Minggu, 31 Desember 2023

Catatan Pembacaan 2023

Membandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun ini ada peningkatan. Dari 79 buku, 3 majalah, dan 1 skripsi atau taruhlah 83 jadi 86. Jumlah ini termasuk majalah (cuma 3 biji) dan draf tulisan sendiri (catatan harian dan novel). Di Goodreads ada 45 buku, selebihnya di blog ini dan blog satunya (khusus majalah dan draf fiksi karangan sendiri). Ketika mulai merekap, tak terduga ternyata jumlahnya sudah sebanyak itu. Soalnya, sebagaimana yang dikeluhkan di catatan pembacaan tahun sebelumnya, saya merasakan stamina baca sudah turun. Saya sudah tak kuat membaca 1 buku saja selama 1 jam nonstop. Pola membaca pun jadi terasa acak-acakan, tak seteratur tahun-tahun sebelumnya. Pada 2023 ini, ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengatasi atau mengakali supaya habit ini bertahan.

Klub buku

Awalnya, saya meminta seorang teman untuk mengabari saya bila ada acara menarik lagi. Ia menanggapi dengan memberi tahu tentang adanya klub buku yang kebetulan banget lokasinya tidak jauh dari rumah saya—kurang dari setengah jam bersepeda. Klub buku ini diselenggarakan oleh seorang akang yang saya kenal sudah dari lama (tapi entah apa selama itu beliau ingat saya hahaha) bekerja sama dengan seorang lainnya yang sedang jadi ketua komunitas kepenulisan yang pernah saya ikuti. Ketika itu klub telah berjalan selama sebulan, mulai Februari 2023. Saya pertama kali datang pada pertemuan kelima yang sudah memasuki Maret, kala itu membahas buku Orang dan Bambu Jepang (Ajip Rosidi) yang, lagi-lagi kebetulan banget, sudah pernah saya baca. Sejak itu, saya pun mendatangi pertemuan mingguan ini walaupun sesekali rehat. Kerap kali buku yang akan dibahas sudah saya miliki atau ada di Ipusnas, sehingga menggenjot semangat saya untuk ikut membacanya. Sampai akhir Desember 2023, klub sudah mengadakan 44 pertemuan yang berarti membahas lebih dari 44 buku (soalnya ada pertemuan yang membahas lebih dari satu buku). Dari jumlah itu hampir separuhnya, yaitu 21 buku, saya ikut baca. Kalau bukan karena klub ini juga saya tidak akan menamatkan beberapa buku sastra Sunda.

20 Minute Rule

Kemudian saya keranjingan untuk menerapkan 20 Minute Rule dalam berbagai kegiatan, termasuk membaca buku. Saya mendapatkan angka 20 dari filter YouTube. Ketika mau mencari video dengan topik tertentu tapi tetap random, biasanya saya memasang filter penelusuran dengan durasi 4 – 20 menit. Kalau kurang dari 4 menit, terlalu pendek. Lebih dari 20 menit, kepanjangan. Dua puluh menit terasa pas, tidak singkat amat tapi juga tidak begitu lama. Jadi, setelah membaca 1 buku selama 20 menit—kecuali buku itu benar-benar menarik sehingga saya tidak mau menjedanya—saya beralih ke buku lain selama 20 menit berikutnya, dan seterusnya tergantung keleluasaan.

Ray Bradbury Challenge

Saya mengetahui challenge ini sudah dari lama, tahun ini baru tergerak menerapkannya tapi cuma untuk membaca 1 esai, 1 cerpen, dan 1 puisi per hari, sedang untuk menulis 1 cerpen/minggu, entar dulu lah ya. Ada berbagai sensasi ketika mencoba cara ini, tetapi ujungnya saya kewalahan karena jadi menambah kategori bacaan. Sudah begitu, panjang esai/cerpen/puisi kan tidak menentu: ada yang rata-rata, sangat singkat, atau panjang sekali.

Setelah telanjur menamatkan dua buku kumpulan puisi, saya skip dulu challenge ini dan menentukan jalan tengahnya adalah dengan membuat kategori baru di tabel rekap pembacaan. Jadi, sudah bertahun-tahun ini, saya menggunakan tabel rekap pembacaan. Mulanya sih untuk menyeimbangkan jumlah buku cetak dan buku digital yang dibaca. Soalnya buku digital sering kali lebih menggoda untuk dibaca, sementara buku cetak (termasuk majalah) yang untuk memilikinya harus ditebus dengan uang itu malah jadi pajangan saja di dalam lemari. Tabel ini kemudian berkembang sehingga kategorinya bukan cuma cetak dan digital, melainkan juga nonfiksi dan fiksi serta tema umum dan tema khusus. Tema umum adalah yang bersangkutan dengan kehidupan saya sehari-sehari, sedangkan tema khusus katakanlah yang berhubungan dengan kehidupan imajiner dalam kepala saya. Dari tabel ini, saya mendapati telah membaca jauh lebih banyak buku digital khususnya dari Ipusnas. (Kadang itu tak terhindarkan, kalau mau mengikuti rencana buku yang akan dibahas di klub.) Karena itulah, selama beberapa bulan pertama pada 2024, saya ingin berfokus untuk mengisi gap di tabel lama (alias mengutamakan-baca buku cetak) sebelum berlanjut ke tabel baru yang mana sudah ditambahkan kategorinya sehingga di samping nonfiksi dan fiksi (yang mana di dalamnya termasuk esai dan cerpen yang sudah dibukukan tentu saja), ada puisi. Selain untuk mengikuti Ray Bradbury Challenge (dengan penyesuaian), membaca puisi rasa-rasanya perlu juga supaya mana tahu saya bisa lebih ekspresif dan kreatif dalam berkata-kata(?). Entahlah, seumur hidup saya belum pernah menekuni-baca buku kumpulan puisi—selama ini random saja lagi jarang.

Jalan tengah lainnya adalah stick to 20 Minute Rule, alias targetnya bukan 1 esai, 1 cerpen, dan 1 puisi per hari melainkan ikuti saja pergiliran di tabel. Ketika gilirannya buku kumpulan puisi, baca selama 20 menit lalu pindah ke buku lain yang entahkah nonfiksi atau fiksi, kumpulan esai atau majalah, kumpulan cerpen atau novel ….

Selain tabel, tahun ini juga saya mulai membuat daftar buku yang telah tuntas tiap bulannya. Karena ingin tahu saja. Itu mempermudah untuk melihat tren dan menghitung, misalnya, ternyata saya masih membaca lebih banyak nonfiksi (44) daripada fiksi (40).

Buku-buku yang cepat dituntaskan

Buku-buku tersebut ibarat seteguk air segar di sela-sela maraton (kayak yang pernah ikut saja) membaca buku tebal yang seakan tak selesai-selesai. Contohnya adalah buku kumpulan artikel (misalnya dari Tempo dan Trubus) yang terdapat di Ipusnas, buku komik, buku anak-anak, dan lain-lain yang tebalnya tidak sampai 100 halaman.

Goodreads

Seperti biasanya, pada awal tahun saya pasang target 52 buku dengan perkiraan selesai 1 buku/minggu. Namun, setelah beberapa bulan, saya mendapati bahwa target itu sepertinya tidak akan tercapai karena bukan berarti saya tidak sanggup menyelesaikan 1 buku/minggu, melainkan sebagian buku yang saya baca tidak ada di Goodreads sedang sekarang sudah tidak bisa lagi manually add book. Maka saya turunkan target jadi 36 saja, alias 3 buku/bulan—3 buku yang ada di Goodreads, maksudnya. Ini tercapai, bahkan terlampaui (125%) tapi memang tidak sampai 52.

Penilaian

Karena saya membaca bukan untuk kepentingan akademis/profesional/dsb melainkan sebagai penikmat saja, 86 buku tahun ini atau 1 – 2 buku/minggu sudah bagus banget. Itu saja saya masih ada perasaan bersalah karena memang hobi saya bukan cuma membaca, melainkan juga berbagai turunannya yang mau sekalian saya bicarakan di bawah, sehingga mesti ada waktu juga buat yang lain-lainnya itu. Kalau sampai tembus lebih dari 2 buku/minggu, rasa-rasanya sudah berlebihan. Malah terpikir setelah sampai di angka 78 (dari 52 + 26 alias pas 1,5 buku/minggu), mungkin saya setop saja dan beralih ke hal lain misalnya menulis novel? (hahahaha~) kemudian baru mulai membaca buku lagi setelah masuk tahun berikutnya. Entahlah.

TURUNAN DARI MEMBACA

Menulis

Yang rutin adalah menulis review tiap kali menamatkan satu buku (atau majalah kadang juga karya lainnya yang benar-benar menarik), alhamdulillah berhasil dipertahankan sejak 2019. Tahun ini saya menambahkan rutin baru, dengan menerapkan 20 Minute Rule itu, yaitu menulis catatan harian. Sebetulnya ini tidak sama sekali baru. Sejak SD saya suka menulis catatan harian. Tiap ada pikiran, segera saya tuliskan. Pada satu titik, saya mengira kebiasaan ini mengembangkan sifat overthinking. Maka itu saya berhenti. Yah, tidak sama sekali sih (memang bisa?) tapi mengurangi, sampai-sampai menurut catatan harian tahun kemarin saja, saya menulisnya tidak sampai setengah halaman F4 per hari. Namun, setelah membaca semua diary semasa SMP, saya justru mendapatkan pandangan lain. Menulis catatan harian justru merupakan suatu coping. Dengan itu saya mengatasi kesepian, menghibur dan menyemangati diri, serta menghargai kehidupan yang acap kali tak mengenakkan. Saya yang sekarang pun jadi sangat mengapresiasi saya yang dulu. Kenapa tidak melakukannya lagi? Namun kali ini secara teratur dan terbatas, agar tak merasa berlebih-lebihan lagi. Lalu saya mulai begitu saja, tak ingat dari tanggal berapa pokoknya enggak persis 1 Januari 2022. Ada hari-hari yang bolong, tak apa.

Setelah berhasil melakukan rutin itu beberapa lama, timbul pikiran: kenapa tidak melakukan ini juga untuk menulis fiksi? Saya sudah mencobanya, mempertahankannya beberapa lama tapi menulis kehidupan imajiner tetap saja tak seenteng menuliskan pengalaman pribadi yang nyata. Saya tak berhasil mempertahankannya. Percobaan-percobaan lainnya untuk kembali menulis fiksi juga belum ada yang persisten lagi seperti semasa kuliah. Entahlah. Pelik sih. Keadaannya sudah beda. Maka status masih “pura-puranya mau menulis novel”.

Menerjemahkan

Pada 2023 ini saya menyadari bahwa sudah 1 dekade saya menerjemahkan. Jejaknya terekam di blog ini, sebelum dibuat blog lain khusus untuk terjemahan dengan tujuan menjaga kesinambungan, yang dijadwalkan mulai 2014, yang berarti blog itu akan genap 1 dekade juga. Sampai sekarang saya masih menikmati menerjemahkan sebagai hobi saja. Malah tahun-tahun belakangan terjadi penurunan aktivitas sebenarnya. Pernah ada target ambisius untuk memosting mingguan, tapi yang realistis sebulan sekali saja lah ya. Sedang mencoba menerapkan 20 Minute Rule juga untuk kegiatan ini, lebih banyak bolongnya daripada menulis catatan harian wkwkwk. Sebenarnya lagi mau mengukur sih: kalau bisa rutin 20 menit/hari tanpa banyak bolong, akan ada rata-rata berapa judul yang bisa dihasilkan dalam sebulan.

Mengkliping

Ini biasanya saya lakukan sekalian dengan menerjemahkan. Mengkliping dulu, baru menerjemahkan. Keduanya sama-sama soal menyalin. Mengkliping adalah menyalin teks dari cetak ke digital tanpa perubahan berarti (paling-paling menyesuaikan ejaan atau tanda baca yang biasanya refleks saja), sedangkan menerjemahkan juga menyalin tetapi dengan mengubah bahasa yang sering kali memerlukan berpikir, mengecek arti ke beberapa kamus sekaligus, googling, dan Google Translate hihihi. Baru mulai menerapkan 20 Minute Rule juga untuk ini, dari yang tadinya menarget 1 artikel/hari (menginsafi panjang artikel yang berbeda-beda).

Bahasa-bahasa

Pelajaran bahasa Arab di Duolingo sudah tamat. Bukan karena saya begitu rajin, melainkan karena itu termasuk bahasa yang baru ditambahkan sehingga pelajarannya belum banyak dan cepat dituntaskan asal rutin. Karena itu saya merasa perlu move on ke sumber belajar lain, seperti buku dan video. Ada satu buku pelajaran bahasa Arab yang sudah saya mulai, tapi tersendat-sendat. Begitu pula dengan bahasa Jerman. Saya telah mengumpulkan buku-buku berbahasa Jerman yang saya ingin baca, kalau bisa menjadikannya bahan latihan menerjemahkan. Namun itu muluk-muluk banget sih. Kalau bukan karena Duolingo, aslinya saya belum betah belajar bahasa asing. Selain Arab dan Jerman, di Duolingo saya juga belajar bahasa Jepang dan Belanda. Biar apa? Biar menghayati perjuangan bangsa selama masa penjajahan dan lebih menghargai kemerdekaan(?) Sudah, empat itu sajalah.

REAL LyFE

Setelah menonton beberapa video ‘cleaning’, saya mendapat pencerahan bahwa DECLUTTERING adalah kunci. Itu yang harus saya fokuskan pada 2024 ini. DECLUTERING yang ORGANIC maupun yang ANORGANIC. DECLUTTERING ORGANIC untuk menghasilkan ecoenzyme dan kompos, yang kemudian berguna untuk bebersih dan berkebun. DECLUTTERING ANORGANIC dengan menggunakan panduan dari bank sampah. (Untuk sementara ini, panduan dari Bank Sampah Bersinar di Bojongsoang tampak yang paling bisa diandalkan; bisa cek di situs webnya). Barulah sisanya—baik karena tidak ditampung bank sampah maupun yang sengaja disisihkan—disyukuri sebagai sarana berkreasi dan berusaha. Cita-citaku sekarang tak muluk-muluk, sekadar ingin membangun sistem sirkular skala rumah tangga agar meninggalkan sesedikit mungkin kerusakan di dunia dan meringankan hisab di akhirat. Bismillah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain