Ada notifikasi pesan baru di grup keluarga. Alfian
membukanya dan mendapati video baru kiriman kakaknya. Ia memutar video itu.
Tampak Hima berlari ke pintu sambil menangis,
lalu kembali kepada mamanya yang memegang kamera. Hima terangkat ke dalam
gendongan. Lalu di sebelah luar pintu, tampak papa dan kakaknya yang hendak
berangkat. Papa mengenakan setelan hitam, Kakak seragam TK. Keduanya
melambaikan tangan sembari menjauh. Suara Mama mengarahkan Hima-chan agar balas
mendadahi mereka.
Alfian melirik pada angka di pojok kiri atas layar. Sudah hampir jam dua,
Fazaha belum menongol juga. Heuh.
Alfian mengetik di kolom grup keluarga, “Kerja woi gabut lw.” Pesannya dibalas
Kak Iki dengan emoji kepala setan. Sebentar kemudian, ada kiriman baru lagi dari
kakaknya itu: sebuah bento tampak
atas disertai emoji love-love merah
dan tulisan, "thx istrikuu."
Mama mengacungkan jempol, dan mengetik
….
Alfian menutup tampilan grup keluarga, ganti membuka salah satu media
sosial. Ia menggulir gambar-gambar yang sepintas semuanya tampak serupa. Kenapa
tiba-tiba semua orang dapat pasangan, punya anak, dan hidup bahagia
selama-lamanya? #familygoal di mana-mana. Ia bagai hendak memuntahkan komentar
ala YouTube itu: Apa cuma gue yang ….
Satu-satunya gambar yang bikin Alfian menyengir menampilkan seorang lelaki
berpeci hitam bersanding dengan dua manekin: satu berukuran besar, satu
kecil—keduanya berjilbab. Ketiganya kompak berpakaian warna merah. Di bawahnya
ada tulisan: SOLUSI FOTO KELUARGA PARA JOMBLO.
Alfian meletakkan ponsel di meja. Sebelah bogemnya menopang dagu. Matanya
menuruni meja-meja—undakan-undakan—hingga tiba di jalan yang sepi kendaraan.
Mulutnya terbuka sedikit. Otaknya terus mencari gambar-gambar, tapi kali ini
dari dalam benak.
Timbul rekaman ketika ia mengunjungi rumah Kak Iki sekitar setahun lalu.
Saat itu ia masih menjadi TKI di Jepang. Di satu ruangan, atas perintah
kakaknya, ia sedang memperkenalkan huruf hijaiah pada Sakura-chan. Di ruangan
lain, Teh Ocha sedang menyetrika. Sementara Sakura menirukan huruf demi huruf
yang diajarkan, Alfian mengamati mulut anak itu sekali-sekali menerima suapan
dari bapaknya. Melalui ambang pintu ke ruangan lain, dapat terlihat juga
olehnya Kak Iki menyuapi Teh Ocha. Sembari berpindah dengan santai dari satu
ruangan ke ruangan lain, Kak Iki memotong potongan buah dengan giginya: yang
besar masuk ke mulutnya, yang mungil menancap di ujung garpu dia suapkan pada
Himawari yang menempel di bagian depan tubuhnya dalam gendongan. Hampir habis
potongan dalam piring itu ketika Alfian menegur, “Aku enggak dibagi?” Kak Iki
pun menjejalkan semua yang tersisa ke mulut Alfian langsung dari piring.
Pada waktu malam, sekembalinya dari panggilan ke WC di sela tidur, Alfian
mendapati pintu sebuah ruangan terbuka sedikit. Ia mengintip. Terlihat olehnya
anak beranak itu tidur berjajar: ayah, anak pertama, anak kedua, dan ibu.
Ada pula suatu ketika mereka berlima jalan-jalan di pusat perbelanjaan.
Ayah di depan menggandeng anak pertama, ibu di tengah membopong anak kedua,
dan, seandainya pada 2013 ia jadi menikah alih-alih bangkrut, tentu ia tidak
akan menjadi paman yang tergopoh-gopoh di belakang membawakan belanjaan. Ia
akan punya keluarganya sendiri, dan mereka akan menghargai privasinya. Ia akan
sudah punya buntut, paling tidak satu yang sebesar Himawari. Ia akan memberikan
Mama cucu yang bisa sering-sering berada di dekatnya, alih-alih yang dibawa
tinggal jauh-jauh di negeri orang.
Katanya udah move on.
ARGH, IYA! Ini semua gara-gara Fazaha kelamaan telat! Alfian
jadi melanjutkan lamunannya, mengenang mantan calon istrinya yang kini sudah
punya satu anak sebesar Himawari.
"Deudeuh … abdi mah parantos
teu tahan … sakujur dina awak … teu aya nu kaliwat … ulah dilamikeun deui …
anjeun abdi ngahiji[1]
… yihaaa!"
Alfian melongok pada bapak-bapak yang duduk di undakan paling bawah. Aduh,
lagu dangdut jaipong kesukaannya itu benar-benar merusak suasana. Tapi, ikut juga kepala
Alfian bergoyang-goyang, sambil di dalamnya memvisualisasikan lirik lagu itu.
“Sori,” tahu-tahu Fazaha menghantamkan tumbler sebesar pentungan di atas
meja. Ia menurunkan ransel ke kursi di sebelahnya, lalu duduk di kursi di
hadapan Alfian.
Alfian menegakkan badan dan memasang senyum. “Lama amat telatnya.”
“Biasa.”
“Apanya yang biasa?”
“Gitulah, masalah rumah tangga.”
Alfian mendengus. “Masalah rumah
tangga,” ulangnya, “kayak yang udah punya aja.”
Fazaha menyalakan laptop. “Hah, udahlah, ayo mulai aja.”
“Kenapa, ih?”
“Aku ngurus ponakan dulu.”
“Oh, iya. Ponakannya umur berapa?”
“TK.”
“Oh …. Jadi kenapa kamu telat?”
“Iya, kan, tadi aku jemput dia dulu, terus mau langsung ke sini. Tapi
mamanya—“
“Tapi mamanya …?”
“Ah, udahlah. Apa yang bisa aku kerjain nih?” Tangan Fazaha sudah menahan
tetikus di meja. Matanya berfokus pada Alfian, yang malah cengar-cengir.
“Enggak ada sih. Aku cuma pengin ketemu kamu aja.”
“Atuh lah.”
“Yah, Dispora[2]
mau ngadain pameran. Aku mau ikutan, pakai produk yang dulu itu. Tapi
kemasannya harus beda. Bikinin logonya lah.”
“Produk yang mana?”
“Eh …. Iya, ya. Yang mana, ya?”
“Atuh lah …” geram Fazaha.
“Serius, masih galau.”
“Mak Karonah?” Fazaha mengingatkan pada salah satu produk Alfian dulu:
makaroni aneka bumbu dengan berbagai level yang sempat jadi oleh-oleh ikonik.
“Tukang masaknya udah susah.” Mama sudah tidak sekuat dulu masak
banyak-banyak. Yang bantu-bantu entah pada ke mana, malah ada yang sudah buka
usaha sendiri.
“Merchandise?” yang dibuatnya
dari karakter-karakter imut ciptaan Fazaha.
“Yang gitu mah lakunya paling di Pakoban[3].”
“Kaus?” pengembangan dari usaha merchandise.
“Saingannya udah banyak.”
"Aplikasi group coupon tea?"
untuk mempromosikan berbagai produk usaha miliknya itu berikut rekan-rekannya
sesama wirausahawan muda.
Alfian mendesah panjang.
Fazaha memandangnya prihatin. Alfian sendiri bukannya tidak sadar bahwa
mentalnya telah melempem. Dulu, ketika baru memulai, sewaktu usianya jauh lebih
muda, rasanya tidak banyak pikiran. Begitu ada ide, langsung laksanakan.
Rintangan tak pernah dianggap beban.
Inikah ujiannya orang yang sudah merasakan di atas? Mau memulai lagi dari
bawah jadi segan. Untuk kembali buka lapak di Car Free Day saja, ia berpikir
jutaan kali.
“Selesein kuliah,” usul Fazaha. “Cari lowongan. Jadi pegawai.”
Alfian menyeringai. “Jadi pegawai, nanti pensiun, ujung-ujungnya wirausaha
juga. Kenapa enggak dari sekarang aja sekalian?”
“Daripada galau gitu. Kalau jadi pegawai kan, tinggal ikut perintah.”
Alfian mencibir. Kalau sekadar supaya ada yang kasih perintah, tidak perlu
susah payah kuliah, mencari lowongan pekerjaan, menjadi pegawai, dan seterusnya
dan sebagainya. Sebagai anak paling buntut di rumah, ia sudah kenyang jadi
pesuruh. Bahkan kakaknya yang tinggal di negeri lain saja—gara-gara kemajuan
teknologi—jadi termudahkan untuk terus menyuruh-nyuruh dia. Misalkan, entah
bagaimana kakaknya tahu sedang ada sale barang
tertentu di sini, lalu Alfian dimintanya untuk membelikan sehingga nanti
tinggal ambil ketika pulang kampung. Kadang Alfian berpikir kakaknya berbuat
itu cuma karena kebiasaan. Kayak enggak
ada barang murah aja di Jepang.
“Kamu sendiri resign,” balas Alfian.
Fazaha mendesah. “Aku enggak suka kerja sama orang.”
“Ye,” heran Alfian, “da kerja
mah pasti sama orang atuh.”
Fazaha memuntir bibir, menekuri tepi meja.
“Kamu mau freelance juga kan
berhubungan sama orang,” ujar Alfian lagi.
“Iya, terus kalau kliennya resek tuh aku jadi males. Terus aku enggak
nyari lagi berhari-hari.”
"Yah, kalau kamu judes gitu mah, bukan klien aja yang lari, tapi
jodoh juga."
"Bodo ah."
“Karena bosnya bukan aku aja kali,” nada Alfian menggoda.
“Cunihin[4].”
“Bukan cunihin. Buktinya, waktu
aku masih moncer, kamu betah, kan? Cuma gara-gara si otong itu aja, heuh,”
Alfian terseyum masam teringat pada orang yang telah menjebak dia bersama utang
ratusan juta, sampai semua usahanya itu gulung tikar. Ia memerhatikan raut muka
Fazaha yang tengah memandang ke sisi. Sepertinya cewek itu menyadari
kebenarannya. Tapi, seperti biasa, harga dirinya dijunjung tinggi. Alfian
melembutkan suaranya, “Kurang pengertian apa sih aku sama kamu?”
Fazaha mengerling padanya dan tersenyum. Alfian menyengir. Ah, wajah itu,
yang biarpun banyak pedasnya, tapi sesekali menghangatkan jua, selalu menggaet
kembali Alfian sehingga batal mengempaskannya ke ujung dunia. Malah, sekarang,
betis Alfian digeseknya pula. Alfian membalas. Gesekan demi gesekan mulai menggetarkan,
lalu tahu-tahu jemari kaki Alfian serasa digilas muntu. Alfian merunduk ke
permukaan meja.
Lalu ia mengangkat wajah dengan raut ditabah-tabahkan. “Kamu pernah enggak
sih ngerasain nginjek kaki kamu sendiri.”
Fazaha mengedikkan bahu seraya melayangkan tatapannya ke arah lain dengan
malas.
“Terus, kalau enggak nyari, kamu ngapain dong?” kejar Alfian.
“Yah ….”
“Nerusin proyek seni kamu yang enggak kelar-kelar itu? Bikin apa sih, kamu teh waktu itu? Komik, yah?”
“Novel grafis.”
“Iyah, komik.”
“Beda, tahu.”
“Iyah, komik, tapi artistik, gitu, kan? Nyeni-nyeni gitu?”
“Ish!”
Alfian terkekeh, lalu mendesah. “Pengusaha bangkrut dan seniman gagal,
udah kayak judul FTV, belum?”
“Enggak enak ah dengernya.”
Alfian terdiam, mengamati cewek itu lekat-lekat: rambut yang seperti biasa
digelung ke atas, kacamata yang sepertinya belum berganti sejak dia tiga tahun
di Jepang, hoodie berwarna gelap,
celana jin, wajah polos yang kemungkinan cuma dipupur, pipi yang menirus, serta
bibir yang hampir-hampir sewarna kulit.
Teringat Alfian pada masa ketika sengaja membayar Fazaha lewat amplop
berisi uang tunai ketimbang mentransfer ke rekening, sekadar supaya ia bisa
bilang secara langsung, “Beliin lipstik yang merah cabe, ya!” Cewek itu
berlagak tidak mendengar. Tapi, beberapa waktu kemudian, ketika Fazaha datang
ke kantor—ah, kantor, sebetulnya itu
rumah kontrakan yang dijadikan ruang kerja bersama, tapi enak saja menyebutnya kantor, aku bisa mendirikan kantor!—dengan lipstik merah cabai,
Alfian merasa telah memenuhi tugas kelelakiannya.
Waktu itu pula, dengan job-job
yang terus mengalir dari Alfian, Fazaha bisa mempercantik diri. Tiap kali
datang ke kantor, model pakaiannya berganti-ganti. Ah, masa itu ….
“Kok enggak pakai lipstik sih?”
“Ah, cuma ketemu kamu doang.”
“Cuma ketemu kamu doang,” ulang
Alfian antara geli dan tersinggung. “Kalau aku suami kamu, wajib tahu.”
“Siapa juga mau jadi istri kamu?”
“Banyak kali. Lihat aja entar kalau aku kaya lagi. Pasti kamu juga mau.”
Fazaha tertawa dikulum, masih memandang ke samping.
“Apalagi cita-cita kamu kan jadi perawan tua. Nanti kalau aku udah kaya,
kamu masih perawan, tapi tua. Pas, kan? ANJIR!” Alfian merunduk lagi,
menahankan dampak serangan pada tulang keringnya.
“Jualan video porno lagi sana.”
“Jangan gitu ah.”
“Udah mau kepala tiga, masih kayak anak SMP.”
Tapi, cara Fazaha membalasnya pun masih seperti sewaktu mereka SMP.
“Ponakan kamu suka rewel, enggak?”
“Yah, namanya juga anak-anak.”
“Kalau rewel, kamu tendangin juga?”
“Ya, enggak lah.”
“Kamu apain?”
“Yah, aku ajak gambar. Gitu-gitulah. Kenapa?”
“Pengin lihat ponakan kamu. Ada fotonya, enggak?”
“Enggak.”
“Ah, bilang aja males ngelihatinnya.”
“Males ngelihatinnya.”
Alfian menyalakan ponselnya, mencari-cari. Lalu ia mendekatkan ponsel
sekalian badannya kepada Fazaha. “Nih, lihat ponakan aku.”
“Udah lihat di FB,” tanggap Fazaha, tapi turut mencondongkan badan juga
dan melihat.
Alfian menggulir grup keluarga yang didominasi oleh foto dan video kedua
anak perempuan kecil itu. “Ari ponakan
kamu teh umur berapa?”
“Segede anaknya Kak Iki yang pertama, kayaknya. Ih, kan tadi kamu udah
nanya!”
“Oh, iya, ya? Kakak kamu teh
yang setahun di atas kita, ya, kan? Yang satu SMA sama aku tapi kamu enggak
bilang-bilang tea.”
“Iya,” tukas Fazaha.
Alfian menghitung-hitung. “Nikahnya cepet juga, ya. Eh, iya, aku inget,
kan waktu itu aku lihat foto nikahannya tea
geuningan. Kan suaminya friend
aku di FB. Terus ada kamu juga. Makanya aku tahu dia kakak kamu.”
“Iya,” Fazaha menyabarkan diri.
“Kapan itu teh, ya?”
“Yah, pokoknya lulus kuliah dia langsung nikah.”
“Oh, tapi anaknya sepantaran anak Kak Iki yah. Eh, iya, sih, emang Kak Iki
tuh telat nikah. Udah kepala empat, anaknya baru TK.”
Fazaha tidak menyahut.
“Makanya kamu enggak usah resah, Za. Semua indah pada waktunya.”
“Apa sih ….”
Fazaha menarik badan, bersandar pada punggung kursi. Sementara itu, Alfian
teralihkan untuk membalas pesan-pesan baru di ponselnya. Tahu-tahu Fazaha
berkata, “Kakak aku sih yang kecepetan nikahnya.”
“Hm?” Mata Alfian terangkat pada Fazaha di sela-sela kedua belah jempolnya
mengetikkan balasan.
Fazaha menegakkan badan dan berlagak menyibukkan diri dengan laptop.
“Eh, terusin dong ceritanya!” kejar Alfian.
“Berisik ah. Aku mau cari job.”
Alfian tidak menyahut. Sesaat mereka sibuk saja dengan perangkat
masing-masing hingga terdengar azan. “Salat, enggak?” tanya Alfian pada Fazaha.
“Enggak.”
“Salat dong, biar rezekinya lancar!”
Fazaha cuma berdecak. Alfian pun menitipkan tasnya pada Fazaha lalu
beranjak. Beberapa waktu kemudian, ia kembali dengan membawa dua cangkir espresso dari kafe di sebelah atas. Satu
cangkir didekatkan pada Fazaha. Cewek itu meliriknya tanpa minat. Sebelah
tangannya menepuk tumbler yang terisi penuh oleh air bening. “Lihat nih, aku
udah bawa banyak-banyak dari rumah.”
“Dibayarin kok. Tenang aja sih.” Alfian menyeruput isi cangkirnya.
“Entar aku enggak bisa tidur.”
“Alah, biasa juga begadang nonton Korea.” Alfian menyeruput lagi dengan
khidmat. “Kalau enggak mau juga enggak apa-apa sih, biar aku double espresso.”
“Kamu mah bayarin teh meni enggak
ikhlas.”
“Ikhlas, ari kamu! Kamu yang
bilang enggak mau.”
Fazaha pun mengambil cangkir satunya. “Emang boleh dibawa ke sini?”
“Boleh dong sama aku mah.” Sembari tersenyum, Alfian mengamati Fazaha
meneguk isi cangkirnya. “Sedap, kan? Biar semangat cari kerja, enggak numpang
sama kakak terus! Hahahaha!”
“Hah, kamu juga masih sama orang tua.” Fazaha meletakkan cangkir di meja.
“Beda dong situasinya. Orang tua aku kan udah sepuh, sakit-sakitan. Kalau
ada apa-apa, biar gampang bantuinnya.”
“Sama aja.”
Alfian hendak menyanggah, tapi, melihat air muka Fazaha, ia bertanya,
“Kenapa sih?”
“Aku juga biar gampang bantuin kakak aku.”
Alfian menunggu.
“Kenapa, ya, kalau lihat orang lain tuh, meni bisaan gitu ngurus anak sendirian. Kakak aku, cuma satu aja,
kayaknya susah banget.”
“Yah, orang lain juga susah kali, cuma yang dilihatin yang baik-baiknya
aja.”
“Jangan-jangan dia depresi. Tapi kadang dia biasa-biasa aja sih. Aku kan
jadi kasihan sama anaknya, jadi bingung gitu, kadang mamanya beres, kadang
ngaco.”
“Hm.”
“Tapi dia tuh enggak mau dibantuin. Tapi dia tuh butuh bantuan. Yah,
makanya ipar aku ngajak buat nemenin dia. Soalnya kan ipar aku kerja di
Jakarta. Kakak aku diajak tinggal di sana, enggak mau. Disuruh tinggal sama
keluarga ipar di sini, enggak mau juga. Maunya ngurus anak sendiri. Tapi kayak
gitu.”
Alfian manggut-manggut memaklumi. Di samping itu, tidak ada orang tua yang
bisa dimintai tolong. Yang ia tahu, ibu Fazaha sudah meninggal sewaktu mereka
SMP sedangkan ayahnya tinggal di Jawa.
“Kakak aku juga gitu sih,” Alfian menimpali.
Fazaha menunggu Alfian melanjutkan.
“Mama aku juga waswas Teh Ocha bisa sendiri. Tapi da Kak Iki udah betah jadi sarariman[5],
enggak mau diurusin." Malah, pada tahun-tahun awal pernikahannya, Kak Iki
doyan bikin kejutan menyebalkan untuk Mama. Setelah tahun pertama, ketika Mama
menanyakan soal momongan, Kak Iki bilang mereka mau menunda sampai waktu yang
tidak ditentukan. Kontan Mama ketar-ketir karena usia pasangan itu sama-sama
sudah lewat pertengahan kepala tiga. Setelah tahun kedua, tahu-tahu saja Kak
Iki mohon doa pada Mama karena Teh Ocha akan melahirkan. Mama langsung heboh
cari tiket ke Jepang. Setelah tahun ketiga, Kak Iki mengabarkan bahwa Teh Ocha
sudah isi lagi. Padahal belum pulih rasa capek Mama sepulang dari Jepang.
Sebagai satu-satunya anak yang tersisa di rumah, mau tidak mau Alfian
kelimpahan. "So far, ya, fine-fine aja sih. Cuma, ya, soal
depresi, mereka juga kayaknya pernah ngalamin. Tapi, waktu itu mereka belum
nikah sama punya anak sih.”
“Iya, makanya aku bilang kakak aku kecepetan nikahnya. Orang tuh mestinya
nyelesein masalah dirinya dulu, baru punya anak. Dia tuh emang suka cari
masalah.”
“Yah, udah takdirnya gitu. Tiap orang ada ujiannya masing-masing.”
Fazaha tidak berkata-kata lagi, berfokus saja pada laptopnya.
“Serius ih, pengin lihat ponakan kamu,” Alfian memecah keheningan.
Fazaha mengalah. Ia membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto:
seorang anak perempuan kecil sedang membentangkan kertas bergambar buatannya.
Alfian mengamati matanya yang bulat besar, rambutnya yang panjang lurus
berponi, dan kulitnya yang serona dengan tantenya. “Manis, yaaa, kayak
tantenya.”
“Grrr ….”
“Pengin ketemu laaah.”
“Enggak, aaah.”
“Hayuk atuh piknik bareng ih, ke
mal, biar kayak keluarga-keluarga muda gitu.”
“Males ….”
“Eh, aku pernah lihat, siah, di
YouTube, di Jepang mah ada rental pacar, rental keluarga, gitu-gitu lah.”
“Iya, aku juga pernah lihat.”
“Nih, DP-nya udah aku bayar, pakai kopi.” Alfian mendorong cangkir Fazaha
mendekat pada cewek itu.
“Tuh kan kamu mah enggak ikhlas.”
“Hayuk atuh ….”
Bagaimanapun Alfian membujuk, Fazaha bergeming. Cewek itu sepertinya mau
diajak bertemu lagi hanya bila Alfian sudah punya gambaran tugas yang jelas.
Untuk menemui cewek-cewek lainnya yang ia kenal dari Tinder pun, Alfian
ragu-ragu. Apalagi bila cewek-cewek itu hendak mengetahui status pekerjaan dia
yang sebenarnya. Padahal hari-harinya diisi di rumah saja, dengan memandangi
layar putih pada laptop. Bila sudah berjam-jam tidak ada sedikit pun ide yang
melintas, ia membongkar gudang. Kenalannya di dinas bilang sekarang ini
pemerintah sedang menggalakkan isu persampahan. Kalau bisa, ia membuat contoh
produk hasil daur ulang barang bekas. Kalau terjual, ia bisa membuat pelatihan
dan dinas siap memfasilitasi asalkan proposal masuk dulu. Tapi, sementara ini,
semua itu baru wacana. Boro-boro ikut pameran, tujuan jangka pendeknya sekarang
masih sekadar menunjukkan kepada orang tua bahwa ada kegiatan berarti yang ia
kerjakan.
Dalam lamunan-lamunannya, sesekali terputar rekaman momen yang masih segar
bersama kakaknya. Bukan semata pemandangan pasangan suami istri dengan dua anak
yang bagaikan idealisasi program keluarga berencana itu. Melainkan juga suatu
malam ketika ia sedang duduk-duduk menyendiri di sisi luar rumah. Sembari
mengisap sebatang Marlboro Ice Blast, ia sendiri tidak mengerti sebabnya
kembali mencoba barang itu. Padahal sewaktu kelas tiga SMP, ia telah bersumpah
untuk menjadi anak yang baik dan saleh, setelah mendapat hukuman skors akibat
ketahuan berjualan video porno di sekolah—yang notabene termasuk kejayaan
awalnya sebagai pengusaha—dan tak lama kemudian ia putus dengan Fazaha.
Kakaknya bergabung. Mereka bercakap-cakap, yang entah bagaimana menggelincir
pada pertanyaan, “Dek, butuh berapa?”
“Kak, udah, Kak,” jawab Alfian pelan, lagi tak enak. Pikirnya, anak-anak
dan istri kakaknya lebih berhak. Sudah cukup kakaknya itu bantu menebus
utangnya agar tidak rimbun berbunga, lalu mencarikan koneksi agar ia bisa ikut
magang di Jepang. Perolehannya dari program tersebut setidaknya bisa memulihkan
dia ke posisi nol, dari yang sebelumnya minus.
Seolah-olah mendengar pikiran tersebut, kakaknya menyambung, “Kalau untuk
kebutuhan sehari-hari mah, insya Allah udah cukup. Sisanya, buat investasi,”
sambil menepuk bahunya.
Alfian termenung. Lalu kakaknya menceletuk, “Itu rokok dari celana gue,
ya.”
“Hehe.”
Ponsel Alfian menyala, menandakan pesan yang baru masuk.
“Kosong?” tanya Fazaha.
“Apa, Za?”
Sebentar kemudian, ada kiriman foto. Alfian membukanya: seorang anak
perempuan usia TK dengan rambut terkepang rapi dan gaun lucu dan di bawahnya
ada tulisan, “Aku mau jalan-jalan.”
Kontan Alfian mengirimkan emoji bermata hati disertai, “IKUUUT!!!” Lalu ia
menambahkan, “Pake yang merah cabe, yaaa~”
Dari emoji balasannya, sepertinya cewek itu tidak berkenan.
Alfian meninggalkan gabus yang sebelumnya tengah ia
potong-potong. Ia lekas bercukur, mandi, mengenakan pakaian kasual yang
terbaik, dan meminta izin Papa untuk menggunakan mobil. Titik temunya di Taman
Balaikota, sebab Fazaha mau mengajak ponakannya naik Bandros[6].
Berhadapan langsung dengan anak yang baru dilihatnya di foto itu, Alfian
berlagak seolah-olah dia anaknya sendiri yang selama ini tidak pernah bisa
ditemuinya karena dibawa kabur oleh si ibu. Setelah berkenalan dengan anak yang
malu-malu bersuara pelan itu, Alfian menggendongnya. Anak itu lantas
celingukan, mencari-cari tantenya. Fazaha yang awalnya terperangah oleh
kelakuan Alfian lalu mengikik, teringat pada masa SMP dulu ketika cowok itu
suka curi-curi mencium pipinya lalu memelesat kabur.
“Akhirnya mau juga,” celetuk Alfian sementara mereka menunggu bis
berangkat.
“Yah, mamanya lagi down.”
Alfian menundukkan sedikit kepalanya, untuk mengamati bibir itu secara
saksama. “Bukan merah cabe, tapi bagus juga sih," senada dengan tas
selempang cantiknya. Selain itu, rok kiwir-kiwir
sebetis membuat cewek itu terlihat anggun.
“Atuh lah.”
Alfian tersenyum sembari membelai kepang anak yang duduk di antara mereka.
“Kamu yang ngepangin?”
“Iya dong.”
Sengirannya melebar.
Selama tur dalam kota, Alfian tidak melepaskan anak itu. Sesekali
telunjuknya naik, mengarahkan pandangan si anak yang tertegun-tegun saja.
Sesekali tatapan anak itu lari pada tantenya. Fazaha membalas dengan senyum
seakan-akan meyakinkan bahwa om-om yang bersama mereka itu tidak berbahaya.
Alangkah gembira Alfian ketika sedikit-sedikit anak itu tersenyum padanya, dan
akhirnya ikut tertawa berseri-seri. Ingin sekali Alfian menciumi ubun-ubunnya,
dan mencubiti kedua belah pipinya! Tapi takut digetok sama si tante.
Turun dari Bandros, anak itu melepaskan tangan Alfian dan meraih tantenya.
Ia membisikkan sesuatu.
Kata Fazaha pada Alfian, “Mau cari toilet dulu, ya.”
“Kamu bisa cebokin?!” Alfian takjub.
Fazaha cuma menggerenyot.
Setelahnya, mereka menemukan tempat duduk yang nyaman di dekat penjaja
cuanki. Anak itu sudah bisa makan sendiri, walau agak berlepotan. Alfian
mengamati Fazaha mengeluarkan tisu dari tasnya lalu mengelap seputar bibir anak
itu dengan telaten. Senyum Alfian tidak pudar-pudar.
Tinggal pakai jilbab, disuruh salat, ....
Alfian pun mengeluarkan ponsel, menyetel kamera.
“Ciiisss …!”
Malam itu juga, foto-foto mereka bertiga terpajang di media sosial Alfian.
Tidak lupa ia menambahkan #familygoal2025. Tidak lama kemudian, muncul beberapa
komentar yang intinya kurang lebih seragam:
“Anak siapa tuh lu culik?”[]
[1] Sunda: Aduh … ku sudah tak tahan …
sekujur tubuh … tidak ada yang terlewat … jangan ditunda lagi … kamu dan aku bersatu …. (lirik “Peuting Munggaran”,
dipopulerkan oleh Bungsu Bandung)
[2] Dinas Pemuda dan Olahraga
[3] Pasar Komik Bandung, diadakan satu
tahun sekali
[4] Sunda: genit
[5] Pegawai kantoran di Jepang
[6] Bis wisata di Kota Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar