Kamis, 14 Desember 2023

Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastera Indonesia

Gambar screenshot dari Ipusnas.
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya, Bandung
Edisi Elektronik, 2018
ISBN : 978-979-419-563-5 (PDF)

(Di Goodreads ada buku ini, tapi tidak ada edisi dengan kover yang sama dengan yang saya baca di Ipusnas.)

Dalam buku ini terdapat 20 artikel yang ditulis pada awal 1960-an sampai awal 1970-an, yang tampaknya diurutkan dengan alur tertentu.

Masalah angkatan dan periodisasi sejarah sastera Indonesia

Masalah yang dijadikan sebagai judul buku ini merupakan artikel pembuka. Jujur, artikel ini tidak menarik buat saya. Kenapa hal ini harus dipermasalahkan? Namun artikel inilah yang justru dikupas paling panjang lebar dalam pertemuan Klub Buku Laswi kemarin (14/12/2023) oleh pemantik yang sekaligus wartawan Bandung Bergerak, M. Akmal Firmansyah. Ditambah tanggapan dari beberapa peserta lain, kupasan ini memahamkan saya bahwa masalah angkatan dan periodisasi ini rupanya penting bagi peneliti sastra. Artikel ini juga menjadi titik awal dari kritik terhadap HB Jassin, yang bakal berkali-kali lagi diangkat dalam beberapa artikel lain di buku ini.

Pembahasan mengenai penyair dan karyanya

Gambar screenshot dari Instagram.
Berikutnya ada 5 artikel mengenai penyair dan karyanya, mulai dari penyair yang sudah beberapa lama tiada (Chairil Anwar), beberapa penyair yang baru saja tiada (JE Tatengkeng dan Armijn Pane), hingga penyair yang sampai ketika saya membuat catatan ini masih ada (Taufiq Ismail). 

Tulisan pertama mengenai Chairil Anwar, "Menempatkan Chairil Anwar pada Proporsinya" (1967), menjabarkan sosok sang sastrawan individualis yang berdedikasi penuh pada keseniannya sehingga menjadi contoh baik sekaligus buruk. Pandangan terhadap sang penyair pun berubah-ubah, tergantung pada musim politik. Tulisan berikutnya, "Chairil Anwar dan Politik" (1968) mengandai-andaikan Chairil Anwar masih hidup, kira-kira partai politik mana yang bakal dipilihnya di era Nasakom? Dalam tulisan ini, dengan mengutip sajaknya untuk Bung Karno, Pak Ajip menunjukkan bahwa Chairil Anwar tidak buta politik. Namun, Pak Ajip berpendapat, Chairil Anwar sepertinya akan tetap pada sikap menjunjung kebebasan.

Selanjutnya tulisan-tulisan yang mungkin boleh dianggap sebagai "obituarium", karena diawali dengan "In Memoriam". "In Memoriam: J. E. Tatengkeng (1907-1968) tampak seperti upaya penebusan dosa Pak Ajip karena dalam berkorespondensi dengan JE Tatengkeng kerap mengalami kesalahpahaman. Pada masa itu, pos tidak aman sehingga surat-surat balasan dari JE Tatengkeng kepada Pak Ajip tidak sampai sehingga Pak Ajip mengira JE Tatengkeng tidak suka membalas. Tulisan ini sekalian mengangkat dan membahas puisi-puisi JE Tatengkeng untuk menunjukkan tema utama karya-karyanya, serta riwayat hidupnya baik dalam kepenyairan maupun selainnya. Saya ingat JE Tatengkeng termasuk yang menarik buat saya, sepertinya dari membaca buku Bimbingan Apresiasi Puisi. Di Ipusnas ada bukunya yang Rindu Dendam. "In Memoriam: Armijn Pane (1908-1970)" juga memuat riwayat hidup pengarang roman Belenggu yang terkenal itu. Sampai usia 60-an, beliau masih berusaha menulis roman. Di Ipusnas ada kumpulan esainya yang merupakan bunga rampai bersama Haris Djohan, Hamka, dan Pram. Sampai di sini saya silap ternyata Armijn Pane bukan termasuk penyair, cuma diapit XP

Yang dimaksud dengan "segi lain" dalam tulisan berikutnya, "Segi Lain: Sajak-sajak Taufiq Ismail" (1968) adalah segi keislaman Taufiq Ismail, yang lebih dikenal dengan sajak-sajak demonstrannya. Tulisan ini menunjukkan penghayatan keislaman (terutama kerasulan Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam) dalam sajak-sajak Taufiq Ismail.

Persoalan tentang respons terhadap karya sastra dan pengarangnya

Sebelum terus membahas karya-karya, diselipkan mengenai persoalan pendidikan apresiasi sastra serta pelarangan pengarang. 

"Sedikit Catatan tentang Pendidikan Apresiasi Sastra" (1968) membuat saya membandingkan dengan keadaan sekarang. Sekarang ini yang laku sepertinya masih cenderung bacaan hiburan (semisal yang ada di platform-platform) sementara untuk yang dianggap sebagai "karya sastra" sepertinya banyak pembaca cenderung mengikuti yang lagi diangkat saja. Untuk buku-buku pengajaran sastra dan pendidikan apresiasi, sebetulnya sudah ada banyak. Paling tidak, semasa kuliah belasan tahun lalu saya menemukan banyak buku semacam, baik di perpustakaan pusat kampus maupun di perpustakaan kota, baik yang berbahasa Inggris maupun yang berbahasa Indonesia, yang jejak-jejaknya terekam di blog ini. Tahun-tahun belakangan ketika sudah tidak bisa mengakses perpustakaan kampus dan malas juga menyengajakan diri untuk sering bertandang ke perpustakaan setempat, saya terus menemukan lebih banyak buku tentang itu di media digital (Ipusnas). Jadi dalam 55 tahun ini menurut saya sudah ada kemajuan dalam ketersediaan buku penunjang pengajaran sastra dan pendidikan apresiasi, cuma kalau boleh saya tebak buku-buku itu sedikit pembaca/pemakainya. Saya sendiri bukan pendidik di sekolah/penggerak di komunitas sehingga kurang tahu pasti keadaannya, cuma saya pikir yang ada di posisi-posisi tersebut punya peran lebih agar buku-buku ini banyak dimanfaatkan. 

"Laranglah Buku, Jangan Pengarang" (1969) menanggapi polemik(?) antara panitia pertimbangan seni sastra dan menteri yang berkepentingan untuk memberikan Anugerah Seni 1969. Panitia mengajukan karya-karya yang ditolak menteri karena pengarangnya memiliki hubungan politik tertentu yang bertentangan dengan pemerintah masa itu. Pak Ajip mendukung sikap panitia yang memisahkan karya dari pengarangnya. Alasannya, pengarang masih mungkin berkembang dan berubah paham pemikirannya, sedang buku seperti sekadar produk dari suatu fase yang mungkin saja kelak ditinggalkan si pengarang. Melarang pengarang dapat memutus hajat hidupnya, yang sepertinya bukan tindakan manusiawi(?). Tulisan ini mengingatkan saya pada buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Persoalan yang diangkat Pak Ajip ini sebetulnya lumrah, malah dalam buku itu disebutkan bahwa adakalanya pengarang disiksa dengan keji sampai mati. Kedua bacaan ini sama-sama mengatakannya sebagai ketidakdewasaan penguasa.

Pembahasan mengenai kritik

Tulisan-tulisan selanjutnya boleh dibilang merupakan kritik terhadap kritik, bahkan ujungnya menyasar master dari para kritikus sastra Indonesia yakni HB Jassin. Yang saya tangkap, jadi pada awal 1960-an Gunung Agung menerbitkan seri Esai dan Kritik Sastera dengan HB Jassin sebagai redaksi. Buku-buku dalam seri itu sepertinya merupakan skripsi untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang disorot dalam buku ini adalah Boen S. Oemarjati dengan Atheis ("Boen Membahas Atheis", 1963), Fachruddin Ambo Enre dengan puisi-puisi Indonesia tahun 1920-an ("Puisi Indonesia dalam Masa Dua Puluhan", 1963), M. S. Hutagalung dengan Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (1963) dan Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967) ("Dua Buku Hutagalung"), serta Junus Amir Hamzah dengan Hamka ("Junus Amir Hamzah tentang Hamka sebagai Pengarang Roman", 1964). HB Jassin yang menjadi redaksi pun tak luput dari kritik Pak Ajip terhadap kritiknya terhadap Amir Hamzah. Pak Ajip pada akhirnya menyoal kritik sastra Indonesia pada umumnya, yang menurut beliau terlalu bergantung kepada HB Jassin. 
"Sebanyak itu orang yang mengarang dan mencoba menjadi sasterawan tetapi sedikit sekali yang menulis kritik dan esai. Apalagi yang benar-benar bernilai. ... untuk menulis kritik tidaklah hanya diperlukan kepandaian menulis padat belaka, melainkan juga keluasan pandangan dan pengetahuan sosial yang mendalam. Lebih daripada sasterawan, kritikus haruslah seorang yang mengetahui benar tentang soalnya (sastera) baik secara teknis maupun secara historis, dengan latar belakang pengetahuan (terutama estetika, sejarah, filsafat, psikologi, sosiologi dll) yang cukup luas." (halaman 86)
HB Jassin dikenal sebagai Paus Sastra Indonesia karena dominansinya dalam kesusasteraan Indonesia, menentukan lulus atau tidaknya seorang pengarang menjadi sastrawan. Karya-karya bunga rampainya dijadikan barometer perkembangan sastra Indonesia. Padahal, menurut Pak Ajip, ada banyak pengarang yang tak kalah berkualitas tetapi tidak disertakan HB Jassin dalam karya-karya bunga rampainya itu, misalkan karena karyanya dimuat di media yang bukan HB Jassin sebagai redaksinya. Ini menarik buat saya karena saya berminat untuk membacai karya-karya bunga rampai HB Jassin itu yang tersedia di Ipusnas, begini saya coba mengurutkan judul-judulnya mengikuti periodisasi yang saya tahu:

Pujangga Baru (1963)
Kesusastraan Indonesia Masa Jepang (1948)
Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968)

Antologi ini kemudian dilanjutkan oleh Ajip Rosidi dengan judul Laut Biru Langit Biru (1977). Malah kalau mau merunut dari lebih awal lagi, di Ipusnas tersedia pula Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia (terbitan KPG sampai 10 jilid!). Rupanya di luar antologi-antologi yang tersedia itu ada pengarang/karya berkualitas yang luput. 

Kalau tulisan yang mencakup kritik-kritik terhadap HB Jassin itu dijuduli "Lampu Merah buat Jassin" (1963), maka tulisan selanjutnya yang masih mengenai tokoh yang sama seakan-akan menunjukkan bahwa yang bersangkutan itu sudah kebablasan alias menerobos lampu merah. "Jassin Cari Mujtahid Ketemu Gambar Burak" (1969) mengkritik Jassin yang sungguh berani menganjurkan untuk menggambar Nabi Muhammad menuruti kemajuan peradaban kiwari, yang mana ia mencari landasannya bukan dari sumber Islam langsung melainkan karya orientalis Barat. Buat saya pribadi, ini merupakan pelajaran dan pengingat akan tabiat manusia yang susah puas sehingga berbuat melampaui batas dalam hal ini menuruti nafsu visual.  
" ... mencari untuk mencari dan bukan mencari untuk menemukan apa yang dicarinya itu semacam tabi'at yang hanya diturunkan Allah SWT. kepada failusuf-failusuf jumhur atau sarjana-sarjana besar yang harus senantiasa merasa tidak puas dengan apa yang sudah diperolehnya dan yang sudah ditemuinya!" (halaman 127) "Buat mereka yang ingin mencari tetapi tidak ingin menemukan apa yang dicarinya, saya persilakan untuk membaca buku Buah-buah di Kebun Rumah karangan Slamet Soeseno atau Kesehatan Mental karangan Dr. Zakiah Daradjat--keduanya terbitan tahun 1969 ini!" (halaman 128) "Kemajuan teknik kiranya tidaklah sejalan dengan perkembangan jiwa manusia." (halaman 130)
Pembahasan mengenai roman dan pengarangnya

Artikel-artikel yang belakangan ini barulah mulai benar-benar menarik buat saya. Dalam kritik terhadap roman-roman sekalian pengarangnya itu terkandung pelajaran mengarang, relevan buat saya yang masih terombang-ambing dalam pergulatan untuk kembali menulis karangan panjang tapi kali ini dengan lebih baik dan meyakinkan. Tulisan-tulisan ini menunjukkan apa-apa yang harus diperhatikan. Misalnya, saya bisa saja memulai lagi dari cerpen-cerpen sebagai latihan atau persiapan. Namun, sekalian dengan itu, saya perlu sambil belajar efisiensi serta membuat pelukisan yang meyakinkan dalam segala aspek yang caranya dengan menguasai materi bahan. 

"Potret yang Samar-samar" (1964) membahas roman Satyagraha Hoerip, Sepasang Suami Istri, dengan pengantarnya terlebih dahulu menyoal cerpen sebagai sarana berlatih sebelum menulis karya panjang.  Salah satu pengarang yang melakukan ini adalah Satyagraha Hoerip. Beberapa cerpennya pernah dimuat di majalah sebelum terbit buku-buku romannya. Namun latihan-latihan membuat cerpen tidak lantas membuat Sepasang Suami Istri jadi roman yang efisien karena masih banyak bagian yang samar, tidak meyakinkan, baik dalam suasana batin tokoh, latar tempat dan waktu, dan seterusnya. 
"Penulisan roman itu dianggap perkembangan lebih lanjut dari penulisan cerita pendek, hal mana menimbulkan kesan membekasnya teknik penulisan cerita pendek dalam roman yang ditulisnya sehingga roman itu tak ubahnya dengan cerita pendek yang diperpanjang. .... Penguasaan penulisan cerita pendek secara teknis akan merupakan dasar-dasar yang baik bagi penguasaan teknis penulisan karya yang lebih panjang. Salah satu sifat cerita pendek yang khas yaitu bentuknya yang menuntut penulisnya ekonomis dengan kata dan kalimat adalah dasar-dasar yang baik bagi penulisan roman--sesungguhnya efisiensi ini ciri umum sastra modern yang dengan kata sesedikit mungkin, hendak menjangkau pengertian dan memberikan pelukisan yang seluas-luasnya." (halaman 132) "Efisiensi ini boleh dikatakan tak begitu diperhatikan oleh kebanyakan para pengarang kita dalam usahanya memberikan tulisan yang lebih panjang." (halaman 133) "Tapi semuanya itu terasa sangat samar, agaknya disebabkan oleh karena penulisnya kurang menguasai materi bahannya." (halaman 134) 
"Kemerdekaan Individu Menurut Nasjah Djamin" memuat dua tulisan pendek, masing-masing mengenai satu karya Nasjah Djamin. Tulisan pertama (1964) mengangkat Hilanglah Si Anak Hilang, yang menurut Pak Ajip merupakan karya matang sehingga cerpen dan drama yang dibuat pengarangnya sebelum itu seakan-akan dipersiapkan untuk lahirnya roman ini. Dari roman ini pun Pak Ajip mengutip kalimat dialog yang menarik, "Kurasa saling menyiksa dan menciptakan neraka di bumi ini, itulah yang disebut perikemanusiaan." Akibatnya saya jadi penasaran untuk turut membaca karya tersebut, alhamdulillah ada di Ipusnas. Tulisan berikutnya mengenai Di Bawah Kaki Pak Dirman (1967), yang sayangnya tidak ada di Ipusnas hiks. 

"Sejuta Matahari" (1964) mengingatkan saya pada momen ketika diajak seseorang memasuki ruangan Perpustakaan Ajip Rosidi (itu yang pertama sekaligus yang terakhir sampai waktu membuat catatan ini). Sementara dia melihat-lihat, saya mengambil satu novel Moetinggo Boesje lalu duduk membacanya di pinggir jendela. Saya tidak ingat judul novel itu, pun tidak sampai tamat membacanya. Kalau tidak salah, ceritanya mengenai seorang artis wanita dan berlatar 1960-an. Jangan-jangan novel itu termasuk karya Moetinggo Boesje yang disebutkan dalam tulisan ini. 

"Rosihan Menulis Roman" (1967) merupakan kritik terhadap roman sejarah karangan Rosihan Anwar. Pak Ajip mencantumkan kutipan dari W. Somerset Maugham (halaman 147): "Pengarang, dengan cara apa pun ia berurusan, memperlihatkan kode moral zamannya sendiri. Ini kesalahan besar novel-novel sejarah: watak-watak yang dilukiskan, walaupun mereka menjalankan perbuatan-perbuatan yang bersifat tarikhi, bertingkah laku sesuai dengan ukuran moral zaman pengarang ...", seketika jadi perhatian saya bila mau mengarang dengan latar masa silam.

"Permasalahan Islam dalam Roman Indonesia" (1967) mengingatkan bahwa dulu semasa kuliah saya pernah ngefans sama AA Navis sampai mencari dan membacai buku-bukunya yang ada di perpustakaan pusat kampus, dan sudah pula membeli buku antologi lengkap cerpennya yang diterbitkan Kompas yang sampai sekarang belum dibaca hahahaha (tapi sudah saya cari dan pindahkan ke lemari dalam kamar supaya segera dibaca setelah sekian buku lain yang lebih dulu masuk antrean ...). Keistimewaan AA Navis, seperti yang dikemukakan dalam tulisan ini, adalah karena suka mengangkat persoalan umat Islam dan menganjurkan sikap beragama yang benar menurutnya, misal tidak taklid buta dan tidak menyerah saja kepada takdir, tetapi juga harus bekerja dan berinovasi dalam mengatasi permasalahan-permasalahan di dunia. Tulisan ini mengingatkan saya supaya kembali menengok dan mengambil inspirasi dari AA Navis, toh dari dulu sampai sekarang alhamdulillah saya masih ada perhatian dengan keislaman serta senantiasa ingin memperbaiki pemahaman dan pengamalan. Tulisan ini juga meringkaskan jalan cerita roman Kemarau yang sepertinya rame (saya belum baca), Pak Ajip sendiri mengakuinya. Saya pun jadi mencari AA Navis di Ipusnas dan yang tersedia di sana adalah:

Kabut Negeri Si Dali (kumcer)
Bertanya Kerbau pada Pedati (kumcer)
Kemarau (novel, 0 copy hiks)
Pemikiran Minangkabau: Catatan Budaya AA Navis (nonfiksi, kayaknya)

Karena cerpennya banyak, AA Navis memang layak dijadikan model untuk mengarang cerpen secara produktif dan idealis(?). Seperti yang dikatakan Pak Ajip dalam tulisan ini, "roman menyajikan sifat-sifat manusia dalam kehidupan (hal-hal klasik), tapi bukan realita belaka, melainkan juga menyuguhkan suatu idea (kebaruan)" (halaman 152, yang di dalam kurung itu tambahan/pengertian dari saya sendiri). Maksudnya, karya-karya AA Navis sekalipun realis tetap mengandung gagasan-gagasan (idea) untuk mengatasi permasalahan yang diangkatnya.

Saran untuk penelitian sastra Indonesia

Sebagai penutup, "Perlu Peningkatan Penelitian Sastra Indonesia" (1972) menyinggung bahwa berkesusasteraan asalnya merupakan kebudayaan Eropa, yang dalam masyarakat kolonial mempunyai status lebih tinggi (termasuk Tionghoa). Karena itulah, kalangan tersebut yang mula-mula menghidupkan kesusasteraan Indonesia termasuk dalam penelitian. Terlintas pikiran bahwa kalau ingin ada lebih banyak orang mengapresiasi sastra, maka tingkatkan dulu taraf perekonomiannya sehingga mereka setidaknya memiliki waktu luang untuk itu (bisa pula untuk meningkatkan daya beli, tapi memanfaatkan perpustakaan pun jadi). Membaca tulisan terakhir ini diliputi keinsafan-keinsafan. Bagi Pak Ajip, beliau seperti mengakui bahwa dirinya tidak selalu menguasai segala informasi yang begitu luasnya. Di akhir tulisan ini ada tambahan: "Apa yang pada kita baru merupakan pikiran atau saran, orang lain telah mengerjakannya" (halaman 159). Bagi saya sendiri, tampak bahwa keleluasaan membaca adalah suatu kemewahan nonmateri. Jadi bermewah-mewahan bukan cuma dengan harta (materi), melainkan juga bagaimana memanfaatkan waktu luang (nonmateri). Di sisi lain, membaca termasuk upaya meraih ilmu yang adalah kewajiban (jadi bukan sekadar kenikmatan). Memiliki banyak harta pun tak mengapa kalau rajin bersedekah. Maka, bolehkah menulis ulasan setiap buku yang sudah tuntas dibaca dianggap sebagai suatu sedekah--agar orang yang mau baca mana tahu kecipratan manfaatnya juga? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain