Rabu, 26 Februari 2020

Tren Baru: dari TV ke Bioskop

Pekan film Jepang oleh Kine Klub Jakarta menyuguhkan film-film baru yang mencerminkan kehidupan sehari-hari, dan datang dari para sutradara yang sudah jenuh dengan TV dan video.

KETIGA penculik yang masih remaja itu memutuskan meminta 50 juta yen sebagai tebusan untuk nenek usia 82 tahun itu. Nyonya Yanagawa, pemilik tanah kaya raya yang menjadi korban penculikan itu, memelototkan matanya mendengar jumlah tersebut. Ia pun membentak, "Kalian tidak tahu siapa diriku! Mintakan 10 miliar yen. Tidak kurang!" 

Itulah Daiyukai (Anak-anak Pelangi) karya Kihachi Okamoto, sebuah film komedi yang segar, lincah, dan menyenangkan, satu dari tujuh film dalam Pekan Film Jepang Terbaru di Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, pekan ini. Film-film produksi tahun 1990-1991 ini sudah mengikuti festival-festival internasional, dan hampir semuanya berkisah tentang anak-anak atau remaja Jepang.

Anak-anak Pelangi adalah kisah tentang anak-anak jalanan yang biasa hidup dari mencuri atau mencopet dan tiba-tiba suatu hari mendapatkan ide untuk menjadi kaya mendadak: menculik Nyonya Yanagawa, nenek terkaya di kawasan pegunungan Semenanjung Kii di Jepang Tengah.

Tapi, seperti tersirat di awal tulisan ini, suatu kejutan yang kocak terjadi. Akhirnya para penculik remaja yang lugu dan amatiran itu malah menjadi "anak buah" Nyonya Yanagawa. Soalnya, sang nyonya, yang belakangan ini merasa telah tua dan sia-sia, seperti mendapat penyegaran dalam hidupnya karena diculik. Ia merasa, penculikan dirinya adalah sebuah petualangan yang merangsang.

Penculikan ini pun dimanfaatkan oleh Nyonya Yanagawa untuk menguji keempat anaknya, apakah mereka akan bersedia bersusah payah mengumpulkan uang tebusan 10 miliar untuk ibunya. Inilah film yang karikatural, kocak, dan penuh kejutan.

Yanagawa (diperankan dengan baik oleh aktris teater terkenal Tanie Kitabayashi), nenek baik hati yang kesepian, menjelma menjadi seorang wanita perkasa yang kaya strategi. Pada akhirnya, Sutradara Okamoto bukan menceritakan kejahatan dan keserakahan. Uang 10 miliar yen yang dikirimkan dalam karung itu pada akhirnya tak bernilai apa-apa bagi para penculik. Tanpa khotbah moral apa pun, mereka bertiga malah menjadi "orang baik-baik".

Satu-satunya film dalam acara Pekan Film ini yang tidak mempersoalkan remaja dan anak-anak hanyalah Shi no Toge (Duri Kematian) karya Kohei Oguri. Inilah film terbaik dari semua film yang diputar dalam acara tersebut. Toshio (Kazunori Kishibe), komandan muda angkatan laut di masa Perang Dunia II, hidup bahagia bersama istrinya, Miho (Keiko Matsuzaka), dan dua anaknya. Kebahagiaan itu runtuh ketika keterlibatannya dengan wanita lain, Kuniko (Midori Kiuchi) terungkap. Sejak itu rumah tangganya menjadi neraka yang terbentuk dari pertengkaran, kecemburuan, dan kecurigaan. Meski Toshio telah memutuskan hubungannya dengan Kuniko dan bersumpah setia pada Miho, ia tak bisa mengembalikan kepercayaan istrinya.

Kisah sederhana ini menjadi sebuah drama yang getir dan mencekam. Sang suami diteror terus-menerus oleh dua pihak: istri yang terluka hatinya, dan sang kekasih yang masih mencintainya. Yang membuat film ini lebih kelabu, Sutradara Oguri hanya menggunakan tiga orang aktor (ditambah dua pemain kecil) hingga fokus cerita terpusat pada perubahan karakter Miho yang semula lembut dan penurut menjelma menjadi destruktif dan agresif. Film yang ditutup dengan Miho, istri yang malang, dirawat di rumah sakit jiwa itu mendapatkan penghargaan Grand Prix Festival Film Cannes, Prancis, tahun 1991.

Dibandingkan dengan Shi no Toge, film yang lain, Batashi Kingyo (Ikan Tak Bersirip) karya Joji Matsuoka, Torajiro No Kyujitsu (Tora-san Ambil Cuti), dan Tsugumi karya Jun Ichikawa yang menceritakan persoalan-persoalan remaja Jepang adalah film-film yang jauh lebih ringan. Namun, film-film yang sudah dikirim ke berbagai festival film internasional ini digarap dengan kedalaman dan kesungguhan, jauh di atas rata-rata film-film remaja Indonesia yang populer di tahun 1980-an. Benar, sinematografi ketiga film ini tidak istimewa. Tapi karakterisasi para tokoh dan bagaimana mereka menghadapi persoalan masing-masing digarap dengan sungguh-sungguh. Bataashi Kingyo, yang berkisah tentang seorang anak lelaki yang gigih untuk mendapatkan cinta seorang wanita di sekolahnya. Tsugumi adalah cerita seorang gadis berpenyakit jantung yang sangat temperamental dan hanya berpikir tentang kematian. Torajiro No Kyujitsu adalah serial Tora-san, seorang tokoh "Kabayan" Jepang, yang mencoba membantu masalah yang dihadapi oleh keponakan dan kekasihnya yang berasal dari keluarga yang berantakan. 

Dalam sejarah perfilman Jepang, film-film dalam festival ini merupakan trend baru: para sutradaranya mula-mula berkecimpung dalam film untuk televisi atau video, dan film iklan. Mereka tak puas dengan film layar kecil, melangkahlah mereka ke layar bioskop. Menurut kritikus film Jepang, Kyoichiro Murayama, ciri para sutradara yang bertolak dari layar kecil itu: menyuguhkan tokoh-tokoh cerita yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Dan kabarnya, film yang menyajikan tokoh yang "realistis" itulah yang kini digemari di Jepang. Suatu potensi yang bisa saja mengembalikan kejayaan perfilman Jepang, yang sejak 1960-an mengalami masa surut tersaingi oleh televisi dan kemudian video.

Leila S. Chudori



Film Jepang terbaru

Tujuh film Jepang terbaru akan diputar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, atas kerja sama Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Kebudayaan Jepang. Di antara film-film produksi tahun 1990-1991 yang akan disajikan itu ada Shi No Toge (Duri Kematian), yang memperoleh penghargaan Grand Prix pada Festival Film Cannes 1991. Karya Sutradara Kohei Oguri itu mengisahkan kemelut rumah tangga dan konflik kejiwaan seorang wanita setelah Perang Dunia I. Film lainnya adalah Shonen Jidai (Masa Kecil), karya Masahiro Shinoda, tentang pengungsian massal pada masa Perang Dunia II yang menumbuhkan persahabatan di antara dua anak lelaki; Otoko Wa Tsurai Yo: Torajiro No Kyujitsu (Tora-san Ambil Cuti), film komedi situasi seri terbaru dari sutradara senior Yoji Yamada; Daiyukai (Anak-anak Pelangi), film komedi suspense tentang penculikan seorang wanita tuan tanah makmur, yang disutradarai Kihachi Okamoto; Bataashi No Kingyo (Ikan Tak Bersirip), disutradarai Joji Matsuoka, yang bertemakan cinta segitiga antar-anak remaja; lalu film Tsugumi, karya Jun Ichikawa, yang mengisahkan liburan musim panas seorang gadis manja berpenyakit jantung ke Teluk Izu; serta Harukanaru Koshien (Seruan Penonton), kisah perjuangan anak-anak tunarungu melawan keterbatasannya.

Film-film tersebut, dilengkapi teks bahasa Indonesia, diputar di Teater Tertutup, 11 sampai 18 Januari ini. Dua kali pertunjukan setiap harinya, pukul 17.00 dan 19.30 WIB. Tanda masuk bisa diperoleh secara cuma-cuma di Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta atau di Pusat Kebudayaan Jepang.



Sumber: Tempo Nomor 46 Tahun XXIII - 15 Januari 1994

Rabu, 19 Februari 2020

Perempuan dan Politik

Di Indonesia jumlah politikus wanita masih kecil. Mengapa mereka enggan berpolitik, padahal mestinya masalah wanita lebih tajam disorot? Sebuah penelitian dari Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia.

MASIH ada yang bilang dunia ini milik lelaki, apalagi banyak yang mendominasi posisi strategis. Di arena politik, misalnya, dalam kebijaksanaan dan peraturan pemerintah mengalir rancangan dan keputusan dari politikus pria. Maka, tak aneh jika dalam penerapannya pria lebih banyak diuntungkan daripada wanita.

Gambaran ini tercermin dalam makalah Smita Notosusanto, 32 tahun, dari Program Studi Kajian Wanita Universitas Indonesia, dalam seminar bertema "Potret Wanita Indonesia-Australia: Persepsi Sosial, Budaya, dan Politik" di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu pekan lalu (lihat Menghapuskan Potret Muram). Meski setengah penduduk dunia wanita dewasa, demikian laporan United Nations Development Program 1993, di parlemen kontribusinya hanya 10%, dan kurang dari 4% yang duduk di kabinet. 

"Padahal, kontribusi wanita di dunia politik itu penting," kata Smita, yang kini mengadakan riset tentang wanita Indonesia dalam politik. Peran wanita dalam politik diharapkan akan menolong masalah-masalah wanita yang selama ini dianggap tidak penting oleh pria.

Misalnya soal cuti haid atau upah buruh yang lebih minim ketimbang buruh lelaki. Master dari California State University, AS, itu menambahkan, ketika dulu buruh menuntut cuti haid, ada anggota DPR menyarankan agar tidak mempersoalkannya karena bisa disalahgunakan pemilik perusahaan--yakni menggantinya dengan lelaki. Cuti haid dianggap mengganggu proses produksi. Padahal, cuti haid ada dalam Undang-Undang Tenaga Kerja dan GBHN, tapi tidak diterapkan. "Penyalahgunaan memang ada di mana-mana, tapi tidak berarti hak perempuan dicabut," kata Smita.

Sementara itu, di Indonesia jumlah politikus wanita masih kecil. Di lembaga DPR, hanya ada 59 wanita, sedangkan anggota pria 441. Namun, apakah jika jumlah wanita di parlemen bertambah nasib perempuan Indonesia akan lebih baik? Belum tentu. "Dalam pekerjaannya, wanita di DPR mengalami benturan," kata putri mendiang Menteri P dan K Nugroho Notosusanto itu. Pendapat mereka cenderung tidak subjektif.

Menurut Smita, yang akan melanjutkan S-3 di Sekolah Hubungan Internasional Fletcher School, di Boston, AS, perempuan Indonesia menghadapi berbagai hambatan untuk mengubah nasib (baca: maju). Adanya kultur patriarchy--sistem yang menempatkan ayah sebagai induk silsilah--misalnya, terbawa sampai di luar rumah. Perempuan cuma jadi orang nomor dua.

Dalam rekrutmen pegawai memang tidak ada perbedaan syarat antara laki-laki dan perempuan. Tapi, secara operasional, untuk tugas teknis, pria lebih dipercaya. Padahal, wanita juga mampu. Yang juga sering terjadi, perempuan harus mengalah untuk mengikuti tugas suami. Di Departemen Luar Negeri, misalnya, diterapkan peraturan tak tertulis. Yakni, bila sepasang diplomat menikah, istri--karena ikut suami--harus mencopot karier diplomatnya.

Dominasi lelaki hampir di semua bidang pekerjaan memang besar. Untuk menghapuskan dikotomi perempuan-lelaki itu diperlukan waktu panjang. Kalau pekerjaannya juru rawat, sekretaris, atau perias kecantikan, tidak jadi soal. "Soalnya jadi berat bila pekerjaan itu diminati mayoritas lelaki, umpamanya jadi menteri luar negeri," kata Smita.

Sri Pudyastuti R.



Menghapuskan Potret Muram

MENURUT sejarahnya, perempuan di Australia menyimpan potret muram. Dalam rekaman terhadap mereka itu, sampai pertengahan abad ke-19, mereka masih dijuluki pelacur terkutuk (damned whores). 

Posisi perempuan masa itu, demikian tertuang dalam makalah Ketua Pusat Kajian Australia Universitas Indonesia, Wardiningsih Soerjohardjo, dalam seminar di Jakarta pekan lalu, sangat tidak menguntungkan. Nestapa itu berawal dari keputusan Kerajaan Inggris menjadikan benua ini sebagai tanah buangan para narapidana. 

Dibandingkan dengan napi perempuan, napi lelaki masih mendapat keistimewaan. Jika masa hukuman habis, mereka boleh pulang ke Inggris. Tiket kapal dibayar dengan bekerja di kapal selama perjalanan pulang. Napi perempuan tak boleh pulang. Akibatnya, ya, melacur, agar bisa mendapat uang dan pulang.

Sampai 1841, napi perempuan ada 9.422 (napi laki-laki 78.077). Sebagian besar melacur sehingga dijuluki damned whores tadi. Cacian bermunculan, misalnya dari Thomas McQueen--bekas napi, lalu menjadi hakim. "Pelacur itu objek paling menjijikkan yang pernah dialami perempuan," katanya.

Pada masa itu, secara seksual, wanita kerap diperlakukan tidak senonoh. Misalnya, ada istri yang dijual suaminya demi satu ons emas atau sebotol minuman keras. Sejak di kapal, napi perempuan menjadi objek seks para pelaut. Tak jarang mereka menceburkan diri ke laut karena malu.

Situasi berubah setelah penemuan emas tahun 1851. Imigran bebas (bukan napi) berdatangan dan menikah dengan wanita Australia. Kehidupan normal mulai dikenal. Julukan damned whores berganti menjadi god's police--wanita menjadi polisi moral bagi suami dan anak-anaknya.

Pada masa Perang Dunia II, wanita punya kesempatan menduduki posisi pria yang pergi berperang. Misalnya, mereka bekerja di pabrik senjata ataupun menjadi sopir taksi, operator, atau portir kereta api. Dan sampai perang usai, mereka tak mau meninggalkan posisinya sehingga protes muncul. Wanita harus ditarik pulang.

Protes itu tak bersambut walau muncul masalah, seperti anak-anak tidak terkontrol. Kenakalan remaja, seks bebas, dan minuman keras di kalangan remaja merajalela. Sampai pertengahan abad ke-20, kaum wanita di Australia makin mantap bekerja. Kendati lelaki memegang berbagai kedudukan penting, wanitanya sudah tak bisa lagi dipulangkan ke rumah. 

SPR



Sumber: Tempo Nomor 40 Tahun XXIII - 4 Desember 1993

Selasa, 18 Februari 2020

"Panic Disorder" Penyakit Gangguan Kepanikan

SETIAP orang pada hakikatnya tidak bisa menghindari dari kondisi stres. Stres dapat menjadi salah satu pencetus penyakit gangguan kepanikan, meski pada umumnya serangkaian panik ini tidak terjadi pada stres. Bahkan panik bisa terjadi dalam keadaan di mana pasien tidak dalam kondisi stres. Panik juga bisa muncul seiring dengan atau setelah pasien mengalami gangguan fisik/klinis yang hebat, setelah kecelakaan, atau kematian.

Banyak para pekerja, guru/pendidik, pengusaha, bisnisman, atau eksekutif menderita panic disorder disebabkan oleh kesibukan-kesibukan, rasa was-was, dibayangi oleh setumpuk pekerjaan, perubahan situasi dan kondisi kerja di samping perubahan-perubahan sosial atau keluarga. Tetapi mereka ini hanya sebagian kecil dari lima juta penderita gangguan kepanikan yang sejak tahun 1987-an sudah melanda masyarakat Indonesia, menurut Dr. Yul Iskandar Ph.D dari kelompok studi psikiatri biologik Jakarta.

Serangan panik sebenarnya suatu fakta klinis dan sudah lama diketahui, tetapi gangguan panik (diagnosis klinik) di Indonesia terasa baru. Kepanikan bukan penyakit yang berciri sendiri akibat gangguan psikologis semata, namun juga terkait dengan biologi dan masalah sosial budaya. Oleh karena itu perlu pendekatan, pertimbangan bio-psiko, sosio-kultural untuk penyembuhan.

Gejala Penyebabnya

Gejala serangan panik yang sifatnya somatik seperti sesak napas, dada terasa sakit, perut perih, gemetaran, dan sebagainya. Juga tidak lepas dari pengaruh latar belakang sosial budaya penderitanya, sebab itu diperlukan integrasi pendekatan antara bidang psikiatri biologi dengan bidang yang terkait.

Gangguan panik yang disebabkan oleh faktor biologi menurut Prof. Burrows dari Universitas Melbourne Australia dalam simposium penganggulangan 'anxietas panic disorder' terjadi pada lokus ceuruleus yang mengatur sistem saraf simpatikus di otak atau tempat lain yang mengatur tingkat keasaman dan kebasaan suatu cairan tubuh. Kelainan pada girus parahipocampal di otak (15-25%) dapat terpantau oleh peralatan PET-Scan.

Gejala panik yang khas umumnya berupa ketegangan, kegugupan, dan tingkah laku menghindari atau senang menyendiri. Gejala dapat bervariasi tergantung sosiokulturnya.

Di Indonesia gejala kepanikan prevalensinya sekitar 0,6-3%. Penderita kebanyakan wanita, sekitar 3:1 dengan laki-laki. Serangan pertama umumnya muncul pada usia 20-an.

Sulit dibedakan penyakit (gejala) gangguan kepanikan dengan penyakit jantung koroner. Karena gejala kedua penyakit ini hampir sama, yaitu serangan pertama muncul dengan keluhan nyeri di dada (cepat atau lambat berdebar-debar, sesak napas) dan makin lama makin menghebat dalam waktu 10 menit. Akan tetapi untuk penyakit gangguan kepanikan nyeri di dada hanya berlangsung 20-30 menit yang kemudian intensitasnya akan menurun.

Sedangkan pada penyakit jantung, nyeri di dada makin lama semakin menghebat. Dari hasil penelitian, pasien dengan keluhan nyeri di dada, tanpa ada kelainan arteri koroner, 30%-nya menderita gangguan kepanikan.

Penyakit gangguan kepanikan ini merupakan gangguan biologis yang sifatnya herediter (menurun). Ada 4 reaksi dasar terjadinya gangguan kepanikan tersebut, yaitu: Reaksi fisiologik yang terjadi pada seluruh sistem organ tubuh manusia termasuk sistem kekebalan. Reaksi kognitif, yaitu adanya rasa bahwa seseorang hampir mati atau takut menjadi gila, respon ini paling tidak menyenangkan pada serangan panik. Reaksi behavioral, yaitu segala hal untuk mengembalikan keadaan semula. Suatu reaksi yaitu melarikan diri dari berbagai trauma. Banyak pasien yang menganggap rumah adalah tempat yang aman dan tidak berani keluar rumah, ada pula yang menganggap rumah sakit atau dokterlah yang paling aman.

Kini penangkal penyakit gangguan kepanikan ini telah ada, (seperti 'Alprazolam' yang telah diakui oleh FDA di Amerika. Obat ini mempunyai khasiat khusus anti panik). Stadium stres menurut Prof. Burrows yaitu pertama, mereka akan mengalami/ditandai adanya sering cemas-takut atau was-was. Kedua, tanda-tanda adanya resistensi atau perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Ketiga, ditandai dengan hilang kontrol diri dan perilaku yang bersifat merusak lingkungan.

Namun demikian kepanikan jangan membuat rendah diri sebab segi positifnya, orang yang tidak pernah mengalami stres, tidak pernah was-was atau cemas, khawatir atau takut, sehingga sulit diharapkan darinya akan produktif atau prestasi terjadinya tinggi. Eksplansinya sangat sederhana terhadap fenomena ini. Kalau orang tidak pernah cemas, khawatir dan seterusnya, berarti memang ia tidak tahu mengenai apa yang harus dikhawatirkan atau dcemaskan. Dengan kata lain sebenarnya ia tidak tahu apa-apa mengenai pekerjaan yang harus dilakukannya.

Kecemasan dan kekhawatiran terhadap apa yang dikerjakan merupakan indikator yang hakikatnya orang yang bersangkutan memahami persoalan pekerjaan yang sedang dihadapinya. Oleh sebab itu stres awal atau tingkat ringan akan membantu, memacu produktivitasnya kerja seseorang. Sebaliknya stres yang berkelanjutan atau yang berat, justru akan menurunkan produktivitas kerja bahkan bisa merusak.

Karena stres berat akan dapat mengganggu mekanisme dan proses kognitif yang ada pada diri seseorang. Untuk mencegahnya dan upaya untuk meringankan efek stres berat tersebut diperlukan penyegaran baik fisik maupun psikis, perlu komunikasi dan iklim yang baik dan hindari pertentangan atau perdebatan sengit. [] 

Dipl. Ing. Muhtadi Puradinata



Sumber: Panasea Nomor 63 26 Agustus - 8 September 1993

Senin, 17 Februari 2020

Mengenal Mekanisme Pembelaan Psikologik

KITA hidup di dalam dunia yang penuh dengan berbagai macam stres. Penyakit, kesedihan, kecemasan, amarah, ketakutan, keputusasaan dan sebagainya lahir dari jiwa yang dilanda stres. Seperti tubuh yang mempunyai mekanisme pertahanan kala terserang penyakit, demikian pula jiwa, bereaksi dengan berbagai cara, memobilisir berbagai macam mekanisme pembelaan diri bila dilanda oleh stres yang dapat mengancam keutuhan kepribadian. Mekanisme pembelaan ini sesungguhnya hanyalah sebuah cara untuk mempertahankan ekuilibrium (keseimbangan) dalam struktur kepribadian, bertujuan menghilangkan atau setidaknya menjinakkan anxietas (kecemasan) yang dihasilkan oleh situasi emosional yang tidak adekuat tadi.

Kecemasan memang dibutuhkan dalam perkembangan kepribadian sebagai alat pembiasaan yang dapat membawa ke arah kematangan kepribadian. Tetapi jika kecemasan berlangsung dalam waktu lama dengan intensitas yang besar, keutuhan kepribadian dapat terancam.

Berbagai macam mekanisme pembelaan diri dapat lahir dari jiwa yang dilanda stres. Ada yang fisiologis (normal) dan ada yang patologis (tidak normal), dengan kata lain mekanisme pembelaan diri itu disebut fisiologis bila kecemasan yang ada berhasil dihilangkan tanpa menyebabkan gangguan yang berarti pada organisasi kepribadian. Sebaliknya bila mekanisme pembelaan mengorbankan integritas kepribadian maka mekanisme pembelaan diri ini disebut patologis.

Berikut adalah contoh dari beragam mekanisme pembelaan psikologik.

Langsung menghadapi dan membuat penyelesaian terhadap permasalahan yang ada. Contohnya: Ria ingin sekali masuk di fakultas ekonomi pada salah satu perguruan tinggi negeri yang terkenal di kotanya. Tetapi pada saat pengumuman Ria ternyata tidak lulus ujian masuk. Keadaan yang tidak menyenangkan ini dihadapinya dengan terus belajar untuk sukses pada tahun mendatang.

Melarikan diri dari permasalahan. Contohnya: Seperti Ria, Tini juga bercita-cita menjadi seorang sarjana ekonomi. Tetapi pada saat pengumuman Tini ternyata tidak lulus ujian masuk. Keadaan ini membuat Tini kecewa dan berusaha melupakan cita-citanya dengan jalan mengalihkan perhatiannya kepada usaha catering yang dikelola oleh keluarganya. Anto juga sama seperti Tini, tetapi kekecewaan karena tidak lulus ujian membuat Anto melupakan cita-citanya dengan jalan mabuk-mabukan dan pelesiran sana-sini.

Mengadakan kompromi dengan permasalahan. Contohnya: Karena gagal menjadi pemenang pertama dalam sebuah pertandingan olahraga, Ari tetap berusaha, tetapi target yang akan dicapai dikurangi. Ari membuat target baru. Tidak untuk menjadi juara tetapi bisa masuk dalam babak final. 

Ketiga macam mekanisme pembelaan diri di atas merupakan mekanisme pembelaan yang realistik, yaitu langsung ditujukan kepada penyebab kecemasan. Berikut adalah mekanisme pembelaan diri yang tidak realistik, yaitu yang tidak langsung ditujukan kepada penyebab kecemasan.

Fantasi. Dengan berkhayal seseorang berusaha mencapai kepuasan. Pada keadaan tertentu mekanisme ini dapat menimbulkan motivasi untuk lebih berusaha dalam mencapai tujuan. Tetapi kalau tanpa disertai motivasi seseorang dapat berubah menjadi pemimpi belaka. Contohnya: karena kalah dalam pertandingan olahraga, kemudian berkhayal menjadi seorang juara yang dipuja masyarakat.

Penyangkalan. Tidak mau menerima kenyataan yang mengecewakan atau menakutkan. Mekanisme ini sering terlihat dalam kehidupan sehari-hari dan sangat efektif dalam menghilangkan kecemasan. Contohnya orang akan menutup mata saat terjadi keadaan yang menakutkan di depan matanya, seperti ketika menonton adegan seram dalam sebuah film, ketika menyaksikan rumah sendiri dilahap api atau ketka menyaksikan orang yang dicintai mengalami kecelakaan lalu-lintas. Dalam keadaan ekstrim mekanisme pembelaan ini tampak jelas pada orang yang dengan tiba-tiba menjadi buta total (padahal organ penglihatannya sehat) setelah mengalami trauma psikis hebat yang tidak mampu diatasinya. Tetapi pada saat masalahnya teratasi penglihatan akan pulih seketika. Mekanisme ini juga tampak jelas pada orang-orang yang tidak mau mengakui kekurangan dan kelemahan pribadinya padahal kekurangannya sudah tampak begitu jelas. Inilah sisi jelek dari mekanisme pembelaan diri dalam bentuk penyangkalan karena bagaimanapun kenyataan-kenyataan yang tidak menyenangkan, maupun kekurangan-kekurangan pribadi sering bermanfaat untuk dilihat sebagai suatu pelajaran.

Rasionalisasi. Mekanisme pembelaan ini sering dipakai dalam kehidupan jiwa yang normal untuk membebaskan diri dari kecemasan oleh suatu sebab yang dilakukan dengan cara memberikan suatu pernyataan atau alasan untuk membenarkan diri sendiri. Contohnya, Tika kemarin tidak masuk kantor. Ketika ditanya oleh bosnya Tika berusaha memberi alasan yang dapat membenarkan dirinya seperti alasan anak sakit atau badan terasa kurang sehat. 

Intelektualisasi. Mekanisme ini hampir sama dengan rasionalisasi tetapi didasarkan pada cara berpikir yang intelek.

Identifikasi. Pada masa perkembangan kepribadian mekanisme ini memegang tempat yang penting sekali, di mana seorang anak laki-laki mengidentifikasikan diri dengan ayahnya, atau dengan orang yang dikaguminya. Kalau pribadi yang diidentifikasi si anak menunjukkan sikap-sikap yang terpuji maka baiklah perkembangan pribadi si anak, celakanya kalau pribadi yang diidentifikasi jelek maka anak akan cenderung menjadi jelek, karena mekanisme ini merupakan mekanisme penyamaan diri dengan orang lain. Tujuan dari mekanisme ini untuk menarik perhatian orang lain, atau untuk menambah harga diri agar menyamai orang yang diidentifikasinya. Meniru gaya rambut, gaya bicara, cara hidup atau cara berpakaian dari orang-orang terkenal karena kurangnya rasa percaya terhadap diri sendiri termasuk dalam mekanisme jenis ini.

Introjeksi. Mekanisme introjeksi penting sekali dalam perkembangan mental anak, karena melalui mekanisme ini anak memasukkan ke dalam dirinya berbagai nilai moral dan kebiasaan baik yang berusaha ditanamkan oleh orangtua atau pendidik. Mekanisme introjeksi adalah mekanisme pembelaan di mana seseorang memasukkan segala kecemasan ke dalam diri-pribadinya, sehingga dapat timbul perasaan diri bersalah, depresi, membenci diri sendiri bahkan dalam bentuk ekstrim orang dapat melakukan bunuh diri.

Projeksi. Kebalikan dari mekanisme introjeksi, mekanisme projeksi merupakan mekanisme pembelaan di mana segala bentuk kecemasan diprojeksikan keluar dari pribadinya. Contohnya karena tidak lulus ujian guru yang dipersalahkan, atau ketika teman-teman kantor bergurau dan tertawa di dekatnya, dia merasa teman-teman kantornya menertawakan dia sehingga timbul perasaan benci terhadap teman-temannya. Dalam bentuk ekstrim mereka yang menggunakan mekanisme projeksi senantiasa menaruh curiga terhadap lingkungannya, jangan-jangan lingkungannya akan berbuat jahat terhadapnya. Keadaan ini disebut paranoid.

Represi. Represi adalah mekanisme pembelaan di mana materi-materi yang dapat menimbulkan kecemasan ditekan dan diendapkan ke alam bawah sadar, sehingga kecemasan tersebut akan dilupakan secara psikologis. Contohnya Mira lupa tanggal berapa ia kawin karena pada saat perkawinannya terjadi sesuatu yang traumatik.

Supresi. Mekanisme pembelaan ini hampir sama dengan represi, tetapi pada supresi materi-materi yang menimbulkan kecemasan itu dengan sadar dan disengajakan berusaha dilupakan oleh individu. Dilihat dari segi timbulnya penyakit gangguan jiwa represi lebih potensial untuk menimbulkan gangguan jiwa daripada supresi. Contoh dari mekanisme pembelaan supresi adalah sebagai berikut. Karena Titi mengalami kegagalan dalam kehidupan berumah tangga, secara sadar dia berusaha melupakan hal tersebut dan mulai memusatkan perhatiannya untuk hidup baru.

Regresi. Sering terlihat pada anak-anak yang baru mendapat adik, mereka berusaha menarik perhatian dan kasih sayang orangtuanya yang dirasa sudah berkurang karena lahirnya adik, dengan cara kembali menjadi seperti adik, misalnya tiba-tiba ngompol lagi padahal biasanya tidak. Atau tidak bisa makan sendiri lagi, jadi harus disuapi, padahal sebelumnya anak tersebut sudah pintar makan sendiri.

Reaksi Formasi. Reaksi formasi merupakan mekanisme pembelaan dengan cara menampilkan perilaku atau sikap yang berlawanan dengan perasaan yang sebenarnya. Contohnya Eni sangat marah dan membenci bosnya karena dirasanya bos tersebut pilih kasih, tetapi dia tidak berdaya karena dia hanya seorang pegawai biasa, oleh karenanya Eni berusaha menutupi perasaan tidak senangnya dengan berpura-pura bersikap manis dan menyukai bosnya (padahal dalam hatinya Eni selalu memaki-maki bos tersebut).

Salah pindah (displacement). Dalam mekanisme ini kecemasan dihilangkan dengan cara memindahkan kecemasan dari objek yang sebenarnya kepada objek lain yang lebih tidak berdaya. Contohnya karena kena teguran atasan di kantor, setelah pulang ke rumah istri dan anak yang kena marah. Atau pada anak-anak, karena dimarahi ibunya, si anak berbalik marah dan memukul adiknya.

Kompensasi. Mekanisme ini sering digunakan untuk menghilangkan atau mengurangi kecemasan akibat kegagalan untuk mencapai kepuasan dalam suatu bidang tertentu dengan cara mencari objek pemuasan yang lain. Contohnya: karena kurang pandai di sekolah, seseorang akan berusaha mengembangkan kemampuannya dalam bidang lain misalnya musik atau olahraga agar mendapat kepuasan. Mekanisme ini bisa menjadi negatif kalau kompensasinya pada hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat, contohnya karena selalu ditolak pada saat melamar pekerjaan lalu berubah menjadi pencopet atau penipu.

Sublimasi. Dalam mekanisme ini semua dorongan yang kurang baik dialihkan oleh individu kepada suatu aktivitas atau usaha yang berguna.

Pelepasan (undoing). Mekanisme ini merupakan mekanisme melepaskan isi pikiran atau perbuatan yang tidak disetujui oleh orang banyak dengan cara mengakui hal tersebut atau melakukan sesuatu yang memberi kesan bahwa ia sesungguhnya tidak berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh orang banyak. Contohnya seorang pejabat melakukan kecurangan keuangan dalam instansinya dan untuk menutupi kecurangannya dari mata banya orang pejabat tersebut memberikan sedekah pada anak-anak yatim piatu. Dalam tata kehidupan yang biasa, meminta maaf juga merupakan manifestasi dari undoing, dengan alasan lebih baik meminta maaf daripada disalahkan atau dijauhi oleh orang banyak.

Isolasi. Mekanisme pembelaan isolasi melakukan sekat emosional sebagai usaha untuk menghilangkan kecemasan. Sebagai contoh, seseorang yang merasa dirugikan berkata biarlah itu sudah nasib saya.

Acting out (pemeranan). Mengurangi kecemasan akibat sesuatu yang mengecewakan dengan cara mengekspresikannya dalam bentuk yang sebenarnya. Contoh: seorang atasan yang kecewa melihat kesalahan anak buahnya, marah dan membentak-bentak anak buah tersebut untuk menyatakan ketidakpuasannya.

Setelah mengenal berbagai mekansme pembelaan psikologis, mungkin Anda akan lebih maklum dengan tingkah laku orang-orang di sekitar Anda yang kadang memusingkan kepala. Satu hal lagi. Mekanisme jenis apakah yang Anda atau pasangan Anda sering gunakan? [] V. Mandagi



Sumber: Panasea Nomor 4 26 Agustus - 8 September 1993

Jumat, 07 Februari 2020

Jagalah Kesehatan Mentalmu Sendiri!

Siang 2 Februari 2020, di Auditorium Rosada Balai Kota Bandung, ada acara talkshow bertajuk "How to Take Care Our Mental Health" yang diselenggarakan Pemuda Peduli Kesejahteraan Sosial Dewan Pimpinan Cabang Bandung. Sembari menunggu acara dimulai, pada layar di depan diputarkan sebuah film yang memotret penderita depresi. Benar saja, film tersebut dapat saya temukan di Youtube.


Film ini menarik sejak awal, karena si penderita depresi bangun tidur dengan riasan yang cukup tebal. Mungkin, saking depresi, ia sampai lupa atau terlalu malas untuk copot bulu mata sebelum tidur.

MC memeriahkan suasana dengan mengajak peserta berbagi pengetahuan mereka soal kesehatan mental. Ada yang berpendapat bahwa masalah kesehatan mental yang marak belakangan ini di antaranya disebabkan oleh media sosial. Ada juga yang menceritakan tentang temannya yang "depresian banget", mudah galau hanya karena hal kecil. Ketika ia berkunjung ke rumah temannya itu, rupanya keluarganya juga sama-sama "sensitif" dalam pengertian suka main bentak. Ia pun mencoba membawa si teman ke lingkungan yang positif, seperti komunitas.

Tujuan acara ini sendiri--menurut MC yang coba saya kemas dalam bahasa sendiri--yaitu hendak mensosialisasikan kepada para pemuda cara-cara untuk mengatasi permasalahan diri berikut upaya preventif terhadap gangguan mental. Memang tampaknya semua peserta yang hadir di ruangan yang hampir penuh ini berusia muda, mahasiswa atau pelajar. Memang pemuda lah yang rentan terkena penyakit mental. Dengar-dengar, kebanyakan orang yang bunuh diri berusia 15-29 tahun. Kesehatan mental itu sendiri diartikan sebagai ketenteraman batin sehingga dapat beraktivitas dengan baik.

Ketiga pembicara mewakili bidang yang berlainan tapi sama-sama mendukung kesehatan mental: 
  • Dr. Sri Maslihah, M.Psi, psikolog
  • Dorang Luhpuri, SIP, Ph.D, pekerja sosial profesional dan dosen, serta 
  • Nur Hikmah Maulidyah, pegiat komunitas ISmile4You
Jadi, sesungguhnya kesehatan mental itu bukan cuma urusan psikologi dan psikiatri, melainkan berbagai bidang seperti kesejahteraan sosial. Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial atau Politeknik Kesejahteraan Sosial--yang rupanya merupakan perguruan tinggi kedinasan berlokasi di Dago--seolah-olah menjadi "sponsor" acara ini. Ibu Dorang selaku salah satu pembicara adalah dosen di kampus tersebut. Demikian juga dengan mas moderator, yang ternyata duta mahasiswa kampus itu #ehem.

Dari sudut pandang psikologi

Pembicara pertama, Ibu Sri, yang notabene dosen Psikologi UPI, memberikan kuliah berjudul "Kesehatan Mental: Pengertian, Upaya Preventif dan Kuratif Berbasis Masyarakat". Beliau membuka dengan memutar cuplikan film yang cukup menghebohkan belum lama ini, Joker. Alhamdulillah, video tersebut juga bisa saya temukan di Youtube. 


Beliau lalu memaparkan tentang permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia, contohnya yaitu banyaknya penderita skizofrenia yang tidak tertampung di rumah sakit jiwa.

Kemudian ada pengertian-pengertian. 

"Mental" diartikan sebagai cara berpikir dan berperasaan menurut nurani yang tecermin pada perilaku. Dalam dunia Islam, urusan "mental" ini agaknya menyangkut soal "hati". Kalau dalam istilah Aa Gym, sepertinya kesehatan mental berarti manajemen kalbu. 

Penggunaan kata "jiwa" masih banyak digunakan dalam urusan kesehatan mental. Misalkan, kesehatan mental disamakan dengan kesehatan jiwa, psikiater disebut sebagai dokter ahli jiwa, dan seterusnya. Ibu Sri menerangkan bahwa dalam dunia psikologi sendiri istilah "jiwa" sudah tidak digunakan, sebab rupanya "mental" tidak sama dengan "jiwa". 

Bagaimanakah orang yang sehat mental atau "normal" itu? Menurut WHO, yang diadaptasi ke dalam undang-undang atau peraturan pemerintah kita, kurang lebih berarti: dapat menyadari kemampuan sendiri, mengelola stres kehidupan yang wajar, bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan dalam komunitas. Dikutip juga pendapat Assagioli (: psikiater Italia yang baru saja saya googling), yang menyatakan bahwa sehat mental berarti memiliki integritas kepribadian, keselarasan jati diri, pertumbuhan ke arah realitas diri, serta hubungan sehat dengan orang lain.

Sebetulnya ada banyak poin menarik lainnya yang hendak dijabarkan, apalagi yang bersifat praktis, seperti upaya keluarga/masyarakat, upaya pencegahan individual, cara yang tepat maupun yang tidak tepat dalam menangani, langkah-langkah untuk membantu, dan sebagainya. Sayang, saya tidak sempat mencatat semuanya. Satu yang paling saya ingat dari upaya pencegahan individual ialah dengan tetap berpartisipasi aktif dalam pergaulan serta melakukan aktivitas yang disenangi.

Dari sudut pandang kesejahteraan sosial

Kalau Ibu Sri cenderung menyorot kesehatan mental secara umum, Ibu Dorang agaknya mengkhususkan pada contoh kasus yang berat, yaitu skizofrenia. Skizofrenia bisa dibilang sebagai jenis penyakit mental paling berat. Penderitanya kerap mendapat julukan "orang gila". Belakangan, pemerintah tampak mulai mensosialisasikan sebutan yang menghaluskan, yaitu Orang dengan Skizofrenia (ODS) atau Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Sebelum Ibu Dorang memperkenalkan istilah tersebut kepada peserta acara ini, saya sudah pernah mendengar iklan layanan masyarakat di radio mengenai hal itu.

Siapa pun bisa menjadi ODGJ, akibat gaya hidup jaman now yang semakin sulit, sarat akan tekanan dan persaingan. Awalnya cemas, yang bila parah menjadi depresi, kemudian timbul halusinasi, dan akhirnya menderita skizofrenia; dari Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) menjadi ODGJ. Karena itu, Ibu Dorang bilang, unek-unek sekecil apa pun mesti dibuang secara ikhlas--seperti yang kita lakukan kala duduk atau jongkok di kloset. Ya, Ibu Dorang mengibaratkannya kurang lebih begitu--yang dalam tulisan ini saya kemas dalam bahasa sendiri. Memang penampilan pembicara satu ini sangat kocak, bak stand-up comedian.

Seperti yang sudah diangkat sedikit oleh Ibu Sri, banyak ODGJ yang tidak tertampung di rumah sakit jiwa (RSJ). Ada batas waktu mereka boleh berada di sana. Lewat dari itu, mereka dipulangkan ke keluarga masing-masing. Perawatan di RSJ mungkin kondusif bagi si penderita. Tapi, begitu kembali ke keluarga dan lingkungannya semula, kemungkinan ia kambuh. Sebab, boleh jadi penyebab dia mengidap gangguan tersebut adalah keluarga dan lingkungannya sendiri. Apabila keluarga dan lingkungannya tidak berubah, maka kesembuhannya pun sulit diharapkan.

Satu ODGJ dapat melumpuhkan tiga-empat anggota lainnya dalam keluarga. Tidak mungkin seorang ODGJ dapat pergi berobat sendiri, sehingga dia mesti diantarkan oleh anggota keluarganya, katakanlah ibunya. Jika ibunya mesti pergi mengantar si ODGJ, apabila mereka punya anak kecil, siapakah yang mengurusnya? Maka anggota keluarga yang lain mungkin mesti tidak masuk kerja agar bisa mengurus si anak kecil. Kira-kira begitu.

Dengan keadaan begitu, apabila dalam setiap desa terdapat 20-30 ODGJ, bisa dibayangkan dampaknya. Karena itulah, sesungguhnya gangguan mental merupakan fenomena gawat yang mengancam kesejahteraan bangsa.

Kalau psikiater memberikan obat, sedangkan psikolog terapi, maka pekerja sosial ambil bagian dalam aspek sosiologinya. Sayangnya, pekerjaan tersebut tidak dideskripsikan secara terperinci. Saya hanya bisa membayangkan mereka turun ke lapangan untuk memberikan penyuluhan, meninjau lingkungan, dan sebagainya, di samping berhubungan langsung dengan penyintas beserta perawat ODGJ yang memiliki komunitas tersendiri.

Ibu Dorang mencontohkan cara menangani ODGJ secara tepat, menurut yang diberitahukan oleh seorang penyintas kepada beliau. Yang pertama, kita harus memberikan mereka sentuhan, misalkan di bahu. Sentuhan tersebut untuk menyadarkan mereka pada kenyataan. Kita juga perlu memahami dunianya. Menurut penyintas, ODGJ melihat halusinasi berupa sosok-sosok yang mengoceh tidak keruan. Kita bisa berpura-pura ikut melihat halusinasi tersebut, dengan menyuruh sosok-sosok itu pergi atau berhenti mengganggu si ODGJ. Selain itu, kita mesti memastikan ODGJ patuh minum obat. Sering kali terjadi, di bawah kolong tempat tidur ODGJ ditemukan obat-obat yang tidak terminum. Padahal obat itu krusial sekali bagi pengidap skizofrenia, seperti insulin pada penderita diabetes.

Ibu Dorang juga memberikan langkah-langkah praktis lainnya, sebagai berikut:
  • Menjadi pendengar yang baik.
  • Menghindari stres, dengan selalu mengekspresikan perasaan kita kepada orang yang tepat.
  • Menemui orang yang tepat dan mencari bantuan apabila merasa ada tanda-tanda "tidak beres".
  • Memahami karakteristik ODGJ.
  • Menghindari stigma, yang sepertinya berarti tidak memberikan label negatif terhadap gangguan tersebut ataupun penderitanya.
  • Memberikan dukungan dan memenuhi hak penderita secara terkendali.
Dari sudut pandang komunitas

Pembicara berikutnya punya panggilan akrab Teh Umi. Ia pegiat komunitas ISmile4You, yang salah satu misinya (CMIIW) adalah membawa senyum sebagai perubahan positif. Komunitas ini memiliki tim pendengar (listener), yang merupakan orang-orang pilihan. Tim tersebut punya prinsip hear to listen, not listen to answer. Yang saya tangkap, "listen" berarti "memvalidasi emosi". Misalkan, ada orang yang curhat sama kita. Memvalidasi emosi dia berarti kita mengatakan bahwa kita memahami perasaannya, "tapi" ... kita mesti dapat menyertakan saran yang konstruktif.

Apabila ada orang yang mengatakan hendak bunuh diri, kita juga perlu mengenali penyebabnya. Soalnya, bunuh diri itu bisa dikarenakan beberapa faktor, yaitu biologis (yang berarti hormon serotonin di otaknya sedang turun atau tidak ada), psikologis, atau sosial. Dengan mengenai penyebab tersebut, sepertinya kita bisa memikirkan cara penanganan yang tepat. Misal, apabila penyebabnya biologis, boleh jadi dia perlu diberi zat tertentu yang mengandung hormon serotonin dan oleh karena itu membawanya ke psikiater mungkin tindakan yang tepat. Apabila penyebabnya psikologis, psikolog mungkin dapat menjadi sarana yang pas. Apabila penyebabnya sosial, mungkin kita perlu membawa dia ke lingkungan lain yang positif.

Menurut Teh Umi, yang katanya bersumber dari WHO, hanya perlu 40 detik untuk mengalihkan emosi. Misalkan, ada orang yang bilang hendak bunuh diri kepada kita. Dalam 40 detik itu, apabila diberikan cara yang efektif, dia dapat berubah pikiran.

Tidak banyak yang saya catat pada segmen ini, di samping tidak ada slide. Setelah saya googling, tampaknya sudah ada cukup banyak informasi tentang komunitas ISmile4You ini apabila masih penasaran.

Sesi tanya jawab

Bagaimana cara menangani teman yang punya masalah mental sementara teman-teman lain sudah pada menyerah dengan dia?

Kalau mau menyelamatkan orang lain, kita mesti terlebih dahulu melihat keadaan diri sendiri. Jangan sampai kesehatan mental kita sendiri terancam. Kalau masalahnya serius, sebaiknya langsung saja mendatangi pihak yang profesional. Cuma psikiater yang dapat mendiagnosis apakah seseorang memang mengalami depresi.

Kampus tertentu seperti Universitas Padjajaran (Unpad) dan Politeknik Kesejahteraan Sosial menyediakan layanan konseling. Untuk Unpad yang berada di Jatinangor, layanannya khusus untuk mahasiswa dan tidak berbayar. Layanan dari Unpad yang berbayar tampaknya bisa diakses masyarakat umum, letaknya di Dago, dekat Hotel Jayakarta. Apabila memerlukan psikiater (berbayar), bisa mendatangi Grha Atma di Jalan Riau 11.

Apakah dibentak-bentak dalam masa orientasi siswa baru dapat memengaruhi kualitas mental?

Menurut Teh Umi, tidak ada penelitian bahwa bentakan dapat memberikan manfaat.

Adakah cara coping yang bukan dengan menghindari, melainkan menyelesaikan?

Ada berbagai cara untuk coping, dari mulai berkompromi sampai menarik diri. Bahkan memaafkan pun termasuk cara coping. Satu cara yang baik dicoba adalah assertive training, yang berarti meraih kemampuan untuk menyampaikan secara apa adanya namun proposional dan santun, tanpa merendahkan orang lain ataupun diri sendiri.

Simpulan dan kaitan dengan pengalaman pribadi

Kesehatan mental merupakan isu yang menarik buat saya pribadi. Sebelum isu tersebut ramai di media, saya sudah penasaran untuk mendatangi pihak yang profesional. Ketika saya benar-benar mengalami suatu masalah yang tidak dapat saya tanggung lagi sendiri, saya pun mencoba mencari informasi.

Singkat cerita, dalam kurun waktu tertentu, saya mendatangi dua tempat. Di satu tempat, saya menemui seorang psikolog sampai beberapa kali. Tempat yang lain yaitu Jalan Riau 11. Sewaktu saya masih kecil, lokasi yang kedua ini kerap menjadi bahan olokan anak-anak karena identik dengan "rumah sakit jiwa". Memang, kalau tidak salah, Grha Atma merupakan nama baru untuk menghaluskan stigma yang kurang enak itu.

Di Grha Atma, saya menemui psikiater beberapa kali dan psikolog satu kali. Terus terang, saya tidak meneruskan datang di samping karena keterbatasan biaya, juga karena meragukan efektivitasnya. Sebenarnya, biaya untuk psikiater dan obatnya cukup murah. Obat yang mahal paling-paling yang sejenis mood stabilizer, tapi dalam kunjungan berikutnya resep saya diganti sehingga tidak perlu membelinya lagi. Yang lebih mahal justru psikolognya, untuk terapi, tes, dan segala macam.

Meski begitu, pengalaman tersebut bukan berarti tidak berharga sama sekali. Sedikitnya, saya jadi mendapatkan gambaran akan cara kerja mereka. Saya juga mengamati dan menguping percakapan atau gerak-gerik pasien lain yang cukup "unik". Ada yang bicara sendiri, seolah-olah ada makhluk kecil di depannya. Ada yang sedikit-sedikit meledak sambil memaki-maki. Ada yang mengaku kembali mendengarkan suara-suara setelah lama tidak, dan ia menyebutnya sebagai "suara Tuhan".

Selain itu, obat-obatan yang diberikan psikiater agaknya memang memiliki efek tertentu yang walaupun tidak sesuai dengan harapan, namun secara tidak langsung memberikan hasil yang di luar dugaan. Bingung? Intinya kurang lebih, setelah sekitar dua bulan saya berhenti minum begitu saja, mengalami efek yang luar biasa, sehingga menimbulkan perubahan tertentu dalam hidup saya.

Setelah menceritakan pengalaman ini secara garis besar kepada teman-teman, tidak disangka, ada beberapa di antara mereka yang kemudian bertanya lebih lanjut. Tampaknya diam-diam mereka juga memiliki masalah dan penasaran ingin meminta penjelasan atau bantuan dari pihak lain. Saya hanya bisa memberitahukan tentang tempat-tempat yang pernah saya datangi, serta saran untuk mengunjungi psikolog terlebih dahulu alih-alih langsung ke psikiater. Kepada psikolog, barulah kita bisa menanyakan apakah masalah kita perlu sampai dikontrol oleh obat. Soalnya, kemungkinan psikiater pasti akan memberikan obat yang belum tentu cocok untuk kita. Saya sendiri sempat mengalami semacam efek samping sehingga memeriksakan diri lagi ke puskesmas dan diberikan obat lainnya.

Selain itu, mendatangi pihak yang profesional sudah pasti membutuhkan biaya. Kemungkinan masalah kita tidak akan terpecahkan hanya dengan sekali kunjungan. Boleh jadi mereka akan menganjurkan kunjungan berkelanjutan, yang berarti pengeluaran terus-terusan. Meski begitu, kalau ada rezeki, bisa saja kita coba datang barang sekali-dua kali sekadar untuk memupus penasaran. Hanya saja, persiapkanlah mental yang kuat kalau-kalau tanggapan dari mereka justru malah semakin menjatuhkan alih-alih mengangkat. Aneh, bukan? Kita mendatangi mereka karena merasa mental kita bermasalah, tapi untuk mendatangi mereka kita perlu mental yang kuat.

Nah, pengalaman pribadi saya tersebut adakalanya relevan dengan yang diungkit dalam talkshow ini. Misalnya, ketika Ibu Dorang mengungkapkan bahwa banyak pasien yang tidak berobat karena berasal dari keluarga berpenghasilan rendah. Pihak yang profesional pun tidak memiliki kesempatan untuk mengulik permasalahan kita sampai ke akarnya. Padahal, bisa jadi yang bermasalah itu bukan hanya si penderita, melainkan juga lingkungannya (dan di sinilah peran pekerja sosial).

Atas kenyataan itulah, penting untuk bisa menjaga kesehatan mental pribadi. Tapi, bukan berarti kita hanya mengurus diri sendiri. Secara langsung atau tidak langsung, boleh jadi kita sendiri berperan terhadap kesehatan mental orang lain. Mungkin saja, tanpa disadari, kita memiliki perilaku yang menjadi sumber tekanan batin bagi orang lain. Para pembicara talk show ini pun berpesan agar tidak meninggalkan mereka yang tidak mampu mengatasi masalahnya sendiri, sebab kitalah harapan mereka. Jadi, sepertinya kita perlu saling menjaga.

Senin, 03 Februari 2020

[#90anBanget] (Baru TV, Belum YouTube, Netflix, dan Seterusnya)

[Kontak Pembaca]

Rektor ITB dan RCTI


Sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), saya sangat kecewa melihat penampilan Rektor ITB dalam tayangan "iklan" pada televisi swasta, RCTI Bandung. Tayangan itu dalam sebuah wawancara. Tapi, karena cara penayangannya (sebuah potongan pendek yang ditayangkan dalam satu paket corporate image RCTI, dipilih pendapat rektor yang bernada positif, ditayangkan berulang-ulang), wawancara itu tak ubahnya seperti sebuah iklan.


Saya tak tahu apakah RCTI telah meminta izin lebih dulu kepada yang bersangkutan untuk penayangan itu. Bila belum, sangatlah tidak etis dilihat dari sisi hak dan kepentingan pribadi figur yang digunakan.

Selain masalah etika, saya juga menyayangkan pernyataan Rektor ITB bahwa RCTI sangat bermanfaat karena memberikan informasi untuk mahasiswa ITB. Itu merupakan pernyataan yang tidak kritis. Kita bisa mempertanyakan: Apa kriteria dari "manfaat"? Bagaimana kaitannya dalam konteks mahasiswa?

Sebagian besar acara RCTI lebih bersifat hiburan. Bahkan, nilai hiburannya itu sendiri masih bisa dipertanyakan: Berapa banyak yang bermutu?

Karena itu, saya sebagai seorang penonton dan mahasiswa ITB mengimbau pada Rektor ITB dan RCTI untuk tidak menayangkan kembali pesan itu.


ARIEF ADITYAWAN S.
Mahasiswa FSRD-ITB
Bandung

[Duniasiana]


Keracunan Siaran TV di Amerika

SEBUAH serial film kartun di layar kaca bikin sewot penduduk Amerika Serikat. Sebab, di Morraine, Negara Bagian Ohio, ada kejadian seorang anak berusia lima tahun membakar rumahnya, sampai menghanguskan adik perempuannya. Si bocah tenang saja mengaku bahwa apa yang dilakukanya disebabkan oleh menyimak tayangan film kartun itu. Seantero Amerika pun geger.

"Anak itu bilang, dia membakar rumah setelah menonton film kartun Beavis & Butt-head," kata Harold Sigler, kepala pemadam kebakaran di kota itu. Ucapan Sigler segera menghiasi hampir semua koran di AS. Sebab, film kartun yang ditayangkan MTV sejak tahun silam ini memang tengah jadi pembicaraan publik. Bahkan, majalah Newsweek edisi lokal mengangkatnya sebagai laporan utama pertengahan Oktober lampau.

Beavis dan Butt-head adalah nama dua remaja pelakon film kartun tersebut. Keduanya berperangai brutal. Suka memaki, membakar, dan gemar menganiaya hewan. Misalnya, mereka berandai-andai menaruh petasan di pantat kucing. "Apa yang bakal kejadian jika sumbunya disulut?" kata mereka.

Lima hari kemudian ternyata ada pemirsa yang keracunan obrolan tokoh kartun itu, yakni di Kota Santa Cruz, California, dan membinasakan seekor kucing yang tidak berdosa. Ini mengundang banyak protes. Yang paling serius datang dari Dick Zimmermann, manajer stasiun TV yang pensiun setelah menang lotre 10 juta dolar AS lima tahun silam.

"Yang membuat saya kesal, Beavis & Butt-head mempromosikan perbuatan kriminal, dan saya khawatir dampaknya bagi anak-anak," ujarnya kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Ia mengaku membuka nomor telepon khusus untuk melakukan kampanye antiserial kartun yang satu ini sejak tiga bulan lalu. "Sejak itu kami telah menerima 6.000 keluhan dari orang tua di seluruh dunia," tuturnya.

Sementara itu, pihak MTV menyatakan tak bertanggung jawab atas kejadian nahas tadi. "Film kartun itu dirancang untuk remaja dan pemuda yang jadi pemirsa utama kami," kata Carole Robinson, Senior Vice President MTV. Ia menyesalkan tragedi di Morainne itu dan berjanji menghapuskan adegan yang menyebut-nyebut soal api.

Ini jelas suatu kemenangan bagi Zimmermann. "Tapi jangan keliru, saya tetap mendukung amandemen pertama konstitusi, jadi tidak ingin adanya sensor," katanya. Yang diinginkannya ialah kesadaran pemirsa akan bahaya film ini buat anak-anak. "Sebab, penayangannya tiap pukul tujuh malam, selain pukul 11 malam dan pukul dua pagi," katanya.

Dan begitu tahu bahwa siaran MTV kadang-kadang ditayangkan pula di Indonesia, Zimmermann menggeleng-geleng. "Saya prihatin mendengarnya," katanya.

Sepersepuluh Warga Dunia Sakit Jiwa

AKIBAT pengaruh film serial TV atau lantaran musabab lain, sedikitnya 500 juta orang kini dilanda penyakit jiwa di seantero dunia. Laporan WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB) dari markas besarnya di Jenewa, Swiss, itu menjelaskan rinciannya sebagai berikut.

Sekitar 155 juta jiwa mengidap neurosis. Gejalanya termasuk berupa kecemasan yang tidak berkeruncingan dan selalu dalam perasaan tertekan. Sekitar 120 juta jiwa dirundung keterbelakangan mental. Seperti disiarkan koran The Philippine Star, yang mengutip Associated Press, awal Oktober lampau, lebih jauh disebutkan bahwa sedikitnya 50 juta penduduk dunia dilanda sakit jiwa dahsyat, termasuk skizofrenia alias gila berat. Sementara itu, 100 juta lainnya dihadang aneka problem emosional.

Ini memang gawat. Jika hitungan penduduk dunia kini sekitar 5 miliar jiwa, berarti sedikitnya satu dari sepuluh orang di sekitar kita tidak beres kondisinya. Jadi, jangan heran kalau di bawah kolong langit ini keadaannya rusuh melulu. 

Ed Zoelverdi




Sumber: Tempo, Nomor 35 Tahun XXIII - 30 Oktober 1993