lainnya. Bagaimana masa depan dunia di tangan anak-anak dengan riwayat tumbuh-kembang yang mencemaskan?

Keluarga utuh sendiri memang tidak menjamin seorang anak bakal berkemampuan untuk mengubah dunia jadi lebih baik. Figur keluarga utuh yang orangtua Harry tampilkan pada anaknya pun ternyata tidak menjamin Harry dapat mewujudkan hal yang sama. Jadi bagaimana yang harus diterapkan terhadap generasi penerus dunia? Apakah harus dengan model yang sama padahal tiap individu memiliki keunikan masing-masing? Sangat individualistis.

Ketika eksistensi cinta sejati ala film-film Walt Disney atau MGM zadul—“Silk Stockings” adalah satu judul yang cukup sering disebut dalam novel ini dan sepertinya “It’s a Wonderful Life” dengan James Stewart di dalamnya jadi rekomendasi—dipertanyakan relevansinya dalam realita kehidupan modern sekarang. Kamu bisa mencintai seseorang pada suatu waktu seakan kamu akan mencintainya selamanya, lalu cinta itu padam, lalu kamu bisa mencintai orang lainnya lagi di waktu berikutnya dengan cara sama. Dalam konteks novel ini, inilah yang terjadi pada Harry. Gina tidak mau rujuk pada Harry karena dugaannya akan hal ini. Cyd meragukan cinta Harry padanya karena alasan sama. Kiranya bukan Harry saja yang demikian. Ia hanya gambaran dari fenomena yang terjadi di lapangan. Bukankah begitu hakikat fiksi?

Menurut saya novel dewasa setebal 427 halaman ini tergolong ringan. Jarak spasi antar baris cukup renggang. Ukuran font cukup sedang. Meski memberi wawasan mengenai kehidupan seks pranikah, penggambaran hal tersebut dalam novel yang memperoleh penghargaan British Book of the Year pada tahun 2001 ini tidak vulgar tapi efisien. Begitupun pada situasi-situasi lain. Saya kurang bisa merasakan perbedaan karakter antara Gina dengan Cyd. Saya bahkan membayangkan mereka sebagai wanita yang sama meski dikatakan rambut Gina kuning sedang rambut Cyd hitam. Cerita diakhiri dengan mudah, begitu memenuhi pengharapan. Setidaknya pergulatan pikir Harry memantik kesadaran kita akan arti tiap personil dalam keluarga inti maupun cinta sejati.

Maka fenomena yang novel ini tampilkan membuat saya mengerti bahwa ketika papa-mama maupun pakde-bude saya bercakap akrab di usia pernikahan mereka yang sudah puluhan tahun, saya telah mendengar dan menyaksikan momen yang ternyata begitu berharga. Sesuatu yang entah berapa orang seperti Harry Silver di dunia nyata ini dambakan tapi belum tentu bisa dapatkan. 

Judul : Man and Boy – Lelaki Itu dan Putranya
Pengarang : Tony Parsons
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...