Ada beberapa nama sastrawan Indonesia
terkait “Sastra Profetik” yang direncanakan akan dibicarakan dalam momen-momen
Kamisan FLP Bandung November ini. Pada Kamisan pertama (6/11), sastrawan yang
diangkat adalah Kuntowijoyo. Beliau lahir di Soroboyoan, Sanden, Bantul,
Yogyakarta, 18 September 1943, dan wafat pada 2005. Sebelum wafat, beliau
mengalami sakit berkepanjangan. Sungguhpun begitu, beliau masih sempat menghasilkan
karya sebagaimana yang termuat dalam buku Pelajaran
Pertama bagi Calon Politisi: Kumpulan Cerpen Kompas (Penerbit Kompas,
September 2013, Jakarta). Ada 15 cerpen dalam buku ini yang sebelumnya telah
dipublikasikan di harian Kompas pada
pertengahan tahun 1990-an sampai awal 2000-an. Sewaktu Kamisan, KangAbus—selaku pemateri—menyampaikan ikhtisar beberapa cerpen dalam buku ini yang
bagi saya terasa menarik.
Sebut saja “Jl Kembang Setaman, Jl
Kembang Boreh, Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api”. Cerpen ini menceritakan
tentang rumah bertingkat di suatu perumnas yang setelah ditinggal-pindah
pemiliknya lantas dihuni oleh para jin. Warga sekitar yang merasa terganggu
memanggil orang pintar. Mereka lalu diberi saran: “Nama jalan jangan Kembang
Setaman. Bunga Setaman itu makanan jin. Jadi, mereka berkumpul di sini karena
mengira di sini banyak makanan. Nama jalan itu terserah, asal jangan
menyarankan makanan jin” (Hal. 120). Warga pun berdiskusi dan terpilihlah
“Kembang Boreh”. Namun rupanya Kembang Boreh disukai oleh jin-jin perempuan.
Mereka mengganggu penjaja wedang ronde yang lewat malam-malam sampai kabur
meninggalkan gerobaknya. Orang pintar yang lainnya dipanggil. Sarannya: Pakai
kembang boleh tapi jangan berarti bunga (Hal. 122). Warga kembali berdiskusi
dan terpilihlah: Kembang Desa. Eh, malah jin-jin lelaki yang berdatangan. Ada
yang suka menempel di tembok kamar mandi (disebutnya jin voiyeur). Ada yang suka menghadang gadis-gadis. Ada yang suka
menganggu nenek-nenek. Dicarilah lagi orang pintar yang lebih “pintar”, yang
menyarankan untuk mengganti nama jalan menjadi “Jalan Kembang Api”. Warga
bersuka cita karena menyangka jin-jin itu akan kepanasan. Tapi jin kan terbuat
dari api! Bukannya pada pergi. Mereka malah bertambah banyak! Sampai di situ,
dari cerita ini dapat ditarik kesimpulan bagaimana suatu masyarakat berusaha
menyelesaikan masalah tanpa mengatasi musababnya.
Buku ini kemudian dipinjamkan pada saya.
Pada mulanya saya kurang menikmati. Mungkin tersugesti oleh perkataan seorang
kenalan kalau narasi Kuntowijoyo terasa kurang nyaman baginya. Kang Abus pun
bilang ada cerpen yang sulit dimengertinya walaupun sudah dibaca berkali-kali.
Padahal Bakdi Soemanto mengatakan dalam “Pengantar” kalau cerpen dalam kumpulan
ini sangat enak dibaca oleh pembaca berlatar Jawa. (Saya orang Jawa sih, tapi adatnya
Urban—Urang Bandung, ha.) Maka mula-mula saya pikir si kenalan kurang nyaman
karena latarnya Sunda. Tapi menurutnya narasi YB Mangunwijaya juga njawani dan dia menikmatinya. Terlepas
dari bagaimanapun narasinya, mulai cerpen ketiga, “Pistol Perdamaian”, saya
menikmati pembacaan buku ini bahkan pada akhirnya menyimpulkan: “Betapa
nikmatnya membaca fiksi tanpa mesti sok-sokan menganalisisnya apalagi
berani-beraninya bermimpi untuk menulis juga!”
Yang memikat saya terutama ialah
kelucuan. Kebanyakan cerpen dalam buku ini membuat saya tergeli-geli sendiri.
Dalam “Pistol Perdamaian, misalnya. Tokoh “saya” dalam cerita ini mendapat
warisan keris, tombak, dan pistol. Rupa-rupanya keris, tombak, dan pistol ini
saling “berkelahi”—atau tepatnya, keris-tombak versus pistol. Sebelumnya saya
pernah mendengar soal benda keramat yang kalau tidak diberi “makan” pada
waktunya akan bergerak-gerak sendiri, membikin keributan. Dari situ saya paham.
Maka “saya” memutuskan untuk membuang pistol. Alasannya, pistol masih dibuat di
pabrik-pabrik dan banyak yang lebih canggih. Tapi rupanya pistol itu “tidak
mau” dibuang. Bagaimanapun cara menyingkirkannya, benda itu selalu kembali.
Saya pun teringat akan salah satu film Benyamin Sueb. Suatu kali ia memancing
di kali dan mendapat sepatu bot rongsok. Dibuangnya sepatu tersebut. Tapi
barang itu selalu kembali, dan membawa sial bagi dirinya.
Contoh lain saya ambil dari cerpen
berjudul “Sampan Asmara”. Ada seorang lelaki tua bernama George yang sangat berperhatian
pada keponakannya, Bill. Disuruhnya Bill datang ke rumah bersama calon istri.
Ia bahkan mengecat ulang sampan dengan warna merah, lengkap dengan gambar
jantung, supaya Bill dan kekasihnya dapat bermesraan di danau. Hari yang
ditunggu-tunggu tiba. Bill datang bersama seorang wanita. Namun Bill kemudian
mengaku pada istri George kalau wanita yang dibawanya itu bukan kawannya,
pacar, apalagi calon, pokoknya orang yang sama sekali lain dari yang
disangkakan. Tanggapan istri George, “Maksudmu dia seorang profesional, wanita
yang profesinya adalah sebagai wanita” (Hal. 32). Ia tidak kuat menyebutnya
sebagai “pelacur”. Beberapa lama setelah membaca cerpen ini saya masih
tersenyum-senyum sendiri menyadari arti sebutan “wanita profesional”.
Beberapa cerpen dalam buku ini berlatar
di Amerika Serikat (AS)—tempat penulis pernah menjalani studi S2 dan S3. Ada
buku beliau lainnya yang juga menceritakan tentang perikehidupan manusia di AS.
Judulnya Impian Amerika.
Perbedaannya, saya kira, dalam buku ini yang diceritakan adalah orang-orang
asing—baik yang dari sononya tinggal di
AS maupun sesama pendatang namun dari negara lain—sementara dalam Impian Amerika fokusnya pada orang-orang
Indonesia yang merantau ke sana. Sementara banyak orang bermimpi tinggal di
luar negeri dan berpikir kehidupannya akan lebih baik, penulis menunjukkan
kalau realitasnya tidak mesti begitu. Dalam kumpulan ini ada sosok seperti
Ramon Fernandez dalam “Ramon Fernandez”, yang dipecat dari pekerjaannya lalu
meminta-minta pada tokoh “saya”, berjanji akan segera membayar, tapi kemudian
menghilang; Kim Hwang-young dalam “Gigi”, perantau dari Korea Selatan yang
merasakan sulitnya mendapat pekerjaan di negeri asing, belum lagi kena tipu;
juga Abe Smitt dalam “Abe Smitt”, keturunan Yahudi-Belanda yang pernah tinggal
di Jawa, berbakti pada ibu, namun akhirnya disisihkan oleh kekasihnya yang
feminis sekaligus lesbian. Tapi yang paling berkesan menurut saya adalah sosok
sepasang perempuan yang notabene mertua-menantu dalam “Perang Vietnam di
Storrs”. Pada suatu malam bersalju mereka menumpang minum di International
House (IH) yang tengah dijaga oleh tokoh “saya”, lalu menceritakan tentang
anak/kekasih mereka yang sedang bertugas di Vietnam. Setelah kejadian itu,
“saya” menceritakan tentang mereka pada petugas IH dan terkejut setelah diberi
tahu kalau… hihihi… pokoknya seram sekaligus sedih.
Selebihnya cerpen-cerpen berlatar lokal
yang khas dengan keklenikannya. Favorit saya adalah “Rumah yang Terbakar” dan
“Jangan Dikubur sebagai Pahlawan”. Dalam “Rumah yang Terbakar”, ada seorang
ustaz yang ingin membakar sebuah rumah di tengah hutan yang biasa dijadikan
ajang maksiat—mabuk-mabukan, penyewaan perempuan, dan semacamnya. Ia mewujudkan
niatnya ketika rumah tersebut sedang ditutup untuk sementara. Esok hari, ketika
warga mengerumuni tempat kejadian perkara yang sudah gosong, barulah ia
mengetahui bahwa rumah yang disangkanya kosong itu ternyata semalam dipakai
oleh sepasang muda-mudi untuk berpacaran dan mereka pun ikut terbakar. Adapun “Jangan
Dikubur sebagai Pahlawan” mengisahkan Sangadi, seorang, katakanlah, preman
kampung pada zaman kolonial yang pekerjaannya mengganggu ketertiban umum
seperti memerkosa, membunuh, mencuri, dan sebagainya. Ia bahkan pernah menjadi
kaki-tangan Belanda. Namun karena pekerjaannya tidak baik, ia akan digantikan.
Ia marah-marah dan berbalik menantang Belanda. Para serdadu pun menyiksanya
dengan berbagai cara namun ia tidak mati-mati juga berkat entah ilmu apa. Ia baru mati setelah disiram
air. Namun karena kisah perlawanannya sebelum mati itulah ia dikuburkan di
Makam Pahlawan.
Sebagian cerpen dalam buku ini
disampaikan dengan sudut pandang orang pertama—“saya”. Sungguhpun begitu,
“saya” dalam cerpen-cerpen tersebut saya rasakan bukan sebagai karakter utama,
melainkan lebih sebagai pembingkai, pengamat, atau pemeran sampingan saja,
seperti Watson dalam seri Sherlock Holmes. Demikian timbul kesan seakan-akan
cerita tersebut berdasarkan pengalaman pribadi penulisnya; hasil pengalaman
bergaul dan mengamati lingkungan masyarakat yang tengah ditinggalinya entahkah
di Jawa ataupun AS. Kadangkala pada cerita berlatar asing bahkan lokal
sekalipun (katakanlah pembaca berlatar perkotaan kurang begitu mengakrabi
cerita berlatar pedesaan), saya merasakan kesan mengawang-awang, sedangkan
dalam cerpen-cerpen Kuntowijoyo rasanya natural saja.
Begitupun dengan pandangan keislaman
yang sesekali terselip secara jelas. Misalnya dalam “Rumah yang Terbakar” ada
perkataan: “Membakar rumah alias surau bekas peninggalan Jokaryo ialah
pekerjaan utama seorang ustaz! Itu berarti nahi
‘anil munkar, mencegah kejahatan” (Hal. 61). Juga dalam “Jangan Dikubur
sebagai Pahlawan”: “Yang tidak disetujui ibuku ialah ayah juga membeli beberapa
botol jenewer lokal. Ibu bilang,
’Haram, haram’” (Hal. 67). Ada pula seperti ini, diambil dari “Lurah”:
“Kebetulan waktu lurah sembahyang Jumat, khatib bilang kalau benci itu penyakit
hati yang harus dihilangkan. Maka, seperti dalam drama murahan, sadarlah lurah”
(Hal. 14). Pandangan keislaman agaknya menyatu dalam diri pengarang/tokoh dan
keluar begitu saja sehingga sebagai pembaca kita menganggap mereka ya begitulah
adanya. Lebih terasa sebagai kepolosan, dan terkesan natural, alih-alih
bermaksud mendakwahi.
Salut saya pada beliau yang perhatiannya
pada agama dan masyarakat sekitarnya begitu besar walaupun sudah tinggal cukup
lama di negeri yang liberal dan individualis.
Sedikit hal yang disayangkan dari buku
ini adalah penyuntingannya, yang salah satunya saya tampilkan di bawah.
Sepintas saya merasa cerpen-cerpen dalam kumpulan ini mudah diikuti, menghibur, sekaligus memberikan pemaknaan mengenai sifat manusia yang sering kali sulit untuk diluruskan. Akan lebih seru lagi apabila cerpen-cerpen itu dibaca sambil didiskusikan, seperti dalam Kamisan. Boleh jadi saya tidak akan tertarik membaca buku ini kalau bukan karena “promosi” Kang Abus sewaktu Kamisan kala itu, padahal banyak teladan yang bisa diambil dari dalamnya—baik dari pengarangnya maupun dari cerpen-cerpennya. Padahal saya sudah pernah membaca karya Kuntowijoyo sebelumnya, yaitu cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-bunga” dan kumcer Impian Amerika, namun buku inilah yang melejitkan kekaguman saya pada beliau.[]
dipajang juga di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar