Selasa, 11 Maret 2014

Perempuan Hanya Ingin Bebas, Termasuk dalam Pernikahan

Seorang perempuan bersanggama dengan mantan kekasihnya di rumah, sementara suami dan anaknya terjebak di toko karena badai tengah mengamuk. Cerita yang dijuduli “The Storm” ini ditulis oleh Kate Chopin pada 1898. Konten yang dianggap kontroversial dan “terlalu maju untuk zamannya” itu mengakibatkan cerpen ini baru dipublikasikan pada 1969—berpuluh-puluh tahun setelah penulisnya meninggal. Seorang Norwegia menemukannya di gudang milik cucu sang penulis.

Pada masa cerpen ini ditulis, konon emansipasi perempuan masih menjadi isu yang tabu di Amerika Serikat. Khususnya di Lousiana—koloni Prancis dengan tradisi Katolik—yang katanya acap menjadi latar dalam karya-karya Kate Chopin. Perempuan belum memperoleh kebebasan di luar rumah, terbebani oleh berbagai urusan domestik, dan disia-siakan oleh lelaki. Maka melalui cerpen ini, penulisnya seolah hendak menyelipkan pemikiran bahwa perempuan juga bisa memperoleh kebebasan khususnya dalam perkara seksual.

Ada pandangan bahwa seolah-olah pada masa itu setiap lelaki suka menekan dan setiap istri merasa terkekang. Maka dalam cerpen ini ada dugaan bahwa sosok perempuan yang bernama Calixta tersebut sesungguhnya merasa tertekan dengan tugasnya mengurus rumah tangga. (Tampaknya ini diisyaratkan lewat adegan ia membuka kancing leher bajunya karena merasa gerah.) Saking tekunnya bekerja dengan mesin jahit sampai ia tidak langsung sadar ketika badai tengah menjelang. Lalu datanglah Alcée dengan kudanya. Mereka pernah menjalin hubungan asmara pada masa lalu namun tidak berlanjut karena Calixta menikah dengan Bobinôt sedang Alcée dengan Clarisse. Alcée pada mulanya hendak menumpang berteduh di teras, namun badai makin hebat dan Calixta mengajaknya masuk. Lalu seperti kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan saja karena adanya niat tapi juga kesempatan. Waspadalah! Waspadalah! Terjadilah! Calixta merasa terpuaskan oleh Alcée dan, setelah badai reda, melepaskan kepergiannya dengan riang. Padahal dalam cerpen ini tidak ada petunjuk bahwa Bobinôt adalah suami yang sewenang-wenang, malahan sebaliknya. Ia ahli dalam bercakap-cakap dengan putra mereka, Bibi. Ketika terpikir akan Calixta yang sendirian di rumah, mungkin khawatir akan badai serta suami dan anaknya yang tidak bisa segera pulang, ia pun membeli sekaleng udang—makanan favorit  Calixta—yang nantinya diberikan pada istrinya itu. Ketika badai sudah berlalu dan mereka dalam perjalanan pulang, ia menyempatkan diri untuk membersihkan Bibi yang kotor karena lumpur demi menghindari perhatian Calixta yang kadang terlalu cermat. Kurang baik apa coba sosok suami satu ini? Maka perzinaan yang dilakukan Calixta agaknya lebih karena gairah liar, alih-alih pelampiasan dendam karena sikap suami yang jahanam atau semacam itu. Sebenarnya ada cerpen lain yang mendahului cerpen ini. Dalam cerpen berjudul “At the ‘Cadian Ball” (yang saya baru membaca ringkasannya) itu dikisahkan percintaan antara Alcée dengan Calixta pada masa lalu, namun Clarisse berhasil menggaet Alcée menjadi suaminya, sehingga Calixta pun menerima pinangan Bobinôt yang padahal tidak begitu disukainya.

source

Berdasarkan hasil penelusuran saya mengenai pembacaan orang lain terhadap cerpen ini, sampai sekarang pun masih ada yang menganggap kontennya “mengganggu”. Apalagi penyelewengan tersebut seolah tidak berdampak apa-apa. Bobinôt dan Bibi sampai di rumah dengan selamat. Calixta menyambut mereka dengan semringah seolah sebelumnya tidak terjadi peristiwa yang dapat mengancam keutuhan keluarga itu. Alcée sudah pulang ke rumahnya sendiri dan menulis surat pada Clarisse yang sedang tinggal berjauhan agar tidak buru-buru kembali. Seolah menjadi pertanda bahwa kesempatan untuk berselingkuh mungkin saja terjadi lagi. Clarisse pun merasa senang dengan isi surat tersebut seolah sejak menikah baru kali itu ia mendapatkan kebebasannya dari suami.

And the first free breath since her marriage seemed to restore the pleasant liberty of her maiden days. Devoted as she was to her husband, their intimate conjugal life was something which she was more than willing to forego for a while.

Bagian ini seakan memberi kesan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang mengekang. Adapun penyelewengan yang dilakukan Calixta dan Alcée bukanlah hal yang patut diresahkan. Toh badai pasti berlalu dan pada akhirnya semua orang merasa senang-senang saja. So the storm passed and everyone was happy, begitulah kalimat yang menutup cerpen ini. Sayang kita tidak sampai tahu bagaimana reaksi Bobinôt dan Clarisse apabila terungkap kalau pasangan mereka masing-masing ternyata telah berkhianat.

source

Cerpen ini cukup sering digunakan sebagai bahan pengajaran Sastra Inggris di sekolah-sekolah. Penceritaannya tidak neko-neko namun sarat dengan isyarat tersembunyi. Judulnya saja sudah mengandung konflik: “The Storm”—Badai. Kita bisa mengaitkan antara badai sebagai peristiwa alam dengan badai dalam hubungan Bobinôt-Calixta yang diam-diam rentan pengkhianatan. Kedatangan badai sejak paragraf pertama seolah menjadi foreshadowing. Sesuatu yang mencekam tengah mendekat dan sesuatu itu bisa berarti peristiwa yang berpotensi meretakkan keutuhan keluarga. Badai kemudian menyeret para tokoh hingga menuju “klimaks”. Karena badai, Bobinôt dan Bibi tidak bisa segera pulang ke rumah. Karena badai, Alcée hendak berteduh di teras rumah Calixta. Karena badai, Calixta ketakutan sehingga Alcée tergugah untuk menenangkannya yang rupanya membangkitkan kembali hasrat di antara mereka.

Kepiawaian penulis dalam memanfaatkan elemen alam sebagai pendukung makna cerita juga hadir dalam sebentuk pohon chinaberry. Ketika sedang mengawasi amukan badai dari balik jendela, Calixta melihat kilat menghantam pohon chinaberry. Konon dulu kayu chinaberry digunakan sebagai bahan untuk membuat rosario, sebelum digantikan oleh plastik. Dengan begitu kita mungkin bisa melihat kaitan antara pohon chinaberry yang hancur, rosario sebagai atribut keagamaan, dan perzinaan antara Calixta dan Alcée kemudian yang tentunya dipandang amoral dari segi agama. Namun kontras dengan pandangan bahwa perzinaan adalah perbuatan kotor, ketika situasi di antara Calixta dan Alcée memanas, penulis justru mengulang-ulang penggunaan kata “white”—putih yang biasanya melambangkan kesucian. Entah apakah maksudnya cinta Calixta selama ini hanya murni untuk Alcée.

Petunjuk menarik lainnya buat saya adalah perbedaan bahasa yang digunakan oleh Bobinôt, Bibi, dan Calixta, dengan Alcée. Begini contoh kalimat yang dilontarkan masing-masing.

Bobinôt                : “My! Bibi, w’at will yo’ mama say!”
Bibi                        : “No; she ent got Sylvie. Sylvie was helpin’ her yistiday.”
Calixta                  : “Come ‘long in, M’sieur Alcée.”
Alcée                    : “May I come and wait on your gallery till the storm is over, Calixta?”

Bobinôt, Bibi, dan Calixta menggunakan bahasa Inggris yang ejaannya tidak baku, sebaliknya dengan Alcée. Kalimat-kalimat Alcée tertata. Maka saya menduga adanya perbedaan budaya antara Alcée dan Calixta yang menjadi salah satu faktor kenapa mereka tidak begitu saja dapat bersatu walaupun dulunya saling mencintai. Alcée memiliki kuda, sedangkan Bobinôt dan Bibi pulang dengan berjalan kaki. Namun saya belum menemukan pembahasan mengenai ini dalam ulasan-ulasan yang saya baca.

Mana yang baik dipelajari dan mana yang jangan diteladani, mudah-mudahan pembaca dapat menilainya sendiri.[]


teks :

untuk menambah pemahaman:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...