Selasa, 5 November 2014, Himpunan
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjajaran (Unpad) bekerja sama dengan
penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, komunitas Layar Kita, dan perpustakaan
Batoe Api mengadakan acara launching
buku terbaru Ayu Utami, Simple Miracle:
Doa dan Arwah di Gedung 5 Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad.
Sebelumnya karya Ayu Utami yang telah diterbitkan adalah dwilogi Saman (1998) dan Larung (2001), kumpulan esai Parasit
Lajang (2003), Soegija: 100%
Indonesia (2012), Pengakuan Eks Parasit
Lajang (2013), serta seri Bilangan Fu yang terdiri dari Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), Cerita
Cinta Enrico (2012), Lalita
(2012), dan Maya (2013).
Acara ini berlangsung selama kurang
lebih dua jam pada sekitar pukul 15.30-17.30. WIB. Pada sesi diskusi, berbagai
pertanyaan dari peserta terus bermunculan. Kebanyakan datang dari mahasiswa
Fikom Unpad, namun ada pula yang berasal dari Sastra Prancis maupun umum.
Pertanyaan meluas mulai dari pandangan Ayu Utami terhadap gender dan seks,
cerita tentang keponakannya yang dapat melihat makhluk gaib, sampai perbedaan
antara pornografi dan erotika, namun yang terutama adalah mengenai karya
terbarunya serta proses kreatif yang mencakup karya-karyanya yang lain.
Spiritualisme
Ayu Utami
Simple
Miracle merupakan buku pertama dari
seri “Spiritualisme Kritis”. Istilah ini pertama kali muncul dalam Bilangan Fu dan berarti keterbukaan pada
yang spiritual tanpa menutupi narakritis; bagaimana tidak menjadi bodoh walau
terbuka pada yang tidak terverifikasi seperti Tuhan. Tiap buku dalam seri
nonfiksi ini akan menceritakan hal yang berbeda. Adapun buku pertama adalah
tentang roh dan kematian.
Kendati dalam novel pertamanya, Saman, terdapat kesan menentang agama,
namun ketika membacanya lagi Ayu Utama merasa bahwa bahasanya sangat biblikal.
Ia pun menyadari bahwa agama lah yang memberinya alat untuk berpikir, termasuk
untuk mengkritisi agama itu sendiri. “Sejelek-jeleknya agama, agama memelihara
banyak hal seperti seni dan sebagainya,” dengan tambahan bahwa agama yang
dimaksudnya ialah agama sebagai institusi/organisasi.
Lebih lanjut tentang spiritualisme, Ayu
Utami menjelaskan bahwa spirit ialah roh, arwah, sesuatu yang bukan material.
Dalam menghadapi yang immaterial, orang terbagi menjadi dua jenis. Ada orang
yang menggunakan cara-cara immaterial untuk tujuan duniawi. Ada juga yang
memperlakukannya untuk tujuan immaterial hingga pada akhirnya mencapai hakikat
ketuhanan, buddhisme, dan sebagainya. Spiritualisme ialah cara untuk membebaskan
diri dari keduniawian dan mencapai sesuatu yang lebih, bukan untuk memenuhi
hasrat duniawi. “Bagi saya, tujuan duniawi itu diselesaikan dengan cara-cara
duniawi aja.”
Oleh karena itu, spiritualisme berbeda
dari takhayul. Takhayul merupakan pemenuhan tujuan duniawi dengan cara
spiritual sekaligus alat untuk memanipulasi. Takhayul memiliki kepentingan
praktis, misalnya larangan untuk keluar rumah waktu magrib karena peralihan
dari terang ke gelap dapat berakibat tidak baik bagi penglihatan manusia, namun
metodenya tidak jernih sehingga bisa dimanfaatkan untuk yang lain.
Menurutnya, pengalaman keilahian itu
lebih intim dari seks. Ia mengibaratkannya dengan pendidikan seks. “Orangtua
tinggal kasih info yang banyak, tapi biar anak yang menemukannya sendiri. Orang
yang mengalami secara personal akan lebih kokoh imannya, ketimbang yang cuman
menelan, sehingga jadinya dogmatis, tapi dalamnya kosong, menghadapi serangan
dengan reaktif, sementara yang kokoh akan menghadapinya dengan tenang.” Dalam
dunia psikologi perkembangan, ada istilah “individuasi” yaitu tahap ketika anak
melawan orangtuanya. Proses perpisahan harus terjadi supaya anak tumbuh.
Begitupun orang yang membenci agama mungkin sedang mengalami proses. Kesalahan
institusi adalah memaksakan orang untuk beragama.
Proses
Kreatif
Seorang peserta yang telah menuntaskan Simple Miracle mengungkapkan bahwa
belakangan gaya bahasa dalam karya-karya Ayu Utami menjadi terasa ringan. Ayu
Utami mengakui bahwa tiap karyanya memiliki tingkat kesulitan masing-masing. Ia
ingin berkomunikasi dengan pembaca sehingga harus mempertimbangkan kemampuan
mereka dan tidak melulu menulis karya eksperimental. Menurutnya, karyanya yang
paling mudah adalah Parasit Lajang, Simple Miracle, dan Cerita Cinta Enrico. Adapun yang paling sulit adalah Bilangan Fu, Larung, Saman, Pengakuan Eks
Parasit Lajang, dan seterusnya.
Dalam menulis, ia mengerjakan beberapa
buku sekaligus. “Buat saya, menulis itu membutuhkan pengendapan. Kayak telur
asin. Makin lama bikinnya makin enak.” Maka gaya bahasa yang digunakannya dalam
menulis pun tergantung pula pada karakter yang sedang diceritakannya. Dalam Saman dan Larung, gaya bahasanya berat tapi halus, liris, dan puitis. Lain
lagi dengan Bilangan Fu karena
karakter di dalamnya tidak seperti itu, melainkan keras dan sinis.
Menanggapi paradoks pemikiran yang
terdapat dalam novelnya, Maya, serta
cara untuk menyampaikan pengalaman subjektif tanpa mendikte, Ayu Utama
mengatakan, “Walau saya feminis, saya tidak menyederhanakan pengalaman manusia.
Ada yang namanya intersubjektivitas. Meskipun banyak pengalaman subjektif, tapi
ada kapasitas untuk membagikannya.” Sastra juga bukan untuk dijadikan pamflet
politik.
Menurutnya estetika dalam menulis itu
penting. “Sama kayak masturbasi. Enak di diri sendiri, tapi belum tentu orang
yang melihatnya nikmat. Jadi kejujuran aja enggak cukup. Butuh estetika supaya
mudah dipahami. Seni itu usaha estetik untuk menyampaikan kejujuran, enggak
sekadar vulgar. Cerita harus nikmat, supaya bertahan. Kenikmatan ada beberapa
level, bisa fisikal, bisa emosi, bisa juga kognitif. ”
Ayu Utami mencontohkan mitos yang
menurutnya hebat karena dapat menyampaikan suatu makna tanpa menggunakan data
faktual, contohnya cerita tentang Adam dan Hawa. “Dari dulu sampai sekarang
terus bertahan karena menyentuh sesuatu yang dalam pada diri manusia.”
Ayu Utami sebetulnya tidak memaksudkan
karyanya dalam bentuk seri. Namun pembaca di Indonesia rupanya belum terbiasa
dengan bacaan tebal sehingga karyanya pun dipecah menjadi beberapa buku. Bilangan Fu, misalnya, yang ditulisnya
dengan riset selama 4,5 tahun, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan
laku dalam tempo setahun saja, sementara di Indonesia lima tahun.
Pemilihan judul dalam bahasa Inggris
untuk buku terbarunya ini pun ditujukan untuk menyesuaikan dengan zaman, di
samping pertimbangan rasa bahasa.
Ketika ditanya mengenai bacaan favorit,
Ayu Utami tidak bisa mengatakannya karena setelah dewasa membaca banyak sekali
buku. Namun sewaktu kecil bacaan kesukaannya adalah seri Lima Sekawan dan,
khususnya, Tintin, yang membuatnya berkeinginan menjadi wartawan. Setelah
menamatkan studi ilmu linguistik di jurusan Sastra Rusia, Universitas Indonesia,
ia pun menjadi wartawan hingga media tempatnya bekerja diberedel pemerintah
Orde Baru. Ia dipecat dan tidak diperbolehkan menjadi wartawan lagi. Ia lalu
menyuarakan perlawanannya melalui karya sastra. Menurutnya, pada masa Orde
Baru, sastrawan tidak begitu diincar dibandingkan wartawan. Banyak wartawan
dibunuh, tapi sastrawan tidak. Demikian karya yang dihasilkannya kemudian
disebutnya sebagai “Sastra Perlawanan”.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar