Saya seorang aspiran lagi amatir (apapun istilah semacam) dalam dunia kepengarangan. Blog ini mengandung rupa-rupa tulisan saya, yang saya anggap layak untuk dipublikasikan walau memalukan. Blog ini saya bikin untuk menunjang kepengarangan saya.
Setahun terakhir ini saya makin intens dengan kepengarangan, hingga mencapai taraf yang saya pikir keterlaluan. Saya tidak ingin menyalahkan kegiatan karang-mengarang, melainkan saya yang memang susah mengendalikan diri. Oleh sebab itu saya merasa perlu untuk menyeimbangkan hidup, antara lain dengan mengalihkan perhatian untuk mengasah kecakapan yang lain. Saya akan hiatus selama Desember 2012 - Februari 2013.
Selama itu tidak ada: menulis novel; menulis cerpen; meminjam buku dari perpustakaan maupun orang lain, apalagi mengulasnya; mengerjakan latihan dari semisal The Write Practice dan terribleminds; mengkaji cerpen dari The Harper Anthology of Fiction; membaca materi terkait di manapun; dan mengisi blog sekalian deh.
Maret 2013 saya akan kembali dengan asumsi CampNaNoWriMo akan diadakan lagi pada April 2013. Saya tidak ingin melewatkan ajang tersebut sehingga saya putus hiatus sejak Maret untuk mempersiapkannya. Selain itu saya juga akan kembali menggeluti kepengarangan saya dengan kalap. Insya Allah.
Silahkan menikmati apapun yang disuguhkan di blog ini, dan semoga dapat mengapresiasi.
November ini saya menulis ulang Yang Keenam, novel yang saya
garap dalam rangka CampNaNoWriMo edisi Juni 2012. Maka jadilah Yang Kedelapan,
dan sayapun ditahbiskan sebagai pemenang NaNoWriMo 2012. Tidak usah tepuk
tangan, terima kasih.
Yang Kedelapan terdiri dari 51.304 kata menurut word count saya, tapi 51.002 menurut word count NaNoWriMo. Saya mengetiknya selama
katakanlah 2 minggu di Ms Word 2007 dalam format Georgia 12, single 0 pt, A5 normal, dan bahasa Indonesia (265 halaman).
Menulis ulang
Biang untuk novel ini sesungguhnya sudah saya garap menjadi
satu cerpen di pertengahan tahun 2009, satu cerpen di akhir tahun 2010, satu
cerpen di pertengahan tahun 2012, dan satu novel di pertengahan tahun 2012
alias Yang Keenam; sekaligus mengilhami beberapa cerpen di tahun 2011 – 2012 dan
satu novel di tahun 2011 alias Yang Kelima.
Adapun perbedaan signifikan antara Yang Kedelapan dan Yang
Keenam terletak pada sudut pandang. Dalam Yang Keenam saya mengolah bahan
melalui sudut pandang orang pertama dengan perspektif sembilan karakter. Dalam Yang
Kedelapan saya menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan perspektif satu
karakter. Saya merasa Yang Kedelapan lebih baik.
Maka penulisan novel ini terasa sangat lamban. Dalam sehari
saya hanya mampu menulis sekitar 2000 – 3000 kata. Padahal tidak ada aktivitas
lain yang saya kerjakan—tentu saja selain makan, minum, mandi, dan semacam. Dalam
kondisi yang sama saya bisa menulis hingga 5000 kata untuk Yang Ketujuh. Tiap
menyelesaikan satu bagian untuk Yang Kedelapan, saya langsung membacanya
sekaligus mengeditnya. Bisa sampai berkali-kali. Hal mana dalam NaNoWriMo
makruh untuk dilakukan sebetulnya. Bagaimanapun cerita ini telah saya tulis
berulang lagi. Tentu saya mengharapkan hasil yang lebih baik dari waktu ke
waktu. Sebisa mungkin saya meminimalisasi penulisan yang asal-asalan.
Teknik
Yang saya sadari dari penulisan saya adalah saya banyak
mengandalkan: Dialog, latar tempat kadang tidak penting selama dialog
dimungkinkan; Permainan rima, kadang jatuhnya bikin gaya bahasa saya terkesan
ketinggian; Logika, tergantung pada pembaca apakah sebagai pun itu mempan; Arus kesadaran, well,
tidak tahu apa tepat demikian, yang jelas pikiran saya selaku narator dan
pikiran karakter sering bercampur aduk—bahkan karakter bisa mengoreksi
pernyataan saya yang menurutnya tidak tepat.
Saya rasakan menulis novel sebagai upaya untuk menciptakan
visualisasi yang mengesankan dalam benak pembaca.
Tema
Siapapun yang merasa alim atau ingin jadi alim tidak akan
menyukai cerita ini. Sayapun tidak
menyukai cerita yang menonjolkan hubungan asmara baik lawan jenis maupun
sesama jenis. Padahal cerita ini mengeksplorasi tentang itu. Ditambah karakter
yang sepintas enggak saya banget…
Tapi entah kenapa saya selalu bisa mengaitkan diri dengan
setiap novel yang saya tulis. Setiap karakter menjelma alegori. Tema dalam novel ternyata merefleksikan apa yang
saya sendiri alami dalam kehidupan saya. Bagaimanapun saya berusaha untuk menggarap cerita ini dengan serius.
Saya kira menulis novel telah membantu saya untuk lebih
memahami diri saya—kehidupan saya. Terlepas dari apakah orang lain dapat mengapresiasi novel tersebut atau tidak. ***
Saya serasa sering melihat novel ini, “The White Tiger” (2010, Yogyakarta:
Sheila/Penerbit ANDI),
dijual dengan harga begitu murah, antara lain di Togamas Gejayan, Yogyakarta.
Saya tidak tahu bahwa novel ini mengandung “sesuatu”, sampai saya tertarik
dengan istilah “black comedy”,
mencari penjelasan tentang istilah tersebut di Google, dan menemukan bahwa
“sesuatu” itu adalah “black comedy”,
atau kita padankan saja jadi “komedi suram”.
Pengarang novel ini mampu menampilkan
sisi-sisi buruk negerinya dengan cara yang bikin saya tersenyum bahkan tertawa
kecil.
Satu fakta tentang India adalah: putarbalikkan
pernyataan apa pun yang Anda dengar dari perdana menteri kami tentang negara
ini dan Anda akan mendapatkan informasi sebenarnya. Nah, Anda sudah mendengar
bahwa Ganga disebut sungai emansipasi dan setiap tahun ratusan turis Amerika
datang untuk memotret para sadhu telanjang di Hardwar atau Benaras, dan
perdana menteri kami pasti menggambarkannya persis seperti itu, lalu membujukmu
untuk berendam di sungai tersebut.
Jangan!—Mr. Jiabao, saya sarankan Anda tidak berendam
di sungai Ganga kecuali Anda ingin mulut Anda dipenuhi kotoran manusia, jerami,
potongan tubuh manusia yang sudah lembek, potongan busuk mayat kerbau, serta
tujuh macam limbah industri berbahaya. (hal. 16 – 17)
Anak-anak—terlalu kurus dan pendek untuk umur mereka
dan dengan kepala yang terlalu besar serta sorot mata tajam, mereka ibarat
perasaan bersalah pemerintah India. (hal.21)
Dokternya tidak datang. Sekitar pukul enam hari itu,
seperti yang pastinya tercatat di buku besar pemerintah, ayah saya sembuh dari
tuberkulosis, untuk selamanya. (hal.
55)
“…Batu bara bisnis yang kotor.” Dia menguap lagi. “Aku
dulu jadi sopir untuk pria yang menjual batu bara. Bisnis yang sangat busuk.
Tapi, bosku yang sekarang bisnis baja dan dia membuat semua pebisnis batu bara
terlihat seperti orang suci. …” (hal.
135)
Polusinya sangat parah sehingga para pengendara motor
dan skuter mengikat sapu tangan untuk menutupi wajah—setiap kali kau berhenti
di lampu merah, tampak sederet pria dengan kacamata hitam dan masker penutup
wajah, seakan seluruh kota keluar untuk merampok bank hari itu. (hal. 142)
Saya melihat dia mengeluarkan uang seribu rupee, mengembalikannya
ke dompet, mengeluarkan uang lima ratus rupee, mengembalikannya ke dompet, lalu mengeluarkan seratus rupee.
Dia memberikannya kepada saya. (hal. 281)
Merasa lucu sekaligus miris atas derita
orang lain, itulah esensi komedi suram.
Secara simpel novel ini menceritakan
kehidupan Balram Halwai, seorang pemuda dari Desa Laxmangarh di Distrik Gaya,
India. Kehidupan di kampung ini tidak mudah. Satu rumah bisa dihuni belasan
orang. Kerbau lebih dimuliakan dari manusia. Pernikahan menjadi ajang keluarga
mempelai pria untuk memeras keluarga mempelai wanita. Orangtua tidak punya
waktu untuk menamai bahkan mencatat tanggal kelahiran anaknya. Jelata mesti
menciumi kaki tuan tanah untuk mendapatkan pekerjaan apa saja. Tiang listrik
tidak berfungsi, keran air rusak. Guru meludahi sudut-sudut kelas dan mencatut
bantuan untuk para murid. Suatu hari Bahram dikeluarkan dari sekolah oleh
keluarganya, supaya ia bisa bekerja di kedai teh dan memenuhi nafkah. Ia juga
sempat bekerja sebagai pemecah batu bara. Nasibnya mulai berubah ketika ia
mengambil kursus menyetir, lalu menjadi sopir bagi Mr. Ashok di Delhi.
Balram
memuji dan menyayangi Mr. Ashok, meskipun kadang majikannya tersebut rada
tolol. Mr. Ashok adalah anak dari salah seorang tuan tanah di Laxmangarh.
Semula ia jujur, setia, idealis, baik hati, dan baru pulang dari Amerika. Tercemplung
ke dalam bisnis keluarga lalu pindah ke Delhi malah menimpakan kemalangan
baginya. Hubungan Mr. Ashok dengan istrinya rusak, di samping ia harus terus
melakukan bisnis yang melawan nuraninya. Perubahan yang dialami Mr. Ashok
memengaruhi Balram. Balram belajar bagaimana orang-orang kaya menggunakan
cara-cara keji untuk memuluskan urusan mereka. Mr. Ashok hanyalah salah satu
dari orang-orang serakah tersebut, yang tidak mampu berbuat lain karena
terjebak sistem. Siapapun akan melakukan hal yang sama jika berada di
posisinya. Tugasnya adalah menyuap orang-orang di pemerintahan agar tidak
menarik pajak dari bisnis yang dijalankan keluarganya, padahal pajak merupakan
hak kaum kecil seperti Balram. Balram pun menyadari keadaannya yang hanya
seorang pembantu di India, dan melakukan upaya untuk melawan takdir.
Spoiler. Balram membunuh Mr. Ashok. Ia
lalu mengganti namanya menjadi Ashok Sharma, dan mendirikan bisnis outsourcing dengan uang yang semula
hendak dipakai menyuap oleh almarhum majikannya itu. Ia tetap menggunakan
cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya, seolah memang begitulah prosedurnya
di India, sekaligus menerapkan sistem kerja yang lebih manusiawi bagi para anak
buahnya.
“The
White Tiger” mengusung isu yang besar sekaligus kompleks, namun ditulis
Aravind Adiga dengan gaya yang simpel, ringan, bahkan humoris (baca: satir). Tentu
saja aplaus juga perlu diberikan kepada Rosemary Kesauly (pengarang “Kana di
Negeri Kiwi”, pemenang sayembara menulis teenlit
Penerbit Gramedia Pustaka Utama di tahun yang saya lupa, dan “Mamimoma”, juga teenlit dari penerbit yang sama) selaku
penerjemah novel ini ke dalam bahasa Indonesia.
Novel ini menyinggung bagaimana
kebodohan kaum kecil dimanfaatkan untuk kepentingan politis.
“Masalahnya, dia mungkin pernah…
katakanlah dua, tiga tahun bersekolah. Dia bisa membaca dan menulis, tapi tidak
memahami apa yang dibacanya. Dia setengah matang. Negara kita penuh orang
sepertinya. Sedangkan kita memercayakan demokrasi parlementer kita,”—Mr. Ashok
menunjuk saya—“kepada orang-orang seperti ini. …” (hal. 11)
Balram menceritakan bagaimana demokrasi
memberinya tanggal ulang tahun, karena orangtuanya tidak pernah mencatatnya. Ia
diberitahu bahwa ia telah berumur 18 tahun oleh pegawai pemerintah yang
berwenang, sehingga ia bisa memilih.
Umur saya harus delapan belas.
Semua orang di kedai teh harus berumur delapan belas, usia legal untuk memilih.
Sebentar lagi pemilu dan pemilik kedai teh sudah menjual kami. Dia sudah
menjual cap jempol kami—cap jempol bertinta yang dicapkan orang buta huruf ke
surat suara untuk menunjukkan pilihannya. … Seharusnya ini pemilihan tertutup;
pemilik kedai mendapat harga yang cocok untuk setiap pegawainya dari partai
Sosialis Agung. (hal. 105)
Lebih dari sekadar politik sebetulnya,
novel ini juga mengungkit kinerja pegawai pemerintah yang buruk, kontradiksi
kehidupan di kota besar, persinggungan antar kasta maupun agama, sampai nasib
pembantu di India.
Para pembantu di India sangat jujur dan
setia, tapi belum tentu majikan memperlakukan mereka dengan adil. Ketika istri
Mr. Ashok menabrak seorang anak jalanan, Balram diminta untuk menandatangani
surat pernyataan bahwa ialah pelakunya. Balram juga mesti terampil mengemudikan
mobil sembari menuang whisky untuk
penumpangnya. Balram menganalogikan pengabdian pembantu di India dengan
ayam-ayam dalam kandang.
Ayam-ayam dalam kandang mencium bau dari
atas. Mereka melihat organ saudara-saudara mereka bertebaran di mana-mana.
Mereka tahu merekalah korban berikutnya. Namun, mereka tidak memberontak; tidak
berusaha melarikan diri dari kandang. (hal.186)
Mereka tahu bahwa ketika mereka
melalaikan tugas, majikan mereka akan membalas dengan menghancurkan keluarga
mereka. Begitulah.
Saya teringat akan tenaga kerja kita
yang tersebar di daratan Arab, Hongkong, Singapura, maupun Malaysia. Barangkali
pembantu kita diperlakukan secara sewenang-wenang di negara lain, tapi pembantu
di India diperbudak oleh bangsanya sendiri. Saya kira dalam dalam beberapa hal India
dan Indonesia memiliki kesamaan, meskipun dalam beberapa hal pula agaknya
situasi di Indonesia mendingan, atau gambaran dalam novel ini saja yang
terlampau sarkastis, sehingga saya penasaran akan karya semacam ini untuk
konteks di Indonesia.
Hal lain dalam novel ini yang memikat
saya adalah teknik yang dipakai pengarang untuk menyampaikan ceritanya. Sudut
pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama dengan perspektif
Balram. Suatu malam Balram mendengar bahwa perdana menteri China akan
berkunjung ke Bangalore—tempat Balram bermukim saat itu. Sejak malam itu hingga
malam ketujuh, biasanya sudah dini hari, Balram seolah menulis surat pada Mr.
Wen Jiabao (demikian nama perdana menteri China) sekalian menceritakan kisah
hidupnya. Balram mendasarkan penjelasan mengenai dirinya pada poster yang
dipasang polisi untuk mencarinya saat ia menjadi tersangka pembunuhan Mr. Ashok,
yang berhasil menimbulkan keheranan-keheranan yang bakal terjawab di bab
selanjutnya. Seseorang yang konon telah membunuh, kok bisa mengklaim dirinya
sebagai entrepreneur tersukses? Dalam
bab selanjutnya pun Balram masih mengungkapkan sesuatu secara sepintas-sepintas,
yang bakal terjawab di bab berikutnya lagi hingga cerita tuntas. Rupanya entrepreneur adalah orang yang mampu
menangkap pelajaran dari kehidupan, lantas mengubah nasibnya dengan itu tanpa
melupakan sesama, sebagaimana Balram, biarpun ia harus melakukan tindakan yang
frontal.
Adapun “The White Tiger” alias “Harimau Putih” adalah julukan yang
diberikan seorang inspektur kepada Balram, karena ia satu-satunya anak yang
bisa membaca dengan lancar di kelasnya saat itu. Harimau putih konon hanya ada
satu dari setiap generasi. Balram kemudian menggunakan nama tersebut untuk
bisnis outsourcing-nya.
Novel setebal 352 halaman ini saya
tamatkan dalam sehari, selain karena saya memiliki keluangan untuk itu, juga
saya tidak merasakan kejemuan sama sekali selama pembacaan. Saya tidak
menemukan momen dalam novel ini yang mendukung saya untuk mengambil jeda. Saya
tidak menyadari apa yang saya kejar selama pembacaan, melainkan bahwa novel ini
mengangkat persoalan serius dengan gaya yang enak lagi menarik. Sesekali simile
dan ironi di dalamnya bikin saya tersengat. Saya kira saya mengerti kenapa
novel ini memenangkan Man Booker Prize,
entah tahun berapa—tidak disertakan pada kovernya. Novel seperti inilah yang
patut saya baca berulang kali, secara sepintas maupun saksama!***
Yang membuat saya memburu buku semacam
“Menganalisis Fiksi – Sebuah Pengantar” (ditulis oleh Dr. Furqonul Aziez, M.
Pd. dan Dr. Abdul Hasim, M. Pd., 2010, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia) adalah
agar saya mengetahui bagaimana cara mengapresiasi fiksi, sekaligus mengetahui
seperti apa fiksi yang dianggap berkualitas. Percuma membaca dan menulis banyak
karya tanpa bisa memahami maknanya bukan?
Buku ini menurut saya merupakan buku
yang baik untuk memulai pelajaran tersebut. Isinya hanya 102 halaman, mengingat
kadang kita keder duluan dengan buku yang lebih tebal. Ukuran hurufnya cukup
besar. Bahasanya mudah sehingga enak diikuti, meski rada janggal pada terjemahan
kutipan yang umumnya berbahasa Inggris. Gagasan dan sistematika buku ini
sebagian memang didasarkan pada buku “Studying
the Novel” karya Jeremy Hawthon (1986, London: Edward Arnold Publisher
Limited), agaknya itu pula yang membuat fiksi yang dimaksud dalam buku ini
lebih diarahkan pada novel. Meskipun demikian bentuk fiksi lainnya seperti
cerpen dan novela mendapat ulasan sepintas dalam satu bab.
Novel ternyata merupakan genre sastra
termuda. Novel merupakan medium yang lebih leluasa jika dibandingkan dengan
puisi, drama, cerpen, maupun novela, yang mana jenis karya lainnya tersebut dibatasi
oleh aturan-aturan, bentuk, atau ukuran tertentu. Suatu permasalahan bisa
digali secara mendalam hingga menyeluruh melalui novel.
Gillie (penulis “Longman Companion to English Literature”, 1972, London: Longman
Group) dalam buku ini mengatakan bahwa Inggris merupakan negara yang sering
disebut sebagai tanah kelahiran novel pada abad ke-18. Sebetulnya saya pernah
baca di Annida (edisi yang saya tidak ingat) mengenai novel pertama di dunia,
yang ditulis oleh orang Jepang pada tahun 1300-an dan menceritakan tentang
seorang pangeran bernama Genji-apa-gitu. Saya pernah baca juga di Republika
(lagi-lagi di edisi yang saya tidak ingat) mengenai ilmuwan muslim pada masa
kejayaan Islam (yang berarti hampir semasa abad pertengahan di Eropa ya?) yang
telah menghasilkan novel, kalau tidak salah ada kata “Hayy” atau “Hayat” pada
judulnya, tentang seseorang yang belajar kehidupan dari membedah rusa-atau-apa.
Adapun novel yang dimaksud dalam buku ini adalah yang memiliki kemiripan dengan
kehidupan nyata, dibandingkan dengan jenis karya sastra yang muncul sebelumnya
seperti roman atau hikayat. Barangkali novel karangan orang Jepang dan ilmuwan muslim
tersebut, maupun karya-karya sastra sebelumnya yang bentuknya rada menyerupai
novel itu, dalam konteksnya belum sebagaimana novel yang kita kenal sekarang,
lengkap dengan aspek sosiologis-industrinya.
Kemunculan novel merupakan akibat dari
bangkitnya kelas menengah di Inggris pada masa itu, yang dengan demikian menyediakan
publik pembaca yang luas. Jumlah orang yang melek huruf semakin meningkat.
Teknologi percetakan telah mampu memproduksi karya dalam jumlah besar, serta
memenuhi pasar dengan harga terjangkau. Membaca novel pun menjadi semacam mode
di Eropa. Kelas menengah juga merupakan faktor penting bagi kemunculan kapitalisme.
Kapitalisme mengakibatkan individualisme, yang sekiranya menciptakan iklim
kondusif bagi aspirasi penulisan novel. Novel ditulis seseorang dalam
kesendiriannya, dan dibaca orang lain dalam kesendiriannya pula. Walaupun
ditulis dan dibaca secara pribadi, produksi dan distribusi novel memerlukan
bentuk masyarakat dan industri yang terorganisasi dengan baik. Ralph Fox
(penulis buku “The Novel and The People”,
1979, London: Hutchinson) dalam buku ini mengatakan bahwa novel merupakan epik
tentang perjuangan individu melawan masyarakat maupun alam, yang mana ia hanya
bisa berkembang di tengah masyarakat yang kehilangan keseimbangan antara
manusia dan masyarakatnya, dan masyarakat semacam itu adalah masyarakat
kapitalis. Adalah menarik, mengetahui bahwa kapitalisme yang dihujat banyak
orang ternyata berperan dalam menyuburkan kebudayaan literer—yang justru dipuja
banyak orang!
Bagaimanapun juga buku ini memberikan
pengetahuan mengenai banyak hal lain seputar fiksi, khususnya novel. Kita bisa
mengenal berbagai macam genre yang telah tercipta. Kita bisa menyadari
pentingnya mempelajari karya-karya terdahulu agar dapat menciptakan kebaruan. Kita
bisa memahami tujuan penciptaan tokoh hingga kecenderungan sebagian besar
novelis dalam menulis karya-karyanya. Kita bisa mengidentifikasi teknik-teknik
apa saja yang bisa kita gunakan dalam menggarap narasi, penokohan, plot, sampai
latar. Kita bisa membedakan realisme dengan modernisme, plot dengan struktur,
atau image dengan simbol. Dan yang
lebih penting adalah kita bisa mulai menganalisis secara intrinsik serta
menggunakan berbagai pendekatan dalam mengkritik suatu karya.
Sayangnya buku ini terlalu merujuk ke
literatur Barat. Puluhan novel Barat (yang umumnya sudah zadul banget!) disebut
dalam buku ini, sedangkan dari Indonesia hanya dua novel yaitu “Royan Revolusi”
(Ramadhan KH) dan “Siti Nurbaya” (Marah Rusli). Saya berharap menemukan lebih
banyak buku yang membantu kita mengenal karya fiksi dari negeri kita
sendiri—kebudayaan kita sendiri. Lebih baik lagi apabila kita memiliki buku
semacam “The Harper Anthology of Fiction”
atau “One World of Literature” tapi
dikhususkan untukkarya-karya dari
Indonesia saja, yaitu berupa kompilasi fiksi pendek yang masing-masingnya
dilengkapi dengan daftar pertanyaan, sehingga membantu pembaca mengembangkan
analisisnya terhadap suatu karya.
Meskipun demikian sekiranya calon
pengarang tidak perlu terpatok dengan kriteria-kriteria dalam buku terkait
kritik. Barangkali buku semacam ini bisa memberitahu mana yang bagus dan mana
yang buruk dalam cerita kita, maupun teknik apa yang bisa dipakai untuk
melancarkan penulisannya, tapi jangan sampai hal-hal tersebut mengebiri proses
kreatif kita.***
Kenalkan,
Adrianna Fernandhita Fauzi. (Saya)
panggil saja Adri.
Sejak TK ia
bersekolah di Voltaire International School (VIS), dan akan menjalani masa SMA
juga di sana. Itu ketentuan orangtuanya, ia selalu menurut pada mereka.
Adri
berasal dari kalangan menengah ke atas, atau memang atas, yang hidup di
metropolitan. Tipe anak yang kedua orangtuanya sibuk dan biasa pulang malam,
sehingga ia dan saudara-saudaranya dikasih segala fasilitas. Si Papa suka baca,
koi, dan golf, dan punya aturan makan malam bareng biarpun ia baru pulang
setelah jam sembilan malam. Si Mama yang bankir modis dan gaHul. Masing-masing punya sopir sendiri, pun ada sopir khusus
untuk anak-anak mereka. Adri punya seorang kakak dan seorang adik, keduanya
cowok. Si kakak yang lebih bisa menentukan nasibnya sendiri meneruskan
pendidikan di Bandung, doyan tebar pesona dan mabuk. Si adik suka menonton TV,
les, dan olahraga, ingat salat.
Novel “glam girls” karangan Nina Ardianti ini (Gagas Media, 2008) menceritakan kehidupan awal Adri
di VIS jenjang SMA, memberikan gambaran akan sebuah sekolah elit internasional
beserta sistem pendidikannya, seragamnya, menu internasional di kafetarianya,
sampai kehidupan sosial di dalamnya—yang terakhir ini yang jadi sorotan utama.
VIS diisi oleh anak-anak yang hidup ala jetset, entah anak sosialita, duta
besar, pengusaha, ekspatriat, atau pejabat. Lokal, blasteran, maupun murni
bule—hidup mereka ditentukan oleh merek, dengan siapa mereka bergaul, serta
kemampuan menyelipkan bahasa Inggris di sela-sela percakapan, he, setidaknya
ini yang saya tangkap dari narasi Adri.
Rashi, May,
dan Marion merupakan the hottest clique
di VIS. Just so you know, clique
adalah istilah yang lebih sophisticated ketimbang
gank. Nasib menggiring Adri untuk
terus dan terus bersinggungan dengan mereka, sampai-sampai bikin Sasya, Selena,
dan Bianca iri pada Adri. Namun Adri tidak begitu mengindahkannya, ia lebih
peduli pada masalah akademisnya, termasuk ketika ia sekelompok dengan Rashi dan
May di subject Indonesian Studies. Mengerjakan
tugas bareng Rashi dan May membuat Adri dekat dengan mereka, apalagi setelah
Marion minggat dari clique tersebut. Hidup
Adri pun mulai berubah… ia lebih memerhatikan penampilan, mendadak populer,
pelajaran keteteran, hingga dijauhi orang-orang yang semula dekat dengannya. Bagaimanapun
sebagai karakter utama Adri mengalami transformasi, ia berusaha menyeimbangkan
perubahan tersebut dengan kehidupannya yang lama. Maka akhir novel ini malah
merupakan awal kehidupan yang baru bagi Adri, ia akan menjadi bagian dari clique Rashi dan May.
Eh maaf spoiler.
Anyway, novel ini sebetulnya mengusung unsur-unsur yang bakal
kita temukan juga di berbagai sinetron remaja, walaupun saya masih bisa menerima keklisean tersebut sebagai situasi
yang wajar.
Agaknya pengarang pun mengakui hal tersebut.
Ads: Abis. Lo
pikir hidup gue sinetron yang bersambung melulu!…Jasmine_Nads :
Hehehe… Eh, bukannya malah keren banget, Ad. Lo jadi cewek-cewek berkuasa kaya
geng cheers di sinetron-sinetron Indonesia. (hal.
207)
Omongan Sasya barusan kayak scene di sinetron-sinetron nggak, sih—minus pelototan dan
pindah-pindah angle kamera untuk menambah elemen ketegangan. (hal.
246)
Novel ini mengingatkan saya sama karya-karyanya
Sitta Karina, sesuatu yang saya konsumsi di akhir SMP-awal SMA kemudian saya
dan teman saya tidak menyukainya sampai-sampai bikin parodinya. Sama-sama
mengumbar gaya hidup kalangan atas, mencampur-adukkan penggunaan bahasa
Indonesia dengan bahasa Inggris, dan merek merupakan unsur yang haram untuk
dilewatkan. Coba bandingkan kalimat dari halaman 82 ini…
Aku
menyampirkan daypack Samsonite pinkish-ku ke bahu dan melirik Swatch di pergelangan tangan kiri.
...dengan kalimat yang sudah
disederhanakan ini.
Aku
menyampirkan ranselku ke bahu dan melirik jam di pergelangan tangan kiri.
Terasakah perbedaan yang signifikan?
Saya coba mengumpulkan merek-merek yang
bertaburan dalam novel ini, ternyata cuman sampai 2,5 halaman A5 saja.
Lumayanlah untuk menambah wawasan.
Semula saya teriritasi dengan
unsur-unsur tersebut. Kini saya memaklumi penggunaannya untuk membangun
kehidupan yang ingin ditampilkan. Ternyata merek merupakan dewa bagi kalangan
ini. Pergaulan mereka juga taraf internasional, sehingga wajar kalau mereka
bilingual.
Bagaimanapun juga saya masih lebih
menyukai novel ini. Barangkali karena narasi dibawakan oleh sudut pandang orang
pertama yang notabene karakter utamanya, suaranya “dapet”. Gaya bertuturnya pun
enak, sebagaimana bahasa lisan saja. Meskipun sama jorjoran dengan yang ada
dalam karya-karya Sitta Karina, namun pembawaan novel ini terasa simpel dan
lebih meyakinkan. No offense, it’s just
my own opinion. Tuh kan saya jadi latah berbilingual-ria :P
Selain itu bagi saya isi novel ini tidak
menyilaukan kovernya, barangkali karena saya sudah pernah mengonsumsi karya
semacam ini sebelumnya, atau mungkin juga karena saya sudah tahu apa yang bakal
saya hadapi. Karakternya ternyata masih duduk di kelas 1 SMA (grade 10, ya know), masih polos, dan
gejolaknya terasa. Karakter lain yang digarap cukup bagus menurut saya adalah
Rashi, yang berpotensi sebagai antagonis, tapi dalam perjalanannya malah
mendukung protagonis. Karakternya seperti bawang, berlapis-lapis maksudnya.
Adapun karakter-karakter lain seperti May, Sasya, Marion, Dico, siapalah, saya
rasa cenderung flat, kalau bukan
karena perannya yang cuman pendukung, yang dengan demikian membuat nuansa sinetron
dari novel ini makin terasa. Beberapa cowok yang disebutkan namanya
berseliweran dalam kehidupan Adri, tempting
but nothing happened, entah kenapa rada suka dengan yang semacam ini.
Sebetulnya saya antara percaya dan tidak
percaya dengan kehidupan yang ditampilkan melalui novel ini. Di satu sisi saya
ingin mempercayainya, maksudnya, saya membaca novel ini untuk mengetahui (kembali)
kehidupan kalangan tertentu, sehingga apa yang saya dapatkan dari novel ini
saya anggap sebagai cerminan realita. Di sisi lain saya rada tercengang dengan
bagaimana peliknya kehidupan sosial kaum ini. it’s like you’re nobody without brand, popular acquaintances, and else—bleh!
Saya yang rada asketis ini pun belum
bisa mengatakan kalau kehidupan sosial saya bagus, maka saya memilih untuk bisa
fleksibel dalam pergaulan ketimbang eksklusif seperti itu. Saya berinteraksi
dengan siapapun yang ada, bukan dengan yang memiliki label tertentu.
Barangkali sebagian orang bakal
terkesima dengan ke-sophisticated-an
(bahasa apa sih ini? o_0) yang disajikan cerita dalam novel ini, karya-karyanya
Sitta Karina, serial “Gossip Girl”,
atau apalah. Saya sih justru kasihan dengan orang-orang yang mendasarkan
hidupnya pada hal-hal yang tidak mendasar seperti itu, sooo materialistic, sampai untuk cari teman yang tulus saja susah. Apalagi
di sekitar kita toh masih banyak orang yang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
sehari-hari saja tidak mampu. Pun sekiranya lebih baik untuk mensyukuri mereka
yang masih mau menghargaimu, meskipun kamu merasa sudah tidak punya harga diri.***
Aku akan
kembali ke daerahmu untuk meneruskan nasibku. Mendadak teringat kamu. Ingin
tanya kabarmu. Alhamdulillah yah, katamu. Masih begini saja, tapi kamu sedang
di pelosok. Hati-hati di jalan, katamu. Naik kereta atau bis. Ah kamu tidak
baca pesanku sebelumnya. Tapi aku tetap membalas. Kamu tidak.
Sesaat aku
hangat. Aku ingin ketemu temanku, menyanyikan “Kuring Bogoh ka Manehna”[1] untuknya. Terbayang-bayang
ikut kemanapun kamu, walaupun anak kita akan besar di hutan. Pertanyaanmu untuk
membuatku berpikir, sedang aku ingin langsung kamu katakan apa inginmu. Kamu
keras, kamu juga lembut. Percikan-percikan di antara kita. Ternyata kita sama.
Menangguhkan lainnya demi meraup yang satu. Wajah menyeramkan. Jika bisa
bersamamu aku akan bersemangat. Jikapun aku tetap sedih, aku ingin sedih di
pangkuanmu. Tapi segera setelah ini aku akan melupakanmu. Kamu pantas
mendapatkan yang lebih baik.
Mengenakan fur—semacam penghangat leher yang
terbuat dari bulu hewan—merupakan tren bagi wanita pada tahun 1920-an, dan
belum dianggap sebagai suatu kejahatan. Miss Brill memiliki sebuah fur yang ia hendak kenakan untuk
menonton pertunjukan musik di taman pada suatu Minggu sore.
http://www.hatshapers.com/Old%20Postcards.htm
Tidak biasanya tempat tersebut ramai dikunjungi orang. Sepasang
lansia duduk di bangku “spesial” Miss Brill. Miss Brill yang doyan menguping
kecewa karena pasangan tersebut tidak bicara pada satu sama lain, mereka
seperti patung. Minggu lalu suami-istri dari Inggris yang berada di tempat
tersebut. Istri mengeluh soal kacamata, yang dengan sabar ditanggapi oleh
suami. Bukan peristiwa yang mengenakkan juga bagi Miss Brill.
Miss Brill pun
mengamati orang-orang lain. Ia melihat orang-orang yang duduk di bangku, tampak
sama dari Minggu ke Minggu, aneh, pendiam, hampir semuanya tua, dan dari cara
mereka memandang mereka seperti berasal dari ruangan yang gelap dan sempit.
Ia juga melihat
bagaimana seorang wanita cantik menjatuhkan bawaannya, yang diambil oleh
seorang bocah untuk diserahkan pada wanita itu lagi, tapi wanita itu malah
membuangnya seolah barang tersebut telah beracun.
Seorang wanita
dengan topi ermine (sejenis cerpelai)
mendekati seorang pria. Wanita itu tampak senang dan mengajak pria tersebut
mengobrol, tapi sang pria malah mengepulkan asap rokok ke wajah tersebut lantas
pergi begitu saja. Wanita itu pun sendirian, tapi ia segera mendekati orang
lain dengan lebih ramah.
Miss Brill sangat
menikmati mengamati orang-orang, seperti sebuah pertunjukan drama. Semua berada
di atas panggung, termasuk dirinya. Ingatannya melayang pada seorang pria yang
ia bacakan koran setiap empat sore dalam seminggu, yang kondisinya sudah
seperti orang mati. Tapi tiba-tiba pria itu menyadari kalau selama ini wanita
yang membacakan koran untuknya adalah seorang aktris!
“Yes, I have been an actress for a long time.”
Seiring dengan band yang terus bermain, Miss Brill
membayangkan orang-orang turut bernyanyi.
Sepasang remaja
kemudian duduk di bangku “spesial” Miss Brill, menggantikan pasangan lansia
yang semula di situ. Sembari masih bernyanyi tanpa suara, Miss Brill
mendengarkan percakapan sepasang kekasih tersebut, bagaimana mereka
mengolok-olok fur yang ia kenakan.
Di perjalanan pulang
Miss Brill biasa membeli cake madu.
Kadang ia mendapatkan almond pada
irisan cake tersebut, kadang tidak. Keberadaan
almond baginya bagai sebuah hadiah
kecil, sebuah kejutan. Tapi hari itu ia melewati toko roti begitu saja,
langsung menuju kamarnya yang gelap dan sempit seperti lemari. Beberapa lama ia
duduk saja, sebelum melepaskan fur-nya
dengan cepat, tanpa melihat, lalu mengembalikannya ke kotak. Setelahnya ia
seperti mendengar tangisan.
Bagaimanapun cerpen
dibuka dengan mood baik Miss Brill,
begitu seterusnya meski beberapa kali ia melihat hal yang tidak ia sukai,
hingga ia bertemu dengan sepasang kekasih yang membicarakan dirinya. Musik yang
dimainkan oleh band di taman tersebut
seolah menggambarkan suasana yang berganti-ganti.
Tapi beberapa detail
dalam cerpen ini menunjukkan bagaimana Miss Brill sebenarnya merupakan sosok
yang kesepian. Ia mengisi kekosongan dari hatinya dengan mengamati orang-orang.
She had become really quite expert, she thought, at
listening as though she didn’t listen, at sitting in other people’s lives just
for a minute while they talked round her.
Walaupun ia tidak
mengenal orang-orang tersebut, sehingga ia mendeskripsikan mereka dari apa yang
mereka kenakan.
Ia juga berusaha
menyangkal perasaan negatif dalam dirinya.
And when she breathed, something light and sad—no, not
sad, exactly—something gentle seemed to move in her bosom.
…and it also explained why she had quite a queer, shy
feeling at telling her English pupils how she spent her Sunday afternoons.
And what they played was warm, sunny, yet there was
just a faint chill—a something, what was it?—not sadness—no, not sadness—a something
that made you want to sing.
Bahkan di akhir
cerita pun ia menyangkal kalau ia yang menangis.
But when she put the lid on she thought she heard
something crying.
Dan barangkali
keberadaan almond dalam cake, yang ia anggap sebagai
hadiah/kejutan, merupakan caranya untuk menghibur diri.
Pengarang bahkan
tidak menyebutkan nama depan Miss Brill sama sekali di sepanjang cerpen, seolah
menunjukkan bahwa Miss Brill tidak memiliki teman yang bakal memanggilnya
dengan nama tersebut.
Dengan demikian Miss
Brill begitu sayang pada fur-nya,
seolah benda tersebut adalah sahabatnya. Ia bahkan memanggil benda tersebut “little rogue”, yang mana kata tersebut
merujuk pada orang yang bersikap buruk namun tidak berbahaya, seperti seorang
pria. Barangkali Miss Brill merindukan seorang pria.
Miss Brill menolak
untuk teridentifikasi dengan orang-orang yang barangkali lebih menyerupai
dirinya…
Other people sat on the benches and green chairs, but
they were nearly always the same, Sunday after Sunday, and—Miss Brill had often
noticed—there was something funny about nearly all of them. They were odd,
silent, nearly all old, and from the way they stared they looked as though they’d
just come from dark little rooms or even—even cupboards!
(bandingkan dengan
penggalan dari paragraf terakhir ini:
But today she passed the baker’s by, climbed the
stairs, went into the little dark room—her room like a cupboard—and sat down on
the red eiderwood.)
…namun dapat
bersimpati dengan wanita bertopi ermine
yang bisa jadi seorang pelacur.
Saya coba memahami
kenapa Miss Brill tidak senang dengan sepasang lansia yang tidak saling bicara,
istri yang rewel sedang suami berusaha menghibur, orang-orang yang duduk di
bangku dan diam saja, wanita yang membuang kembali barang yang telah diambilkan
seseorang untuknya, serta pria yang tidak mengacuhkan wanita bertopi ermine. Menurut saya alasan Miss Brill
lebih dari sekadar yang terkemuka dalam cerpen maupun ulasan-ulasan mengenai
karya tersebut yang saya baca. Miss Brill sebagai orang yang sendiri dan
kesepian, sedang orang-orang yang ia amati sebagai orang yang memiliki
kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lainnya, tapi tidak termanfaatkan dengan
baik. Barangkali hari Miss Brill bakal lebih indah ketika ada yang mau
mengobrol dengannya, sehingga menjadi pengalaman yang berkesan bahkan berarti
baginya, dan bukannya malah membicarakannya diam-diam.
***
Cerpen ini
menunjukkan bagaimana suatu karakter dapat ditampilkan secara utuh tapi
ringkas, walaupun karakter tersebut tidak secara langsung mengungkapkan
bagaimana dirinya. Beberapa ulasan yang saya baca mengatakan kalau cerpen ini
pun merupakan bahan yang baik untuk mempelajari ironi dan simbolisme. Misal
bagaimana Miss Brill mencemooh sosok-sosok yang sebenarnya menyerupai dirinya,
juga pada detail-detail yang membantu mengungkap makna seperti “fur”, “rogue”, “nose”,
dan sebagainya.
Lucu mengingat
bagaimana di awal cerpen Miss Brill memerhatikan fur-nya yang dilengkapi anggota tubuh hewan itu…
But the nose, which was of some black composition, wasn’t
at all firm. It must have had a knock, somehow.
…sementara di akhir
ia menyadari kenyataan (getting hit onthe nose) pahit mengenai hidupnya.
Sendiri Itu tidak
Indah. Solitude Is not Bliss. Walaupun Sakit Sendiri memang bisa memantik inspirasi.
Antitesis dan perenungan untuk
Sendiri Itu Indah - Seurieus
Solitude Is Bliss - Tame Impala
Sakit Sendiri - Rumah Sakit
Referensi
Barnet, S. 1991. The Harper Anthology of Fiction. New York: HarperCollins Published Inc. (bisa juga dibaca di sini)
Aku bekerja keras untuk membantumu mencapai keinginanmu,
meski itu kian melemahkan fungsiku. Padahal telah lebih dari 1/3 waktumu kau
istirahatkan aku, tapi seolah itu tak cukup. Kontaminasi cahaya buatan tak
bagus bagiku, dayaku sudah tak sebaik dulu. Belum tetanggaku, si Telinga,
mengeluh akibat kau dera terus-menerus dengan lagu. Itupun memayahkanku.
Barangkali aku belum bisa pensiun dari pekerjaanku sebagai penyapu aksara, tapi
kau bisa meringankan bebanku dengan membuat aktivitasmu lebih variatif.
Sehingga jangan aksara terlalu mendominasi ranahku, tetapi juga orang-orang,
hewan, pepohonan!, gunung, lautan, dan angkasa!, dengan penerangan alami, lebih
sehat bagiku—kau tahu. [241012]
Justru aku mau keluar. Tolong aku keluar dari sini.
“Wah. Saya
enggak berkemampuan buat ngeluarin kamu. Saya cuman bisa dialog sama kamu aja.”
Dan ngobrol
bareng makhluk dari alam lain selalu jadi pengalaman eksotis buatku.
“Kenapa
kamu bisa ada di dalam Miranda?”
Miranda nyaman. Orangnya baik, teman-temannya suka. Hidupnya
enak, semua dipenuhi orangtuanya. Rajin belajar, aku bisa banyak menyerap ilmu
manusia.
“Terus
kalau kamu emang nyaman kenapa kamu pingin keluar?”
Aku enggak aman lama-lama di sini. Teman-temanku
pindah-pindah medium, mereka lebih dihargai. Mereka belajar lebih banyak, mereka mendapat lebih banyak. Enggak ada tempat yang aman
sebetulnya, tapi harus ada dinamika.
“Ya udah
keluar aja.”
Enggak segampang itu. Kamu lihat sendiri kan, Miranda
kesakitan waktu aku mau keluar. Aku sengaja muncul waktu Miranda dengan orang
banyak, supaya menarik perhatian, supaya ada yang bisa bantu aku keluar.
“Oh baguslah.
Mungkin entar orangtua Miranda bakal panggil kiai, orang pinter, atau apa…”
Tapi sebetulnya aku takut. Aku udah terlalu lama di Miranda.
Nanti pasti susah menyesuaikan diri lagi dengan medium baru. Aku bingung.
“Tapi
akhirnya kan kamu udah terlanjur menampakkan diri…”
Makanya itu, aku enggak tahu setelah ini gimana. Aku capek
sama masalah ini. Aku enggak tahu sampai kapan bisa tahan di sini, tapi apa aku
bisa tahan di luar sana? Oh…
Nonmiranda
menangis dengan menggunakan air mata Miranda.
Tiba-tiba
tubuh Miranda berkelojotan, diakhiri sentakan kencang. Pandangannya kosong
sesaat, lalu dengan lemah celingukan. Ekspresinya tidak lagi menyerupai Suzanna
waktu minta sate 100 tusuk, suaranya tidak lagi seperti Darth Vader.
“...ngh, aku kenapa sih...?” tanyanya, dengan napas masih terengah.
Akupun
seperti baru menyadari kalau hanya aku dan dia di ruangan ini. Dia perempuan
dan aku bukan. Lengan dan kakinya terikat di tempat tidur. Pintu tertutup. Gorden
rapat. Sialan. Makhluk itu menghilang begitu saja. Dasar pecundang. Setan
labil.
“Enggak
ada apa-apa,” kataku. Lekas-lekas berdiri.
“Kenapa
aku di sini? Ngapain kamu di sini?!” Kali ini gelisah Miranda bukan karena
makhluk di dalam tubuhnya, aku yakin… ia lebih ngeri padaku ketimbang pada makhluk di dalam tubuhnya-andai-saja-ia-tahu.
“Tenang,
tenang, Miranda…” Lihat, pakaian kita sama-sama utuh. Kamu di tempat tidur dan
aku di sofa yang jaraknya satu meter lebih darimu. Tubuhku bahkan tidak condong
ke arahmu. Sayangnya aku terkelu.
Cepat!
Sebelum dikira pervert!
“Saya
panggil guru dulu…” ucapku sebelum menutup pintu, “…ngasih tahu kalau kamu udah sadar,” dengan
menyimpan sesuatu yang masih ingin bersembunyi di dalam tubuhmu.[[waktuhabis!]]
Bogemnya menjurus ke daguku. Bagus, aku bisa mengelak. Deru
napasku menghebat, dengusnya tertahan di lubang hidung. Bagus, begitu pula
katanya. Sekarang apa? Yang kupikirkan hanya menyerbu perutnya dengan puncak
kepalaku. Tertangkap kedua belah tangannya, lalu tergampar tendangannya bak
bola. Aku terhuyung. Tubuhku berderak di ubin. Tidak ada gunanya meresapi
nyeri. Mengaduh-aduh bukan senjata yang mempan. Ia ulurkan tangan padaku,
kusambut, sekalian kujegal tumitnya. Sip! Ia nyaris terjungkal, tapi bagian
atas tubuhnya lantas berkelok dengan luwes, lalu menghantam tubuhku dari atas.
Dadaku menubruk ubin. Ia biarkan aku terengah-engah berapa lama, sebelum menarik
sebelah tanganku dengan kasar. Aku bahkan tidak sadar ia sudah tidak menindihku.
Bagian belakang tubuhku terlempar hingga menabrak dinding. Segera ia mengambil
jarak, angkat kedua bogem, sementara sepasang tungkai kakinya menjejak
kuda-kuda. Ayo, ayo. Hembusan napasku amat keras. Sebelah mataku sudah tidak
melihat. Serasa aku bakal ambruk setiap saat. Tapi ia menantiku. Aku kerahkan
pukulan sikut, berharap bisa menusuk bagian manapun dari tubuhnya, manapun,
ayo, terjatuhlah. Tapi bogemnya menggebuk pipiku. Sial! Sontak aku meludah.
Gimana, rasanya? Ia mengulas senyum. Asin, bangke!, asin! Kujawab dengan
batuk-batuk yang efeknya bak meledakkan rusuk. Aku bisa dengar sengalnya.
Pelipisnya yang berkilat-kilat akibat keringat. Mendadak semangatku nyala. Ini
akan jadi penghabisan, penghabisan! Kujelmakan diriku kilat, condong ke
perutnya. Ia berkelit, untung masih tertangkap sebelah mataku yang masih dapat
membuka. Hyah! Hyah! HYAAH! Aku sudah tidak peduli mana tangan mana kaki.
Pandanganku merah, merah. Aku dibakar panas dari mana-mana, bekas tubuhnya yang
menubruk tubuhku dengan semena-mena. Terakhir kuayunkan pundakku, pundakku,
jatuh dalam rengkuhannya.
Ia tertawa, bangsat!, ia tertawa. Aku terkulai di kaki tempat
tidurnya, sementara ia turun ke lantai bawah. Suara ibunya. Ada apa sih Nak
gedebak gedebuk di atas. Beres-beres, Bu!, serunya bernada misuh-misuh, aku
tahu dalam hati ia terkekeh puas, si keparat itu. Bercak merah menodai
seragamku, bagus, seragamku sekarang menyerupai bendera Jepang. Aku tidak tahu
jatuh dari mana cairan itu, dari dahiku apa hidungku apa mataku apa mana.
Barangkali jantungku pun telah melesak ke kepala, berdenyut-denyut keras di
sana.
Ia kembali, menghamburkan barang-barang dari tangkupannya di
dekatku. Kapas, cotton bud, sebotol
alkohol, Betadine, plester… Aku tidak tahu kalau ia ikut PMR di sekolah.
Pedulilah. Perih mulai menimpa titik-titik mulai dari permukaan kulitku hingga
beberapa kilometer lagi ke dalamnya. Kuintip sesekali matanya, yang dengan
saksama memerhatikanku—lukaku.
“…aku enggak mau ginian lagi,” ucapku, dengan napas yang
masih sukar kuatur.
“Manja banget kamu ini,” gerutunya, tanpa senewen betul.
Aku tidak menjawab, sekalian menelengkan kepalaku. Aku ingin
meludah lagi. Tapi melihat bercak dari lukaku pada hari-hari sebelumnya saja
belum ia bersihkan… ya ampun si brengsek ini benar-benar jorok—kadal buntung.
Ocehannya terus dengan bagaimana pukulanku makin kuat,
tendanganku makin mengena, tusukanku makin lincah, dan pertahananku makin gesit
dari waktu ke waktu.
Jujur, aku tidak bisa menahan ini, aku ingin bersamanya—ya aku
memang ingin bersamanya!, tapi tidak untuk jadi samsaknya. Tidak untuk jadi
pengganti dirinya sedang ia pengganti bapaknya, dulu, dulu ketika ia bangun
siang ditampar, tidak menghabiskan makan digampar, keluyuran ditonjok, tidak
kerjakan PR dijotos, menangis ditoyor, mengeyel ditempeleng. Ringan tangan dan
berat mulut, begitu ia mengenang bapaknya, yang almarhum.
“Tapi kamu tahu, Raka, waktu aku jadi juara umum di SD-ku.
Aku pulang bawa piala besar, piagam, hadiah… kamu tahu gimana bapakku?”
“AKH!” Tiba-tiba ia menabok lenganku dengan kencang,
membuatku tahu mesti ada memar yang dalam di sana.
“…sebetulnya enggak persis di sana sih, tapi di punggung…”
“…habis itu dia nangis, Raka, dia nangis. Yang lain enggak
merhatiin dia nangis, tapi aku tahu dia nangis, dia langsung pergi jadi yang
lain enggak liat, tapi aku tahu, Raka, aku tahu.”
Setelah menyobek pembungkus plester ia henti sesaat. Memandang
ke lain arah sebelum kembali padaku. “Aku bukan orang yang sulit kayak bapakku.
Kalau aku ingin kamu jadi temenku, aku bisa bilang langsung sama kamu, enggak
sulit.”
He. Benarkah? Ia tidak melakukannya. Ia cuman mengajakku ke
kamarnya, main game, lalu bilang
kalau tarung betulan lebih enak ketimbang tarung dengan avatar, lalu ia ketagihan.
Aku bisa apa, tubuhnya jauh lebih besar dan perkasa.
“Tapi…” sejenak mukanya mengernyut-ngernyut, “…aku suka cara
bapakku.”
Ia menyeringai, lebar. [cukupah:14.20 – 15. 11:231012]
Perempuan
itu tinggal di sudut kamar di lantai dua. Kamar yang hanya ditempati ketika ada
tamu. Aku sudah menyadari keberadaannya sejak aku kecil. Kadang malam-malam aku
menemani ibuku ke gudang, yang terletak di dekat kamar itu. Pintu kamar
terbuka, gelap tanpa setitik pun nyala, dan menampakkan sosoknya yang hanya
disinari bulan.
Aku pernah
menanyakan tentangnya pada ibuku. Ibuku tampak tidak suka. “Hush!” ujarnya.
“Enggak ada siapa-siapa di situ.”
Tapi aku
tahu ia sungguh ada. Setelah ibuku bicara seperti itu, beberapa kali kami ke
lantai dua lagi, aku masih melihatnya. Tapi aku biarkan saja. Lama-lama aku
tidak menggubrisnya juga, sebagaimana ibuku.
Ibuku,
sekalian adikku, kemudian meninggal dalam suatu kecelakaan. Aku tinggal berdua
di rumah dengan ayahku—plus seorang bibik yang bekerja untuk kami dari pagi
sampai menjelang sore. Kalau malam rumahku menjadi sangat sepi, karena ayahku
pulang semakin larut.
Suatu
malam ayahku tidak pulang, ada dinas. Ia menyuruhku untuk menginap di rumah
tanteku saja sementara, tapi aku merasa sudah cukup besar untuk ditinggal
sendiri di rumah semalaman.
Malam itu
aku mengerjakan PR sembari menonton TV. Tidak bisa kupungkiri lama-lama
kesendirian memberdirikan bulu romaku. Sesekali aku mengedarkan pandang ke
sekitarku. Napasku memburu. Kubayangkan seorang pria tiba-tiba memasuki
rumahku, mengacungkan celurit dengan wajah garang, aku digoroknya sampai
nyawaku meregang, lalu ia pergi dari rumah ini dengan menggotong barang-barang
berharga.
Kukeraskan
volume TV. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi pada PR.
Tiba-tiba
ada suara. Aku kontan berlari ke lantai dua. Uh mengerikan sekali di lantai
bawah, sendiri. Barangkali itu hanya kucing atau apa, tapi aku kadung
ketakutan. Kalau di lantai dua kan aku tidak sendiri. Aku tahu, aku ingat.
Perempuan
itu masih ada di sana. Duduk tenang di ambang jendela. Begitu anggun.
Aku duduk
di tempat tidur, jarak di antara kami mungkin hanya semeter.
“Hei,”
panggilku. “Halo.”
Dan itu
menjadi awal perkenalanku dengannya. Sepertinya ia juga sudah mengenaliku sejak
lama, begitu yang aku sangka dari sorot matanya. Rautnya begitu pucat hingga ia
tampak seperti panda berwujud manusia. Pipinya tirus, ia begitu kurus. Rambutnya hitam panjang, agak
acak-acakan. Mulutnya membentuk garis mendatar. Gaunnya putih panjang, seperti
transparan, seperti bersayap. Usianya mungkin belasan tahun lebih tua dariku.
Terlalu
jeri aku untuk kembali ke lantai bawah dan kembali sendirian. Maka aku duduk
saja bersamanya, menikmati malam yang tanpa angin. Aku mencoba berkata-kata
untuk mengusir kecanggungan. Ia tidak bisa menjawab kata-kataku, tapi aku tahu
dari ekspresi matanya ia menyimakku. Kata-kataku keluar semakin lancar hingga
membentuk cerita. Aku ceritakan diriku. Aku ceritakan ayahku. Aku ceritakan
ibuku dan adikku yang sudah tiada. Aku ceritakan teman-temanku di sekolah, yang
tidak terlalu menganggapku. Aku ceritakan orang-orang yang harus kuhindari,
kadang bikin aku sampai berlari. Kadang aku berhenti sejenak, termenung sendiri
akan ceritaku. Tapi di bawah tatapannya aku merasa ditunggu untuk melanjutkan.
Tidak terasa kantuk olehku. Menakjubkan. Setelah mulutku basah kembali aku
berikan yang ia nanti-nanti, sampai wujudnya diburai azan subuh.
Aku
tertegun, dan aku mengantuk. Aku tidur hampir di setiap pelajaran di sekolah.
Hampir-hampir
ia kulupakan ketika ayahku bersamaku saat malam. Teringat ia. Ketika ayahku
tidak memerhatikan aku berlari ke atas. Ia ada. Kutumpahkan hal-hal menarik
yang kualami hari itu, seakan ia sebuah buku harian. Ia tersenyum—ia tersenyum!
Lalu aku kembali ke lantai bawah karena ayahku menyuruhku untuk tidur.
Esok lagi
aku mendatanginya lebih awal. Tidak banyak yang bisa aku ceritakan padanya kali
itu. Tapi aku ingin bersamanya. Walaupun ia selalu diam seperti ayahku, tapi
aku tahu matanya selalu padaku. Aku ingin mengerjakan PR ditemani olehnya.
Dari
ambang pintu kulihat sosoknya, membuatku gembira. Aku nyalakan lampu, dan ia
menjadi tidak tampak.
Kurasa aku
bisa mengerjakan PR dengan penerangan bulan saja.
Malam-malamku
selanjutnya banyak kuiisi dengannya. Jika beberapa malam saja aku tidak bertemu
dengannya, rasanya aku merindukannya. Ia yang mendengarkanku dengan tulus.
Bahkan sesekali ia tertawa meskipun aku merasa tidak ada yang lucu pada
ceritaku, tapi bukan tawa menghina. Barangkali aku telah menghiburnya. Aku kira
ia pun kesepian. Tawanya terdengar seperti dari kejauhan, hampir-hampir lirih
dan tidak menyentuh pendengaranku. Ia tidak pernah memperlihatkan giginya.
Sebetulnya aku ingin ia dapat bicara, tapi sepertinya aku belum siap jika ia
sampai memperlihatkan giginya, meskipun aku tidak tahu giginya seperti apa.
Ia sudah
menantiku sejak magrib dan akan memudar menjelang subuh. Tapi aku tidak lagi
pernah menghabiskan semalaman penuh bersamanya, karena ayahku akan heran kenapa
aku begitu betah di lantai dua yang sumpek, dan ia rahasiaku, ayahku tidak
boleh tahu. Kalau langkah ayahku sampai mendekat aku segera pamit pada temanku
di ambang jendela itu. Di mata ayahku aku sudah tampak seperti senang
memencilkan diri, apalagi kalau ia sampai menyaksikanku bicara sendiri, aku
tidak mau ia sampai mengira ada yang salah denganku.
Tapi pada
suatu malam aku merasa harus menghabiskan malam di kamar itu lagi. Ini bakal
jadi yang terakhir kali, sebab ayahku telah memberitahuku. Kami akan pindah ke
rumah yang lebih besar dengan seorang ibu dan adik-adik untukku. Bukankah itu
menyenangkan? Kami berkemas-kemas hingga berhari-hari, tapi hari sebelum hari
kepindahan kami berkemas-kemas hingga larut aku lelah sekali. Di depan
perempuan itu aku ambruk. Maafkan aku bahkan terlalu lelah untuk bercerita. Aku
tahu ia sudah puas hanya dengan memandangiku. Aku tidur menghadapnya. Tersenyum
padanya sebelum memejamkan mataku. Sinar rembulan menghangatkan wajahku.
Gelap begitu
singkat. Tahu-tahu sayup-sayup subuh menyelusup ke dalam rongga telingaku. Oh
sudah saatnya ia menguap, aku tahu, tapi aku tidak kuasa membuka mataku, malah
membenamkan sisi wajahku lebih dalam ke bantal. Pada sisi wajahku yang terbuka
kurasakan belaian lembut menerpa. Ia telah pergi, selamat tinggal, untuk
kembali lagi di penghujung hari berikut, tapi aku sudah tidak ada. (19.48 – 20. 34/221012)
dengan diiringi
“Anomali” dari Rumah Sakit dan “Pumped-up Kicks” dari Foster The People