Suro
Buldog—Orang Buangan Tanah Merah, Boven Digoel. Menelusuri hasil pencarian
di Google, tampaknya novel ini pernah diterbitkan oleh Grafiti Press sebelum
oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada 1992. Kover oleh penerbit yang pertama
berlatar hijau muda sedang oleh penerbit
yang kedua berupa sosok seorang pria. Miripkah ia dengan buldog?
Penelusuran berhenti di halaman belasan.
Tampaknya tidak banyak generasi internet yang membaca novel ini—menuliskan
pembacaannya. Toh ada beberapa tautan yang menyediakan e-book novel ini baik dalam format djvu maupun pdf.
Adapun novel di meja saya ini tampaknya diperoleh
dari “warisan” kerabat Mama—mungkin mendiang pakdenya di Malang. Kondisi buku
yang merupakan cetakan kedua pada 1992 ini cukup baik dalam artian ujung kover
masih rada lancip. Halamannya telah makin buram saja, berhiaskan bercak-bercak
kecokelatan di beberapa tempat. Tepiannya bernoda kehitaman. Harganya—menurut
label kecil bertanda toko buku Gramedia di kover belakang—Rp 5000 saja (pada
masa itu loh).
Begitu kita buka kover depan, di halaman
muka tertera rangkuman cerita secara keseluruhan. Dari awal sampai akhir atau
istilah kerennya: spoiler. Jadi, isi
novel adalah penjabaran daripada sinopsis tersebut. Yah. Bisa dibilang
pembacaan tanpa kejutan karena kita dapat berpatokan pada alur di halaman
depan. Walaupun begitu, masak sih yang kita harapkan dari satu novel semata
hanya cuma kejutan saja?
Jadi siapakah gerangan Suro Buldog?
Ialah nama beken dari Suro Pranoto. Penampilannya konon akan mengingatkan kita
pada sejenis anjing berbulu tipis, berkaki pendek, bergelambir, dan berkepala
besar (bermuka lebar)—begitu saya kutip dari KBBI—sehingga ia mendapat julukan
yang khas. Ia lulusan Europese Ambacht School Surabaya pada 1920-an yang kemudian
bekerja di Jawatan Kereta Api Tasikmalaya namun tidak lama. Perlakuan
semena-mena bosnya membuatnya gelap mata. Diambilnya tongkat lalu dihantamnya
Belanda totok itu sampai cedera. Ia pun diganjar hukuman dua puluh tahun
pengasingan di Tanah Merah, Boven Digoel, Irian. Namanya berganti jadi si Kodok.
Arkian, korban yang dahulu dicederai si Kodok
sembuh. Sang narapidana mendapat keringanan dan dipindahkan ke Nusakambangan.
Setelah dibebaskan pada 1934, ia memulai hidup baru sebagai Darmin dan bekerja
di perkebunan tebu mula-mula sebagai kuli lalu pangkatnya naik menjadi mandor.
Masuknya Jepang ke Indonesia mengubah situasi dan Darmin ingin turut
berkontribusi dalam revolusi. Ia pun menghilang dari perkebunan tersebut dan
berkumpul bersama kawan-kawannya untuk menyusun strategi.
Begitulah. Faedah utama yang saya
dapatkan dari novel ini adalah wawasan dan semangat. Wawasan ialah wawasan
mengenai kehidupan pada masa lebih dari setengah abad silam khususnya di
lingkungan perkeretaapian, tahanan Digoel dan Nusakambangan, perkebunan tebu,
dan pergerakan kebangsaan. Bahkan Pakde Suro sempat bertemu dan mengobrol
dengan Kusno—sebutan bagi presiden pertama kita kala masih pemuda. Semangat
ialah semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari kolonialisme.
Sebagai generasi pemuda zaman sekarang, jujur, semangat itu samar-samar (kalau
bukan nihil) saja saya rasakan. Padahal saya masih ingat amanat dari pelajaran
Kewarganegaraan semasa saya menjadi siswa/mahasiswa, bahwa kita mesti
menghayati perjuangan para pahlawan…
Sebagaimana dalam cerita-cerita berlatar
kolonialisme lainnya semisal tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer atau Oeroeg Hella Haasse, rasialisme pun
menjadi isu dalam novel ini. Menarik bagi saya mengetahui adanya istilah
Belanda keju (Belanda totok) dan Belanda singkong (Belanda berdarah Indonesia)
karena mengingatkan pada lagu Gombloh satu ini: “Aku suka singkong, kau suka
keju… O! O!”—“Singkong dan Keju”. Ada juga ternyata Belanda jengkol. Simak
kutipan dari halaman 69.
“… …Belanda jengkol dia, tapi sikap
kebelanda-belandaannya bukan main, padahal bahasa Belandanya lebih bengkok
daripada sinyo Depok. Makan roti pun lauknya sambal terasi barangkali. …”
Sungguhpun begitu, karakter bangsa
penjajah dalam novel ini, baik yang berkulit putih betulan maupun berkulit
putih campuran, tidak digambarkan secara hitam-putih. Memang awalnya mereka
cari gara-gara namun akhirnya mereka amat baiknya pada tokoh utama. Dari
beberapa karakter tersebut, yang paling berkesan buat saya adalah Kopral Kees
Van Dorp. Ia menjaga para tahanan di Digoel dan dengan sengaja menjadikan
dirinya sebagai sasaran kebencian mereka. Ia paling senang “mengerjai” si Kodok
dengan mengada-adakan kesalahan apa saja, lantas memberi hukuman. Padahal di
balik itu ia punya alasan.
“Justru karena Tanah Merah ini neraka. Kalian sekarang
ini punya orang untuk dibenci dan dengan begitu kalian tidak membenci diri
kalian sendiri. Ada sesuatu yang menjadi milik bersama kalian. Kebencian
terhadap diriku. Itu penting. Kalau kalian tidak memiliki sasaran untuk
dibenci, pasti kalian akan selalu baku hantam saja. Kalian akan membenci
lingkungan yang tidak bersahabat dan keras ini. …” (halaman 111).
Dijelaskan juga bagaimana masa lalu Kees
Van Dorp yang menjadi jawaban atas keanehan tabiatnya. Dan bukan cuma kehidupan
sang kopral yang dicuil lantas disajikan, melainkan juga kehidupan para eks
tahanan Nusakambangan—bagaimana upaya mereka dalam membangun kehidupan yang
baru hingga tumbuh solidaritas di antara mereka untuk saling membantu. Nah,
solidaritas inilah yang dipahami si Kodok sebagai potensi yang dapat
dimanfaatkan untuk pergerakan.
Gambaran yang realis dan manusiawi
tersebut dituturkan dengan amat mengalir. Sementara penulis pemula mungkin
berpikir keras bagaimana mengawali dan mengakhiri satu adegan dengan lembut,
dalam novel setebal 266 halaman seukuran saku ini peralihan dari kejadian satu
ke kejadian berikut berlangsung dengan begitu lancar dan tanpa beban. Tahu-tahu
Suro Pranoto telah menikah. Tahu-tahu istrinya sedang mengidam. Tahu-tahu ia
mengajukan petisi ke Jawatan Kereta Api. Tahu-tahu…
Suro
Buldog baru satu dari serangkaian
novel karangan Pandir Kelana yang berlatar Sejarah Perjuangan Bangsa dalam
Revolusi Kemerdekaan atau dinamai juga sebagai seri Pejuang-pejuang Hasta Palagan. Totalnya delapan novel pokok dan
beberapa novel sampingan. Latar waktunya sekitar tahun 1940-an, sedang khusus
dalam novel ini mulai dari tahun 1920-an. Tokoh utama dalam satu novel merupakan tokoh sampingan dalam novel lain.
Begitupun tokoh sampingan dalam novel lain itu bisa saja tokoh utama dalam
novel yang lain lagi. Persis seperti family
saga karangan Sitta Karina hanya beda konteks. Yang satu perjuangan
kemerdekaan, yang lain kegalauan sosialita hehehe.
Adalah mayor jenderal purnawirawan RM
Slamet Danusudirdjo di balik nama Pandir Kelana—“pengembara yang tolol,” begitu
beliau mengartikan dirinya. Menurut artikel di majalah MATRA edisi Agustus 1988, penulis satu ini tidak berpretensi
menjadi sastrawan. Selain berkiprah di militer, beliau pernah menjabat sebagai
Deputi Ketua BAPPENAS, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Sekretaris Jenderal
Departemen Perhubungan, Sekretaris Menko Ekuin, Anggota Dewan Pertimbangan
Agung RI, dan Rektor Institut Kesenian Jakarta. Menakjubkan bukan, bagaimana
seseorang tidak saja produktif menulis tapi juga mampu berkontribusi dalam
banyak bidang lain? Adapun motivasi beliau dalam menuliskan kisah-kisah
revolusi ialah, saya kutip lagi dari MATRA,
“Banyak anak muda sekarang yang tidak mengetahui semua sisi perjuangan bangsa.
Lebih-lebih mendekati tahun 2000, pada saat masyarakat memasuki era industri,
mental-psikis dan mental-ideologis harus kuat melandasi bangsa Indonesia.”
Selain Pandir Kelana, penulis kisah revolusi lainnya yang cukup ternama ialah
Nugroho Notosusanto, Trisnoyuwono, dan Suparto Brata.
Selain novel-novel revolusi, Pandir
Kelana juga menulis novel sejarah. Salah satunya berjudul Tusuk Sanggul Pudak Wangi yang diterbitkan pada akhir tahun
1980-an. Beberapa karyanya telah diangkat ke layar putih dan layar kaca. Salah
satunya ialah Suro Buldog ini, yang
menjadi sinetron pada 1994 dan disutradarai oleh Slamet Rahardjo.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar