pikiran-pikiran
seperti serpihan-serpihan
tahi yang mengambang
di septic tank
perasaan-perasaan
seperti atom-atom yang berloncatan
memicu ledakan
dua puluh tahun dari sekarang
kau akan duduk di balik instrumenmu
tak bercukur, tak ingat sedari kapan tidur
dilatari senja sekelam kini
sibuk mengatur jari-jari pada kedua belah tanganmu
mana yang membuat nada
mana yang membuat asap
katamu, biar sudah jadi musisi
dibayar mahal
tetap latih jemarimu
seakan pesan pula untukku
bahwa hidupmu dan hidupku akan sejalan beririsan
pemilik hati tak bertuan
Elza Soares menyambar-nyambar telinga
dalam "Mas Que Nada"
segar sangar menggelegar
dalam kepalamu dulu kau simpan piano bernama Bumblebee
kini sebuah stereo
sekonyong-konyong dicengkeram dadaku dari sebelah dalam
mataku dicengkam
diperas, dibikin genangan
batinku, Tuhan, kalau aku mesti punya alasan untuk hidup sampai dua puluh tahun lagi,
biarkan aku tumbuh bersamanya
sembari sosokmu samar-samar memudar
membawa rasa yang tak lagi bicara
senyaring dulu
sembari usapanku pada muka
selanjutnya "Keong Racun"
terngiang aransemennya dalam orkestra brass
Winamp tahu itu penghiburanmu
penghiburanku juga
tapi aku malu, kuganti saja
Ruang
Accidental Poetry
(1)
aktivitas lain
(39)
Babakan Siliwangi dan sekitarnya
(10)
bahasa rupa-rupa
(27)
bebas
(40)
belajar terjemah
(13)
cerita foto
(19)
cerita pendek
(60)
cuplikan diary SMP
(12)
diari grafis
(7)
gegambaran
(18)
hehijauan
(26)
intrapersonal
(29)
jalan-jalan
(44)
Jelajah Ujung Kulon
(12)
kekebun-kebunan
(15)
kenangan merapi
(14)
kesehatan mental
(11)
kliping
(28)
kontemplasi
(34)
liTERASI
(50)
musik
(55)
news
(5)
pardon my english
(12)
pembacaan
(182)
proyek nyonya teladan
(17)
puisi
(51)
rimbawan kota
(13)
Science Film Festival 2014 YPBB Bandung
(6)
The Harper Anthology of Fiction
(30)
tontonan
(32)
WARBUNG
(9)
Selasa, 25 November 2014
Senin, 24 November 2014
Hari Terakhir Science Film Festival 2014 di YPBB Urban Centre: Ditutup bersama Keluarga
Sabtu
(22/11) menjadi hari keluarga sekaligus hari terakhir pemutaran film-film
Science Film Festival (SFF) 2014 di YPBB Urban Centre. Ruang tengah Urban
Centre dihidupkan oleh kehadiran para ibu, para ayah, anak-anak, kakak-kakak,
juga kakek dan nenek. Beberapa orangtua semula berencana untuk menghadiri SFF
di ITB. Namun ternyata jadwal pada hari Sabtu di ITB dibatalkan terkait dengan
persiapan untuk Pasar Seni esok harinya. Walaupun audiensi tidak seramai hari sebelumnya, namun semua tetap bersukaria. Setiap anak mendapat kesempatan
untuk mencoba eksperimen, bahkan para orangtua.
Pada sesi
pertama, film yang diputar adalah My Dear
Little Planet: The Ladybug and the Aphid, Chasing the Cardinal Direction,
dan The Show with the Mouse: Synthetic
Wood-Plastic.
Berkerumun menonton anak-anak mencoba eksperimen |
Setelah
pemutaran film, dilakukan beberapa eksperimen bagi anak-anak, yaitu Sedotan
Bersiul dan Cincin Tolak-tolakan.
Karena ada
beberapa peserta yang datang terlambat, maka diputarkan beberapa film lagi,
yaitu Annedroids – New Pal dan I Got It! Windmill.
Setelahnya,
diadakah diskusi singkat khususnya mengenai pelaksanaan SFF 2014. Beberapa peserta
dewasa, baik orangtua maupun perwakilan dari beberapa sekolah, menyayangkan
publikasi yang kurang meluas. Mereka baru mengetahui adanya acara pada
hari-hari belakangan. Salah satu orangtua bahkan sampai mencari informasi
langsung ke Goethe Institut. Pihak dari sekolah pun tidak sempat mengajak
anak-anak didik mereka ke venue untuk
menonton, padahal film-film yang diputarkan menurut mereka bagus untuk para
pelajar. Selain itu, mereka juga mengusulkan agar pihak SFF melakukan kunjungan
langsung ke sekolah-sekolah.
Pada sesi
kedua, film yang diputar adalah Global
Ideas: What is Your Personal CO2 Balance?, Password Green: A Recipe for Recycling Paper, My Dear Little Planet: The Magic Root, dan Nine-and-a-Half: A Life without Plastic.
Eksperimen-eksperimen
yang dilakukan setelahnya berkaitan dengan balon, yaitu Balon Pemadam Api,
Besar Versus Kecil, dan satu lagi yang belum pernah dilakukan pada hari-hari sebelumnya: Memasukkan Balon ke dalam Botol. Pada eksperimen yang baru ini,
peserta diminta memasukkan balon berukuran kecil melalui mulut botol. Peserta
pun mencobanya dengan berbagai cara, namun tidak ada yang berhasil. Relawan
dari Goethe Institut selaku fasilitator pun menunjukkan caranya, yang sama
sekali tidak diduga-duga.
Setelah
eksperimen, beberapa peserta yang notabene orangtua berbagi pandangan mengenai
film-film yang telah diputarkan. Salah satu peserta mengungkapkan bahwa sasaran
SSF seharusnya bukan saja anak-anak, tapi juga orangtua. Sebabnya, orangtua
merupakan motor dalam keluarga. Orangtua yang memberi fasilitas bagi anak untuk
mengamalkan pesan-pesan yang disampaikan melalui film. Kalau hanya anak-anak
yang menonton tanpa orangtua pun diberi penerangan, maka hasilnya bisa jadi
percuma.
Relawan dari Goethe Institut menerangkan tantangan eksperimen Kertas Pembebas Elixir pada para bapak |
Acara
diakhiri dengan tantangan dari relawan Goethe Institut pada para bapak-bapak
untuk membuka tutup botol dengan menggunakan kertas. Tiap-tiap bapak diberi
waktu satu menit untuk mencoba. Sayangnya, tidak ada yang berhasil.
Walaupun
pergelaran SSF 2014 di YPBB Urban Centre dan ITB telah berakhir, namun di
Bandung acara ini masih akan berlanjut di Institut Français Indonesia dari
24-28 November 2014. Film-film yang telah diputar pada SSF tahun ini
kemungkinan tidak akan ditayangkan lagi pada SSF tahun mendatang. Jadi, silakan
datang selagi ada kesempatan. Ikuti juga eksperimennya, siapa tahu mendapat
hadiah menarik.[]
Sampai jumpa di SSF tahun depan! |
Kontak Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB)
Alamat | Jl.Sidomulyo No. 21 Bandung 40123 |Phone | 022-2506369-082218731619 |Email |ypbb@ypbb.or.id | Facebook | YPBB Bandung |Twitter | @ypbbbdg |Yahoo Messenger | ypbb_humas |
Minggu, 23 November 2014
Rapel Peserta Science Film Festival 2014 di YPBB Urban Centre
YPBB Urban
Centre kebanjiran anak-anak pada hari kelima pemutaran film-film Science Film Festival 2014 (21/11), mulai dari anak TK, anak SMP, sampai anak SMA. Keramaian
khususnya terjadi pada sesi pertama, sehingga acara dibagi menjadi tiga sif. Tampaknya
Jumat merupakan hari yang kondusif bagi sekolah untuk melakukan kunjungan
dibandingkan hari-hari sebelumnya.
Rombongan
pertama dari TK Siti Khadijah datang sekitar setengah jam lebih awal dari
jadwal sesi I yang pukul 10 WIB. Mereka hanya sempat menonton dua film, yaitu My Dear Little Planet: The Magic Root
dan Annedroids – New Pal, karena
rombongan berikutnya dari TK Al-Biruni sudah datang sementara kapasitas ruangan
terbatas. Di samping itu ada pula pengunjung yang datang sekeluarga. Rombongan
dari TK Siti Khadijah yang berjumlah sekitar 20-an anak beserta tiga guru
pendamping pun melanjutkan kegiatan mereka di luar dengan oleh-oleh sekotak
susu dari HiLo.
Ramainya anak-anak yang ingin mencoba eksperimen |
Bersama anak-anak SMP Labschool UPI yang seru-seru |
Sesi II
diisi dengan kedatangan belasan siswi dari SMA Muhammadiyah I. Mereka menonton
film Supercomputers, I Got It! Windmill, dan The Show with
the Mouse: Synthetic Wood-Plastic. Eksperimen yang dilakukan yaitu Besar
Versus Kecil dan Sedotan Bersiul. Besar Versus Kecil yang menggunakan dua balon
berukuran besar dan kecil serta keran berhubungan dengan film Windmill dalam hal tekanan udara yang
dikaitkan dengan elastisitas balon. Peserta diminta menebak ke mana aliran
udara dari kedua balon akan berpindah ketika keran dibuka. Adapun Synthetic Wood-Plastic yang
memperlihatkan proses pembuatan suling dari limbah pabrik kayu bersambungan
dengan eksperimen Sedotan Bersiul dalam hal pembuatan suling dari bahan yang
mudah diperoleh, yaitu sedotan, gunting, dan segelas air.[]
Kontak Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB)
Alamat | Jl.Sidomulyo No. 21 Bandung 40123 |Phone | 022-2506369-082218731619 |Email |ypbb@ypbb.or.id | Facebook | YPBB Bandung |Twitter | @ypbbbdg |Yahoo Messenger | ypbb_humas |
Jumat, 21 November 2014
Ketika Sangat Sepi
Nyaris
tidak ada penonton pada hari keempat (20/11) Science Film Festival (SFF) 2014
di YPBB Urban Centre. Pemutaran film hanya dilakukan pada satu sesi, setelah
ada dua pengunjung dari Earth Hour yang datang pada sekitar pukul setengah
sebelas.
Film-film
yang diputarkan, yaitu Global Ideas: What
is Your Personal CO2 Balance?, The
Show with the Mouse: Synthetic Wood-Plastic, My Dear Little Planet: The Ladybug and the Aphid, dan Supercomputers.
What is Your Personal CO2 Balance? menerangkan tentang
banyaknya emisi karbon yang dihasilkan dari industri makanan dan penduduk
negara-negara maju. Karena itulah pengeluaran karbon perlu dibatasi untuk
mengurangi pemanasan global.
Synthetic Wood-Plastic menunjukkan proses pembuatan plastik dari
kayu, atau tepatnya serbuk dan serpihan hasil limbah pabrik kayu. Film ini juga
memperlihatkan proses pembuatan suling baik dari kayu maupun plastik-kayu
tersebut.
The Ladybug and the Aphid merupakan film animasi Prancis,
menceritakan kunjungan Gaston dan Colline ke sebuah kebun yang diganggu oleh
banyak kutu daun. Colline mencoba mengusir kutu-kutu daun dengan insektisida
namun hama tersebut menjadi kebal, adapun kepik sebagai pemangsa alaminya malah
mati.
Supercomputers menjelaskan tentang teknologi canggih pada masa depan untuk
memecahkan masalah-masalah berat, yaitu komputer super. Teknologi ini
menggunakan banyak komputer yang super cepat dan dikendalikan sebagai sebuah
mesin tunggal.
Setelah
pemutaran film, berlangsung diskusi seputar film dan lingkungan hidup.
Dari The Ladybug and The Aphid, Kang Arief
dari YPBB menarik kesimpulan bahwa kita harus memperhatikan keseimbangan alam.
Sebenarnya cara kerja alam merupakan teknologi yang tidak tertandingi. Namun manusia
lebih suka mengambil jalan pintas untuk memecahkan masalah lingkungan yang
malah menimbulkan masalah baru.
Selain
itu, menurut Teh Reni dari YPBB, sebenarnya masih banyak potensi alam dan
kearifan lokal yang belum digali. Itu bisa disebarkan pada masyarakat modern di
perkotaan sebagai gaya hidup alternatif yang ramah lingkungan.
Menurut
Ibu Sulastri dari Goethe Institut, hal itu agak sulit di perkotaan karena
tersedia banyak teknologi yang menyaingi. Pada akhirnya kembali pada diri
masing-masing untuk konsisten menjalankan prinsip, misalnya menggunakan
transportasi umum alih-alih kendaraan pribadi yang bermotor, membawa tas kain
saat berbelanja sebagai pengganti plastik, memilah sampah dari rumah, dan
seterusnya. Beliau mencontohkan Ballarat, desa wisata di Australia yang
melestarikan gaya hidup zaman dulu sehingga lebih ramah lingkungan. Berbeda
dengan Kampung Naga di Indonesia yang berdasarkan adat, Ballarat sengaja dibuat
untuk dijadikan objek wisata.
Acara dihidupkan dengan bincang-bincang dan eksperimen |
Forum juga
membicarakan kesadaran masyarakat yang masih kurang, misalnya dalam menggunakan
air kemasan dan plastik. Di luar negeri air kemasan dan plastik dijual dengan
harga yang relatif mahal, sehingga orang akan berpikir dua kali untuk
menggunakannya dan lebih baik membawa sendiri dari rumah. Adapun di Indonesia
air kemasan dan plastik dapat diperoleh dengan murah, orang pun menjadi boros
dalam menggunakannya. Jadi sebetulnya, menanamkan gaya hidup ramah lingkungan
pada masyarakat tidak lepas dari pendekatan ekonomi.
Sungguhpun
begitu, peserta dari Earth Hour mengungkapkan bahwa ada sebuah SMA di Bandung
yang sudah mengimbau siswanya agar membawa botol minum sendiri dan menyediakan
galon untuk isi ulang. Earth Hour juga pernah mengadakan program edukasi untuk
mengubah kaos bekas menjadi tas belanja pengganti plastik. Selain itu, beberapa
tempat perbelanjaan telah menggunakan kantong plastik dari tapioka sehingga
mudah hancur.
Teh Anil dari YPBB menerangkan bahwa bahan campuran dalam plastik itu sebetulnya bukan tapioka
melainkan oksium dan kadarnya hanya nol koma sekian persen. Tujuannya memang
agar plastik cepat hancur, namun bentuk terurainya yang berupa
kepingan-kepingan tetap tidak dapat kembali menjadi tanah. Malah plastik menjadi
cepat sobek. Pemakaiannya pun semakin boros. Plastik yang tidak ditambahi zat
apa-apa justru lebih kuat dan awet digunakan.
Memang masyarakat
kita terbiasa menginginkan yang serba praktis tanpa memikirkan dampaknya
terhadap lingkungan. Meski demikian, dengan sikap yang konsisten, kita dapat
menunjukkan pada orang lain bahwa menerapkan gaya hidup ramah lingkungan bisa dilakukan.
Sebelum
ditutup, ada eksperimen Besar Versus Kecil dari relawan Goethe Institute. Dua
balon yang masing-masing berukuran besar dan kecil dihubungkan dengan keran
tertutup. Apabila keran dibuka, hadirin diminta menebak di antara tiga pilihan:
balon besar menjadi kecil sementara balon kecil menjadi besar; kedua balon
menjadi sama besar; atau balon besar menjadi tambah besar sedangkan balon kecil
menjadi tambah kecil. Kuncinya bukan saja pada tekanan udara, tapi juga
berhubungan dengan elastisitas balon.
Pemutaran
film-film SFF 2014 di YPBB Urban Centre, Jalan Sidomulyo 21, Bandung, masih
akan diselenggarakan hingga 22 November 2014 pada pukul 10-12.00 (sesi 1) dan
13-15.00 (sesi 2) WIB. Film-film tersebut ditayangkan khusus hanya selama
berlangsungnya SFF 2014, dan tidak akan diputar lagi pada kesempatan lain.
Acara ini gratis dan tersedia hadiah menarik bagi yang berpartisipasi dalam
eksperimen. Silakan datang dan ajak teman sebanyak-banyaknya.[]
Kontak Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB)
Alamat | Jl.Sidomulyo No. 21 Bandung 40123 |Phone | 022-2506369-082218731619 |Email |ypbb@ypbb.or.id | Facebook | YPBB Bandung |Twitter | @ypbbbdg |Yahoo Messenger | ypbb_humas |
Rabu, 19 November 2014
Macam-macam Pemanfaatan Kertas di Science Film Festival 2014, YPBB Bandung
Buka tutup botol pakai kertas? Emang bisa? |
Ternyata
kertas bekas bisa dimanfaatkan untuk membuka tutup botol lo. Teman-teman yang hadir dalam acara Science Film Festival (SFF) 2014 di YPBB Urban Centre hari Rabu (19/11) berhasil membuktikannya saat sesi eksperimen. Caranya
gampang-gampang sulit. Lipat kertas hingga menjadi kaku dan keras, lalu gunakan
prinsip tuas untuk mengungkit tutup botol hingga terlepas. Memang membutuhkan
tenaga yang kuat dan kehati-hatian supaya tidak tergores tepian tutup botol
yang bergerigi tajam.
Manfaat
lain dari kertas berkas ditunjukkan melalui salah satu film yang diputar dalam
acara ini, yaitu Password Green: A Recipe
for Recycling Paper. Film produksi Chile ini menceritakan tentang aktivitas
Sergio dan teman-temannya saat mendaur ulang kertas untuk dijadikan kartu
ucapan selamat datang bagi para murid baru. Caranya juga mudah saja kok. Kertas
bekas dipotong-potong, lalu dihancurkan dalam blender bersama banyak air.
Setelahnya, celupkan saringan berbingkai pada bubur kertas tersebut lalu alasi
dengan kain. Gunakan spons untuk menyerap kelebihan air. Bubur kertas akan
merata pada permukaan kain alas. Kain itu lalu dijemur hingga bubur kertas yang
menempel padanya mengering dan siap digunakan sebagai kertas. Tinggal dihias
deh. Kertas daur ulang ini juga bisa dijadikan poster, ijazah, dan sebagainya.
Selain
pemanfaatan kertas bekas, dalam acara ini kita juga dapat belajar banyak hal
lagi melalui film-film dan eksperimen lainnya yang disuguhkan oleh kakak-kakak
relawan dari Goethe Institute.
Dalam Hassani and His Whale Sharks, misalnya,
kita dapat belajar mengenai konservasi hewan. Film produksi Jerman ini
menceritakan tentang Hassani, bocah dari Pulau Mafia, Tanzania, yang memiliki
kepedulian sangat tinggi terhadap ikan hiu paus. Ikan hiu paus rentan terluka
oleh jala yang dilemparkan nelayan setempat. Hassani sampai mengunjungi
Kementerian Perikanan dan mengusulkan pada pihak yang berwenang supaya jala
dilemparkan pada waktu tertentu saja, sehingga pada waktu selebihnya ikan hiu
paus dapat berkeliaran dengan bebas. Ia juga berbicara pada nelayan dan
teman-teman sebayanya mengenai pentingnya menjaga kelangsungan hidup ikan hiu
paus di lautan. Film ini juga menampilkan kehidupan sehari-hari Hassani yang
relatif sulit sejak ayahnya meninggal. Sungguhpun demikian, ia tetap ceria dan
berperhatian pada lingkungan sekitarnya.
Dalam My Dear Little Planet: The Magic Root,
kita belajar bahwa tumbuhan tertentu dapat dimanfaatkan sebagai obat. Film
animasi dari Prancis ini menceritakan tentang Zina, seekor laba-laba, yang
sedang sakit. Teman manusianya, Gaston dan Colline, berusaha menolongnya dengan
meminta bantuan seekor burung hantu. Secara ajaib mereka mengerut dan
menunggangi burung hantu tersebut, lalu berkelana mencari sebuah tumbuhan
langka yang tumbuh di air. Dibutuhkan sedikit saja bagian dari tumbuhan itu
untuk mengobati Zina. “Hei, hati-hati, jangan diambil semuanya. Sejumput akar
cukup, sayangku. Dengan begitu tumbuhan itu bisa hidup terus,” demikian kata si
burung hantu. Maka secara tidak langsung kita dipahamkan juga untuk mengambil
secukupnya saja dari alam supaya kelestariannya terjaga.
Potong sedotannya biar makin nyaring bunyinya! |
Adapun
pada eksperimen lainnya, kita diajari cara membuat terompet sendiri dari
sedotan. Tinggal ambil gunting, lalu potong sedotan membentuk V pipih di salah
satu ujungnya dan tiup bagian tersebut sampai terdengar suara yang diinginkan.
Kita dapat mengatur tinggi-rendahnya nada berdasarkan panjang-pendeknya
potongan sedotan. Semakin pendek sedotan, semakin tinggi bunyinya. Menurut
kakak relawan, saat acara pembukaan SFF 2014 pada 13 November lalu ada pertunjukan
musik dengan menggunakan potongan sedotan ini lo. Sayangnya, kakak relawan
tidak ingat berapa senti masing-masingnya untuk dapat menghasilkan nada
tertentu—do, re, mi, fa, dan seterusnya. Kalau ingin mengeraskan bunyi
terompet, kita tinggal menambahkan corong dari kertas. (Nah, satu lagi nih
bentuk pemanfaatan dari kertas bekas!) Dengan begini, kita bisa memeriahkan
tahun baru dengan hasil prakarya sendiri. Asyik, kan. Apalagi tahun baru kurang
dari dua bulan lagi. Tinggal siapkan saja sedotan, gunting, kertas bekas, dan
hiasan lainnya.
Mumpung
pergelaran SFF 2014 masih akan berlangsung sampai akhir November, jangan
sia-siakan kesempatan untuk belajar sains secara cuma-cuma ini. Apalagi
tersedia hadiah menarik bagi peserta yang berpartisipasi dalam eksperimen.
Silakan datang ke tempat penayangan yang terdekat di kotamu. (Ssst, di YPBB
Urban Centre dan ITB masih tersedia banyak tempat! Cuma sampai 22 November lo.)[]
Kontak Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB)
Alamat | Jl.Sidomulyo No. 21 Bandung 40123 |Phone | 022-2506369-082218731619 |Email |ypbb@ypbb.or.id | Facebook | YPBB Bandung |Twitter | @ypbbbdg |Yahoo Messenger | ypbb_humas |
Selasa, 18 November 2014
Sedikit Tetap Asyik
Jumlah peserta merosot pada hari kedua
pemutaran film-film SFF 2014 di YPBB Urban Centre (18/11). Kondisi ini rupanya juga terjadi di ITB pada sore sebelumnya. Di ITB
pemutaran film dijadwalkan hanya pada waktu sore, dan pada hari pertama,(17/11), nyaris tidak ada yang menonton selain panitia setempat. Padahal di
daerah-daerah lain di Indonesia, jumlah peserta dapat mencapai ribuan. Demikian
cerita dari kakak-kakak relawan Goethe Institut. Hal ini kiranya dikarenakan
publikasi yang mendadak dan kurang efektif. “Sayang, padahal filmnya bagus-bagus,”
kata Ibu Phebe yang menemani ketiga anaknya pada pergelaran kali ini.
Sebelum acara dimulai, yel-yel dulu! |
Ada film apa saja?
Film yang
diputar pada sesi pertama adalah The Show
with the Mouse: Children Imagine the Future dan Annedroids – New Pals.
Children Imagine the Future memvisualisasikan imajinasi anak-anak akan
masa depan. Menurut suara anak-anak dalam film ini, pada masa depan orang
mungkin bisa membuat elevator yang bisa digunakan untuk ke luar angkasa, bisa
diciutkan dan dimasukkan dalam saku. Orang-orang sangat gemuk karena tidak lagi
bergerak. Mereka menggunakan komputer dan punya lebih banyak jari yang
lincah—satu-satunya yang lincah dari diri mereka. Komputer pada masa itu tidak
seperti komputer biasa melainkan berbentuk laptop yang bisa dilipat seperti
kertas dan dimasukkan dalam saku. Pintu tidak lagi ada, digantikan oleh semacam
pipa yang menghubungkan antar bangunan.
Dengan menekan titik pada layar, secara otomatis orang dapat berpindah melalui
pipa itu. Ada orang yang akan mengumpulkan apapun yang masih dimiliki manusia
bumi dan memindahkannya ke planet lain dengan roket raksasa. Bumi menjadi
seperdelapan lebih kecil. Tidak ada apa-apa lagi di sana. Hanya ada satu suku
yang hidup di sana di satu titik dan mencoba membangun lagi segalanya, bumi
yang baru. Mereka tidak ingin apapun yang berlebihan, hanya menanam yang
diperlukan.
Annedroids – New Pals berdurasi relatif panjang dibandingkan
film-film lainnya yang diputar pada SFF 2014 ini, yaitu hampir tiga puluh
menit. Annedroids sebenarnya serial
dari Kanada dan yang diputar pada acara ini adalah episode pertamanya, yaitu
“New Pals”. Ceritanya tentang Nick yang pindah ke suatu lingkungan baru bersama
ibunya. Ia kemudian berteman dengan Shania, gadis kocak yang doyan merancang
gerakan senam. Saat tengah menunjukkan improvisasi terbarunya—Macan Api—Shania
secara tidak sengaja melontarkan pita senamnya ke balik sebuah lahan yang
tertutup rapat oleh pagar seng. Nick pun hendak membantu Shania mengambilkan
pita tersebut, namun malah bertemu robot—android!—yang sangat besar dan
mengerikan. Rupanya android itu diciptakan oleh seorang gadis jenius bernama
Anne. Ternyata robot dan android itu berbeda lo. Android dapat bertingkah
selayaknya makhluk bernyawa—katakanlah hewan dan manusia. Nah, Anne ingin
menciptakan android baru yang bentuknya menyerupai manusia, namun tidak tahu
cara menghidupkannya. Nick dan Shania pun berinisiatif membantu Anne. Bagaimana
caranya? Mending tonton sendiri deh! Banyak pengetahuan lain mengenai sains
yang kita bisa dapatkan melalui film yang seru sekaligus lucu ini.
Pada sesi
kedua, film yang diputar adalah Energy
Saving, Chasing the Cardinal Direction, Nine-and-a-Half: A Life without
Plastic, dan My Dear Little Planet:
The Ladybug and the Aphid.
Energy Saving merupakan film produksi Jerman berdurasi dua menit, dari director yang sama dengan Children Imagine the Future. Sajiannya
pun mirip, yaitu menyuarakan imajinasi anak-anak akan suatu topik disertai
animasi stop-motion yang menarik.
Topik yang diangkat dalam film kali ini adalah penghematan energi.
Chasing the Cardinal Direction berbagi tips menentukan
arah mata angin selagi di perjalanan, baik dengan secara konvensional maupun
moderen. Uniknya film ini merupakan produksi dalam negeri sehingga dapat terasa
kedekatannya dengan kita. Selain itu, pembawaannya pun agak mirip dengan Dora the Explorer. Tokoh dalam film
seakan-akan dapat mendengar penjelasan yang sedang dibicarakan oleh narator dan
meresponsnya dengan lugu.
A Life without Plastic menceritakan eksperimen yang dilakukan
Johannes, pemuda asal Jerman, untuk hidup tanpa plastik. Banyak sekali barang
yang kita gunakan sehari-hari yang terbuat dari atau mengandung plastik.
Padahal plastik bisa membawa dampak yang buruk bagi kehidupan manusia. Meskipun
begitu, apakah semudah itu meninggalkan plastik sama sekali?
The Ladybug and the Aphid merupakan film animasi dari Prancis.
Ceritanya tentang Gaston dan Colline yang mencoba menyingkirkan kutu-kutu daun
dari kebun dengan insektisida. Namun rupanya insektisida turut membuat
kepik-kepik mati. Padahal kepik adalah pemangsa alami kutu daun. Dari film ini
kita dapat belajar mengenai keseimbangan alam.
Ada eksperimen baru lo
Kakak relawan menjelaskan rahasia sains di balik eksperimen Besar Versus Kecil |
Yang (+) dari YPBB
Pak David menjelaskan cara menggunakan timbangan elektrik di toko organis |
Pemutaran
film-film SFF 2014 di YPBB Urban Centre masih akan berlangsung empat hari lagi
hingga 22 November 2014 pada pukul 10-12.00 dan 13-15.00 WIB. Setelah SFF 2014
berlalu, film-film tersebut tidak boleh dipertontonkan lagi. Menonton parade
film sains yang tidak ditayangkan secara bebas, mencoba berbagai eksperimen,
sekalian belajar gaya hidup organis—kenapa tidak?[]
Kontak Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB)
Alamat | Jl.Sidomulyo No. 21 Bandung 40123 |Phone | 022-2506369-082218731619 |Email |ypbb@ypbb.or.id | Facebook | YPBB Bandung |Twitter | @ypbbbdg |Yahoo Messenger | ypbb_humas |
Senin, 17 November 2014
Science Film Festival 2014 (+): Perdana di YPBB Bandung
Untuk kesepuluh kalinya Science Film Festival (SFF)
diselenggarakan di dunia, kelima kalinya di Indonesia, dan pertama kalinya di
Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) Urban Centre, Bandung.
Science
Film Festival merupakan salah satu program Goethe Institut selaku pusat
kebudayaan Jerman untuk mengenalkan budaya ilmiah ke seluruh dunia. Sasarannya
terutama pelajar muda, sehingga mereka tertarik pada sains dan teknologi dan
mengarahkan pilihan karier pada bidang tersebut. Di Indonesia festival ini akan
dilangsungkan pada 13-28 November 2014 di 37 kota. Di Bandung pemutaran
film-film festival diadakan pada 17-22 November 2014 di YPBB Urban Centre dan
Institut Teknologi Bandung (ITB) serta pada 24-28 November 2014 di Institut
Français Indonesia (IFI).
Film-film dalam
festival ini diproduksi oleh berbagai negara, sebut saja Jerman, Prancis,
Brazil. Chili, bahkan Filipina dan Indonesia, dan dibuat khusus dengan tema
tertentu. Untuk tahun 2014, temanya adalah Teknologi
Masa Depan. Durasi tiap-tiap film pendek saja, bahkan ada yang cuma dua menit. Film-film yang terkumpul lalu diseleksi oleh juri regional
untuk keperluan pemutaran di negara masing-masing. Komposisi juri bukan saja profesional dalam perfilman, tapi ada juga yang pelajar SD dan SMA. Film-film
itu lalu dialihsuarakan sehingga dapat dimengerti oleh masyarakat setempat. Di
Indonesia terpilih total 15 film yang akan diputar secara bergantian dan
berulang di masing-masing tempat penayangan. Sayangnya, film-film ini tidak
diperjualbelikan kepada umum. Film-film yang telah diputar pada festival sebelumnya
tidak boleh dipertunjukkan lagi, begitupun film-film pada festival tahun ini
tidak akan dapat dipertontonkan lagi pada kesempatan lain. Karena itu, jangan
sampai ketinggalan deh!
Selain
itu, di SFF kita tidak cuma menonton. Setelah pemutaran film, ada kakak-kakak relawan
dari Goethe Institut yang akan mengajak peserta untuk bereksperimen sederhana.
Bagi yang telah berpartisipasi, ada hadiah menarik yang akan diberikan.
Hari pertama Science Film Festival 2014 di YPBB Urban Centre
Di YPBB
Urban Centre yang berlokasi di Jalan Sidomulyo 21, Bandung, pemutaran film
dilakukan dalam dua sesi yaitu pukul 10-12.00 dan 13-15.00 WIB.
Pada hari
pertama pemutaran (17/11), acara dibuka dengan sambutan dari Kang Entis dan
Bapak David dari YPBB serta Ibu Sulastri dari Goethe Institut.
Peserta
kebanyakan anak-anak setingkat sekolah dasar dan balita. Sebagian didampingi
orangtuanya. Ada yang bersekolah di rumah (homeschooling)
sehingga bisa datang pada sesi pertama, banyak juga yang dari sekolah umum
sehingga baru datang setelah siang dan akibatnya suasana Urban Centre pun
menjadi meriah.
Kakak-kakak relawan diajari yel-yel dalam bahasa sunda: "Abdi resep, anjeun resep, sadayana resep!" |
Sesi pertama
Pada sesi
pertama, ada empat film yang diputar, yaitu The
Show with the Mouse: Synthetic Wood-Plastic, I Got it! Windmills, Chasing
the Cardinal Direction, dan Cartoon
Away.
The Show with the Mouse: Synthetic Wood-Plastic menunjukkan bagaimana
pabrik di Jerman membuat plastik dari limbah kayu. Plastik itu kemudian dijadikan
suling. Bunyinya ternyata berbeda dari suling yang dibuat dari kayu betulan.
I Got it! Windmills merupakan film produksi Filipina yang menjelaskan mengenai
kincir angin. Aktor pemainnya bertingkah sangat kocak, sampai-sampai yang
menonton pun mesem-mesem.
Kita boleh
bangga dalam festival bertaraf internasional ini ada film produksi dalam
negeri yang turut diputar, yaitu Chasing
the Cardinal Direction alias Mengejar
Mata Angin. Film ini memberi kita berbagai tips untuk mengetahui arah mata
angin saat berada di perjalanan. Kadang tips yang diberikan terasa lucu,
semisal bertanya pada orang di jalan, memerhatikan arah kuburan, mencari masjid
dan menemukan kiblatnya, sampai menyetel GPS di smartphone karena toh kini kita hidup pada era teknologi. Tapi ada
juga cara-cara yang natural, semisal memerhatikan matahari yang terbitnya di di
timur dan terbenamnya di barat, atau letak lumut pada pohon yang
pertumbuhannya mengarah ke terbitnya matahari.
Film
selanjutnya dari Brazil dan berjudul Cartoon
Away tidak kalah lucu, menceritakan tentang karakter animasi yang bandel
dan tidak mau diam di kertas. Penonton pun terus mesem-mesem.
Eksperimen
yang dilakukan kemudian masih berhubungan dengan film-film yang sebelumnya
ditonton. Terlebih dulu kakak-kakak relawan menunjukkan cara kerja eksperimen,
lalu mempersilakan adik-adik peserta mencobanya. Barangsiapa yang berhasil
menyelesaikan tantangan lebih cepat daripada yang lainnya, ialah pemenangnya.
Padamkan saja apinya, biar dapat hadiah menarik dari kakak relawan, hihihi |
Tiup sedotannya sampai bunyi! |
Jawabannya
dapat diterangkan dengan sains!
Sesi kedua
Pada sesi
kali ini, film yang diputar, yaitu Global
Ideas: What is Your Personal CO2 Balance?, The Show with the Mouse: Children
Imagine the Future, Nine-and-a-Half: A Life without Plastic, serta Quark!
Kedua film
yang pertama, kendati berdurasi singkat saja—masing-masing tidak lebih dari lima menit—tampaknya membuat sebagian besar peserta yang notabene anak-anak
terpukau, sebab disajikan dengan teknik animasi dan visual yang beragam. Film
pertama memberitahu tentang berapa sedikitnya emisi karbon yang dapat dihasilkan seorang manusia agar bumi terjaga
dari kerusakan. Adapun film kedua berisi imaji-imaji mengenai kemungkinan
kecanggihan teknologi pada masa depan.
Film
ketiga menunjukkan bagaimana Johannes, seorang pemuda dari Jerman, berusaha
hidup tanpa plastik. Dimulai dengan menyingkirkan benda apapun yang terbuat
dari plastik dari dalam kamarnya, termasuk sikat gigi, koleksi CD dan DVD,
pakaian yang mengandung poliester, alat-alat kebersihan, sampai laptop dan
ponsel. Kamarnya pun menjadi nyaris kosong-melompong. Setelah itu, ia pergi
berbelanja makanan dan minuman apapun yang kemasannya tidak terbuat dari
plastik. Tidak banyak. Makan malamnya hanya roti kering dilapisi mentega, ditambah pisang. Susu tidak jadi diminumnya karena rupanya pelapisnya saja yang terbuat
dari kertas, kemasan di baliknya tetap plastik. Ia juga mencari beberapa
perabotan di berbagai toko, mulai dari alat-alat kebersihan sampai sikat gigi.
Kesimpulannya, hidup tanpa plastik tidak mudah dan lebih mahal. Padahal selama ini
pembuatan plastik—seperti dikatakan Bapak David sewaktu akhir sesi
pertama—telah menghabiskan banyak sekali energi yang tidak dapat diperbarui,
yaitu minyak bumi. Coba bayangkan bagaimana jadinya bila kita terus-menerus
melestarikan penggunaan plastik, dan tidak ada lagi minyak bumi yang tersisa
untuk keturunan kita? Selain itu, plastik tidak selalu berdampak positif bagi kehidupan manusia karena sulit terurai dan lain-lain. Johannes juga mengajak kita untuk memikirkan barang alternatif apalagi yang kira-kira bisa digunakan untuk menggantikan fungsi plastik.
Film
terakhir sangat imajinatif. Bayangkan ada seorang anak yang dapat membesar
hingga melampaui jagat raya. Teman-temannya menyuruhnya agar terus membesar dan
membesar hingga mereka dapat meneliti partikel di kakinya. Kejadian ini
jelaslah menghebohkan umat manusia, maka mereka bergembira saat anak itu
menyusut kembali. Lucu.
Peserta
yang jumlahnya berlipat dibandingkan pada sesi pertama tampaknya ketagihan
menonton film. Namun mereka juga antusias dengan eksperimen. Kakak relawan
sampai menyuruh mereka mengacung cepat-cepat, lalu memilih tiga saja di
antaranya.
Eksperimen
yang diberikan mula-mula Balon Meraung dan Cincin Tolak-tolakan.
Putar-putar balonnya, tapi tidak perlu sampai dijilat, apalagi dicelupin! |
Ini dia, juara pertama Cincin Tolak Angin |
Tidak puas
dengan dua eksperimen, para peserta meminta lagi. Akhirnya kakak relawan
memberikan satu eksperimen lagi, yaitu Terompet Sedotan. Cara kerjanya gampang
saja. Gunting sedotan. Pada ujungnya buat bentuk V yang pipih, lalu tiup. Kalau
benar caranya, potongan sedotan itu akan mengeluarkan bunyi seperti terompet.
Makin panjang ukuran potongannya, makin rendah nada yang dihasilkan. Suara
terompet dapat dibuat lebih keras dengan memasukkan kertas yang telah dibentuk
menjadi corong ke sisi potongan sedotan yang bukan berbentuk V.
Menonton film, bereksperimen, sekalian belajar sadar lingkungan
di YPBB
Sampahnya dibuang ke wadah yang mana, ya? |
Maka
seusai acara, anak-anak pun diarahkan untuk belajar membuang kotak susu dari sponsor
pada tempat yang tepat, sedangkan orangtua
dapat melihat-lihat beberapa alternatif gaya hidup yang barangkali dapat
diterapkan di rumah sendiri. Demikian untuk masa depan yang lebih baik, tidak
hanya dengan mengenal sains dan teknologi, tapi juga dengan mengamalkan gaya
hidup ramah lingkungan sedari dini.[]
Kontak Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB)
Alamat | Jl.Sidomulyo No. 21 Bandung 40123 |Phone | 022-2506369-082218731619 |Email |ypbb@ypbb.or.id | Facebook | YPBB Bandung |Twitter | @ypbbbdg |Yahoo Messenger | ypbb_humas |
Kamis, 13 November 2014
Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi: Kumpulan Cerpen Kuntowijoyo di Kompas (1994-2004)
Ada beberapa nama sastrawan Indonesia
terkait “Sastra Profetik” yang direncanakan akan dibicarakan dalam momen-momen
Kamisan FLP Bandung November ini. Pada Kamisan pertama (6/11), sastrawan yang
diangkat adalah Kuntowijoyo. Beliau lahir di Soroboyoan, Sanden, Bantul,
Yogyakarta, 18 September 1943, dan wafat pada 2005. Sebelum wafat, beliau
mengalami sakit berkepanjangan. Sungguhpun begitu, beliau masih sempat menghasilkan
karya sebagaimana yang termuat dalam buku Pelajaran
Pertama bagi Calon Politisi: Kumpulan Cerpen Kompas (Penerbit Kompas,
September 2013, Jakarta). Ada 15 cerpen dalam buku ini yang sebelumnya telah
dipublikasikan di harian Kompas pada
pertengahan tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Sewaktu Kamisan, KangAbus—selaku pemateri—menyampaikan ikhtisar beberapa cerpen dalam buku ini yang
bagi saya terasa menarik.
Sebut saja “Jl Kembang Setaman, Jl
Kembang Boreh, Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api”. Cerpen ini menceritakan
tentang rumah bertingkat di suatu perumnas yang setelah ditinggal-pindah
pemiliknya lantas dihuni oleh para jin. Warga sekitar yang merasa terganggu
memanggil orang pintar. Mereka lalu diberi saran: “Nama jalan jangan Kembang
Setaman. Bunga Setaman itu makanan jin. Jadi, mereka berkumpul di sini karena
mengira di sini banyak makanan. Nama jalan itu terserah, asal jangan
menyarankan makanan jin” (Hal. 120). Warga pun berdiskusi dan terpilihlah
“Kembang Boreh”. Namun rupanya Kembang Boreh disukai oleh jin-jin perempuan.
Mereka mengganggu penjaja wedang ronde yang lewat malam-malam sampai kabur
meninggalkan gerobaknya. Orang pintar yang lainnya dipanggil. Sarannya: Pakai
kembang boleh tapi jangan berarti bunga (Hal. 122). Warga kembali berdiskusi
dan terpilihlah: Kembang Desa. Eh, malah jin-jin lelaki yang berdatangan. Ada
yang suka menempel di tembok kamar mandi (disebutnya jin voiyeur). Ada yang suka menghadang gadis-gadis. Ada yang suka
menganggu nenek-nenek. Dicarilah lagi orang pintar yang lebih “pintar”, yang
menyarankan untuk mengganti nama jalan menjadi “Jalan Kembang Api”. Warga
bersuka cita karena menyangka jin-jin itu akan kepanasan. Tapi jin kan terbuat
dari api! Bukannya pada pergi. Mereka malah bertambah banyak! Sampai di situ,
dari cerita ini dapat ditarik kesimpulan bagaimana suatu masyarakat berusaha
menyelesaikan masalah tanpa mengatasi musababnya.
Buku ini kemudian dipinjamkan pada saya.
Pada mulanya saya kurang menikmati. Mungkin tersugesti oleh perkataan seorang
kenalan kalau narasi Kuntowijoyo terasa kurang nyaman baginya. Kang Abus pun
bilang ada cerpen yang sulit dimengertinya walaupun sudah dibaca berkali-kali.
Padahal Bakdi Soemanto mengatakan dalam “Pengantar” kalau cerpen dalam kumpulan
ini sangat enak dibaca oleh pembaca berlatar Jawa. (Saya orang Jawa sih, tapi adatnya
Urban—Urang Bandung, ha.) Maka mula-mula saya pikir si kenalan kurang nyaman
karena latarnya Sunda. Tapi menurutnya narasi YB Mangunwijaya juga njawani dan dia menikmatinya. Terlepas
dari bagaimanapun narasinya, mulai cerpen ketiga, “Pistol Perdamaian”, saya
menikmati pembacaan buku ini bahkan pada akhirnya menyimpulkan: “Betapa
nikmatnya membaca fiksi tanpa mesti sok-sokan menganalisisnya apalagi
berani-beraninya bermimpi untuk menulis juga!”
Yang memikat saya terutama ialah
kelucuan. Kebanyakan cerpen dalam buku ini membuat saya tergeli-geli sendiri.
Dalam “Pistol Perdamaian, misalnya. Tokoh “saya” dalam cerita ini mendapat
warisan keris, tombak, dan pistol. Rupa-rupanya keris, tombak, dan pistol ini
saling “berkelahi”—atau tepatnya, keris-tombak versus pistol. Sebelumnya saya
pernah mendengar soal benda keramat yang kalau tidak diberi “makan” pada
waktunya akan bergerak-gerak sendiri, membikin keributan. Dari situ saya paham.
Maka “saya” memutuskan untuk membuang pistol. Alasannya, pistol masih dibuat di
pabrik-pabrik dan banyak yang lebih canggih. Tapi rupanya pistol itu “tidak
mau” dibuang. Bagaimanapun cara menyingkirkannya, benda itu selalu kembali.
Saya pun teringat akan salah satu film Benyamin Sueb. Suatu kali ia memancing
di kali dan mendapat sepatu bot rongsok. Dibuangnya sepatu tersebut. Tapi
barang itu selalu kembali, dan membawa sial bagi dirinya.
Contoh lain saya ambil dari cerpen
berjudul “Sampan Asmara”. Ada seorang lelaki tua bernama George yang sangat berperhatian
pada keponakannya, Bill. Disuruhnya Bill datang ke rumah bersama calon istri.
Ia bahkan mengecat ulang sampan dengan warna merah, lengkap dengan gambar
jantung, supaya Bill dan kekasihnya dapat bermesraan di danau. Hari yang
ditunggu-tunggu tiba. Bill datang bersama seorang wanita. Namun Bill kemudian
mengaku pada istri George kalau wanita yang dibawanya itu bukan kawannya,
pacar, apalagi calon, pokoknya orang yang sama sekali lain dari yang
disangkakan. Tanggapan istri George, “Maksudmu dia seorang profesional, wanita
yang profesinya adalah sebagai wanita” (Hal. 32). Ia tidak kuat menyebutnya
sebagai “pelacur”. Beberapa lama setelah membaca cerpen ini saya masih
tersenyum-senyum sendiri menyadari arti sebutan “wanita profesional”.
Beberapa cerpen dalam buku ini berlatar
di Amerika Serikat (AS)—tempat penulis pernah menjalani studi S2 dan S3. Ada
buku beliau lainnya yang juga menceritakan tentang perikehidupan manusia di AS.
Judulnya Impian Amerika.
Perbedaannya, saya kira, dalam buku ini yang diceritakan adalah orang-orang
asing—baik yang dari sononya tinggal di
AS maupun sesama pendatang namun dari negara lain—sementara dalam Impian Amerika fokusnya pada orang-orang
Indonesia yang merantau ke sana. Sementara banyak orang bermimpi tinggal di
luar negeri dan berpikir kehidupannya akan lebih baik, penulis menunjukkan
kalau realitasnya tidak mesti begitu. Dalam kumpulan ini ada sosok seperti
Ramon Fernandez dalam “Ramon Fernandez”, yang dipecat dari pekerjaannya lalu
meminta-minta pada tokoh “saya”, berjanji akan segera membayar, tapi kemudian
menghilang; Kim Hwang-young dalam “Gigi”, perantau dari Korea Selatan yang
merasakan sulitnya mendapat pekerjaan di negeri asing, belum lagi kena tipu;
juga Abe Smitt dalam “Abe Smitt”, keturunan Yahudi-Belanda yang pernah tinggal
di Jawa, berbakti pada ibu, namun akhirnya disisihkan oleh kekasihnya yang
feminis sekaligus lesbian. Tapi yang paling berkesan menurut saya adalah sosok
sepasang perempuan yang notabene mertua-menantu dalam “Perang Vietnam di
Storrs”. Pada suatu malam bersalju mereka menumpang minum di International
House (IH) yang tengah dijaga oleh tokoh “saya”, lalu menceritakan tentang
anak/kekasih mereka yang sedang bertugas di Vietnam. Setelah kejadian itu,
“saya” menceritakan tentang mereka pada petugas IH dan terkejut setelah diberi
tahu kalau… hihihi… pokoknya seram sekaligus sedih.
Selebihnya cerpen-cerpen berlatar lokal
yang khas dengan keklenikannya. Favorit saya adalah “Rumah yang Terbakar” dan
“Jangan Dikubur sebagai Pahlawan”. Dalam “Rumah yang Terbakar”, ada seorang
ustaz yang ingin membakar sebuah rumah di tengah hutan yang biasa dijadikan
ajang maksiat—mabuk-mabukan, penyewaan perempuan, dan semacamnya. Ia mewujudkan
niatnya ketika rumah tersebut sedang ditutup untuk sementara. Esok hari, ketika
warga mengerumuni tempat kejadian perkara yang sudah gosong, barulah ia
mengetahui bahwa rumah yang disangkanya kosong itu ternyata semalam dipakai
oleh sepasang muda-mudi untuk berpacaran dan mereka pun ikut terbakar. Adapun “Jangan
Dikubur sebagai Pahlawan” mengisahkan Sangadi, seorang, katakanlah, preman
kampung pada zaman kolonial yang pekerjaannya mengganggu ketertiban umum
seperti memerkosa, membunuh, mencuri, dan sebagainya. Ia bahkan pernah menjadi
kaki-tangan Belanda. Namun karena pekerjaannya tidak baik, ia akan digantikan.
Ia marah-marah dan berbalik menantang Belanda. Para serdadu pun menyiksanya
dengan berbagai cara namun ia tidak mati-mati juga berkat entah ilmu apa. Ia baru mati setelah disiram
air. Namun karena kisah perlawanannya sebelum mati itulah ia dikuburkan di
Makam Pahlawan.
Sebagian cerpen dalam buku ini
disampaikan dengan sudut pandang orang pertama—“saya”. Sungguhpun begitu,
“saya” dalam cerpen-cerpen tersebut saya rasakan bukan sebagai karakter utama,
melainkan lebih sebagai pembingkai, pengamat, atau pemeran sampingan saja,
seperti Watson dalam seri Sherlock Holmes. Demikian timbul kesan seakan-akan
cerita tersebut berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya; hasil pengalaman
bergaul dan mengamati lingkungan masyarakat yang tengah ditinggalinya entahkah
di Jawa ataupun AS. Kadangkala pada cerita berlatar asing bahkan lokal
sekalipun (katakanlah pembaca berlatar perkotaan kurang begitu mengakrabi
cerita berlatar pedesaan), saya merasakan kesan mengawang-awang, sedangkan
dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo rasanya natural saja.
Begitupun dengan pandangan keislaman
yang sesekali terselip secara jelas. Misalnya dalam “Rumah yang Terbakar” ada
perkataan: “Membakar rumah alias surau bekas peninggalan Jokaryo ialah
pekerjaan utama seorang ustaz! Itu berarti nahi
‘anil munkar, mencegah kejahatan” (Hal. 61). Juga dalam “Jangan Dikubur
sebagai Pahlawan”: “Yang tidak disetujui ibuku ialah ayah juga membeli beberapa
botol jenewer lokal. Ibu bilang,
’Haram, haram’” (Hal. 67). Ada pula seperti ini, diambil dari “Lurah”:
“Kebetulan waktu lurah sembahyang Jumat, khatib bilang kalau benci itu penyakit
hati yang harus dihilangkan. Maka, seperti dalam drama murahan, sadarlah lurah”
(Hal. 14). Pandangan keislaman agaknya menyatu dalam diri pengarang/tokoh dan
keluar begitu saja sehingga sebagai pembaca kita menganggap mereka ya begitulah
adanya. Lebih terasa sebagai kepolosan, dan terkesan natural, alih-alih
bermaksud mendakwahi.
Salut saya pada beliau yang perhatiannya
pada agama dan masyarakat sekitarnya begitu besar walaupun sudah tinggal cukup
lama di negeri yang liberal dan individualis.
Sedikit hal yang disayangkan dari buku
ini adalah penyuntingannya, yang salah satunya saya tampilkan di bawah.
Sepintas saya merasa cerpen-cerpen dalam kumpulan ini mudah diikuti, menghibur, sekaligus memberikan pemaknaan mengenai sifat manusia yang sering kali sulit untuk diluruskan. Akan lebih seru lagi apabila cerpen-cerpen itu dibaca sambil didiskusikan, seperti dalam Kamisan. Boleh jadi saya tidak akan tertarik membaca buku ini kalau bukan karena “promosi” Kang Abus sewaktu Kamisan kala itu, padahal banyak teladan yang bisa diambil dari dalamnya—baik dari pengarangnya maupun dari cerpen-cerpennya. Padahal saya sudah pernah membaca karya Kuntowijoyo sebelumnya, yaitu cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” dan kumcer Impian Amerika, namun buku inilah yang melejitkan kekaguman saya pada beliau.[]
dipajang juga di sini
Langganan:
Postingan (Atom)