Selasa, 28 Januari 2020

Sehari bagi Bumi: (Sesi 3) Sekelumit Antroposofi dan (Sesi Tambahan) Lebih Lanjut Soal Eco Enzyme

SESI 3

Pada sesi ini, Dr. Joean kembali menjadi pembicara. Beliau memulai ceritanya dari tahun 2010. Pada waktu itu, Dr. Joean sedang berada di titik balik lainnya: sebagai seorang dokter, beliau tidak bisa menyembuhkan pasiennya. Beliau dilatih hanya untuk memberi pasien obat, yang padahal hanya menghentikan gejala.

Dalam keadaan itu, seorang teman menyarankan beliau agar mengikuti acara Anthroposophy Medical Training di Taiwan. Beliau pun mendapatkan pencerahan, tapi merasa tidak puas.

Singkat cerita, beliau mendapatkan tawaran untuk mengadakan acara serupa bagi masyarakat umum di Malaysia bersama Ibu Callie. Tapi, syaratnya, mereka harus bisa mengumpulkan 1.000 orang peserta. Diceritakanlah bagaimana mereka pontang-panting mencari dana hingga mengumpulkan seluruh peserta. Hampir saja Dr. Joean hendak menjual rumah satu-satunya. Bak keajaiban, acara bertajuk Kolisko Conference itu pun terwujud sebagaimana dikehendaki. Malah, mereka mendapatkan surplus dana yang kemudian digunakan untuk mengongkosi peserta dari tempat jauh. 

Baru kali ini saya mendengar istilah "antroposofi" dan "Kolisko", yang rupanya berhubungan. Sesi ini tidak menjelaskan secara terperinci mengenai asal-usul ataupun hubungan keduanya, tapi hanya memberikan gambaran kasar seputar subjek tersebut.

Misalnya saja, tentang sakit. Orang yang sakit tidak hanya perlu mengubah pola hidup atau berdiet, tapi juga pikirannya. Sakit itu ada bukan untuk membuat kita menderita, melainkan supaya kita berubah karena ada yang tidak seimbang dalam hidup kita. "You are sick first then have cancer, not you have cancer then sick," begitu kata Dr. Joean.

Antroposofi juga mengajarkan cara-cara untuk merawat diri sendiri. Misalkan, ketika anak demam, biasanya akan diberi parasetamol. Dalam antroposofi, keadaan atau lingkungan di sekitarnyalah yang mesti diubah agar anak dapat menurunkan sendiri demamnya.

Cara alami juga digunakan. Misalnya, batuk dapat diatasi dengan kompres kentang. Caranya: kukus dua buah kentang, bungkus dalam kain, hancurkan, kemudian taruh di dada sekitar 15 menit.

Dr. Joean lalu menjelaskan bahwa hidup ini tidaklah berbentuk garis lurus, tapi sebuah kurva. Yang terjadi pada seseorang dalam usia 0-7 tahun akan memengaruhinya dalam usia 60-70 tahun; 7-14 tahun pada usia 50-60 tahun; 14-21 tahun pada usia 40-50 tahun.

Sebagai contoh, usia 0-7 tahun merupakan waktu berkembangnya saraf dan indra (penglihatan, pendengaran, pengecapan). Apabila tidak berkembang dengan baik, pada masa tua akan terjadi masalah-masalah yang berhubungan dengan fungsi tersebut. Misalkan, kalau masalahnya pada saraf, maka saat tua akan mengalami demensia, Parkinson, dan sebagainya. Pada usia 0-7 tahun ini pula anak mesti belajar untuk mengikuti instruksi.

Adapun usia 7-14 tahun merupakan masa berkembangnya sistem pernapasan, peredaran darah, dan sebagainya, sehingga diperlukan banyak aktivitas luaruang. Pada masa ini anak harus dapat memilih, meskipun keputusannya ditentukan oleh orang tua.

Pada usia 14-21 tahun giliran tungkai (tangan, kaki), metabolisme, pencernaan, dan reproduksi (pubertas) yang berkembang. Pada masa ini, anak harus dapat membuat keputusan sendiri.

Apabila pada tahun-tahun perkembangan tersebut seseorang mendapatkan pendidikan yang baik, usia 22-40 tahun akan menjadi masa puncak baginya ketika matahari sedang terang-terangnya. Ia akan dapat menghadapi tantangan apa pun dan pantang menyerah. Pada masa ini pula ia telah dewasa dan bertanggung jawab. Memang tugas utama orang tua adalah melatih anak agar bertanggung jawab atas pilihan sendiri. Anak mesti dibiarkan menjadi diri mereka sendiri.

Terus terang, bagian tentang kurva perkembangan ini cukup menohok, seperti mencetuskan agar merenungi proses perkembangan diri sendiri. Art therapy sepertinya solusi yang menarik untuk dipelajari dan dipraktikkan. Dalam foto-foto tentang Kolisko Conference yang telah diadakan di Malaysia ditunjukkan tentang cara ini, berupa praktik menggambar di tempat terbuka. Art therapy digunakan khususnya bagi pasien psikosomatik agar dapat mengenali dan menemukan dirinya yang sejati.

Ada beberapa pernyataan lain yang saya catat.
Kebebasan adalah tidak memiliki rasa takut, berani mencoba, tahu yang kita lakukan, dan dalam perjalanan itu, kita belajar untuk memerdekakan diri. 
Pendidikan mainstream membuat orang jadi spesialis.
Selebihnya, tidak banyak yang bisa saya catat. Bisa dibilang, sesi ini sekadar memberikan sugesti untuk menelusuri sendiri tentang antroposofi, Kolisko, dan seterusnya.

***

Demikianlah satu hari yang sangat membuka mata sekaligus cukup melelahkan, haha! Seperti biasanya, acara ditutup dengan pemberian kenang-kenangan. Bersama Dr. Joean dan Ibu Callie Tai, ada juga dua wanita lainnya yang telah berjuang bersama-sama mereka.

Kenang-kenangan untuk Dr. Joean (kiri) dan Ibu Callie Tai (kanan). 
Foto oleh @aktivasi_anis.

Selanjutnya ada acara bincang santai bersama para pembicara. Tapi saat itu sudah selewat magrib, sehingga tentu saja kami hendak langsung pulang, tidak mengikuti acara tersebut.

Suasana di sekitar lokasi sebelum pulang. 
Malam Minggu, banyak anak muda berkumpul.
Foto oleh @aktivasi_anis.

Seusai acara, atas permintaan para peserta, grup di WhatsApp tidak jadi dibubarkan. Grup ini lalu menjadi ajang berbagi soal teori dan praktik pembuatan eco enzyme. Malah, kadang-kadang pembicaraan melebar ke berbagai hal yang tapinya masih berhubungan dengan usaha menjaga bumi, misalnya saja cara membuat sabun sendiri.

Berikut beberapa pengetahuan tambahan yang saya dapatkan dari grup ini:


Di samping itu, semua anggota dijadikan admin supaya bisa mengundang siapa saja untuk bergabung dan menimba pengetahuan. Kalau begitu, bolehlah saya bagikan tautan untuk masuk ke grup kalau-kalau ada pembaca seri tulisan ini yang tertarik: https://chat.whatsapp.com/HTPTRPT4gjK315AzvxCghS. Hanya saja, sampai waktu saya menulis ini, grup ini masih sangat aktif. Jadi, siap-siap saja kebanjiran notifikasi dari grup ini yang bisa sampai ratusan pesan baru dalam sehari!

Senin, 27 Januari 2020

Sehari bagi Bumi: (Sesi 2) Lika-liku Bisnis Organik Justlife, Malaysia

Sebelumnya, lewat grup WhatsApp, panitia telah mengimbau agar peserta membawa alat makan dan minum sendiri, serta sebotol plastik bekas minimal ukuran 250 ml karena akan dibagikan eco enzyme. Peserta bisa ikut berbagi makanan yang berupa menu vegan/vegetarian agar selaras dengan tema acara, tapi tidak wajib. Peserta bisa pula membeli makanan dari restoran tempat acara. Air minum untuk isi ulang disediakan.  

Aneka nyamikan dijamin sehat.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Di sela Sesi 1, terdapat break. Para peserta dipersilakan untuk mengambil nyamikan yang telah ditempatkan pada meja-meja. Jenis-jenis nyamikan mengusung semangat organik dan vegetarian. Saya hanya mencoba sedikit, di antaranya sepotong brownies, sepotong tempe mendoan yang saya bumbui kimchi, serta sepotong tempe mentah-- Yep, tempe mentah organik! Bahkan, peserta yang beruntung dapat memperoleh sebungkus tempe mentah yang diproduksi oleh seseorang bernama Pak Agus, ukurannya kira-kira sebesar tablet yang biasa saya pakai untuk baca buku digital.

Tempe Pak Agus
boleh dibawa pulang
untuk oleh-oleh.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Seusai Sesi 1, di meja yang sama telah terhidang aneka masakan untuk makan siang. Tentu saja semangatnya masih sama! Kalau-kalau ada peserta yang tidak membawa wadah makan sendiri, panitia menyediakan piring--yang tahu-tahu saja sudah habis. Tampaknya mereka menyediakan gelas juga. 

Adakalanya di rumah saya cuma makan yang semacam sop, tahu, dan tempe--maksudnya, tanpa daging--yang secara tidak semena-mena mungkin bisa dianggap sebagai menu vegetarian. Tapi menu makan siang kali ini terasa beda, entah kenapa. Mungkin, karena ada "label" dari acaranya itu. Menyegarkan, mengenyangkan, dan perkedel jagungnya ENAK BANGET. Kami makan sambil menikmati panorama Dago Atas yang sesekali beraroma tahi kuda. 

Segala yang tampak menarik dicampur!
Tahu-tahu, terdengar ada nyanyian pelan dari ruangan acara, oleh beberapa perempuan. Entah kenapa, saya berpikir bahwa itu semacam "bel", panggilan agar peserta kembali ke dalam sebab sesi selanjutnya hendak dimulai. 

Begitu masuk ke ruangan, barulah kami mengetahui bahwa selagi kami menyantap makan siang sembari mengobrol ke sana kemari tadi, rupanya tengah dibagikan eco enzyme dari Rumah Alam Bahagia. Kami tidak kebagian deh, huhuhu. Melihat punya orang, cairannya berwarna cokelat gelap seperti jamu. 

Sebelum Sesi 2 dimulai, tampil Ibu Manda dari SD Arunika Waldorf. Beliau menjelaskan tentang asal mula berdirinya sekolah Waldorf di Bandung. Lokasinya tidak jauh dari tempat acara ini. Diawali dengan training yang diperolehnya di luar negeri, beliau berinisiatif untuk merintis sekolah tersebut karena belum ada di Bandung. Sementara ini, bangunannya baru ada satu, yang terbuat dari bambu. Bahannya pun diperoleh dari kebun ibunya, dan dibuat oleh pamannya. Kelasnya pun baru ada kelas 1. 

Meski kompromi atau jalan tengah tidak terhindarkan, Waldorf merupakan sekolah bebas tekanan, entahkah dari pemerintah, ekonomi, ataupun orang tua. Sekolah ini merupakan sumbangan semua orang, tidak ada yayasan. Peserta dapat berkontribusi dengan menyumbangkan donasi. 

Memang di pojok belakang ruangan terdapat meja informasi tentang sekolah ini. Tiap kali saya melewatinya, meja itu tampak penuh. Sayang sekali saya tidak sempat bertanya-tanya.

SESI 2

Sesi kali ini diberikan oleh Callie Tai. Beliau seorang pelaku bisnis organik di Malaysia, khususnya berupa toko yang menjual produk-produk organik: Justlife. Sepertinya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bisnis organik itu tantangannya lebih berat. Tapi, beliau menyambung dengan materi pada sesi sebelumnya, pelaku gaya hidup organik itu seperti eco enzyme: cuma diperlukan satu tutup botol saja untuk memengaruhi banyak air.

Sesi dibuka dengan menerima pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan pertama tentang keadaan bisnis organik di Malaysia, yang dijawab dengan informasi bahwa ada sedikitnya 300-an toko organik di seluruh Malaysia. Selain itu, di banyak supermarket sudah ada bagian yang khusus menyediakan produk-produk organik. Pertanyaan kedua soal target pasar, yang akan dijawab nanti.

Beliau lalu menceritakan tentang riwayat bisnisnya, jatuh bangunnya selama 21 tahun. Sebenarnya beliau sudah merintis bisnis organik sejak 1999. Pada awalnya, ia menggunakan nama Organic Life Shop dengan toko seluas 600 meter persegi. Tapi, karena kata "organic" memiliki konotasi tertentu yang tampaknya kurang menarik orang (karena yang "organik" itu cenderung mahal?), maka pada 2001 namanya berganti menjadi Justlife. 

Nama "Justlife" dipilih karena maksudnya berarti, "Just as life should be," atau, "Beginilah hidup seharusnya," "Just" juga dapat berarti "justice", yang mungkin maksudnya adalah keadilan bagi semua makhluk. (Mohon maaf, catatan saya kurang lengkap, hahaha.) 

Gambar dari Facebook Justlife Shop.
Logo Justlife berupa sehelai daun dengan sedikit bekas gigitan serta latar berwarna oranye. Daun menunjukkan bahwa produk-produk yang dijual berbahan nabati. Sedikit bekas gigitan menunjukkan sikap berbagi terhadap makhluk lain. Adapun warna oranye memiliki dampak psikologis untuk membangkitkan semangat, yang bisa berupa keberanian, nafsu makan, dan sebagainya. 

Bisnis ini dijalankan oleh Ibu Callie bersama keluarganya. Mereka berasal dari jurusan kuliah yang berbeda-beda, punya profesi yang berlainan, tapi lalu bersatu dengan peran masing-masing: IT, accountant, marketing, graphic designer, lawyer, HR, bahkan kedua orang tua mereka pun mendukung dan terlibat sebagai advisor dan financier

Ibu Callie menceritakan tentang almarhum ayahnya, yang merupakan sosok tipikal ayah Asia: jarang bicara, tapi sekalinya bicara mengandung kebijaksanaan. Ayahnya mengatakan bahwa apabila bisnis tidak memberikan untung, yang salah bukan pekerjanya melainkan bosnya. Atas masukan ayahnya pula, Ibu Callie sudah memberikan bonus kepada karyawannya sejak awal padahal baru sepuluh tahun kemudian bisnisnya dapat menghasilkan keuntungan.

Pada 2005, mereka membuka franchise serta cabang di mal agar lebih terlihat. Namun rupanya, seperti sekolah Waldorf, semangat organik itu tidak bisa dijadikan franchise sehingga usaha ini tidak dilanjutkan. 

Mereka sempat membuat kafe pada 2016, tapi tutup pada 2019. Alasannya, tampaknya mereka tidak begitu pandai menyajikan masakan.

Mereka juga mengembangkan pertanian biodinamis. Pada 2016 mereka mulai memiliki kebun sendiri, dan pada 2018 membeli sawah. 

Pada 2020 ini mereka baru membuka enam toko kecil yang lebih menyesuaikan dengan semangat organik.

Tantangan dan pembelajaran yang dihadapi selama perjalanan bisnis organik ini mencakup beberapa hal berikut:
  1. Uang. Mereka pernah mengalami kebakaran gudang. Untunglah banyak pemasok yang berbaik hati, meringankan pembayaran. Tapi, dari situ, Ibu Callie belajar bahwa bisnisnya harus benar-benar menghasilkan uang. 
  2. Aturan pemerintah, sepertinya karena belum mencakup perkembangan produk organik.
  3. Orang, yang meliputi pekerja (team), pemasok (suppliers), dan pelanggan (costumers). Pekerja mestilah orang yang tepat, dan pemilik bisnis juga mesti terus membangkitkan semangat mereka dengan program-program bekerlanjutan. Dalam berhubungan dengan pemasok pun, perlu ada niat dan kepribadian yang baik. Terhadap pelanggan, tentu saja kita mesti dapat menyediakan kebutuan mereka. 
  4. Produk. Kembangkanlah produk lokal. Ini sulit di Malaysia, tapi banyak potensi di Indonesia.
Dari tantangan dan pembelajaran di atas, Ibu Callie menarik tiga hal paling penting dalam bisnis organik, yaitu:
  1. Planet. Sudah jelas bisnis mesti ramah lingkungan, dan dapat menciptakan masyarakat yang baik bagi bumi.
  2. People, sebagaimana sudah diterangkan di atas.
  3. Profit. Bisnis harus menghasilkan uang, dan memberikan keuntungan!
Ketiga hal ini tidak bisa dicapai semuanya sekaligus, sehingga perlu ditentukan prioritas menurut keadaan.

Selanjutnya, Ibu Callie menunjukkan bagaimana mereka mendekorasi toko menggunakan barang-barang bekas. Beliau memberi tahu adiknya, yang bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!"

Beliau juga menyampaikan secara lebih terperinci bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang berhubungan dengan mereka, mulai dari pekerja, pemasok, hingga pelanggan.

Mereka melakukan berbagai cara agar pekerja betah, di antaranya:
  1. Menyediakan masakan rumahan organik di kantor dan toko agar pekerja terbiasa dengan masakan sehat tersebut.
  2. Memberikan potongan apabila pekerja membeli produk dari toko.
  3. Memberikan pelatihan, misalnya dengan membawa pekerja mengunjungi langsung para petani yang menghasilkan bahan baku produk mereka.
  4. Memberikan subsidi apabila pekerja memasukkan anaknya ke sekolah Waldorf.
  5. Dan sebagainya yang tidak sempat saya catat semua, haha. 
Terhadap pemasok, mereka memerhatikan setiap tahap produksi secara selektif, mulai dari jenis tanaman yang digunakan, pembibitannya, sampai cara menanam, memanen, dan seterusnya. Mereka hendak menerapkan pertanian biodinamis, yang kurang lebih berarti kembali pada ilmu pengetahuan tradisional dalam bercocok tanam. Ibu Manda dari SD Arunika Waldorf, yang notabene menjadi juru bahasa dalam sesi ini, menambahkan bahwa di Indonesia khususnya kebudayaan Jawa dan Sunda, metode tersebut menggunakan kalender pranata mangsa.

Di samping itu, mereka memiliki prinsip, "Pay farmers first." Ibu Callie menyatakan kutipan (yang mohon maaf saya khilfaf menyertakan sumbernya dalam catatan saya), "Our farmers, whom we trust beyond certification."

Terhadap pelanggan, mereka melakukan berbagai cara untuk mempromosikan gaya hidup ramah lingkungan, misalnya dengan mempublikasikan majalah (yang sekarang tidak lagi karena sudah serbainternet), kampanye, workshop, karnaval, dan sebagainya. "Every dollar you spend is a vote for how you want the world to be," kata Ibu Callie. Beliau mengatakan bahwa banyak di antara pembeli mereka justru berasal dari kalangan menengah ke bawah. Sampai di sini, pertanyaan yang saya pendam-pendam sejak beberapa saat sebelumnya seperti terbungkam.

Sebelumnya, saya memikirkan perkataan Ibu Callie, "Money is also a resource. If you use a lot of money to be green, it's not green!" Soalnya, banyak produk yang berlabel organik atau hijau itu harganya di atas rata-rata. Setidaknya begitulah hasil pengamatan saya ketika suatu kali melihat-lihat di sebuah toko yang menjual produk-produk tersebut. Dengan begitu saya berpikir bahwa gaya hidup ini hanya terjangkau oleh kelas menengah atas. Kalangan berduit pas-pasan sepertinya masih akan lebih memilih untuk membeli produk-produk berlabel kuning di ****mart atau apalah yang ada di warung terdekat, biarpun nonorganik dan kemungkinan mengandung zat kimia berisiko. Nah, kalau bisnis organik bagaimanapun juga harus menghasilkan profit, bagaimanakah supaya harga produknya dapat ditekan seekonomis mungkin sehingga terjangkau oleh lebih banyak orang? Saya geregetan sekali ingin mengajukan pertanyaan ini. Sementara itu, saya juga memikirkan: seandainya ada semakin banyak pembeli produk-produk ini dari kalangan yang mampu, kemungkinan harganya bisa turun sehingga terjangkau oleh kalangan di bawahnya. Contohnya seperti ponsel yang sampai belasan tahun lalu hanya mampu dimiliki segelintir orang berkecukupan, tapi kini siapa pun dapat mengantonginya bahkan sampai lebih dari satu!

Ibu Callie menutup sesinya dengan menyebutkan beberapa faktor kunci keberhasilan:
  1. Passion. Meyakini kepercayaan diri, selama itu baik bagi bumi dan masyarakat.
  2. Menolong orang lain agar sukses, entahkah itu petani, produsen, sampai pengecer. Menurut Ibu Callie, membantu diri sendiri lebih bikin stres daripada membantu orang lain. Or, can I say, like, help yourself by help others or help others to help yourself, maybe?
  3. Grow organically. Tumbuhlah secara organik, tapi harus senang dalam melakukannya. Sebab, "Having fun is a serious business."
Satu lagi, kemungkinan untuk mengembangkan bisnis organik tidaklah berbatas. Segalanya bisa dibikin organik. Dan, tidak ada kompetisi di antara pebisnis organik. Sesama pebisnis organik dipandang sebagai mitra. Kalaupun hendak menjadi konsumen saja, kita tetap bisa melakukan usaha. Misalnya, Ibu Callie mengusulkan, ketika hendak makan di suatu restoran, tanyakanlah apakah ada menu organik. Walaupun kita tahu mereka tidak menyediakannya, tapi apabila kita datang ke situ berkali-kali dan menanyakannya terus, kemungkinan pramusaji akan menyampaikannya kepada si bos yang kemungkinan akan melihatnya sebagai peluang sehingga mengadakan bisnis tersebut.

Pak Agus, pengusaha tempe organik.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Ibu Callie lalu memanggil Pak Agus, sang pengusaha tempe organik. Pak Agus memulai bisnis organiknya pada usia di atas usia Ibu Callie ketika baru memulai, seolah-olah hendak menunjukkan bahwa tidak ada kata terlambat. Pak Agus membenarkan perkataan Ibu Callie bahwa tidak ada persaingan dalam bisnis organik. Pak Agus memberikan ilmunya secara cuma-cuma, dan dengan begitu rezekinya malah bertambah-tambah. Pak Agus sempat menanyakan kepada hadirin soal kebalikan dari "organik". Ada yang menjawab, "Nonorganik." Bisa begitu. Tapi, jawaban Pak Agus, kebalikan dari "organik" adalah "ego" yang mewujud dalam sifat "tamak": ingin memproduksi sebanyak-banyaknya, sehingga semakin besar keuntungan yang didapat. Dari situ, kita bisa kembangkan sendiri maksudnya.



(Karena tulisan ini sudah sangat panjang, Sesi 3 saya lanjutkan pada entri berikutnya.)

Minggu, 26 Januari 2020

Sehari bagi Bumi: (Sesi 1) Serba-serbi Eco Enzyme Bersama Dr. Joean Oon

Pada 18 Januari 2020, saya berkesempatan mengikuti acara bertajuk "For Earthsake: Achieving Individual Health and Social Well-Being" di Ruang Limasan Wisma Joglo Hotel, Bandung.

Acara ini terdiri dari tiga sesi:
Sesi 1. For Earthshake: Eco Enzyme for household cleaning, environment, and farming (with Eco Enzyme Making Demo)
Sesi 2. Developing Organic Business
Sesi 3. Achieve individual health & social well-being: IPMT, Kolisko, & Anthroposophy Initiatives in Malaysia

Sesi 1 dan 3 dibawakan oleh Dr. Joean Oon, seorang dokter naturopati dan aktivis eco enzyme, sedangkan Sesi 2 oleh Callie Tai, pendiri toko organik Justlife di Malaysia.

Ketika hendak mendaftar, rupanya kuota untuk Sesi 1 dan Sesi 2 sudah penuh sehingga kami hanya bisa mengikuti Sesi 3. Sehari sebelum acara, para pendaftar dimasukkan ke grup WhatsApp. Kemudian muncul pemberitahuan bahwa yang tidak kebagian tempat di sesi lain bisa saja datang hanya saja kemungkinan kursi sudah penuh sehingga mesti berdiri. Di samping itu, satu per satu, beberapa peserta mengundurkan diri karena mendadak berhalangan hadir. Saya pun optimistis menyambut tawaran teman saya--yang sepertinya begitu bersemangat--untuk datang sedari Sesi 1. Benar saja: tidak hanya pada Sesi 3, kami juga kebagian kursi pada kedua sesi sebelumnya.

Suasana ketika kami baru tiba.
Foto oleh @aktivasi_anis.
Sabtu pagi itu, kami tiba agak telat. Di depan sudah ada seorang ibu berjilbab yang sedang memberikan pengantar tentang penyembuhan holistik atau semacam itu. Katakanlah, untuk menyembuhkan kanker secara alami tidak hanya dengan menggunakan green juice, tapi penderita juga perlu meminta maaf dan memaafkan. Disebutkan pula kata-kata kunci yang akan kerap muncul dalam sesi-sesi ke depan, yaitu pendidikan Waldorf dan antroposofi.

Nantinya, kedua pembicara menyampaikan materi dalam bahasa Inggris didampingi juru bahasa. Caranya, mereka mengucapkan satu sampai beberapa kalimat dalam bahasa Inggris, lalu menunggu juru bahasa menyampaikannya ulang dalam bahasa Indonesia, sebelum melanjutkan. Bahasa Inggris yang digunakan cukup sederhana. Meski begitu, peran juru bahasa sangat berguna. Pengulangan dalam bahasa ibu membuat informasi jadi lebih menempel.

Saya menduga kedua pembicara sudah berusia paruh baya, tapi kelihatan segar dan awet muda. Selain itu, mereka mengenakan baju terusan berpotongan sederhana yang berwarna polos tanpa corak. Hm, mungkinkah ini ada hubungannya dengan semangat organik? 

SESI 1

Dr. Joean membuka dengan cerita tentang asal mula beliau menemukan eco enzyme. Dimulai pada 2001, ketika suaminya menderita kanker hati stadium akhir dan mereka sudah kehabisan uang untuk merawatnya. Dr. Joean memutuskan untuk merawat sendiri suaminya. Beliau pun mencari berbagai cara yang terjangkau. Setelah tiga bulan, ada kemajuan. Suaminya bisa kembali beraktivitas. Caranya: 1) Menjadi vegetarian; 2) Berbahagia, bahkan untuk menyambut kematian. Suaminya pun dapat terus hidup. Dari situ, timbul pemikiran Dr. Joean untuk mencari cara yang mudah dan murah dalam menyembuhkan orang miskin yang sakit. Dalam pencariannya itu, beliau bertemu dengan Dr. Rosukon dari Thailand.

Di tempat Dr. Rosukon, Dr Joean melihat ada peta dunia yang diberi pin-pin berwarna merah. Salah satunya menandai negara Dr Joean, Malaysia. Dr. Rosukon menerangkan bahwa pin merah itu menandakan negara-negara yang akan tenggelam akibat pemanasan global. Dr. Joean pun menyadari bahwa tidak hanya kesehatan diri sendiri yang perlu dijaga, tapi juga bumi.

Dr. Joean pun menjelaskan tentang pemanasan global dan efek rumah kaca, disertai dengan foto dan animasi yang bikin bergidik ngeri. Beberapa foto menampakkan para korban tsunami di Bangladesh yang sudah membusuk. Adapun salah satu animasi menunjukkan berkurangnya es di Kutub Utara dari waktu ke waktu. Menurut Dr. Joean, persoalan lingkungan tersebut dapat diatasi dengan membuat eco enzyme.

Kalau pernah googling tentang eco enzyme, nama Dr. Rosukon otomatis terkait, yaitu sebagai penemunya.

Bagaimana eco enzyme dapat mengatasi pemanasan global? Penjelasan yang sederhana kurang lebih begini: Salah satu cara mengatasi pemanasan global adalah dengan mengurangi sampah. Eco enzyme merupakan salah satu cara untuk mengurangi sampah tipe organik, khususnya buah, sayur, dan semacamnya yang tidak ikut dimakan/dimasak. Kalau dibiarkan, sampah tipe ini dapat mengeluarkan gas metana yang merupakan salah satu gas penyebab efek rumah kaca Dengan membuat eco enzyme, gas metana dapat dikurangi. Di samping itu, katanya 1 kilogram sampah itu sama dengan 2,06 kilogram emisi karbon!

Eco enzyme memiliki banyak kegunaan. Cairan ini dapat mengatasi pencemaran baik di air maupun udara. Sebagai contoh, Dr. Joean menampilkan foto-foto segerombolan orang yang sedang beramai-ramai menuangkan botol berisikan cairan ini ke danau, kolam, atau sungai. Dalam beberapa waktu, tampaklah perubahan. Air mulai jernih. Busa menghilang. Cairan ini juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Kalau dipakai untuk mencuci dan merendam buah dan sayuran, pestisida akan berkurang drastis di samping rasanya menjadi lebih enak. Kalau dipakai untuk merendam pakaian dalam waktu lama sampai berhari-hari, airnya tidak akan berbau seperti yang terjadi bila menggunakan deterjen biasa. Kalau dipakai untuk mengepel, hama seperti serangga dan tikus akan menyingkir. Air bekas pel dapat digunakan ulang untuk toilet, dan hasilnya pun lebih bersih serta tidak berbau. Belum lagi untuk mengatasi kaporit, membersihkan minyak, mandi, keramas, dan sebagainya. Cairan ini bahkan bisa digunakan untuk mengobati luka parah, seperti tergores kaca, bedsore, terbakar, dan tersetrum. Apalagi untuk penggunaan ringan seperti obat kumur-kumur, jerawat, infeksi kulit, serta perendam kaki.

Saking banyaknya, sampai-sampai timbul pendapat bahwa it's a magic, miracle!

Meski begitu, penting untuk diperhatikan: ECO ENZYME BUKAN UNTUK DIMINUM.

Memang pembuatan dan pemakaian eco enzyme cukup tricky. Untuk setiap keperluan, ada takaran yang harus ditaati supaya hasilnya efektif. Kalau tidak, bisa-bisa hasilnya bau atau lengket. Misalnya saja, untuk menghilangkan minyak serta mencuci piring/pakaian, rasio yang digunakan adalah eco enzyme : sabun : air = 1 : 1 : 5-10. Untuk batuk atau obat kumur-kumur, 1 tutup botol eco enzyme : 1 gelas. Untuk penyemprotan media tanaman 1 : 1000, sedangkan untuk penyiraman 1 : 500. Tidak usah dianggap ribet lah, ya!

Kalau berhasil membuat eco enzyme, tentu menyenangkan bila kita bisa membereskan berbagai macam urusan dengan satu jenis cairan saja. Apalagi untuk pemakaian apa pun, cairan yang diperlukan sedikit saja untuk diencerkan dengan air. Dalam bentuk konsentrat malah tidak efektif! Bahannya pun bisa kita peroleh secara cuma-cuma, entahkah dari sampah sendiri maupun yang ditinggalkan begitu saja di pasar: di samping baik untuk lingkungan, baik juga untuk "kocek"! Di samping itu, eco enzyme tidak mengenal kedaluwarsa. Justru, semakin lama disimpan, kualitasnya semakin baik.

Dr. Joean sangat meyakini kebaikan eco enzyme sampai-sampai beliau telah menyebarluaskannya ke berbagai negara tanpa meminta bayaran. Meski begitu, pada awalnya, beliau tidak bisa menunjukkan bukti-bukti ilmiah sehingga tidak bisa meyakinkan pihak yang berkepentingan, sebutlah pemerintah. Baru belakangan Dr. Joan dapat menampilkan bukti berupa hasil-hasil penelitian terhadap eco enzyme.

Yang menarik, katanya satu tong eco enzyme sama dengan sepuluh pohon dan dapat menghalangi sinyal wi fi. Rupanya wi fi memancarkan radiasi yang tidak baik. Misalnya saja, wi fi yang menyala dapat mengurangi kualitas tidur sehingga akibatnya bangun dalam keadaan capek alih-alih segar. So, wi fi is actually bad! Runtuhkan peradaban!

Untuk menunjukkan bahwa cairan ini perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, dilakukan demonstrasi fluoresen. Dituangkan bubuk deterjen dari merek yang bisa saya pakai (#ehem!) ke sebaskom air. Lalu disorotkan senter khusus fluoresen. Tampak air tersebut berpendar biru. Jejak tersebut juga ada pada pakaian kita yang dicuci menggunakan deterjen semacam itu. Padahal fluoresen dapat mengancam nyawa bila meresap ke kulit. Malah, sebaiknya pelembut, pemutih, yang semacam itu, tidak usah digunakan. Supaya harga lebih ekonomis, produsen barang kebutuhan sehari-hari menggunakan bahan kimia yang boleh jadi berbahaya. Waduh! Sebagai pemburu label kuning di ****mart yang notabene penadah produk-produk tidak-habis-pakai-sayang-kalau-dibuang, saya merasa terguncang.

Terakhir, Dr. Joean menunjukkan cara membuat eco enzyme. Pada dasarnya, kita hanya membutuhkan gula merah (black sugar), sampah organik mentah (fermentasi akan terhambat bila mengandung garam dan minyak), serta air dengan perbandingan 1:3:10. Semuanya dicampur dan didiamkan selama tiga bulan. Labeli wadah yang menandakan tanggal pembuatannya, supaya tidak lupa. Kemungkinan akan muncul ulat, yang sebetulnya tidak apa-apa karena dapat menjadi ekstra protein. Kalau tidak suka ulat, tambahkan satu rasio gula. Kalau tidak mau tambah gula, wadah mesti benar-benar tertutup rapat. Buka penutupnya sesekali untuk mengeluarkan gas.

Jamur yang membentuk lapisan atas merupakan pitera seperti yang terkandung dalam produk kecantikan yang terkenal itu, lo. Lapisan ini bisa dioleskan pada kulit supaya lembut. Tapi, yang berkulit tipis atau sensitif mesti berhati-hati supaya tidak terjadi iritasi: setelah pakai, langsung bilas. Bagi yang berkulit tebal, it's okay. Untuk percobaan, bisa terlebih dahulu diterapkan pada salah satu tangan, lalu bandingkan hasilnya dengan tangan yang tidak diberi.

Setelah eco enzyme berhasil dibuat, residunya dapat dikeringkan untuk dijadikan pupuk.



(Karena tulisan ini sudah cukup panjang, Sesi 2 dan Sesi 3 saya lanjutkan pada entri berikutnya.)

Kamis, 23 Januari 2020

Pembacaan Catatan Harian 2019 dan Beberapa Kutipan dari Dalamnya

Sepanjang 2019, saya menulis catatan harian setebal 232 halaman F4. Jumlah halaman tersebut sebenarnya tidak pasti, sebab adakalanya saya salah menulis nomor halaman. Misalkan, halaman 31 dan halaman 32 terdapat dalam satu halaman. Lo, bagaimana bisa?! Bisa, karena ketika hendak menulis, saya melipat kertas menjadi dua, lalu saya menandai nomor halaman masing-masing di pojok kiri bawah dan di pojok kanan bawah. Ada juga halaman yang dobel. Misalkan, halaman 43 ada lebih dari satu. Jadi, kalau ditotal, kurang lebih sepertinya hanya 230 halaman saja. Eh, entahlah. Saya malas menghitung halamannya satu per satu, hihihi. Yang jelas, nomor yang terakhir adalah 232.

Saya tidak menetapkan waktu khusus untuk menulis catatan harian. Saya menulis semaunya saja. Ada hari-hari tanpa entri. Ada juga hari-hari ketika saya bisa menulis sampai berlembar-lembar sekaligus. Kalau jumlah halaman dibagi dengan jumlah hari dalam setahun, rata-ratanya sepanjang 2019 saya menulis sekitar setengah halaman F4 lebih sedikit per hari.

Segepok kertas yang kutulisi selama setahun 2019.
Kertas F4 yang digunakan merupakan kertas bekas. Artinya, saya memanfaatkan sisi halaman yang kosong sedangkan sisi satunya merupakan hasil keluaran mesin printer atau fotokopi yang sudah tidak digunakan. Keuntungannya:
  1. Hemat. Saya tidak perlu sengaja membeli buku harian fancy yang harganya sampai puluhan ribu, sebab sudah tercukupi dengan begini saja. 
  2. Bebas. Karena kertas diperoleh secara cuma-cuma dan tersedia banyak, maka saya tidak merasa sayang untuk menghambur-hamburkannya, yakni dengan menulis sebanyak-banyaknya. Selain itu, karena kertasnya tidak bergaris, maka tidak ada perasaan dibatasi. Malah, adakalanya tulisan saya sampai menjalar ke sisi belakang, mencari ruang kosong di antara paragraf-paragraf yang tercetak. 
Saya memulai pembacaan catatan harian ini sejak awal tahun, pada kesempatan yang biasanya dialokasikan untuk pembacaan buku cetak. Yah, anggaplah catatan harian ini juga merupakan suatu buku cetak. Awalnya, satu jam pembacaan tidak terasa. Padahal, isinya begitu-begitu saja:
  1. Kegalauan dalam mengisi waktu sehari-hari, kebanyakan berupa ide atau rencana kegiatan yang tidak praktis-able.
  2. Pengembangan ide cerita. Ketika masukan sudah cukup banyak dan saya merasa layak untuk dikembangkan secara sungguh-sungguh, saya membuatkan jurnal tersendiri--tentu saja masih dengan memanfaatkan kertas F4 bekas. 
  3. Ide-ide tulisan lainnya, yang kurang begitu mengembang, sehingga saya kurang terdorong untuk meneruskannya. 
  4. Curhat tentang kepenulisan.
  5. Dan, pastinya, rekaman kegiatan, kejadian, perasaan, pikiran, dan sebagainya.
Lama-lama saya bosan juga membacanya, hahaha. Maka, saya kurangi waktunya menjadi 20 menit saja, sedangkan 40 menit selebihnya untuk membaca buku cetak betulan.

Ketika jumlah halaman tinggal sedikit, saya pun bersemangat untuk segera menyelesaikannya. Pembacaan kembali menjadi satu jam bahkan lebih, karena tanggung, sebentar lagi tamat. Akhirnya, setelah sekitar tiga minggu, selesai juga saya membaca kehidupan saya sendiri selama satu tahun ke belakang.

Secara keseluruhan, tahun 2019 relatif tenang walaupun membosankan, atau bisa juga dibilang, membosankan tapi tenang. Sebagian besar perhatian saya tersita oleh aktivitas literasi pribadi. Hari-hari terakhir terisi oleh harapan sebagai berikut.
  1. Menggarap proyek panjang, seperti novel-novel, dan juga serial.
  2. Menerjemahkan buku-buku tentang orang-orang yang hidup tanpa uang, dan bisa juga artikel-artikel terkait.
  3. Membaca daftar panjang buku (baik cetak maupun digital, dan sebenarnya meliputi majalah, bahkan komik pun mungkin saja kelak dimasukkan) yang telah saya kumpulkan.
Harapan-harapan itu tentu saja tidak dapat terpenuhi hanya dalam setahun 2020, tapi jangka panjang, bahkan mungkin sampai hitungan dekade. Bagaimanapun juga, manusia hanya dapat berharap dan berbuat, tapi Tuhan yang menentukan. Percuma apabila Ia tidak rida. Ia yang Menuntun makhluk-Nya ke jalan lurus atau sesat. Jadi, saya berserah dan memohon perlindungan saja kepada-Nya.

Sembari membaca, saya menemukan beberapa kalimat yang entah kenapa saya rasa menarik dan bolehlah dibaca orang. Jadi, seandainya ada yang penasaran dengan apa yang saya tulis dalam catatan yang sifatnya begitu personal (ih, GR, ih), ini saja yang boleh kamu intip, hehehe.

16-01-19

Kalau olahraga, aku capek. Kalau capek, aku tidur. Kalau tidur, aku kurang produktif. Kesimpulan: olahraga membuat kurang produktif.

Memperbaiki dosa dan kesalahan dengan membuat dosa dan kesalahan baru. #absurditashidup

17-01-19

Apa gara-gara belakangan ini aku minum teh hijau dari Jepang tiap hari makanya otakku jadi dilanda cerita bertemakan Jejepangan.

24-01-19

Tapi, biarpun membandingkan diri dengan orang lain membuatku tertekan, bukan berarti aku ingin seperti mereka. Itu seperti menafikan proses yang kualami selama ini. Itu seperti menghendaki kepribadian yang sama sekali lain, latar yang berbeda, yang menyesali hidup sepenuhnya, takdir Tuhan ...?

26-06-19

... "jodoh adalah cerminan". Dan sulit untuk becermin dengan jiwa yang penuh keburukan atau jika kita merasa buruk rupa.

29-06-19

... ngomen-ngomen ujung-ujungnya balik buat diri sendiri, semacam kesalahan orang lain aku perbaiki di penulisanku sendiri, atau hal-hal yang enggak aku sukai dari (karya) orang lain, ya, jangan sampai kumunculkan dalam karyaku sendiri.

30-06-19

Berhadapan dengan karya fiksi itu kayak berhubungan dengan orang. Kalo hati telanjur keambil, segala cacat dan kekurangan bisa diabaikan. Tapi kali udah telanjur jijay, keunggulan-keunggulannya lah yang terabaikan. Ada juga yang di antara itu, alias B aja, sehingga dalam kasus ini pandangan bisa agak objektif.

... berhadapan dengan hal yang enggak kita suka emang melelahkan.

... kalo kita maksain baca karya yang di luar minat kita, cabe akan bertebaran.

... tentang di Belanda dan negara maju lain di Eropah, orang dikasih tunjangan hamil atau punya anak atau semacam itu, bahkan diajari cara melahirkan sendiri, yang menunjukkan kemandirian orang sana. Lalu aku menangkap ironi: orang sana mandiri tapi pada enggak mau punya anak, sementara orang sini manja (terkait artikel Kompas Minggu lalu tentang kebergantungan pada ART) tapi banyak anak. ....

Idealnya mungkin mandiri dan kelangsungan populasi terjamin (tiap orang pengin punya dua-tiga-empat anak), tapi kenyataannya enggak gitu.

01-08-19

Gambar dari sini.
HAIKU
guling-guling,
nungging:
kucing aing

02-08-19

Kenapa aku begitu sombong? Padahal aku sudah sehina ini, tapi masih saja bisa sombong. Kadang terlalu merendah, kadang terlalu meninggi. Aku tetap begini, apakah merupakan cara Tuhan menundukkan kepalaku yang seperti bobble head?

11 - 09 - 19

Jadi, dari 1 halaman F4 itu bisa jadi 500 kata di Word. 

06-12-19

Perempuan harus pandai membaca situasi, cerdas mengelola emosi, dan fleksibel: tahu kapan harus bergantung dan tahu kapan harus mandiri; bisa cari uang sendiri tapi juga mengembangkan cara-cara alternatif atau tanpa uang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Seandainya kamu tertarik membaca selebihnya, segala tulisan yang ada di blog ini, blog satunya, dan Goodreads saya sebenarnya juga catatan harian yang sudah ditata (sedikit) supaya layak dibaca orang lain lo!

Senin, 06 Januari 2020

Komedi Ringan yang Ternyata Keberatan Wacana

Gambar dari Wikipedia.
Saya pertama kali menonton film Demi Ucok di Kompas TV sekitar enam tahun lalu. Saat itu sepertinya selepas isya dan saya sedang menumpang tidur di kos teman. Walaupun cukup aneh dalam beberapa hal, film itu meninggalkan kesan bagus di benak saya.

Tema seputar impian yang kandas atau dilema passion biasanya menarik saya. Seperti yang dicetuskan tokoh utama film ini, kurang lebihnya, "Orang masih cari makan, ini malah mau bikin film," seakan-akan menyadari bahwa mimpinya tidaklah esensial.

Di samping itu, film tersebut juga mengangkat persoalan yang jleb khususnya mengenai hubungan dengan orang tua. Bagaimana tidak jleb kalau ternyata bukan kita sendiri yang sebal sama ibu kita, melainkan banyak orang lainnya? Aneh, banyak orang lain yang ada di pihak kita tapi rasanya malah jadi tidak mengenakkan. Film ini tidak mengglorifikasi sosok ibu sebagaimana dalam banyak klise, tapi menampilkannya secara apa adanya: mereka juga manusia biasa dengan berbagai kelebihan dan kekurangan--malah bisa jadi refleksi diri kita sendiri.

Kalau ada kesempatan, saya ingin menonton film itu lagi. Ketika menemukan film itu di suatu tempat, saya berpikiran akan menontonnya nanti, ketika usia saya sudah menyamai si tokoh utama--khususnya pada hari ulang tahun saya.

Tibalah saat itu. Mengenai tempat yang memungkinkan saya untuk menontonnya ulang, film itu seolah-olah mengantisipasi pembajakannya sendiri. Hahaha.

Film ini memang komedi yang sangat nyatire.

Ketika menontonnya ulang, saya tidak merasa begitu relate dibandingkan dengan pada pengalaman sebelumnya. Kesamaannya tetap: seorang perempuan pemimpi lagi perengut yang malas kawin dan lebih sibuk dengan aspirasinya sendiri. Tapi, dalam pengalaman menonton kali ini, saya malah cenderung menyoroti sekian banyak perbedaan antara saya dan si tokoh utama berikut lingkungan kehidupannya. Sebagian perbedaan terlalu pribadi untuk diperinci. Sebagian lagi menyangkut isu-isu eksternal yang bikin film ini jadi sarat wacana.

Ada satu adegan menarik ketika si tokoh utama bertemu Joko Anwar. JA menerangkan soal tren film Indonesia yang cenderung pada horor, tiap dua menit sekali mesti ada hantu, dan sebagainya. Film ini seolah-olah menuruti hal itu. Bukan dengan menjadi film horor atau sebagainya, melainkan dengan mengangkat isu-isu yang "seksi" bagi media liberal.

Berbagai kaum minoritas mendapat perwakilannya dalam film ini, entahkah menurut suku, agama, ras, gender, sampai orientasi seksual. Poster film Glo selanjutnya, Rajakata--yang entah kapan akan dibikin--menampilkan seraut wajah dengan bagian mulut diburamkan. Gambar itu seakan-akan hendak menyatakan: suara yang dibungkam. Suara siapa lagi kalau bukan kaum minoritas?

Saya tidak ada masalah dengan berusaha memahami perbedaan--itu terus-menerus saya lakukan. Tapi adakalanya perbedaan itu hendak dipersatukan dengan cara yang terlalu memaksakan. Contoh paling ganjil adalah pada adegan penutup, berupa pesta pernikahan antara adat Batak dan Minang. Ada satu gambar yang menampilkan kepala sapi dan babi berdampingan. Baik pada pengalaman menonton yang pertama maupun yang kedua, saya berpikiran sama: serius, itu maksa banget. Yah, yang punya cukup pengetahuan tentang agama Islam tahulah sebabnya.

Membandingkan antara unsur-unsur pada diri saya dan yang ada dalam film ini bikin saya menyadari betapa relatif sudut pandang manusia itu, termasuk dalam hal pelabelan.

Misalnya begini. Dalam beberapa hal, saya tergolong ke dalam kaum mayoritas--paling enggak di Indonesia: Jawa, muslim. Tapi dalam beberapa hal lain, saya minoritas, sebut saja: pengendara sepeda, pengguna pembalut kain buatan sendiri, pembaca buku, dan seterusnya. Bandingkan dengan seseorang yang katakanlah minoritas: Batak, Cina, nonmuslim, dan seterusnya. Tapi dia juga pengguna kendaraan bermotor pribadi, pekerja kantoran, atau apa pun posisi-posisi yang membuatnya seperti kebanyakan orang.

Jadi, kenapa minoritas itu mesti terbatas pada yang SARA dan semacamnya?

Film ini sebetulnya asyik dalam berbagai hal: gayanya lucu dan ringan, secara visual tidak membosankan. Selain itu, sentilan personal dan refleksi hubungan ibu-anak saja sudah merupakan persoalan mendalam yang mungkin mengena bagi kebanyakan orang--tanpa pandang suku, agama, ras, dan sebagainya. Sentilan terhadap isu-isu lain seperti budaya korupsi, pembajakan, dan snobisme membuatnya semakin kaya. Dengan memadukannya bersama isu-isu kaum minoritas, lengkaplah sudah film ini. Hanya saja, diperlukan kebijaksanaan pemirsa.

Jumat, 03 Januari 2020

Gigi Susu, Sebuah Haiku (Mungkin)

Gigi susu jumlah dua puluh
Usia enam bulan sampai tiga tahun tumbuh
Usia enam sampai tiga belas tahun copot satu per satu



Disadur bebas dari artikel Pepsodent di Bobo edisi lawas



Gambar dari artikel Hello Sehat.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...