Senin, 06 Januari 2020

Komedi Ringan yang Ternyata Keberatan Wacana

Gambar dari Wikipedia.
Saya pertama kali menonton film Demi Ucok di Kompas TV sekitar enam tahun lalu. Saat itu sepertinya selepas isya dan saya sedang menumpang tidur di kos teman. Walaupun cukup aneh dalam beberapa hal, film itu meninggalkan kesan bagus di benak saya.

Tema seputar impian yang kandas atau dilema passion biasanya menarik saya. Seperti yang dicetuskan tokoh utama film ini, kurang lebihnya, "Orang masih cari makan, ini malah mau bikin film," seakan-akan menyadari bahwa mimpinya tidaklah esensial.

Di samping itu, film tersebut juga mengangkat persoalan yang jleb khususnya mengenai hubungan dengan orang tua. Bagaimana tidak jleb kalau ternyata bukan kita sendiri yang sebal sama ibu kita, melainkan banyak orang lainnya? Aneh, banyak orang lain yang ada di pihak kita tapi rasanya malah jadi tidak mengenakkan. Film ini tidak mengglorifikasi sosok ibu sebagaimana dalam banyak klise, tapi menampilkannya secara apa adanya: mereka juga manusia biasa dengan berbagai kelebihan dan kekurangan--malah bisa jadi refleksi diri kita sendiri.

Kalau ada kesempatan, saya ingin menonton film itu lagi. Ketika menemukan film itu di suatu tempat, saya berpikiran akan menontonnya nanti, ketika usia saya sudah menyamai si tokoh utama--khususnya pada hari ulang tahun saya.

Tibalah saat itu. Mengenai tempat yang memungkinkan saya untuk menontonnya ulang, film itu seolah-olah mengantisipasi pembajakannya sendiri. Hahaha.

Film ini memang komedi yang sangat nyatire.

Ketika menontonnya ulang, saya tidak merasa begitu relate dibandingkan dengan pada pengalaman sebelumnya. Kesamaannya tetap: seorang perempuan pemimpi lagi perengut yang malas kawin dan lebih sibuk dengan aspirasinya sendiri. Tapi, dalam pengalaman menonton kali ini, saya malah cenderung menyoroti sekian banyak perbedaan antara saya dan si tokoh utama berikut lingkungan kehidupannya. Sebagian perbedaan terlalu pribadi untuk diperinci. Sebagian lagi menyangkut isu-isu eksternal yang bikin film ini jadi sarat wacana.

Ada satu adegan menarik ketika si tokoh utama bertemu Joko Anwar. JA menerangkan soal tren film Indonesia yang cenderung pada horor, tiap dua menit sekali mesti ada hantu, dan sebagainya. Film ini seolah-olah menuruti hal itu. Bukan dengan menjadi film horor atau sebagainya, melainkan dengan mengangkat isu-isu yang "seksi" bagi media liberal.

Berbagai kaum minoritas mendapat perwakilannya dalam film ini, entahkah menurut suku, agama, ras, gender, sampai orientasi seksual. Poster film Glo selanjutnya, Rajakata--yang entah kapan akan dibikin--menampilkan seraut wajah dengan bagian mulut diburamkan. Gambar itu seakan-akan hendak menyatakan: suara yang dibungkam. Suara siapa lagi kalau bukan kaum minoritas?

Saya tidak ada masalah dengan berusaha memahami perbedaan--itu terus-menerus saya lakukan. Tapi adakalanya perbedaan itu hendak dipersatukan dengan cara yang terlalu memaksakan. Contoh paling ganjil adalah pada adegan penutup, berupa pesta pernikahan antara adat Batak dan Minang. Ada satu gambar yang menampilkan kepala sapi dan babi berdampingan. Baik pada pengalaman menonton yang pertama maupun yang kedua, saya berpikiran sama: serius, itu maksa banget. Yah, yang punya cukup pengetahuan tentang agama Islam tahulah sebabnya.

Membandingkan antara unsur-unsur pada diri saya dan yang ada dalam film ini bikin saya menyadari betapa relatif sudut pandang manusia itu, termasuk dalam hal pelabelan.

Misalnya begini. Dalam beberapa hal, saya tergolong ke dalam kaum mayoritas--paling enggak di Indonesia: Jawa, muslim. Tapi dalam beberapa hal lain, saya minoritas, sebut saja: pengendara sepeda, pengguna pembalut kain buatan sendiri, pembaca buku, dan seterusnya. Bandingkan dengan seseorang yang katakanlah minoritas: Batak, Cina, nonmuslim, dan seterusnya. Tapi dia juga pengguna kendaraan bermotor pribadi, pekerja kantoran, atau apa pun posisi-posisi yang membuatnya seperti kebanyakan orang.

Jadi, kenapa minoritas itu mesti terbatas pada yang SARA dan semacamnya?

Film ini sebetulnya asyik dalam berbagai hal: gayanya lucu dan ringan, secara visual tidak membosankan. Selain itu, sentilan personal dan refleksi hubungan ibu-anak saja sudah merupakan persoalan mendalam yang mungkin mengena bagi kebanyakan orang--tanpa pandang suku, agama, ras, dan sebagainya. Sentilan terhadap isu-isu lain seperti budaya korupsi, pembajakan, dan snobisme membuatnya semakin kaya. Dengan memadukannya bersama isu-isu kaum minoritas, lengkaplah sudah film ini. Hanya saja, diperlukan kebijaksanaan pemirsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain

  • Tempo Nomor 20/XXXI/15 – 21 Juli 2002 - ISSN : 0126-4273 Rp 14.700 Dalam edisi ini, sedikitnya ada 3 kumpulan artikel yang menarik buat saya. Yang pertama adalah… Read more Tempo Nomor 20/XXXI/1...
    4 minggu yang lalu
  • Berkata Tidak - Aku dapat berkata tidak. Ketika aku masih anak-anak, aku takut berkata tidak. Aku melihat orang tuaku menyurutkan cinta dan perhatian mereka bila aku tidak...
    1 tahun yang lalu
  • Tentang Stovia - Tulisan berjudul "Stovia yang Melahirkan Kebangsaan" (*Kompas*, 28/5) telah menyadarkan kita tentang arti penting nilai-nilai kebangsaan yang dibangun para...
    6 tahun yang lalu