Jumat, 23 Februari 2024

Kopi Ini Pahit Sekali

Penulis : Gol A Gong
Penerbit : Gong Publishing, Banten
ISBN : 978-602-9117-24-0 (kover), 978-602-9117-25-7 (KDT)
Cetakan pertama dan kedua, Juni 2013
Royalti dari buku ini disumbangkan untuk operasional Rumah Dunia

Buku ini saya pinjam dari teman dalam rangka Ray-Bradbury-Challenge-tapi-dimodifikasi-:p

Melihat Daftar Isi, isi buku ini dibagi menjadi enam yang dijuduli secara unik.

Secangkir Kopi: Ini Tidak Sekadar Kopi Arabica atau Robusta (pengantar dari penulis)
Dua Cangkir Kopi: Perjalanan Kopi Gol A Gong (pengantar dari Fikar W. Eda)
Tiga Cangkir Kopi: MENANAM KOPI (9 puisi)
Empat Cangkir Kopi: MEMANEN KOPI (9 puisi)
Lima Cangkir Kopi: MENUMBUK KOPI (9 puisi)
Enam Cangkir Kopi: MENYEDUH KOPI (9 puisi)

Membaca pengantar dari penulis, timbul anggapan bahwa buku ini merupakan catatan perjalanan yang ditulis dalam bentuk serangkaian puisi. Perjalanan itu tepatnya tur kota-kota di Sumatra mulai 1 Mei sampai 23 Juni 2013, dari Nol Kilometer di Pulau Weh hingga Bangka Belitung, dengan menghampiri kedai-kedai kopinya, menikmati cita rasa dan menghayati kisah di balik kopi.

Di antara nama-nama yang disebut penulis dalam pengantar ini ada L. K. Ara, yang kumpulan puisinya tentang pengenalan pohon saya pernah baca. Penulis juga menghampiri teman-teman FLP di beberapa tempat. (Apa teman saya yang mantan ketua FLP cabang itu membeli buku ini ketika ada acara FLP pada 29/Juni/13?)

Di sini penulis mengatakan, "Aku sebetulnya tidak maniak kopi ..... tak lebih antara 1 hingga 2 cangkir sehari." Can relate. Tapi saya sendiri yang minum rata-rata cuma 1 cangkir/hari, hampir setiap hari, dan rasanya mager berat sebelum mendapat sentakan kafein (dan gula), merasa kebiasaan ini sudah termasuk kecanduan. Mungkin yang dimaksud dengan "maniak" itu yang minum lebih dari 2 cangkir/hari? 

Jangan-jangan "maniak kopi" juga yang dapat mengetahui sedikit saja perbedaan antara kopi jenis satu dan jenis yang lain, entahkah rasanya ataupun aromanya. Sedangkan saya tidak begitu dapat--atau lebih tepatnya tidak peduli--dengan perbedaan itu. Kopi yang dibelikan dari kafe rasanya tidak lebih enak daripada kopi sachet yang diseduh di rumah dengan cuma-cuma, kadang rasanya sama-sama kayak bajigur saking manisnya. Saya baru merasa sedikit peka akan perbedaan rasa kopi sejak papa membeli dari Toko Kopi Makmur Jalan Gatot Subroto (bukan promosi), di bungkusnya tertera nama varian kopi yang biasanya berupa nama daerah di Indonesia, misalnya Gayo atau Toraja. Kesukaan saya kopi yang berwarna terang dan rasanya asam kayak Coca Cola, tapi saya masih belum cukup peduli untuk mengingat namanya. Kadang-kadang ada juga kopi yang bila sudah dingin rasanya seperti kecap atau jigong.

Bagaimanapun, kalau saya sendiri yang melakukan tur selama hampir 2 bulan dan setiap hari itu minum 1-2 cangkir kopi di daerah yang berbeda-beda sekalian dengan mendengarkan kisah-kisah di baliknya, kiranya bakal jadi sensitif dengan perbedaan tiap-tiap kopi.

Pengantar dari Fikar W. Eda menyadarkan bahwa di balik kopi yang telah menjadi gaya hidup kota besar ada petani yang kurang sejahtera, karena di"asing"kan oleh "modal besar" dan "terjerembab sangkar ijon kontemporer yang telah memberangus kemerdekaan". (Menurut aplikasi KBBI, ijon adalah pembelian padi dan sebagainya sebelum masak dan diambil oleh pembeli sesudah masak; kredit yang diberikan kepada petani, nelayan, atau pengusaha kecil, yang pembayarannya dilakukan dengan hasil panen atau produksi berdasarkan harga jual yang rendah.)

Karena singkatnya, pengantar ini kurang menerangkan realita di balik kopi dan ada suatu pertentangan. Dikatakan bahwa berkat kopi, petani Gayo dapat menyekolahkan anak sampai naik haji, yang sepertinya merupakan petunjuk kesejahteraan. Di paragraf berikutnya, ada "tetap terbelenggu kemiskinan". Bagaimana bisa menempuh pendidikan sampai naik haji kalau benar miskin? Apa karena keuntungan dari kopi masih lebih besar yang diperoleh tangan-tangan berikutnya ketimbang tangan pertama (petani)? Setidaknya, pengantar ini membangkitkan rasa penasaran dengan kekaburannya ini.

Nah, sekarang bagian paling sulitnya.

Setelah membaca buku-buku petunjuk membaca puisi, saya belajar bahwa untuk membaca puisi dengan sebenar-benarnya itu memerlukan perangkat tertentu yang berarti pembaca mesti bekerja lebih keras daripada ketika membaca tulisan biasa yang bersifat uraian dan dengan begitu memakan waktu lama juga. Untuk membaca buku puisi ini misalnya, saya jadi merasa perlu paham terlebih dahulu mengenai realita kopi yang dimaksudkan oleh penulisnya, tetapi tidak diuraikannya di sini, melainkan hanya menyuguhkan puncak-puncak ekspresi saja dari pengalamannya itu. Saya masih lebih nyaman dengan bacaan yang bersifat uraian, sehingga sepertinya akan lebih puas jika realita kopi ini dijabarkan dalam bentuk catatan perjalanan, cerita pendek, atau reportase, misalnya, yang tentunya tidak sesuai dengan maksud penulis sehingga yang dibuatnya adalah puisi bukannya yang lain-lain itu :v Selain itu, saya membaca buku ini lebih karena penasaran akan "puisi" ketimbang "kopi"; maksudnya, lumrahnya, saya tidak akan sengaja mencari bacaan tentang kopi. Jadi inilah yang saya dapatkan. Ketika mencoba membacanya seperti biasa, dengan menyapu kata demi kata syukur-syukur ada yang kena atau menimbulkan kesan/pikiran/perasaan apa, rupanya tidak ada apa-apa. (Dengan cara membaca biasa itu, buku yang tebalnya hanya 43 halaman ini dapat dituntaskan dalam kurang dari 1 jam.)

Alhasil, saya mencari tentang kopi di Ipusnas. Ketika sedang melihat-lihat, saya menemukan bahwa buku ini diterbitkan ulang oleh PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan pertama September 2014, dengan judul Air Mata Kopi. Dalam rentang antara buku ini dan buku itu, penulis telah berkelana lagi "di beberapa kota di Asia dan di nusantara". Di dalam buku itu ada lebih banyak puisi (49 puisi) dan tanpa pembagian menurut jumlah cangkir sebagaimana dalam buku ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain