Gambar dari situs Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Banjar. |
Penerbit : Garasi, Yogyakarta
ISBN : 978-979-25-4713-9, (E-) 978-623-7219-12-5
Cetakan II, 2012 (Cetakan I, 2010)
Buku ini sepertinya masih sedikit nyambung dengan buku yang belum lama ini saya tamatkan, yaitu Who Cooked Adam Smith's Dinner: A Story about Women and Economics, walau lebih ke "Women" ketimbang "Economics", tepatnya women education atau pendidikan perempuan. Namun pendidikan perempuan yang dimaksud Kartini--sebagaimana tampak dalam kutipan suratnya di bab 7, "Emansipasi Perempuan"--rupanya masih tidak lepas dari peran tradisional, yaitu agar menjadi istri dan ibu--pendamping lelaki dan pendidik anak--yang lebih baik, yang berharga, setara dalam arti posisinya itu tidak dipandang rendah, alih-alih untuk menjadi pesaing laki-laki, apalagi dalam bidang ekonomi.
Masih di bab 7, Kartini juga menyoroti pentingnya pendidikan budi (halaman 66) dan selanjutnya di bab 8, "Kartini dan Agama", pendidikan agama khususnya Islam.
Setelah Kartini wafat pada awal abad 20, mulailah ramai pergerakan perempuan di mana-mana di nusantara. Didirikan yayasan, sekolah, organisasi, dan sebagainya untuk menampung dan menyuarakan kepentingan perempuan, yang masih tak terlepas dari peran tradisional sebagai istri dan ibu, dan poligami senantiasa menjadi kontroversi, hingga keterlibatannya dalam politik (bab 14, "Jejak Perjuangan"), dan nantinya ekonomi.
Bertahun-tahun lalu sebenarnya saya pernah memulai-baca buku kumpulan surat Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, yang kovernya bergambar ukiran kayu Jepara itu. Belum jauh membaca, saya sudah menulis berlembar-lembar tanggapan atas pikiran-pikirannya. Sebagai perempuan yang lahir lebih dari seabad sejak lahirnya Kartini, saya mengalami persoalan-persoalan yang belum terbayangkan selama masa hidupnya yang singkat itu.
Kini cita-cita Kartini akan kebebasan perempuan Indonesia untuk meraih pendidikan dan sebagainya telah tercapai. Namun kebebasan itu kemudian menghadirkan konsekuensi-konsekuensi baru, di antaranya menjadi pesaing laki-laki dalam bidang ekonomi, dan tetap saja tak semua perempuan berdaya mengoptimalkan potensi dirinya, entahkah karena gangguan mental, tekanan lingkungan, ketatnya persaingan, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan lain sebagainya.
Majunya pendidikan perempuan pun seakan-akan tak diiringi oleh pendidikan agama dan pendidikan budi yang berarti. Dalam bidang agama, memang bisa dilihat syiar semakin luas dan mudah diakses. Mau menyimak pengajian, misalnya, tak perlu menanti jadwal, sekarang bisa tinggal membuka YouTube dan mendengarkan ustaz favoritmu kapan saja di mana saja. Mau membaca buku-buku agama, bisa unduh di Ipusnas. Masjid makin banyak, sampai-sampai syiarnya melalui pelantang suara itu adakalanya dianggap mengganggu. Namun di sela-sela itu, godaan hawa nafsu juga kian menjadi-jadi--tak disadari atau kerap diingkari. Syiar itu juga seakan-akan tak ada pengaruhnya pada perkembangan budi banyak manusia sebagaimana yang dapat kita saksikan sehari-hari di media malah mungkin di lingkungan kita sendiri.
Malah mungkin sekalangan orang lebih suka jadi Kartini saja, khususnya: dalam hal punya tempat tinggal ala bangsawan, segala kebutuhan hidup yang mendasar sudah ada yang memenuhi--tak perlu mencari sendiri, bisa sepuasnya memingit diri dan main hape duduk tenang membaca buku seharian, terlindung dari hiruk-pikuk kekacauan dunia luar, atau istilah ngetrennya: hard-core introverts' dream healing.
Majunya pendidikan perempuan rupanya cenderung industrial, alih-alih spiritual, padahal Kartini adalah perempuan yang mendalam kebatinannya selayaknya orang Jawa.
Karena buku ini biografi "singkat", maka tidak menyediakan secara lengkap konteks di balik pernyataan-pernyataan Kartini dalam kutipan-kutipan surat yang ditampilkan. Bahkan kalaupun surat-suratnya ditampilkan secara lengkap, ataupun sebagian besarnya saja sebagaimana yang sudah diterbitkan dalam buku lain (maksudnya Habis Gelap Terbitlah Terang yang entah kenapa--saya lupa--tidak saya lanjutkan membacanya), tetap saja itu cuma puncak gunung es dari seluruh kehidupan Kartini. Boleh jadi ada sisi-sisi yang dia tidak ceritakan kepada orang lain, sebagaimana orang-sekarang hanya menampilkan hal-hal tertentu di media sosial. Bahkan ada kecurigaan bahwa kumpulan suratnya itu rekayasa Abendanon belaka yang berkepentingan dalam politik etis. Naskah asli surat-surat Kartini sendiri katanya tidak ditemukan. Sudah begitu, kawan-kawan korespondensi Kartini pun rupanya bersangkutan dengan partai politik serta misi Kristen (bab 12, "Menerka Motif Abendanon"). Malah, benarkah Kartini meninggal akibat persalinan yang tidak mulus atau jangan-jangan karena hal lain? (bab 5, "Wafatnya Kartini"). Buku ini menginsafkan kegelapan yang masih menyelubungi sejarah Kartini. Apakah kita bisa benar-benar mempercayai Kartini?
Bagaimanapun, dari kisahnya yang ada--khususnya yang tersaji dalam buku ini--terdapat suatu character development, alur atau dinamika. Pernyataannya akan suatu hal dalam suatu surat tidak saklek karena seterusnya ada perkembangan pandangan. Surat-surat Kartini pun dapat dipandang sebagai suatu cerita coming of age, yang mana sang karakter utama berusaha menemukan dan merumuskan dirinya sendiri di tengah gempuran pengaruh budaya feodal Jawa dan kolonial Belanda. Ia seorang wanita bangsawan Jawa yang anggun, memiliki empati terhadap orang-orang di sekitarnya sekaligus adab (sebagai contoh, ia tidak serta-merta membenci ayah yang menghendakinya dipoligami serta ibu tiri yang menggantikan ibu kandungnya), sekalipun ada pula aksi pemberontakannya (sebagaimana yang diceritakan mengenai pertemuan dengan Bupati Demak yang konon mengakibatkan beasiswanya ke Belanda dibatalkan di bab 3, "Gagal ke Belanda"--bagian yang agak membingungkan, sejujurnya, jadi begitulah penangkapan saya). Lazimnya suatu kisah, dapat dijadikan pelajaran atau memantik perenungan.
Sekarang makin banyak "Kartini" baru, gadis berusia belasan sampai awal dua puluhan tahun yang menggebu-gebu, penuh mimpi, haus akan pengalaman, ingin memberontak, bertualang, dan menjadi berbeda, sekaligus naif dan hopeless romantic, lena dari kekuatan-kekuatan yang bermain di seputarnya, mencoba memengaruhinya, hendak menjadikannya poster girl bagi kepentingan mereka. Bahkan sang It girl ini pun pada akhirnya harus melihat mimpinya satu demi satu berguguran dan mengalami nasib tragis-ironis. Mau melanjutkan sekolah ke Belanda, batal. Tak mau dipoligami, ujungnya merelakan diri. Menginginkan anak perempuan yang bebas tak terkungkung seperti dirinya, malah melahirkan anak laki-laki dan keburu meninggal sesudahnya (dan anak satu-satunya yang laki-laki itu kemudian memiliki anak laki-laki lagi). Seandainya saja dapat bertemu langsung dengan Kartini, saya merasa kami bakal deep/girl talk panjang lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar