(i
believe in the kingdom come/ then all the colors will bleed into one/ bleed
into one, but yes i’m still running/ you broke the bonds and you loosened the
chains/ you carried the cross and my shame/ and my shame, you know i believe
it/ but i still haven’t found what i’m looking for/ u2 – i still haven’t found what i’m looking for)
Malam itu tekad Zia bulat. Ia sampaikan
pintanya berhenti les gitar. Terang Papa bertanya mengapa. Sudah lama sekali
berlalu, sejak Zia menunjukkan antusiasme untuk mengikuti jejak kakeknya
sebagai musisi rock legendaris. Lalu pada malam perpisahan SMP, tahu-tahu Zia
dan seorang teman cowoknya menampal aksi band di panggung utama. Papa tidak
tahu bahwa itu sabotase namun ia cukup terpana. Gitar yang dibawa Zia adalah
miliknya pula. Lalu sejak beberapa bulan setelahnya, setiap bulan ia memberi
Zia sekian ratus ribu untuk les gitar. Dan kini, belum sampai setahun Zia sudah
minta berhenti.
“Nggak ada kemajuan.” Selalu setiap
teman-teman segrupnya siap melaju ke lagu baru, Zia belum. Sampai Zia bosan dan
malu sendiri. “Aku mau privat sama Kakek aja.” Padahal ia sendiri yang dulu
bilang Kakek resenya setengah mati. “Mahal pula! Jadi aku minta mentahnya aja…”
Zia menyodorkan telapak tangan. Senyum lebar menyerta.
Dengus Papa yang berupa
gumpalan-gumpalan asap rokok menyambut. Semakin Papa terlihat bagai naga—selain
karena kumis dan besar lubang hidungnya. Ujung jarinya mengetuk-ngetuk puntung.
Abu rokok jatuh ke asbak. Tanpa menoleh, naga kurus itu bertanya, “Kamu maunya
jadi apa sih, Us?”
Zia menurunkan tangannya. Ia merasa
bagai anak kucing, meski ia menganggap itu panggilan sayang Papa untuknya.
Sebagaimana Papa dulu memanggil mendiang Mamanya dengan “Er”—dari “Merry”. Papa
juga kadang memanggil “As” pada Zaha—adik Zia. Zaha merasa itu panggilan yang
bagus. Istilah “kartu AS” kerap berkonotasi positif. Dan Zia yang selalu iri
hati pun mencecarnya dengan, “Emangnya kamu dibayar berapa sama Telkomsel tiap
kali kamu dipanggil gitu?”
“Banyak!” Zia senang kalau ada yang
menanyakan cita-citanya. Ia bisa menghabiskan bermenit-menit sendiri untuk
menjawab itu. Mulai dari bertemu Bono cs—entah sebagai sesama musisi atau sukarelawan atau wartawan, punya
sekolah dan panti asuhan di mana-mana, lalu keliling dunia, yadda yadda, yadda…
Rokok membuat Papa lebih sabaran dalam menunggu suara cempreng itu berhenti.
“Pokoknya bikin dunia jadi tempat yang lebih baik!”
Akhirnya datang juga kesempatan bagi
Papa untuk memperdengarkan hembusan nafasnya dan berkata, “Yang realistis…”
Zia mengerang, “Kenapa sih Papa sebagai
orangtua nggak suportif sama anaknya sendiri?” Papa tidak terusik. Keheningan
mengambang di antara mereka. Serentetan kalimat meluncur cepat dari mulut Zia
dalam sekali tarikan nafas, “Aku-bisa-jadi-apapun-yang-aku-mau!”
“Ya udah, coba aja.” Lirikan Papa
mengena tepat di matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar