Selasa, 13 Februari 2024

Ihwal Perklipingan (2)

Gambar dari Instagram.
Ada motivasi kuat untuk menghadiri acara workshop kliping beberapa waktu lalu (Minggu, 11 Februari 2024, lantai 3 Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung). Soalnya, di rumah ada koleksi kliping artikel sejarah milik Mama yang banyaknya lumayan. Selain itu, ada bertumpuk-tumpuk majalah lawas dsb yang kadang-kadang memuat artikel menarik lainnya. Karena hobi Mama mengkliping itu, selazimnya anak suka meniru perilaku orang tua, saya pun punya hasrat untuk menyimpan/merekam dan mengelompokkan apa-apa--salah satunya teks--yang menarik, apalagi kini ketika terbitan lawas sudah menjadi semacam barang langka, unik, bahkan antik. Timbul keinginan untuk berbagi dengan siapa saja, walaupun tidak secara fisik tapi melalui layar saja. Satu inisiatif yang saya coba adalah mendigitalisasikannya di blog, mana tahu ada yang mau ikut baca. Namun sepertinya istilah "mendigitalisasikan" terlalu keren. Sebab, yang saya lakukan sebetulnya hanyalah mengetik ulang artikel-artikel itu, sekalian membacanya secara lambat (dengan asumsi pengetahuan di dalamnya bakal rada menempel ketimbang kalau membaca secara biasa--yang, setelah bertahun-tahun melakukannya, ternyata enggak juga sih ... :p). 

Workshop kliping kemarin menunjukkan bahwa mengkliping secara digital rupanya tidak sesederhana itu, mengkliping ternyata dapat dilakukan secara profesional, dan mengkliping memang memiliki arti penting. 

Workshop ini menunjukkan hal-hal teknis, langkah-langkah yang dilakukan untuk mengkliping secara digital. Halaman yang mau dikliping di-scan lalu di-crop dan diberi nama. Dalam penamaan, yang pasti harus ada tanggal, bulan, dan tahun. Nomor halaman diperlukan bagi yang mau membuat tulisan ilmiah. Tentukan kategorinya. Lalu, buat metadata yang isinya di samping data artikel juga paragraf yang berupa intisari artikel mengandung kata-kata kunci agar kelak mudah dicari ketika dibutuhkan. 

Secara sederhana, ini dapat dilakukan dengan mengandalkan HP sebagai pengganti gunting dan scanner. Demikianlah yang dilakukan para peserta kemarin. 

Pekerjaan ini dapat melatih cara berpikir supaya rapi dan sistematis. Pekerjaan ini juga memerlukan stamina fisik sehingga mengimbanginya dengan olahraga itu penting.

Gus Muh sendiri, alias Muhidin M. Dahlan selaku pengampu workshop, mengerjakan kliping secara profesional, melakukannya seharian setiap hari, dan menjadikannya usaha komersial di antaranya berupa warungarsip.co

Artikel-artikel yang diklipingnya, yang berhubungan dengan tema acara selanjutnya, ada pula yang dipamerkan kala itu, dicetak pada kertas-kertas panjang yang berjuntaian mengitari ruangan. Di antara kertas panjang itu ada yang menyatakan fungsi dari kliping: "merawat ingatan, memperdalam pemahaman tentang hal-hal lampau, agar hari ini tidak mengalami amnesia". 

Gambar dari Instagram.
Hasil lain dari pekerjaannya mengkliping adalah buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998. Buku tebal seharga Rp 150.000 ini (didiskon jadi Rp 120.000 selama acara) adalah kliping yang dibukukan, berisi artikel-artikel dalam tema sebagaimana judulnya. Acara berikutnya, setelah workshop, membicarakan isu-isu yang diangkat dalam buku tersebut, dengan menghadirkan lebih banyak pembicara yang keren-keren pesertanya pun membeludak. Arti penting kliping diuraikan lebih lanjut dalam acara ini. 

Sebetulnya, dalam acara ini tersirat suatu maksud sehubungan dengan agenda politik yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Malah judul dari workshop kliping itu sendiri adalah: "Kliping sebagai Kerja Politik di Zaman Digital". Demikian acara ini memberikan konteks khusus akan guna dari kliping, yaitu memulihkan ingatan masyarakat akan sesuatu hal yang imbasnya dapat membantu mereka membuat keputusan yang akan menentukan masa depan bangsa (ih, dahshiaaat~). Cara efisien dalam pendokumentasian sebagaimana ditunjukkan Gus Muh dalam workshop di muka adalah untuk memudahkan dalam memanggil artikel-artikel terkait jika sewaktu-waktu diperlukan dalam momen seperti ini. Dengan begitu, kliping adalah kerja untuk kepentingan publik.

Walau demikian, yang menjadi inspirasi Gus Muh justru kerja individual sebagaimana dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya Pram). Gus Muh membuka workshop dengan menceritakan kegiatan mengkliping Pram, terutama selama menjadi tahanan rumah. Pram sang "pendekar gunting" tiap hari membeli 6 surat kabar. Namun, yang diklipingnya hanya 2 tema: desa dan dirinya sendiri. Hasil mengkliping selama 30 tahun itu disusun dalam jilid-jilid berukuran A5 bersampul oranye yang seluruhnya mencapai 17 meter (Gus Muh mengukurnya sendiri pakai penggaris 30 cm). Sepintas, pekerjaan ini tampak untuk kepentingan pribadi (kalaupun ada Pusat Dokumentasi Arsip Pramoedya Ananta Toer atau semacamnya, saya belum dengar sebagaimana halnya dengan Pusat Dokumentasi Sastra H. B. Jassin yang kerap diberitakan itu). Namun, sepertinya ini juga yang menyokong Pram sehingga dapat menghasilkan karya-karya sastra yang begitu berharga. Ujungnya untuk khalayak juga.

Mengkliping sebagaimana yang dilakukan Gus Muh adalah usaha mengumpulkan dan merapikan informasi, menyediakannya kepada siapa saja yang berkepentingan untuk mengolahnya. Seiring dengan kemajuan zaman dan pengarsipan yang makin baik ini, penulis sekarang mesti berhadapan dengan makin banyak data, sehingga makin dituntut untuk memiliki daya analitis yang makin tinggi pula sembari menghadirkan kebaruan--kerja yang makin pelik. Di kubu lain, orang makin tak peduli, makin tak membaca, makin tak beraturan, terhanyut dalam cara pikir yang makin-instan/mau-cepat saja; atau, kalaupun masih ada kepedulian, keinginan, kurang ada keleluasaan untuk melakukannya secara berkelanjutan. Di antara dua kubu itu, ada pula yang berusaha agar aktivitas membaca dan menulis senantiasa tertahankan meskipun ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain