Jumat, 28 Februari 2014

Di Balik Penerjemahan “The Notorious Jumping Frog of Calaveras County” (Cerpen Mark Twain, 1891)

Kapok menerjemahkan gegara “Solid Object” (Virginia Woolf), tapi satu dari empat hal untuk menjadi penulis hebat menurut Eka Kurniawan adalah menerjemahkan. Haruki Murakami pun melakukannya. Demi menjaga interaksi dengan bahasa Inggris biar tidak semakin asing, dan kemampuan merangkai kata karena saya masih gamang untuk menulis karangan saya sendiri, saya mencoba untuk mengakali daftar (diurut berdasarkan jumlah dan nomor halaman dalam antologi cerpen Harper, 1991) dengan menerjemahkan cerpen-cerpen yang relatif simpel. Hasilnya bisa dilihat di sini, sini, dan sini. Ada satu-dua cerpen lagi yang saya terjemahkan, namun saya ragu untuk memajangnya di blog karena tidak menemukan versi digitalnya yang bisa diakses secara cuma-cuma. Namun ketika saya lagi-lagi menghadapi cerpen-sulit, “My Man Bovanne” dari Toni Cade Bambara, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Afro-Amerika yang jauh dari gramatikal pun kata-kata di dalamnya belum tentu terdapat dalam kamus Echols-Shadily, saya mengakali daftar lagi dan mencoba “The Notorious Jumping Frog of Calaveras County” dari Mark Twain.

source
Tiga paragraf pertama bahasanya masih “normal”. Tapi dalam tiga paragraf berikut saya mulai puyeng karena beberapa kata tidak terdapat dalam kamus, di samping tidak gramatikal. Ada beberapa kata yang ejaannya melenceng dari yang lazimnya kita ketahui semisal “fellow” jadi “feller”, “catch” jadi “ketch”, “risk” jadi “resk”, “chew” jadi “chaw”, dan seterusnya. Terbayang lagi kesulitan saat menghadapi “Solid Object” karena kalimat-kalimatnya yang panjang, serta kata-kata yang biarpun baru bagi saya tapi setidaknya masih bisa ditemukan di kamus (kan?). Kalau kamus yang dimiliki tidak bisa diandalkan, saya pun beralih ke Google. Selain mencari kata-kata “eksotik” macam “summerset”, “hysted”, “hefted”, “yaller”, dan sebagainya, menarik pula membaca ulasan-ulasan mengenai cerpen itu sendiri.

Kenapa bahasanya tahu-tahu jeblok begitu, ialah karena cerpen ini bentuknya berbingkai. Ada cerita di dalam cerita. Masing-masing dibawakan oleh penutur yang berbeda. Alkisah, narator disurati kawannya untuk menanyakan tentang Rev. Leonidas W. Smiley kepada orang yang bernama Simon Wheeler. Narator pun menemui Wheeler dan terjebak untuk mendengarkan lelaki tua itu mengoceh panjang-lebar. Alih-alih Rev. Leonidas W. Smiley, Wheeler malah bercerita tentang Jim Smiley si gila-taruhan. Selama masih punya uang, dan selama ada orang yang bisa digaet, apa saja bakal dia jadikan objek taruhan. Mulai dari anjing, kucing, atau ayam yang lagi bertengkar (mana yang menang?), dua ekor burung yang lagi menclok di pagar (mana yang terbang duluan?), sampai kumbang yang lagi jalan (ke mana dia menuju?, berapa lama?). Cerita dari Wheeler yang makan hampir tiga halaman ini terdiri dari paragraf-paragraf yang berisi kalimat langsung—bahasa cakapan. Karena kejadian dalam cerpen ini berlangsung pada abad ke-19 di kamp pertambangan Angel yang terletak di bagian barat Amerika Serikat (AS), maka mafhumlah apabila bahasa yang digunakan pun menyesuaikan. Dalam hal ini penulis sangat realis. Perbedaan bahasa ini konon menunjukkan bagaimana pada masa itu terdapat kesenjangan di AS. Bagian barat negara tersebut (yang menjadi latar cerpen ini) belumlah semaju bagian timur (yang disebut di awal cerpen ini sebagai asal kawan yang menyurati narator). Bisa dibilang bahasa menunjukkan budaya, bahkan tingkat pendidikan/intelektual. Selain itu, teknik ini agaknya digunakan untuk menimbulkan kesan lucu. Menurut Melvin Helitzer dalam Comedy Writing Secret (2nd edition), orang tertawa karena merasa superior. Jika pembaca adalah orang dengan kemampuan berbahasa yang cukup baik, ia mungkin geli-geli kesal dengan orang yang bahasanya kacau dan tingkahnya seperti Wheeler. Yang menceritakan lain dari yang ditanyakan. Sudah begitu ocehannya panjang pula! Sial benar si narator. Bukankah kesialan biasa menjadi suguhan utama dalam komedi?

Ini juga salah satu kiat melucu dari Mark Twain. Menurutnya, kelucuan justru terasa ketika si penutur tidak menyadari kalau apa yang diceritakannya itu lucu. Seperti Wheeler yang mengisahkan kekonyolan Smiley ini dengan mimik serius.

Simon Wheeler backed me into a corner and blockaded me there with this chair, and then sat down and reeled off the monotonous narrative which follows this paragraph. He never smiled, he never frowned, he never changed his voice from the gentle-flowing key to which he tuned his initial sentence, he never betrayed the slightest suspicion of enthusiasm: but all through the interminable narrative there ran a vein of impressive earnestness and sincerity, which showed me plainly that, so far from his imagining that there was anything ridiculous or funny about his story, he regarded it as a really important matter, and admired its two heroes as men of transcendent genius in finesse.

(paragraf tiga “The Notorious Jumping Frog of Calaveras County” – Mark Twain)

Elemen menarik lainnya adalah bagaimana Smiley menamai anjing dan katak piaraannya dengan nama tokoh-tokoh ternama AS pada masa itu yaitu Andrew Jackon dan Daniel Webster. Andrew Jackson (1767-1845) adalah presiden AS ketujuh dan merupakan pemimpin pertama yang dipilih dari negara bagian sebelah barat. Ia dianggap mewakili kalangan orang biasa sehingga kemenangannya melambangkan kemenangan rakyat. Sebaliknya, Daniel Webster (1782-1852) adalah nama senator AS yang mewakili kalangan elitis. Kegigihan anak anjing bull piaraan Smiley yang dinamai Andrew Jackson saat bertarung dengan lawan-lawannya—kendati kelihatannya tidak jagoan—agaknya menggambarkan pandangan penulis terhadap presiden tersebut. Demikianpun “katak lompat kesohor dari Calaveras” yang dinamai Dan’l Webster dan dilatih oleh Smiley agar mampu lompat lebih tinggi dari katak manapun barangkali menggambarkan kecenderungan tokoh yang dirujuk. Asosiasi dengan para politikus menjadikan cerpen ini bukan saja bernuansa humor, tapi juga satir.

source
“The Notorious Jumping Frog of Calaveras County” mula-mula diterbitkan dengan judul “Jim Smiley and His Jumping Frog” pada tahun 1865. Cerpen ini kemudian dipercantik terus oleh penulisnya dan diterbitkan lagi dengan judul lain, “The Celebrated Jumping Frog of Calaveras County” (1865), barulah “The Notorious Jumping Frog of Calaveras County” (1891). Pada 1872, cerpen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis namun Mark Twain tidak senang dengan hasilnya. Ia pun menerjemahkan balik cerpen itu ke dalam bahasa Inggris yang hasilnya sangat berbeda dibandingkan teks aslinya. Kalau Mark Twain mengerti bahasa Indonesia dan membaca hasil terjemahan saya yang cuma amatir ini, kemungkinan dia bakal menggerundel juga hahaha… Mau bagaimana lagi. Menurut kawan yang tengah menempuh pendidikan S2 di Sastra Kontemporer UNPAD, penerjemahan itu bisa disesuaikan dengan budaya (bahasa) asli atau budaya sasaran. Saya cenderung pada yang kedua. Yang terpenting ialah bagaimana saya, yang kiranya dapat mewakili pembaca awam Indonesia, dapat mengerti jalannya cerita tersebut dan mempelajari sesuatu darinya.[]

untuk menambah pemahaman:

Rabu, 26 Februari 2014

Motivasi bagi Pengangguran

Belakangan ini saya mengumpulkan cerita bertemakan kegalauan dewasa muda. Kriteria khusus: tokoh utama berusia dua puluhan (coret novel The Catcher in the Rye dan film Ghost World) dan kalau bisa pengangguran serta kehidupannya berkualitas rendah. Dari Jerman, saya menemukan film Oh, Boy! Dari Inggris, ada How to be. Dari Australia, sepertinya Muriel’s Wedding termasuk. Dari Jepang, saya mendapatkan novel Welcome to the N. H. K. dan dorama Freeter, Ie wo Kau. Dari Indonesia, kita punya film Alangkah Lucunya Negeri Ini dan novel Drop Out. Selain Ghost World dan Muriel’s Wedding, ternyata tokoh utama dalam judul-judul yang saya sebutkan itu umumnya berjenis kelamin cowok. Bahkan pada CampNaNoWriMo Juli 2013 saya sempat hendak menambah yang sudah jamak itu. Ceweknya mana? NaNoWriMo 2013, saya mencoba untuk menambah perspektif cewek dalam khazanah cerita semacam (ceilah!) dengan menulis seri cerpen yang kalau digabungkan mungkin bisa membentuk novel (?) lalu hasilnya saya pajang di Kemudian yang—singkat cerita—mendekatkan saya pada seseorang yang menyadarkan saya kalau Supernova: Petir pun termasuk. Persis lima tahun lalu saya menuliskan pembacaan novel tersebut untuk pertama kali. Pada waktu itu saya belumlah menyadari kalau konten novel tersebut akan menjadi sangat menarik bagi saya sekarang ini.

Saking populer Dewi Lestari sebagai penulis, saya bisa membaca karya-karyanya tanpa harus membeli karena disediakan oleh lingkungan saya secara cuma-cuma. Tinggal Rectoverso dan Supernova: Partikel yang saya belum baca dan memang tidak ngebet.  Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh dipinjamkan oleh ibu saya yang didapatnya entah dari perpustakaan mana. Filosofi Kopi saya dapat dari kawan SMA. Supernova: Akar dan Perahu Kertas dari kawan-kawan seorganisasi semasa kuliah. Madre terselip di rak sepupu namun sayang saya tidak sempat membaca cerita terakhir. Adapun Supernova: Petir, yang saya tidak ingat pinjam dari siapa, merupakan karya penulisnya yang paling saya nikmati.

Dari hasil googling dengan kata kunci “supernova petir dewi lestari”, saya menyimpulkan bahwa pembaca pada umumnya mengaitkan novel ini dengan seri Supernova lainnya. Beberapa orang bilang kalau mereka memulai pembacaan seri Supernova dengan novel ini. Cara penyampaiannya yang ringan dan humoris serta karakternya yang amat membumi memberikan suasana yang segar—khas—ketimbang yang tersaji dalam dua novel sebelumnya, dan dengan demikian menjadikannya mudah dibaca. Karena itu, ada yang menjadikan novel ini sebagai favorit di antara seri Supernova lainnya, tapi ada juga yang menganggapnya sebagai penurunan kualitas penulisan Dewi Lestari. Lagipula, cerita dengan alur zero-to-hero apalagi yang disampaikan dengan kocak macam Supernova: Petir ini sebenarnya sudah jamak. Yang menjadikan novel ini istimewa barangkali karena keterkaitannya dengan seri Supernova lainnya—plus bahasan soal spiritualisme dan yang berbau-ilmiah-gitulah (punten, abdi mah teu ngartos hehehe). Nomor pertama—Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh—saja sudah mampu menjerat pembaca untuk menjadi pengikut setia seri ini. Namun karena saya bukan penggemar berat seri Supernova pada khususnya (dan Dewi Lestari pada umumnya), saya lebih tertarik pada kemiripan unsur-unsur dalam novel ini dengan yang terdapat dalam judul-judul yang saya sebut di paragraf muka. Lebih khusus lagi: bagaimana seorang sarjana pengangguran bertransformasi hingga mampu keluar dari situasi yang tidak menguntungkannya itu dengan mengoptimalkan potensi dirinya. Memotivasi banget kedengarannya ya.

Mari kita tengok tokoh utama dalam novel ini. Elektra adalah satu dari ratusan ribu sarjana di Indonesia yang menganggur. Ia tidak punya pacar maupun keahlian, menyukai petir, mengidap epilepsi, dan hidup sebatang kara. Kedua orangtuanya telah berpulang ke alam baka, sedang kakaknya diboyong ke Tembagapura oleh sang suami yang bekerja untuk Freeport. Riwayat pekerjaan Elektra sebatas menjadi kaki piramida di MLM-MLM. Hari-harinya dihabiskan untuk tidur siang dan memasak telor ceplok atau indomi. Kendati pemalas, ia rajin menabung. Tapi lama-lama tabungannya tipis juga. Ia  pun mempertimbangkan tawaran untuk menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional (STIGAN). Upaya memenuhi persyaratan menjadi bagian dari institusi jadi-jadian itu menggiringnya pada pertemuan dengan seorang yogini keturunan India—Bu Sati. Dalam kekalutan akan nasibnya itu pula, ketika tadinya berniat untuk menelepon kakaknya dan mengharap bantuan, ia bertemu dengan temannya semasa kuliah yang tidak saja mengenalkannya pada “kehidupan” yang bernama internet, tapi juga menghubungkannya dengan orang yang menghubungkannya dengan orang lain lagi—seorang wirausahawan muda nan sukses bernama Mpret aka Toni—yang membantunya membangun usaha penyambung nafkah.

Kemudian teranglah bahwa Elektra sebenarnya tidak zero-zero amat. Ia diwarisi rumah peninggalan Belanda yang berukuran besar dan berlokasi strategis. Oleh Mpret dan kroni-kroninya, rumah itu disulap menjadi warnet, rental PlayStation, warung makan, distro, bahkan home theater. Ia juga ternyata bukannya mengidap epilepsi, melainkan karena tubuhnya sanggup menampung listrik dengan kapasitas di atas normal (bukan judul lagunya Peterpan ya) namun belum mampu mengendalikannya. Oleh Bu Sati, Elektra diarahkan agar mengasah bakat alamnya itu dan memanfaatkannya demi kebaikan. Pada akhirnya ia merasa menemukan keluarga dan—yang tidak kalah penting—jati dirinya. Dari yang mulanya “ditolong” Bu Sati dan Mpret, Elektra beralih menjadi “penolong” bagi orang-orang yang membutuhkan kemampuannya sebagai terapis listrik.

Tokoh-tokoh dalam cerita lain belum tentu seberuntung Elektra. Dalam film Ghost World dan Oh, Boy! misal, di akhir cerita tokoh utamanya masih terombang-ambing dalam situasi yang tidak pasti. Kalau boleh menyimpang dari tema, coba tengok juga, katakanlah, novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijk (HAMKA) dan History of Love (Nicole Krauss). Kesan apa yang kita dapatkan pada akhir cerita-cerita itu? Kesedihan! Dengan membanding-bandingkan seperti itu bolehlah kita golongkan Supernova: Petir sebagai karya yang optimis.

Dengan demikian, apabila pembaca merasa teridentifikasi dengan sosok Elektra (yakni: biar suram tapi bukannya tidak berpunya sama sekali, dan masih bisa merasa beruntung dibandingkan para pengangguran di Nigeria atau korban perpecahan politik di Nepal—misalnya), dan percaya kalau optimistis merupakan sikap yang baik, teruslah bergerak, bertemu dengan orang-orang, siapa tahu berkenalan dengan sosok-sosok penolong sebagaimana Bu Sati dan Mpret dalam novel ini. Pertolongan tidak selalu datang tanpa diminta macam yang terjadi dalam Welcome to the N. H. K.­ misalnya. Sebagai hikikomori, tokoh utamanya ngendon saja di apartemennya yang sempit dan dingin sampai ada relawan yang mengetuk pintu. Kadang kita sendiri yang perlu mencari pertolongan tersebut seperti yang dilakukan Robert Pattinson dalam How to be. Ia menghubungi penulis buku self-help dari Kanada untuk bimbingan privat. Atau tokoh Jemi dalam Drop Out yang sampai menggedor kosan tetangga demi mencari orang yang bisa mengajarinya akuntansi. Pun Elektra, sedikitnya ia berupaya dengan menanggapi tawaran dari institusi gaib yang ternyata cuma tipu-tipu itu. Karena apa yang terjadi pada masa depan kerap kali tidak ternyana, tinggal pilih saja mau ambil sikap yang mana: optimis, galau, atau malah pesimis?[] 

Selasa, 11 Februari 2014

Kesederhanaan yang Memikat

Andai saja ada lebih banyak novel Mira W yang tersasar ke rumah…

Pertama kali saya memegang karya novelis kawakan ini ialah waktu SD. Punya mbak yang waktu itu kerja di rumah. Kovernya kalau tidak salah bergambar setangkai bunga putih dan berlatar kelabu. Judulnya saya lupa tapi sepertinya populer karena pernah dijadikan sinetron. Ada tokoh anak bernama Anyelir yang kakinya pincang dan perangainya liar. Saya tidak ingat telah membaca buku itu sepenuhnya karena cukup tebal. Tapi ada adegan yang sampai sekarang menempel di benak saya: seseorang ingin merobek pakaian seseorang yang lain… di tempat tidur. Untung pada waktu itu saya belum mengerti, kalau tidak… hehehe.

Pengalaman berikutnya adalah dengan novel berjudul Dari Jendela SMP. Beberapa tahun lalu ketika saya baru memulai blog. Entah punya siapa dipinjam oleh siapa. Tergeletak begitu saja di meja di rumah. Saya sempatkan membacanya—waktu itu libur kuliah—dan masya Allah. Setelahnya saya cari versi digital novel-novel lainnya dari pengarang yang sama di internet, yang sampai kini belum terbaca… hehehe lagi.

Kali ini ada Merpati Tak Pernah Ingkar Janji. Sebetulnya buku ini sudah tersimpan lama sekali di lemari. Mama yang beli barangkali waktu sebaya saya. Cetakan satu pada Desember 1984 dari PT Gramedia Pustaka Utama. Harganya Rp 2500 dan dikorting 10% (begitu saya interpretasikan coretan pensil di sudut atas halaman muka). Namun belum ada keinginan untuk membacanya sampai baru-baru ini adik saya mengeluarkannya untuk tugas mengulas novel dari sekolah.

Baru bab-bab pertama saja saya sudah terjerat. Pantaslah karya-karya pengarang ini menjadi best seller dan melegenda. Sampai kini pun masih dicari, bukan? Ukurannya sesaku. Tebalnya relatif tipis—183 halaman. Saya tamatkan dalam tempo dua-tiga jam saja diselingi mengintip internet dan chatting sedikit-sedikit, ambil minuman dingin, dan makan sore (maksudnya: makan siang yang terlambat) sekalian. Sesekali saya dibikin cekikikan oleh celetukan tokoh-tokohnya yang kebanyakan remaja, silih berganti dengan keharuan akibat kejadian yang tidak menguntungkan tokoh utama...

O Maria! Sejak lahir ia dipersiapkan untuk menjadi biarawati, dan dipanggilkan guru ke rumah. Menjelang usia enam belas tahun, barulah ia dimasukkan ke sekolah khusus perempuan dalam lingkungan biara Katolik. Sosoknya yang lugu, kurang pergaulan, dan teramat religius mulanya menjadi bulan-bulanan teman-teman sekelasnya. Namun lama-lama mereka menaruh simpati juga, apalagi karena Maria ternyata jago bermain voli dan kemudian menjadi bintang dalam pertandingan antar sekolah. Mereka pun menarik Maria ke dalam pergaulan mereka hingga berkenalanlah gadis itu dengan Guntur—seorang pemuda yang biar tampan tapi berandalan dan ada saja ulahnya yang tak terduga. (Perhatikan bagaimana penggunaan nama Maria dan Guntur terasa simbolik karena mencerminkan karakter masing-masing.) Namun di samping karakter Maria yang “ajaib”, ayah gadis itu ternyata kelewat ketat dalam menjaga anaknya. Jadilah Maria terombang-ambing antara menanggapi “kebaikan” teman-temannya dengan disiplin sang ayah. Masalah demi masalah terjadi hingga pada puncaknya menggiring Maria untuk membuat keputusan…

Saya tertarik dengan bagaimana tradisi Katolik menjadi pondasi utama cerita ini. Pak Handoyo pada mulanya adalah seorang pastor yang melanggar janji selibat. Ia keluar dari biara bersama seorang biarawati. Mereka menikah. Namun sayang istrinya meninggal ketika melahirkan anak mereka, Maria. Rasa bersalah mendorongnya untuk menyerahkan putrinya kepada Tuhan. Saking ketat ia menjaga kesucian Maria, putrinya itu harus selalu berpakaian tertutup dan tidak boleh bergaul dengan lelaki. Inilah yang menjadi akar konflik ketika kemudian Maria bergaul dengan remaja-remaja metropolitan. Dalam agama yang saya anut pun ada praktik semacam itu, sehingga saya sempat mengandaikan latar cerita ini disesuaikan dengan apa yang rasa-rasanya lebih familier bagi saya itu. Tapi mengingat bagaimana novel ini diakhiri, saya menyadari kalau tradisi Katolik memiliki kekhasan yang membangun cerita ini dengan sedemikian kuatnya. Kalau saya penganut agama tersebut, bisa saja iman saya menebal atau malah terdorong untuk menjadi biarawati juga setelah menamatkan novel ini.

Di luar itu, novel ini memiliki kemiripan dengan novel lainnya yang sudah saya baca dari pengarang yang sama yaitu Dari Jendela SMP tadi. Kehidupan yang diangkat sama-sama kehidupan remaja metropolitan yang serampangan dan rentan terhadap perilaku seks bebas. Dalam kedua novel tersebut pun terseliplah pendidikan seks. Bahkan isu tersebut saya jadikan judul buat ulasan saya untuk novel yang sebelumnya hehehe. Sedang dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, hal itu ditunjukkan dengan bagaimana Maria menyadari badannya telah tumbuh lalu mendapat haid untuk pertama kali, juga kegemaran para cowok menonton video biru beramai-ramai. Bahkan ada adegan (yang menurut saya) “wah” yang mirip. Muncul pada bab-bab awal novel seolah fungsinya untuk memancing hubungan antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Dalam Dari Jendela SMP, tangan Joko tidak sengaja menyentuh dada Wulan namun saya tidak ingat persis bagaimana situasinya sampai bisa sampai begitu. Sedang dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, tangan Guntur juga menyentuh dada Maria—kali ini entah sengaja atau tidak—yang pada waktu itu belum kenal BH.

Kemiripan lainnya yaitu adanya adegan di rumah sakit terutama pada saat cerita mencapai puncak. Dalam Dari Jendela SMP berupa adegan Wulan melahirkan, sedangkan dalam Merpati Tak Pernah Ingkar Janji Guntur mesti dioperasi. Seolah-seolah inilah kesempatan bagi pengarang untuk membagi pengetahuan kedokterannya. Bagi yang belum tahu, Mira W selain produktif menghasilkan novel juga berprofesi sebagai dokter. Contoh menakjubkan lainnya bagaimana seorang penulis mampu juga berkiprah di berbagai bidang, eh?

Karena mengangkat kehidupan remaja, saya bertanya-tanya apakah Merpati Tak Pernah Ingkar Janji (juga Dari Jendela SMP) bisa digolongkan sebagai teenlit—istilah yang pada masa kedua buku itu pertama kali terbit mungkin belum tren. Atau katakanlah, novel remaja. (Meskipun pada bab terakhir Merpati Tak Pernah Ingkar Janji ditampilkan kehidupan tokoh-tokohnya setelah dewasa). Memang konten pendidikan seks itu menjurus pada kedewasaan, tapi bukannya memang perlu bagi remaja? Selain itu, gaya bahasa juga yang ingin saya perkarakan. Cocokkah gaya bahasa dalam novel-novel “remaja” Mira W ini bagi pembaca remaja zaman sekarang. Seandainya saya sarjana sastra, sebagai mantan remaja era 2000’an yang pernah mengikuti perkembangan teenlit, ingin rasanya saya bandingkan novel Indonesia yang berkisah kehidupan remaja mulai dari era 1980-an seperti Merpati Tak Pernah Ingkar Janji ini, 1990-an, 2000-an, sampai yang terbit belakangan. Buat iseng saja hehehe.

Bertahun-tahun lalu saya coba menulis beberapa novel. Hasilnya saya perlihatkan pada seorang teman. Komentarnya, karya saya mengingatkannya pada novel-novel Mira W. Pada waktu itu entah kenapa dimirip-miripkan dengan yang teramat populer itu rasanya kurang menyenangkan. Tapi kini, setelah saya menerima kalau segala yang saya tulis itu kegagalan belaka dan saya anggap saja sebagai latihan, setelah saya membaca novel Mira W lainnya dan menikmati kesederhanaannya yang memikat, dan setelah saya menyadari kalau novel saya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan novel ini, komentar tersebut terasa sebagai pujian yang keterlaluan. Fufufu…[]

Senin, 10 Februari 2014

Revolusi Kemerdekaan (Baru Pengantar)


Suro BuldogOrang Buangan Tanah Merah, Boven Digoel. Menelusuri hasil pencarian di Google, tampaknya novel ini pernah diterbitkan oleh Grafiti Press sebelum oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada 1992. Kover oleh penerbit yang pertama berlatar hijau muda sedang oleh penerbit  yang kedua berupa sosok seorang pria. Miripkah ia dengan buldog?

Penelusuran berhenti di halaman belasan. Tampaknya tidak banyak generasi internet yang membaca novel ini—menuliskan pembacaannya. Toh ada beberapa tautan yang menyediakan ­e-book novel ini baik dalam format djvu maupun pdf.

Adapun novel di meja saya ini tampaknya diperoleh dari “warisan” kerabat Mama—mungkin mendiang pakdenya di Malang. Kondisi buku yang merupakan cetakan kedua pada 1992 ini cukup baik dalam artian ujung kover masih rada lancip. Halamannya telah makin buram saja, berhiaskan bercak-bercak kecokelatan di beberapa tempat. Tepiannya bernoda kehitaman. Harganya—menurut label kecil bertanda toko buku Gramedia di kover belakang—Rp 5000 saja (pada masa itu loh).

Begitu kita buka kover depan, di halaman muka tertera rangkuman cerita secara keseluruhan. Dari awal sampai akhir atau istilah kerennya: spoiler. Jadi, isi novel adalah penjabaran daripada sinopsis tersebut. Yah. Bisa dibilang pembacaan tanpa kejutan karena kita dapat berpatokan pada alur di halaman depan. Walaupun begitu, masak sih yang kita harapkan dari satu novel semata hanya cuma kejutan saja?

Jadi siapakah gerangan Suro Buldog? Ialah nama beken dari Suro Pranoto. Penampilannya konon akan mengingatkan kita pada sejenis anjing berbulu tipis, berkaki pendek, bergelambir, dan berkepala besar (bermuka lebar)—begitu saya kutip dari KBBI—sehingga ia mendapat julukan yang khas. Ia lulusan Europese Ambacht School Surabaya pada 1920-an yang kemudian bekerja di Jawatan Kereta Api Tasikmalaya namun tidak lama. Perlakuan semena-mena bosnya membuatnya gelap mata. Diambilnya tongkat lalu dihantamnya Belanda totok itu sampai cedera. Ia pun diganjar hukuman dua puluh tahun pengasingan di Tanah Merah, Boven Digoel, Irian. Namanya berganti jadi si Kodok.

Arkian, korban yang dahulu dicederai si Kodok sembuh. Sang narapidana mendapat keringanan dan dipindahkan ke Nusakambangan. Setelah dibebaskan pada 1934, ia memulai hidup baru sebagai Darmin dan bekerja di perkebunan tebu mula-mula sebagai kuli lalu pangkatnya naik menjadi mandor. Masuknya Jepang ke Indonesia mengubah situasi dan Darmin ingin turut berkontribusi dalam revolusi. Ia pun menghilang dari perkebunan tersebut dan berkumpul bersama kawan-kawannya untuk menyusun strategi.

Begitulah. Faedah utama yang saya dapatkan dari novel ini adalah wawasan dan semangat. Wawasan ialah wawasan mengenai kehidupan pada masa lebih dari setengah abad silam khususnya di lingkungan perkeretaapian, tahanan Digoel dan Nusakambangan, perkebunan tebu, dan pergerakan kebangsaan. Bahkan Pakde Suro sempat bertemu dan mengobrol dengan Kusno—sebutan bagi presiden pertama kita kala masih pemuda. Terkait latar waktu, sebenarnya ada satu-dua hal yang bikin saya agak ragu yaitu di halaman 144 dan halaman 174 disebutkan adanya taksi dan bis. Saya tidak punya cukup wawasan untuk membayangkan bagaimana rupa taksi dan bis pada masa itu. Semangat ialah semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari kolonialisme. Sebagai generasi pemuda zaman sekarang, jujur, semangat itu samar-samar (kalau bukan nihil) saja saya rasakan. Padahal saya masih ingat amanat dari pelajaran Kewarganegaraan semasa saya menjadi siswa/mahasiswa, bahwa kita mesti menghayati perjuangan para pahlawan… Sebelum tulisan ini jadi makin terasa sok-moralis, saya lanjutkan pada kesan lainnya dalam pembacaan.

Sebagaimana dalam cerita-cerita berlatar kolonialisme lainnya semisal tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer atau Oeroeg Hella Haasse, rasialisme pun menjadi isu dalam novel ini. Menarik bagi saya mengetahui adanya istilah Belanda keju (Belanda totok) dan Belanda singkong (Belanda berdarah Indonesia) karena mengingatkan pada lagu Gombloh satu ini: “Aku suka singkong, kau suka keju… O! O!”—“Singkong dan Keju”. Ada juga ternyata Belanda jengkol. Simak kutipan dari halaman 69.

“… …Belanda jengkol dia, tapi sikap kebelanda-belandaannya bukan main, padahal bahasa Belandanya lebih bengkok daripada sinyo Depok. Makan roti pun lauknya sambal terasi barangkali. …”

Sungguhpun begitu, karakter bangsa penjajah dalam novel ini, baik yang berkulit putih betulan maupun berkulit putih campuran, tidak digambarkan secara hitam-putih. Memang awalnya mereka cari gara-gara namun akhirnya mereka amat baiknya pada tokoh utama. Dari beberapa karakter tersebut, yang paling berkesan buat saya adalah Kopral Kees Van Dorp. Ia menjaga para tahanan di Digoel dan dengan sengaja menjadikan dirinya sebagai sasaran kebencian mereka. Ia paling senang “mengerjai” si Kodok dengan mengada-adakan kesalahan apa saja, lantas memberi hukuman. Padahal di balik itu ia punya alasan.

“Justru karena Tanah Merah ini neraka. Kalian sekarang ini punya orang untuk dibenci dan dengan begitu kalian tidak membenci diri kalian sendiri. Ada sesuatu yang menjadi milik bersama kalian. Kebencian terhadap diriku. Itu penting. Kalau kalian tidak memiliki sasaran untuk dibenci, pasti kalian akan selalu baku hantam saja. Kalian akan membenci lingkungan yang tidak bersahabat dan keras ini. …” (halaman 111).

Dijelaskan juga bagaimana masa lalu Kees Van Dorp yang menjadi jawaban atas keanehan tabiatnya. Dan bukan cuma kehidupan sang kopral yang dicuil lantas disajikan, melainkan juga kehidupan para eks tahanan Nusakambangan—bagaimana upaya mereka dalam membangun kehidupan yang baru hingga tumbuh solidaritas di antara mereka untuk saling membantu. Nah, solidaritas inilah yang dipahami si Kodok sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pergerakan.  

Gambaran yang realis dan manusiawi tersebut dituturkan dengan amat mengalir. Sementara penulis pemula mungkin berpikir keras bagaimana mengawali dan mengakhiri satu adegan dengan lembut, dalam novel setebal 266 halaman seukuran saku ini peralihan dari kejadian satu ke kejadian berikut berlangsung dengan begitu lancar dan tanpa beban. Tahu-tahu Suro Pranoto telah menikah. Tahu-tahu istrinya sedang mengidam. Tahu-tahu ia mengajukan petisi ke Jawatan Kereta Api. Tahu-tahu…

Suro Buldog baru satu dari serangkaian novel karangan Pandir Kelana yang berlatar Sejarah Perjuangan Bangsa dalam Revolusi Kemerdekaan atau dinamai juga sebagai seri Pejuang-pejuang Hasta Palagan. Totalnya delapan novel pokok dan beberapa novel sampingan. Latar waktunya sekitar tahun 1940-an, sedang khusus dalam novel ini mulai dari tahun 1920-an. Tokoh utama dalam satu novel  merupakan tokoh sampingan dalam novel lain. Begitupun tokoh sampingan dalam novel lain itu bisa saja tokoh utama dalam novel yang lain lagi. Persis seperti family saga karangan Sitta Karina hanya beda konteks. Yang satu perjuangan kemerdekaan, yang lain kegalauan sosialita hehehe. (Omong-omong, saya juga pernah membuat novel berantai…—uhuk—ehm!)

Adalah mayor jenderal purnawirawan RM Slamet Danusudirdjo di balik nama Pandir Kelana—“pengembara yang tolol,” begitu beliau mengartikan dirinya. Menurut artikel di majalah MATRA edisi Agustus 1988, penulis satu ini tidak berpretensi menjadi sastrawan. Selain berkiprah di militer, beliau pernah menjabat sebagai Deputi Ketua BAPPENAS, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan, Sekretaris Menko Ekuin, Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI, dan Rektor Institut Kesenian Jakarta. Menakjubkan bukan, bagaimana seseorang tidak saja produktif menulis tapi juga mampu berkontribusi dalam banyak bidang lain? Adapun motivasi beliau dalam menuliskan kisah-kisah revolusi ialah, saya kutip lagi dari MATRA, “Banyak anak muda sekarang yang tidak mengetahui semua sisi perjuangan bangsa. Lebih-lebih mendekati tahun 2000, pada saat masyarakat memasuki era industri, mental-psikis dan mental-ideologis harus kuat melandasi bangsa Indonesia.” Selain Pandir Kelana, penulis kisah revolusi lainnya yang cukup ternama ialah Nugroho Notosusanto, Trisnoyuwono, dan Suparto Brata. (Saya baru baca yang terakhir hehehe.)

Selain novel-novel revolusi, Pandir Kelana juga menulis novel sejarah. Salah satunya berjudul Tusuk Sanggul Pudak Wangi yang diterbitkan pada akhir tahun 1980-an. Beberapa karyanya telah diangkat ke layar putih dan layar kaca. Salah satunya ialah Suro Buldog ini, yang menjadi sinetron pada 1994 dan disutradarai oleh Slamet Rahardjo.[]

Sabtu, 08 Februari 2014

Belajar Bahasa Indonesia

Cukupkah pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EyD) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menguasai pengetahuan berbahasa Indonesia? Dalam praktiknya, sering terjadi penyimpangan dalam berbahasa hingga menarik para pemerhati bahasa untuk membahasnya dalam sebentuk artikel. Kita dapat membaca artikel-artikel tersebut tiap Jumat di harian KOMPAS, di bagian belakang majalah bulanan Intisari, juga di buku karangan Dr. J. S. Badudu Membina Bahasa Indonesia Baku.

Dalam Pesta Buku Bandung pada Oktober 2013 lalu, saya menemukan buku semacam namun tidak membelinya. Selain karena bujet, saya sangka buku yang saya lihat di pameran itu merupakan versi baru dan terpadu dari tiga seri Membina Bahasa Indonesia Baku yang dua di antaranya telah tersedia di rumah. (Dulu pun trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari diterbitkan terpisah, baru belakangan dicetak ulang dalam satu jilid.) Sayang saya tidak sampai mengamati penerbit dan harga cetakan baru tersebut, barangkali ada yang tertarik untuk mencarinya.

Seri Membina Bahasa Indonesia Baku pada mulanya adalah bahan untuk acara pembinaan bahasa di TVRI pada tahun ’70-an. Saya baru menamatkan seri satu—diterbitkan CV Pustaka Prima, Bandung, pada tahun 1981 dan merupakan cetakan kelima. Memang terlambat tiga puluh tahun lebih saya membacanya sementara katanya bahasa terus berkembang kecuali bahasa Latin yang sudah mati. Bahkan pada masa itu sepertinya Kamus Besar Bahasa Indonesia belum disusun karena yang sering menjadi rujukan dalam buku ini adalah Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta. Walaupun begitu, bolehlah sekadar bacaan.

Lagipula buku ini muncul setelah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan diresmikan presiden pada tanggal 16 Agustus 1972. Bukankah sampai sekarang ejaan tersebut masih menjadi patokan dalam menuliskan bahasa Indonesia secara baik dan benar? Boleh tengok bagaimana isi buku lawas ini masih ada yang relevan dengan gejala bahasa sekarang. Bahasan tentang pemakaian kata nyaris dan hampir, misalnya. Kedua kata tersebut bersinonim namun tidak selalu dapat saling menggantikan. Dalam halaman 158 buku ini: “Kata nyaris tidak boleh digunakan dalam pengertian yang menguntungkan seperti nyaris menang, nyaris mendapat keuntungan, nyaris lulus dalam ujian.” Hal sama diungkapkan pula dalam rubrik Bahasa Kita Intisari edisi Januari 2014: “Kata hampir bersifat netral; mungkin berkaitan dengan hal yang tidak diinginkan, mungkin pula tidak. Sementara itu, kata nyaris cenderung dikaitkan dengan peristiwa yang tidak diinginkan.”

Membaca buku ini membuat saya insaf kalau pengetahuan bahasa saya masih kurang. Saya baru tahu kalau pemakaian dariku, darimu, darinya hanya boleh dalam bentuk puisi (halaman 68). Penyair diberikan kebebasan dalam melanggar kaidah bahasa (licencia poetica) karena keperluan sajak dan irama puisi yang digubahnya. Dalam bahasa prosa, hal itu tidak dibenarkan. Dari, sebagaimana di dan ke, merupakan kata depan. Kita tidak boleh juga mengatakan diku, dimu, dinya, atau kemu, kemu, kenya. Oleh karena itu, pemakaian yang dibenarkan bukanlah dariku, darimu, darinya melainkan daripadaku atau dari saya, daripadamu atau dari kamu, daripadanya atau dari dia.

Selain itu, kita tidak boleh seenaknya menghilangkan kata. Sebagai contoh, kata oleh harus disertakan pada kalimat yang kata kerjanya berawalan ter-: Buku itu terbawa oleh Amir. Bayangkan apabila kalimat itu diubah menjadi: Buku itu terbawanya. Ganjil kan? Nah, kata oleh boleh saja dihilangkan apabila terdapat pada kalimat yang kata kerjanya berawalan di-. Contohnya: Buku itu dibawa oleh Amir. Kalimat tersebut tidak akan terasa janggal apabila diubah menjadi: Buku itu dibawanya.

Masih banyak lagi gejala bahasa yang diulas dalam buku setebal 166 halaman ini. Mulai dari pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing, ejaan lama yang masih acap digunakan walaupun ada ejaan baru, kebiasaan untuk melebih-lebihkan kata dan sebaliknya, makna dan pemakaian kata-kata tertentu, cara melafalkan singkatan dan akronim, sampai petunjuk dalam surat-menyurat.

Menulis mungkin akan lebih lancar kalau kita mengabaikan aturan berbahasa. Asal orang mengerti—begitu prinsipnya. Padahal justru karena bahasa itu bersistem maka ia mudah dipelajari. Makin banyak penyimpangan dalam suatu bahasa, makin sukar bahasa itu dipelajari (halaman 123). Coba saja kita lihat bahasa Alay. Bahasa tersebut sukar dipelajari karena kita tidak mengerti bagaimana sistemnya sehingga satu kata bisa tersusun atas huruf kecil, huruf kapital, dan angka sekaligus. Suatu kata bisa lain penulisannya di tangan orang yang berbeda. Oleh karena itu, mari kita pelajari bagaimana menuliskan bahasa secara baik dan benar demi kemaslahatan bersama.[] 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...