Senin, 01 November 2010

prolog

(i believe in the kingdom come/ then all the colors will bleed into one/ bleed into one, but yes i’m still running/ you broke the bonds and you loosened the chains/ you carried the cross and my shame/ and my shame, you know i believe it/ but i still haven’t found what i’m looking for/ u2 – i still haven’t found what i’m looking for)


Malam itu tekad Zia bulat. Ia sampaikan pintanya berhenti les gitar. Terang Papa bertanya mengapa. Sudah lama sekali berlalu, sejak Zia menunjukkan antusiasme untuk mengikuti jejak kakeknya sebagai musisi rock legendaris. Lalu pada malam perpisahan SMP, tahu-tahu Zia dan seorang teman cowoknya menampal aksi band di panggung utama. Papa tidak tahu bahwa itu sabotase namun ia cukup terpana. Gitar yang dibawa Zia adalah miliknya pula. Lalu sejak beberapa bulan setelahnya, setiap bulan ia memberi Zia sekian ratus ribu untuk les gitar. Dan kini, belum sampai setahun Zia sudah minta berhenti.

“Nggak ada kemajuan.” Selalu setiap teman-teman segrupnya siap melaju ke lagu baru, Zia belum. Sampai Zia bosan dan malu sendiri. “Aku mau privat sama Kakek aja.” Padahal ia sendiri yang dulu bilang Kakek resenya setengah mati. “Mahal pula! Jadi aku minta mentahnya aja…” Zia menyodorkan telapak tangan. Senyum lebar menyerta.

Dengus Papa yang berupa gumpalan-gumpalan asap rokok menyambut. Semakin Papa terlihat bagai naga—selain karena kumis dan besar lubang hidungnya. Ujung jarinya mengetuk-ngetuk puntung. Abu rokok jatuh ke asbak. Tanpa menoleh, naga kurus itu bertanya, “Kamu maunya jadi apa sih, Us?”

Zia menurunkan tangannya. Ia merasa bagai anak kucing, meski ia menganggap itu panggilan sayang Papa untuknya. Sebagaimana Papa dulu memanggil mendiang Mamanya dengan “Er”—dari “Merry”. Papa juga kadang memanggil “As” pada Zaha—adik Zia. Zaha merasa itu panggilan yang bagus. Istilah “kartu AS” kerap berkonotasi positif. Dan Zia yang selalu iri hati pun mencecarnya dengan, “Emangnya kamu dibayar berapa sama Telkomsel tiap kali kamu dipanggil gitu?”

“Banyak!” Zia senang kalau ada yang menanyakan cita-citanya. Ia bisa menghabiskan bermenit-menit sendiri untuk menjawab itu. Mulai dari bertemu Bono cs—entah sebagai sesama  musisi atau sukarelawan atau wartawan, punya sekolah dan panti asuhan di mana-mana, lalu keliling dunia, yadda yadda, yadda… Rokok membuat Papa lebih sabaran dalam menunggu suara cempreng itu berhenti. “Pokoknya bikin dunia jadi tempat yang lebih baik!”

Akhirnya datang juga kesempatan bagi Papa untuk memperdengarkan hembusan nafasnya dan berkata, “Yang realistis…”

Zia mengerang, “Kenapa sih Papa sebagai orangtua nggak suportif sama anaknya sendiri?” Papa tidak terusik. Keheningan mengambang di antara mereka. Serentetan kalimat meluncur cepat dari mulut Zia dalam sekali tarikan nafas, “Aku-bisa-jadi-apapun-yang-aku-mau!”

“Ya udah, coba aja.” Lirikan Papa mengena tepat di matanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain