Senin, 10 Februari 2014

Revolusi Kemerdekaan (Baru Pengantar)


Suro BuldogOrang Buangan Tanah Merah, Boven Digoel. Menelusuri hasil pencarian di Google, tampaknya novel ini pernah diterbitkan oleh Grafiti Press sebelum oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada 1992. Kover oleh penerbit yang pertama berlatar hijau muda sedang oleh penerbit  yang kedua berupa sosok seorang pria. Miripkah ia dengan buldog?

Penelusuran berhenti di halaman belasan. Tampaknya tidak banyak generasi internet yang membaca novel ini—menuliskan pembacaannya. Toh ada beberapa tautan yang menyediakan ­e-book novel ini baik dalam format djvu maupun pdf.

Adapun novel di meja saya ini tampaknya diperoleh dari “warisan” kerabat Mama—mungkin mendiang pakdenya di Malang. Kondisi buku yang merupakan cetakan kedua pada 1992 ini cukup baik dalam artian ujung kover masih rada lancip. Halamannya telah makin buram saja, berhiaskan bercak-bercak kecokelatan di beberapa tempat. Tepiannya bernoda kehitaman. Harganya—menurut label kecil bertanda toko buku Gramedia di kover belakang—Rp 5000 saja (pada masa itu loh).

Begitu kita buka kover depan, di halaman muka tertera rangkuman cerita secara keseluruhan. Dari awal sampai akhir atau istilah kerennya: spoiler. Jadi, isi novel adalah penjabaran daripada sinopsis tersebut. Yah. Bisa dibilang pembacaan tanpa kejutan karena kita dapat berpatokan pada alur di halaman depan. Walaupun begitu, masak sih yang kita harapkan dari satu novel semata hanya cuma kejutan saja?

Jadi siapakah gerangan Suro Buldog? Ialah nama beken dari Suro Pranoto. Penampilannya konon akan mengingatkan kita pada sejenis anjing berbulu tipis, berkaki pendek, bergelambir, dan berkepala besar (bermuka lebar)—begitu saya kutip dari KBBI—sehingga ia mendapat julukan yang khas. Ia lulusan Europese Ambacht School Surabaya pada 1920-an yang kemudian bekerja di Jawatan Kereta Api Tasikmalaya namun tidak lama. Perlakuan semena-mena bosnya membuatnya gelap mata. Diambilnya tongkat lalu dihantamnya Belanda totok itu sampai cedera. Ia pun diganjar hukuman dua puluh tahun pengasingan di Tanah Merah, Boven Digoel, Irian. Namanya berganti jadi si Kodok.

Arkian, korban yang dahulu dicederai si Kodok sembuh. Sang narapidana mendapat keringanan dan dipindahkan ke Nusakambangan. Setelah dibebaskan pada 1934, ia memulai hidup baru sebagai Darmin dan bekerja di perkebunan tebu mula-mula sebagai kuli lalu pangkatnya naik menjadi mandor. Masuknya Jepang ke Indonesia mengubah situasi dan Darmin ingin turut berkontribusi dalam revolusi. Ia pun menghilang dari perkebunan tersebut dan berkumpul bersama kawan-kawannya untuk menyusun strategi.

Begitulah. Faedah utama yang saya dapatkan dari novel ini adalah wawasan dan semangat. Wawasan ialah wawasan mengenai kehidupan pada masa lebih dari setengah abad silam khususnya di lingkungan perkeretaapian, tahanan Digoel dan Nusakambangan, perkebunan tebu, dan pergerakan kebangsaan. Bahkan Pakde Suro sempat bertemu dan mengobrol dengan Kusno—sebutan bagi presiden pertama kita kala masih pemuda. Semangat ialah semangat untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari kolonialisme. Sebagai generasi pemuda zaman sekarang, jujur, semangat itu samar-samar (kalau bukan nihil) saja saya rasakan. Padahal saya masih ingat amanat dari pelajaran Kewarganegaraan semasa saya menjadi siswa/mahasiswa, bahwa kita mesti menghayati perjuangan para pahlawan… 

Sebagaimana dalam cerita-cerita berlatar kolonialisme lainnya semisal tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer atau Oeroeg Hella Haasse, rasialisme pun menjadi isu dalam novel ini. Menarik bagi saya mengetahui adanya istilah Belanda keju (Belanda totok) dan Belanda singkong (Belanda berdarah Indonesia) karena mengingatkan pada lagu Gombloh satu ini: “Aku suka singkong, kau suka keju… O! O!”—“Singkong dan Keju”. Ada juga ternyata Belanda jengkol. Simak kutipan dari halaman 69.

“… …Belanda jengkol dia, tapi sikap kebelanda-belandaannya bukan main, padahal bahasa Belandanya lebih bengkok daripada sinyo Depok. Makan roti pun lauknya sambal terasi barangkali. …”

Sungguhpun begitu, karakter bangsa penjajah dalam novel ini, baik yang berkulit putih betulan maupun berkulit putih campuran, tidak digambarkan secara hitam-putih. Memang awalnya mereka cari gara-gara namun akhirnya mereka amat baiknya pada tokoh utama. Dari beberapa karakter tersebut, yang paling berkesan buat saya adalah Kopral Kees Van Dorp. Ia menjaga para tahanan di Digoel dan dengan sengaja menjadikan dirinya sebagai sasaran kebencian mereka. Ia paling senang “mengerjai” si Kodok dengan mengada-adakan kesalahan apa saja, lantas memberi hukuman. Padahal di balik itu ia punya alasan.

“Justru karena Tanah Merah ini neraka. Kalian sekarang ini punya orang untuk dibenci dan dengan begitu kalian tidak membenci diri kalian sendiri. Ada sesuatu yang menjadi milik bersama kalian. Kebencian terhadap diriku. Itu penting. Kalau kalian tidak memiliki sasaran untuk dibenci, pasti kalian akan selalu baku hantam saja. Kalian akan membenci lingkungan yang tidak bersahabat dan keras ini. …” (halaman 111).

Dijelaskan juga bagaimana masa lalu Kees Van Dorp yang menjadi jawaban atas keanehan tabiatnya. Dan bukan cuma kehidupan sang kopral yang dicuil lantas disajikan, melainkan juga kehidupan para eks tahanan Nusakambangan—bagaimana upaya mereka dalam membangun kehidupan yang baru hingga tumbuh solidaritas di antara mereka untuk saling membantu. Nah, solidaritas inilah yang dipahami si Kodok sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pergerakan.  

Gambaran yang realis dan manusiawi tersebut dituturkan dengan amat mengalir. Sementara penulis pemula mungkin berpikir keras bagaimana mengawali dan mengakhiri satu adegan dengan lembut, dalam novel setebal 266 halaman seukuran saku ini peralihan dari kejadian satu ke kejadian berikut berlangsung dengan begitu lancar dan tanpa beban. Tahu-tahu Suro Pranoto telah menikah. Tahu-tahu istrinya sedang mengidam. Tahu-tahu ia mengajukan petisi ke Jawatan Kereta Api. Tahu-tahu…

Suro Buldog baru satu dari serangkaian novel karangan Pandir Kelana yang berlatar Sejarah Perjuangan Bangsa dalam Revolusi Kemerdekaan atau dinamai juga sebagai seri Pejuang-pejuang Hasta Palagan. Totalnya delapan novel pokok dan beberapa novel sampingan. Latar waktunya sekitar tahun 1940-an, sedang khusus dalam novel ini mulai dari tahun 1920-an. Tokoh utama dalam satu novel  merupakan tokoh sampingan dalam novel lain. Begitupun tokoh sampingan dalam novel lain itu bisa saja tokoh utama dalam novel yang lain lagi. Persis seperti family saga karangan Sitta Karina hanya beda konteks. Yang satu perjuangan kemerdekaan, yang lain kegalauan sosialita hehehe. 

Adalah mayor jenderal purnawirawan RM Slamet Danusudirdjo di balik nama Pandir Kelana—“pengembara yang tolol,” begitu beliau mengartikan dirinya. Menurut artikel di majalah MATRA edisi Agustus 1988, penulis satu ini tidak berpretensi menjadi sastrawan. Selain berkiprah di militer, beliau pernah menjabat sebagai Deputi Ketua BAPPENAS, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan, Sekretaris Menko Ekuin, Anggota Dewan Pertimbangan Agung RI, dan Rektor Institut Kesenian Jakarta. Menakjubkan bukan, bagaimana seseorang tidak saja produktif menulis tapi juga mampu berkontribusi dalam banyak bidang lain? Adapun motivasi beliau dalam menuliskan kisah-kisah revolusi ialah, saya kutip lagi dari MATRA, “Banyak anak muda sekarang yang tidak mengetahui semua sisi perjuangan bangsa. Lebih-lebih mendekati tahun 2000, pada saat masyarakat memasuki era industri, mental-psikis dan mental-ideologis harus kuat melandasi bangsa Indonesia.” Selain Pandir Kelana, penulis kisah revolusi lainnya yang cukup ternama ialah Nugroho Notosusanto, Trisnoyuwono, dan Suparto Brata. 

Selain novel-novel revolusi, Pandir Kelana juga menulis novel sejarah. Salah satunya berjudul Tusuk Sanggul Pudak Wangi yang diterbitkan pada akhir tahun 1980-an. Beberapa karyanya telah diangkat ke layar putih dan layar kaca. Salah satunya ialah Suro Buldog ini, yang menjadi sinetron pada 1994 dan disutradarai oleh Slamet Rahardjo.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain