Selasa, 02 November 2010

satu

Sering kali setiap Zia membuka mata di atas tempat tidur, empat sosok manusia ditelan gemerlap tata cahaya dan efek pijar-pijar menyambutnya. Mereka bukan Bono, The Edge, Adam Clayton, dan Larry Mullen Jr. Keempatnya adalah putra bangsa—meski Zia kira Adam Clayton tanpa rambut amat mirip dengan Kakek—dalam penampilan mereka di suatu panggung, di belahan lain dunia, pada suatu masa. Sebelum salah satu personil grup mereka terjerat alkohol dan obat-obatan sementara lainnya terlibat skandal. Suatu hal klise yang menjatuhkan kejayaan. Mulanya Zia kira, menjadikan poster itu sebagai pandangan pertama saat bangun tidur berefek mendekatkan harapan akan terwujudnya mimpi musykil jadi realita. 

Pandangnya bertumbuk dengan kata “GEBLES” dalam font norak di pojok kanan tersebut. Terngiang-ngiang lirik bernuansa tujuhpuluhan ciptaan kawan Kakeknya dalam kepala, “…gempita asa menerjang duka…”, atau semacam itu. Dengan menyenandungkan lirik tersebut, Zia merasa hidup di jaman yang salah. Orang-orang di masa kini tidak akan doyan mendengarkan hit-hit band Kakek kalau bukan dalam versi cover-nya.

Zia bangkit dan tertegun mendapati sosok dirinya dalam cermin di seberang kirinya. Masih bersenandung, Zia menertibkan helai-helai rambutnya yang masih mematuhi hukum gravitasi. Sesudahnya, Zia merasa rambutnya amat oke untuk dipamerkan pada warga sekolah. Kalau ia mandi, rambutnya akan kena air, tatanannya pasti berubah. Apalagi kalau pakai plastik penutup. Selain itu, meski telah lewat subuh, dinginnya Bandung masih menyambar penjuru kulitnya. Badannya juga tidak bau—Zia mengendus kedua belah ketiaknya. Alasan-alasan logis untuk tidak mandi. Ia tinggal mengoleskan deodoran, merangkap kaos dan celana pendeknya dengan seragam, dan siaplah ia untuk bergaya di sekolah!

Zia menyepak benda-benda di karpet kamar yang menghalangi jalannya menuju rak buku seberang. Remot mini componya ada di sana. Kepalanya terasa pusing. Ia baru tidur sehabis subuh. Itu pun Kara Ben Nemsi-nya belum tamat dibaca. Padahal Regi memaksanya untuk meminjamkan novel tersebut hari ini. Menepis sebal pada temannya itu, ia menyalakan mini compo lalu memilah-milah lagu yang pas untuk meningkatkan semangatnya. Sekaligus uji ingatan terhadap judul lagu-lagu yang dilewatkannya. “With or Without You, Stuck in The Moment, Stay…” gumamnya pelan. Sampai di suatu lagu, ia berhenti memencet forward. Mendengarkan lirik lagu tersebut dengan saksama sambil mengingat-ingat judulnya. Lagu tersebut berkata, “…you know I believe it… But I still haven’t found what I’m looking for…” Zia lekas melewatkan lagu tersebut sambil menggerutu, “Ah, sial, nyindir aku ya?!”

Beberapa lagu lagi hingga pendengarannya menangkap irama rancak. Ia bergoyang pelan. Sebelah lengannya bergerak tak tentu arah sedang sebelahnya lagi menggenggam remot di hadapan mulutnya yang komat-kamit. Sesekali ia mengangkat kakinya, menjejakkannya lagi, memutarnya, dan berhenti. Daun pintu telah terpisah dari kusennya dan samar-samar suara Papa menjauh, “…sekolah nggak?”

Zia mendongak. Lingkaran di atas pintu menunjukkan pukul enam seperempat. Wew. Tidak ada kesempatan lebih lama untuk melanjutkan ritual bangun pagi. Bertambah lagi satu alasan logis untuk tidak mandi. Kembali ia menyepak berbagai benda. Lemari pakaian ada di sisi lain kamar. Untung masih ada seragam bersih tersisa. Ia kerap lupa memasukkan yang kotor ke keranjang cuci, sebab.

Setelah berseragam, Zia menyerbu ransel di bawah meja belajar. Ia mengangkat bagian bawah ransel tersebut secara terbalik. Seluruh isi ransel berhamburan ke karpet. Ia masukkan kembali barang-barang yang dikiranya akan ia perlukan hari itu. Tumpukan buku terdekat ia obrak-abrik kemudian. Ia menghambur ke tempat tidur. PR bisa dipastikan selalu berada di sana.

Segala yang kiranya akan melancarkan kehidupan akademisnya hari itu telah masuk ke dalam ransel. Zia menyeretnya ke luar kamar dengan langkah berderap. Ia mendengus sebal saat hendak melewati kamar Zaha. Sementara ia harus pergi pagi-pagi setiap hari, Zaha masih bisa enak-enakan bergelung di kasurnya. Semenjak kematian Mama, Papa jadi sering tidak bisa berpikir jernih. Zia merasa kecele saat adiknya yang tak berperasaan itu memanfaatkan benar momen tersebut. Papa mewujudkan keinginan Zaha untuk tidak mengikuti jalur formal begitu lulus SMP. Mulai tahun ini Zaha sekolah di rumah.

Sekuat mungkin Zia menggedor pintu kamar Zaha. “BANGUN, PEMALAAAS!”

Zia cepat-cepat menuruni tangga saat Zaha membuka pintu kamar dan balas meneriakkan sesuatu yang Zia tidak dengar. Ia sudah sampai di kamar Papa untuk menyodorkan telapak tangan. Mengerutkan kening saat Papa tidak memberinya lebih. “Uang les! Uang mentahnya!”

“Nanti Papa langsung kasih aja ke Kakek.” Mata Papa tidak beralih dari koran yang tengah dibacanya.

“Tapi Kakek tuh korup! Dia pasti nggak ngaku kalau udah dikasih uang sama Papa!”

Tak sengaja pandang Zia bertemu jam di atas buffet. Tidak bakal ada cukup waktu lagi untuk memaksa. Zia balik badan sembari keras-keras mengempaskan keluh ke udara. Taktiknya belum berhasil. Ia akan mencobanya lagi kalau ingat.

=====

Setelah melewatkan dua menit lari sprint, lima menit di atas ojeg, sepuluh menit dalam angkot, dan tujuh menit sisanya kembali berlari sprint, sampailah Zia di balik gerbang sekolah. Ledakan bom atom dalam kepalanya. Saking cepat jantungnya memompa udara, rasa-rasanya organ itu hendak meloncat pula dari dalam mulutnya. Setidaknya sepanjang maraton tadi tidak terasa gelora kemalasan bersekolah dalam jiwanya—meski kemudian perasaan tersebut kembali mengendap-endap.

Tertutuplah gerbang di belakang punggungnya. Zia menghembus nafas pelan. Telat sedikit saja, ia harus merengek minta dibukakan gerbang oleh satpam. Belum habis ngos-ngosannya ketika ia lanjut berjalan, suatu suara menyongsongnya, “Yang tas coklat!”

Seorang wanita paruh baya berjilbab kuning menyodorkan sisir padanya. Tanpa pikir panjang Zia melangkah ke teras ruang piket. Menuju satu sisi dinding di mana tergantung cermin 1,5 meter bertulisan “SUDAH RAPIKAH ANDA?” di atasnya. Zia kaget mendapati tatanan rambutnya sudah berubah. Dasar rambut bandel!

Zia merasa sungkan untuk memodifikasi rambutnya lagi. Guru piket beberapa meter menghadap punggungnya. Sorot matanya menggerakkan tangan Zia untuk mengangkat sisir ke kepala. Sir, sisir, sisir… Fokus Zia berlari ke dalam ruang piket di mana terdapat suara milik anak-anak sebayanya, yang kiranya semua cowok, dan bapak-bapak. Setidaknya ia tidak sendirian—kalau jenis kelamin tidak diperhitungkan. Zia mengembalikan sisir pada guru piket.

Tanpa dinyana, wanita itu malah merengkuh pundaknya. Membalikkan lagi tubuhnya menghadap sang detektor kerapihan. Wanita itu terus menyisir hingga rambut Zia terlihat bak rambut paskibraka nasional wanita tanpa tutup kepala. Zia mengernyitkan dahi. Ia merogoh saku roknya, mencari-cari ikat rambut. Tidak ada. Inilah ruginya berganti seragam bersih. Bahkan recehan pun tak teraba! Akhirnya wanita durjana itu menjauh setelah sukses meredupkan sisa semangat Zia.

Sepasang Converse cerah mengiringi langkah lunglai Zia menuruni tangga teras. Zia menoleh. Menengadah. Mendapati seorang cowok bertubuh tipis menjulang dengan kulit putih pucat, bibir merah, dan potongan rambut yang—refleks salah satu ujung bibir Zia tertarik ke atas—jelas bukan karya profesional. Tidak merata di berbagai bagian! Zia ngeri membayangkan seandainya dirinya cowok, tentu nasibnya tak akan jauh beda. Zia terkesima, cowok itu masih bisa cengar-cengir! Pandang mereka bertemu. Setelah bertukar tawa tertahan selama beberapa belas meter ke depan, mereka melangkah ke arah berlainan. Cowok kelas X yang aneh, asumsi Zia. Ia sudah tidak sabar untuk mengabarkan ini pada Epay.

Bel tanda pelajaran hendak dimulai mengiringi langkah tergesa anak-anak yang hendak kembali ke kelasnya masing-masing. Namun ada pula mereka yang ingin terlihat tetap cool. Gestur mereka santai, dengan mata jelalatan menikmati apa yang masih bisa dinikmati sebelum menceburkan diri dalam siksaan akademis. Salah satu dari mereka adalah Ega. Kala melihat sosok Zia hendak memapasnya, cowok bermata sipit itu tidak bisa menyembunyikan senyum gembira. “Sisiran yah?”

Seringaian Zia menyambut Ega, “Bukan untuk membuat kamu senang, Ega.” Terdengar gelak Ega dari balik daun telinganya. Zia mendesah keki.

Di dalam kelas, tampak beberapa orang melihat sekilas padanya dan terpana. Zia berusaha tidak mengacuhkan itu. Perjalanannya sampai ke bangku tengah. Teman sebangkunya yang setia menyapa. “Zia! Ih! Rambutnya kenapa kotak gitu?!”

“Argh… Tadi kecegat guru piket. Ketauan nggak sisiran!” Zia lekas mengacak-acak rambutnya dengan kedua belah tangan. Epay mendesah kecewa. “Yah… Udah bagus-bagus gitu, kayak ibu-ibu. Ah, Zia mah…”

Desisan Zia belum cukup untuk membungkam mulut Epay rupanya. “Makanya Zia, pake kerudung!” Epay teguh menutup rambutnya sejak masuk SMA dan sejak itu pula ia tidak kalah teguh mengajak Zia ikut serta. Dan selalu saja Zia merasa belum siap menyambut ajakan tersebut. Pun belum mau ia memikirkan bahwa kalau ia tidak pernah mempersiapkan, ia tidak bakal pernah siap.

Zia tahu Epay juga tidak pernah menyisir rambut. Namun ketimbang rambut miliknya, rambut tipis-lurus-berat Epay begitu patuh pada hukum gravitasi. Mau disisir atau tidak, bedanya tidak kentara. Tapi jelas-jelas rambut tipe begitu tidak keren karena tidak bisa diapa-apakan. Sedang rambut Zia, tertiup angin saja bentuknya berubah.

“Eh, Zia, apa ciri-ciri fauna Indonesia bagian barat dan timur?“ Sebagai teman yang kompetitif sekaligus suportif dalam hal akademis, adalah kebiasaan Epay untuk melakukan tanya jawab materi pelajaran kapan pun sempat. Apalagi setelah hasil penjurusan mengukuhkannya di kelas IPA, sekelas dengan Zia pula—seorang kawan sekaligus kompetitor yang paling ia sanjung sejak SD. Kadang Zia menanggapinya dengan ringan hati, namun kadang pula Zia merasa harus menangkisnya sebelum ia muntah-muntah. Saatnya pengalih perhatian! Selain belajar, ada lagi kegemaran Epay yang Zia paham benar. Lapor Zia, “Tadi aku ketemu cowok cakep siah.”

“Ih, Zia, masak lupa sih? Kita kan udah sepakat, mulai SMA ngeganti kata ‘cakep’ dengan ‘ganteng’!” semprot Epay, yang lekas dipotong Zia, “Tapi cakep sama ganteng itu artinya beda, Pay…”

Zia mengambil tempat pensil Kero-Keropi Epay dari atas meja. Digenggamkannya benda tersebut di tangan Epay. “Coba bilang, ‘Wah, tempat pensil ini cakep banget yah? Beli ah…’”

Epay mengerutkan dahi. Paksa Zia, “Ayo, bilang!”

“Wah, tempat pensil ini cakep banget yah? Beli ah…” beo Epay akhirnya dengan nada setengah bingung dan setengah menahan tawa.

“Nah, sekarang bilang. ‘Wah, tempat pensil ini ganteng banget yah? Beli ah…’”

Epay terperangah. “…aneh, ah…”

“Tuh kan, kata ‘cakep’ itu lebih universal dari ‘ganteng’ kan?” Zia juga baru menyadarinya pagi ini. “Ini pelajaran Bahasa Indonesia, Epay. Besok pas UN ke luar!”

“Tapi kan kamu yang waktu itu ngusulin buat ngeganti kata ‘cakep’ dengan ‘ganteng’!” protes Epay.

“Hah? Iya yah?” Zia pura-pura tidak ngeh. Dengan potongan rambut begitu hancur, susah untuk mengatai ‘ganteng’ pada cowok kelas X yang ia temui tadi. Baru saja Epay hendak menanyakan identitas cowok tersebut, sesosok berseragam safari melintas di depan kelas. Para siswa kembali ke bangku dan siksa akademis dimulai. Secarik kertas bertulisan cakar ayam, “siapa?” sampai ke hadapan Zia. Zia meremas kertas tersebut lalu memasukkannya ke dalam saku. Ia menjulurkan lidah pada Epay. Epay memukul lengan Zia. Zia menyeret pantatnya agak menjauh dari Epay sembari melipat rapat kedua lengannya dan terkekeh tanpa suara. Epay berhenti mengintervensi karena insan di depan kelas mulai berkoar.

Lima sentimeter dari dahi, Zia menggantungkan harapan akan lekas tibanya jam istirahat. Rasionya mengatakan bahwa harapan itu akan mewujud nyata dalam tempo dua setengah jam. Lambung Zia berteriak, terlalu lama! Maka pagi itu Zia lagi-lagi belajar untuk tidak melanggar salah satu ajaran Rhoma Irama. Jangan begadang kalau tidak mau terbangun dengan kepala pusing, kena razia rambut pula!

=====

Bel yang dinantikan tiba. Belum sampai Zia ke pintu kelas untuk memburu sepiring nasi goreng, sepasang wajah sumringah menyongsongnya. Mereka, ditambah Epay dan Tata, adalah salah satu alasan mengapa Zia ingin meneruskan pendidikan ke SMAN Selonongan Bandung, atau lebih akrab disebut SMANSON. Padahal jarak rumah Zia dengan SMANSON relatif jauh dan bukannya tidak ada SMA negeri favorit lain terletak dekat rumahnya. Zia sudah satu sekolah dengan Epay dan Ega sejak SD. Regi dan Tata bergabung dengan geng mereka saat SMP—memang geng tersebut baru terbentuk saat itu. Ada beberapa orang lagi dalam geng mereka yang tidak melanjutkan ke SMA yang sama.

“Mana yang katanya sisiran teh? Aduh, rambutnya udah acak-acakkan lagi!” Regi makin mengacak rambut Zia yang kontan meronta-ronta. Tubuh Regi lebih besar darinya. Tenaganya pun lebih kuat.

“Nih, saya bawa sisir.” Ega mengeluarkan sebuah sisir kecil dari saku belakang celananya.

“Eh! Eh! Biar saya yang nyisirin!” Epay cepat-cepat beranjak dari bangku dan mendekat. “Gi! Regi! Pegangin Zia!”

“Heee… Nggak mau ih! Sisirnya si Ega pasti lengket-lengket banyak ketombenya… Geuleuh! Geuleuh!” Zia lekas melepaskan diri dari Regi sebelum cewek tersebut tergerak untuk menahannya lebih erat.

“…sembarangan...” Ega bermuka kecut.

“Eh, Zia, novelnya dibawa nggak?” ucap Regi.

“Besok deh! Tadi bangun kesiangan…” Zia malas menjelaskan panjang lebar. Regi selalu mau tahu apakah koleksi buku Zia sudah bertambah lagi. Berbohong bukanlah sikap yang Zia inginkan, sehingga Zia tidak bisa mengelak kalau ditanya. Dan kalau sudah tahu, Regi pasti ingin segera meminjamnya padahal belum tentu Zia sudah selesai membacanya. Zia kurang senang meminjamkan buku yang belum tamat ia baca. Jadilah sehabis membeli suatu buku, Zia harus ngebut menamatkan.

“Besok ya?”

“Iya…” Zia berusaha agar tanggapannya tidak terdengar malas-malasan. “Kalian ngapain sih ke kelas ini?”

“Pingin liat rambut kamu.” Jawaban Regi mengundang dengus Ega. Zia memandang mereka jengah. Ega membalikkan badannya. “Hayu ah, balik!”

“Yuk,” sambut Regi, mulai mengekor Ega. “Ikut nggak, Zia?”

“Ngapain?”

“Itu… nyiapin buat debat terbuka besok... Gimana sih, kamu kan tim suksesnya Ega!”

Ingatan Zia melayang ke beberapa hari lalu. Ega dan beberapa calon ketua OSIS lain datang ke kelasnya setelah jam istirahat untuk mempromosikan program masing-masing. Saat pertama kali dibilangi Epay, “Ega nyalonin ketua OSIS loh, Zia!”, Zia hendak membuat lelucon tentang Ega yang membuka salon khusus untuk para ketua OSIS, tapi rasanya tidak lucu. Lalu tahu-tahu saja ia didaulat untuk jadi tim suksesnya Ega. Tugasnya adalah berteriak memberi dukungan saat debat terbuka dan penghitungan suara.

Ega berjalan sambil sesekali membalikkan badan. “Mohon dukungannya ya, Zia.”

Tidak terpikir hendak memberi Ega tanggapan macam apa, selain tanggapan dengan nada yang biasanya, “Ya sok aja. Jadi ketua OSIS sono—di Alaska!”

“Nggak ah. Entar kamu kangen lagi,” Ega mesem-mesem. “Fauzia Bahar.”

“Iiih… Zia…  Zia…” Epay mendorong-dorong lengan Zia sementara Regi tertawa.

“Apa sih?! Ega, jangan manggil aku kayak gitu lagi ah! Kayak penyanyi dangdut tau!”

Belum jauh mereka dari muka kelas Zia dan Epay, melintas sepasang insan dengan mesra. Menyadari keberadaan para karibnya sejak SMP, Tata melambaikan tangan sambil berseru, “Hoi!” Di sebelahnya, Ardi ikut mengangkat sebelah tangan dengan kaku. Epay meneriaki mereka, “Eh, jangan lupa yah entar debat terbukanya si Ega! Eh iya, udah tau belum si Zia kena razia rambut?”

“Oh, kalo si Ega udah jadi ketua OSIS pastinya razia rambut bakal ditiadakan!” sahut Tata begitu mendekat. Bagian pinggang seragam Ardi ditarik-tariknya agar cowok kurus agak bungkuk itu tetap mengekor. 

Zia tidak pernah menyangka bahwa Tata akan tertawan Ardi, sepupu Zia, sejak pandangan pertama. Apa menariknya sih Ardi? Bahkan bagi Zia yang sudah bergaul dengan Ardi sejak kecil pun, sepupunya itu jauh dari memikat. Senang membuat Tata menderita, Zia mengajak Ardi untuk berkonspirasi agar Tata jangan sampai tahu bahwa mereka sepupuan. Namun pada suatu saat, ketiganya bertemu dengan Mas Imin, kakak Ardi, yang waktu itu masih duduk di kelas XI SMANSON—sementara mereka bertiga kelas X. Dengan lagak pura-pura tidak mengetahui konspirasi di antara Zia dan Ardi, Mas Imin menyapa Zia, “Zia, entar sore kita mo ngerayain ultah Kakek. Ikut nggak?” Seketika, Tata memandang Zia dan Ardi dengan sengit lalu meminta penjelasan atas segalanya. Selama berhari-hari kemudian, Tata ngambek berat sebelum mendadak kembali normal. Setelah itu hubungannya dengan Ardi jadi lebih berwarna.

“Nggak. Justru bakal saya adakan setiap hari. Sama razia orang pacaran juga, Tat. Sama razia yang behel.”

“Eh, kok saya juga kena sih?!” protes Epay. Regi puas tertawa.

“Ah, belum jadi ketua aja udah otoriter!” kecam Zia sambil menunjuk-nunjuk Ega yang mesem-mesem saja. Tata dan Epay juga ramai menimpali. Namun Zia tak berlama-lama memberi kontribusi pada kericuhan di tengah koridor tersebut. Di koridor seberang, ia melihat sosok pengisi kesenangan-kecilnya yang lain.

“Mas Imin!” teriaknya. Yang diteriaki tidak ngeh. Zia mengambil ancang-ancang untuk lari menyerbu. “Reg, mau disalamin nggak?” tanyanya sebelum benar-benar meninggalkan kerumunan kawanannya. Yang ditanya menjawab dengan senyum sok malu-malu. Bergantilah kini objek yang diricuhi.

=====

Mas Imin adalah alasan lain Zia menginginkan SMANSON. Sewaktu mengetahui Mas Imin masuk SMANSON dan tinggal di rumah Kakek, semakin kuatlah keinginan Zia untuk masuk sekolah yang sama. Rumah Kakek tidak sampai dua puluh menit jalan kaki dari SMANSON pula! Zia bisa sering mampir ke sana sepulang sekolah.

Zia masih menyimpan kenangan mengesankan dengan Mas Imin sewaktu ia masih kecil. Beberapa kali Zia pernah menginap di rumah Mas Imin di Sumedang. Alih-alih bermain dengan adik perempuan Mas Imin, Zahra, yang hanya sekitar setahun lebih muda darinya, Zia lebih suka bermain dengan kawanan Mas Imin. Lekang dalam ingatan Zia kegembiraan bersepeda memasuki gang-gang, menyusuri pematang sawah, dan berlari-lari di kaki lembah. Ardi termasuk ke dalam kawanan itu juga tentu, tapi sejak dulu Ardi memang tidak populer dan lebih suka mengasingkan diri. Sementara itu, dalam kawanannya Mas Imin tidak pernah menonjolkan diri sebagai pemimpin. Namun pendapatnya kerap diminta. Bukan karena hasil pertimbangannya selalu benar, melainkan yang lain kerap ragu dalam mengambil keputusan. Tak jarang pilihan Mas Imin malah menuai pengalaman tak menyenangkan, seperti sewaktu ia memilih jalan ke kiri dan tak lama kemudian mereka pontang-panting dikejar anjing. Namun semua itu pada akhirnya lebur menjadi bagian dari kenikmatan bernostalgia.

Zia sudah jarang main ke Sumedang lagi sejak SMP. Lagipula kini Mas Imin sekeluarga sudah pindah ke Bandung—ke rumah Kakek—sejak ikut disekolahkannya juga Zahra ke SMANSON, mengikuti jejak dua kakaknya. Zia masih ingat cerita Mas Imin waktu keluarga Mas Imin belum menyertai anak sulungnya itu pindah ke Bandung. Mendiang Nenek sudah meninggal beberapa tahun lalu, sehingga Mas Imin hanya tinggal berdua dengan Kakek. Itu pun kamar Mas Imin terletak di bangunan utama yang besar sedangkan Kakek betah menetap di paviliunnya sendiri—di samping bangunan utama. Merasa tidak nyaman tidur sendirian, hijrahlah Mas Imin ke paviliun Kakek. Sejak itu, setiap malam Mas Imin tidur diantar gelegar kentut Kakek setiap beberapa jam sekali.

Hendak mengakhiri malam-malamnya yang buruk, Mas Imin memutuskan untuk mengatasi “ketidaknyamanannya” tinggal di bangunan utama yang sudah lama tak berpenghuni. Ia pun bergabung dengan sebuah ekskul seni bela diri bertenaga dalam bernama PATIN alias Pembuka Mata Batin—satu yang membuatnya merasa lebih dapat menyikapi apapun yang tak kasat mata. “Kan tak kenal maka tak sayang,” kata Mas Imin di penghujung ceritanya. Bersyukurlah Mas Imin kala tahun berikutnya Ardi menemaninya tinggal di Bandung.

Sebagai anak pertama, Zia selalu ingin punya kakak. Lebih baik lagi jika laki-laki, yang bisa mengayomi sekaligus jadi tempat berbagi, dan ganteng, sehingga bisa dipamerkan. Dengan frekuensi bertemu yang jadi lebih sering karena satu sekolah—Zia juga jadi sering ke rumah Kakek untuk mengunjungi Mas Imin—Zia tahu Mas Imin adalah sosok yang ia cari. Zia tidak bisa bilang Mas Imin ganteng—meski Zia selalu suka pada bentuk tulang hidungnya—namun setidaknya ia sudah menemukan seseorang yang bisa dianggapnya abang.

Setelah sekian tahun hanya bersua saat acara keluarga, Zia tahu bahwa interaksinya dengan Mas Imin tidak akan lagi melibatkan lumpur, cacing, maupun kubangan air hujan. Entah apakah mereka bakal cocok tanpa semua itu atau tidak. Maka Zia takjub saat Mas Imin mengenali keterampilan-keterampilan kecilnya seperti membuat ilustrasi dan puisi, mengatakan bahwa itu mungkin bisa menentukan masa depan Zia jika diseriusi, obrolan panjang pun mengalir dan mereka sepakat bahwa pengembangan potensi diri itu sangat penting. Dan Mas Imin setuju bahwa Zia bisa jadi apapun yang ia inginkan. Baru kali itu Zia merasakan seseorang yang benar-benar mengapresiasi kemampuan dirinya. Zia amat tergugah. Sejak itu, kepada Mas Iminlah Zia melaporkan apapun tentang pengembangan dirinya. Baginya, hanya Mas Imin yang sungguh mendengarkan.

Pengejaran Mas Imin berhenti. Zia menarik-narik seragam Mas Imin dari belakang. Tidak hanya Mas Imin, anak kelas X yang menyertainya pun menoleh ke belakang. Zia memberi mereka semua cengiran. “Duluan aja.” Mas Imin melambaikan tangan pada anak tersebut. Seberlalunya ia, seraya digiring Mas Imin duduk di bangku terdekat, berkatalah Zia, “Mas, aku berenti les gitar lo.”

“Loh, terus gimana nasib temen-temen khayalan kamu? Kamu nggak jadi mau manggung sama mereka?”

“Ih, Mas Imin, mereka tuh bukan temen-temen khayalan aku. U2 tuh band beneran tau!” Zia kerap sebal kala diingatkan bahwa sepanggung dengan U2 hanyalah khayalan muluk-muluk. Seandainya wawasan musik dan literatur Mas Imin tidak sebegitu payahnya, tentu mereka bisa lebih klop lagi. Setelah mengungkapkan kembali alasan-alasan mengapa ia berhenti les gitar, Zia memungkasnya dengan, “Aku mau belajar sama si Kakek aja ah.”

Mas Imin terkekeh. “Yakin ama Kakek?” Zia tidak yakin juga sebetulnya. “Adanya bukan belajar gitar, malah belajar ngebersiin rumahnya kamu, Zia.”

Zia mengerang. “Aku kayaknya nggak bakat musik, Mas Imin…” Sama tidak berbakatnya seperti para mantan calon personil band-nya dulu. Waktu kelas X, Zia pernah berniat membentuk band. Ia sudah mengumpulkan beberapa personil. Lalu Mas Imin datang mengintervensi hingga mereka semua memilih untuk mengembangkan potensi mereka yang sudah pasti, dan yang pasti itu bukan musik. Zia sebal sekali pada Mas Imin waktu itu.

“Kan masih banyak yang lainnya.”

Lambat-lambat Zia tersenyum lagi. Mas Imin selalu dapat mencerahkan hatinya.

“Gimana kemarin, yang audisi di Ringo itu? Udah ada pengumumannya?”

Akhir tahun ajaran lalu, Zia mengikuti audisi penyiar pelajar di Ringo FM. Iseng-iseng saja ia mengikuti audisi tersebut. Hanya ikut-ikutan kawan. Waktu itu audisi dilakukan dalam mobil van Ringo FM di suatu pusat keramaian. Aksi coba-coba para pengunjuk suara diperdengarkan pada khalayak pelintas jalan. Kali ke sekian lidahnya terpeselet, mata kecengannya terpaku padanya. Membuat konsentrasinya semakin acak. Suatu kebetulan yang amat tidak menguntungkan. Begitu ke luar dari van, Zia langsung melupakan pengalaman simulasi mengudaranya untuk pertama dan terakhir kali. Juga orang-orang yang berinteraksi denganya selama itu—kecuali para kawan SMP yang membersamainya.

Sekarang Zia sedang tidak ingin memikirkan hal audisi tersebut. Jadi jawabnya hanya, “Nggak tau, ah…” Zia memikirkan sebentar topik apa yang tepat untuk menyambung kalimatnya. Teringat akan cerita Mas Imin tempo hari. Maksud hati hendak mengungkap bakat sang adik, yang tertuai malah amarah. Mas Imin bilang Zahra bakat menyalahkan orang. “Si Zahra masih ngambekan lagi nggak, Mas?”

“Mm… Selalu.”

“Salahnya sendiri sih, usil!” Sewaktu liburan di rumah Mas Imin dulu, Zia sendiri diam saja kalau melihat Mas Imin mulai mengganggu adik perempuannya. Mau membela, khawatir dimusuhi Mas Imin. Mau ikut mengganggu, ia terlalu iba. Jadilah ia bergabung bersama Ardi di pojokan. Bermain dalam dunia ciptaan sendiri.

“Abis lucu sih liat dia ngambek.”

“Tapi kalian sekarang kan udah gede!”

“Iya… Iya…”

“Oke! Kalau gitu sekarang saatnya ‘tantangan untuk perbaikan’!” Dalam upaya mengentaskan kemalasan Zia, Mas Imin pernah menantang Zia untuk menantang diri sendiri. Zia pun menyuruh orang-orang di sekitarnya untuk memberikan tantangan. Zaha menantangnya bikin novel, Papa tidak ingin diingatkan untuk menikah lagi, Tata menugasinya menyelesaikan rajutan, dan Zia sengaja tidak lapor pada Mas Imin bahwa tidak satu pun dari tantangan tersebut yang sudah ditunaikannya. Namun sekarang Zia ingin balas menantang Mas Imin. “Mas Imin jangan usil lagi sama Zahra. Kasian tau.”

“Hee… Ya udah ah, saya juga mau nantang kamu…”

“Nantang apa?” Zia mengangkat dagu dengan gaya sengak. Ia mengernyit ketika melihat Mas Imin menunjuk sudut bibirnya. Dagunya menuding ke arah Zia. “Mulai sekarang kamu harus rajin mandi pagi ya, atau minimal cuci muka kek. Ilernya masih keliatan tuh.”

=====

Waktu masih hanya Mas Imin dan Ardi yang menumpang di rumah Kakek, Zia bisa sampai beberapa kali seminggu bertandang ke sana. Bahkan ruang tengah di lantai dua bangunan utama sudah hampir dikukuhkan sebagai basecamp bagi geng SMP-nya—yang akhirnya jadi kawanan Ardi juga. Namun sejak seluruh anggota keluarga Mas Imin dan Ardi hijrah ke sana juga, jadi ada semacam kesungkanan untuk membuat ribut di rumah itu. Jadilah basecamp mereka dipindah lagi ke rumah Regi. Namun bagi Zia, setidaknya ada sekali seminggu ia tetap singgah ke rumah Kakek. Malah dengan adanya Zahra, ia jadi cukup sering menginap karena ada teman tidur. Tak jarang ia dihinggapi malas pulang ke rumahnya sendiri.

Kalau bukan konflik dan teriak sana sini, adalah kesepian mengisi seantereo rumah. Kalau Ega sampai tahu Zia dalam keadaan demikian, ia akan berbaik hati menemani Zia dengan sms-sms horornya. Kadang dimulai dengan, “Eh, Zia, kemarin temen saya sendirian di rumah, terus…” Rumah Zia memang tidak besar, tapi tetap bisa menguar nuansa mistis kalau penghuninya merasa-rasa. Tanpa membaca kelanjutan sms tersebut, Zia lekas menghapusnya meski ia belum benar-benar masuk ke dalam rumah. Selesai membuang sms ke tong sampah, ia tergugu mendapati sebuah VW kodok di carport.

Apakah ada tamu? Apakah tamu tersebut guru homeschooling Zaha? Apakah guru homeschooling Zaha adalah seorang pria muda menawan? Tapi di manakah ia berada? Mengapa lantai bawah sepi-sepi saja? Apakah ia berada di kamar Zaha? Mengapa tidak terdengar suara apapun dari kamar Zaha? Pertanyaan-pertanyaan berkerumun dalam benak Zia hingga ia berada dalam kamarnya sendiri. Ia terkejut menemukan kerapihan dan kebersihan di sana. O, pasti sehabis menengok Zia tadi pagi, dan mendapati kondisi kamarnya yang di luar kendali, Papa lalu menyuruh Asnah untuk beraksi.

Zia merasa asing dengan kamarnya. Mana itu Kara Ben Nemsi, Zia mencari-cari. Niatnya langsung pulang ke rumah, dan bukannya mengaso di rumah Kakek dulu, memang untuk lekas menamatkan novel tersebut. Keburu lupa. Keburu Regi menganggapnya macam-macam. Regilah salah satu akses Zia dalam mendapatkan kenalan orang-orang beken. Bagaimanapun juga Zia harus mempertahankan hubungan dengan Regi.

Mr. Kara Ben Nemsi harusnya berada di balik gulungan selimut. Namun selimut itu sudah tidak tergulung lagi, melainkan terlipat rapi di atas tumpukan bantal. Sebagian dari bantal dan boneka yang duduk manis di pojok kasur juga seharusnya tidak berada di sana. Zia memindah boneka yang paling besar ke ujung kasur. Beberapa bantal ia tumpuk agak ke tengah, merapat ke dinding. Jadilah sebuah singgasana yang nyaman untuk membaca! Sekarang usaha pencarian Mr. Kara Ben Nemsi harus dilanjutkan. Zia menggaruk-garuk kepala. Ia juga ingin mengganti seragam dengan kaos dan celana pendek. Biasanya dua bentuk pakaian itu menumpuk begitu saja di atas meja belajar. Sekarang tidak ada. Coca cola kaleng di atas rak samping tempat tidur juga entah ke mana. Padahal masih sisa setengah, Zia hendak menghabiskannya hari ini. Keping-keping CD-nya juga seharusnya berserak di dekat rak yang memuat mini compo, tertutup sebagian oleh boneka yang kini tengah duduk manis di… mana? Mereka yang menganggap Zia berantakan sesungguhnya tidak tahu bahwa Zia tertata dengan caranya sendiri.

Dirundung kebingungan, Zia melangkah ke lantai bawah. Menuju kamar Asnah di pojok rumah. Mengetuk pintu. Perempuan muda asal Banyumas itu menampakkan muka. “Mbak, kamar aku entar nggak usah diberesin lagi yah,” titah Zia sebelum membalikkan punggungnya lagi. “Pokoknya jangan, biar pun disuruh si Papa juga.”

Zia kembali naik ke kamarnya. Ia hendak “merapikan” perabotannya seperti sedia kala, namun merasa sayang dengan hasil kerja Asnah. Jadi Zia memutuskan untuk membiarkan kamarnya “rapi” kembali dengan sendirinya. Yang penting hasratnya bersua Mr. Kara Ben Nemsi harus segera dituntaskan! Di mana kira-kira Asnah menaruh novel tersebut? Zia menemukannya di salah satu rak bukunya—bukan tempat yang seharusnya bagi buku-buku yang belum tamat dibaca.

Tidak seperti Regi yang dapat menamatkan novel apapun dalam semalam, Zia tidak tahan memerhatikan aksara selama berjam-jam. Solat ashar dan solat maghrib tidak cukup menjadi jeda. Mendengar lantai bawah sudah diisi oleh suara-suara yang dibuat Papa, Zia memutuskan untuk menghabiskan sisa halaman yang belum terbaca saat malam melarut saja. Biarlah ia melanggar lagi pantangan Om Rhoma. Toh bangun kesiangan membuatnya mau tak mau berolahraga pagi.

Jadilah Zia turun ke lantai bawah untuk mencari penyegaran. Ia menyesal telah melewatkan American Next Top Model dan The Simpsons meskipun bakal ada siaran ulangnya. Ia malas menyengajakan diri terjaga dini hari hanya untuk menonton TV. Di hadapan Papa yang tengah melinting tembakau, Zia duduk menggelayut pada meja makan. Kembali dalam upaya menagih uang mentah les gitar. Papa sok tak mengacuhkannya. Zia memajukan bibir bawah. Dalam hati ia memaki kelakuan autis Papa.

Suara mobil mendaki carport menyamarkan celoteh tokoh kartun di TV. Mesin mobil berhenti. Melalui pintu depan yang dibiarkan terbuka, Zaha melenggang cuek dengan tas kanvas besar tersandang di bahu. Zia mengerutkan dahi. Sore tadi ia memang mendengar suara mobil menjauh dari carport. Ia kira si VW kodok sudah dibawa pemiliknya—entah siapa. Menjelang maghrib, ganti Ceria Papa yang memasuki garasi. Lalu barusan ada satu mobil masuk lagi. Sepertinya suara yang sama dengan suara mobil yang pergi tadi sore. Berarti si VW kodok. Pemiliknya telah kembali. Tapi mengapa yang muncul Zaha?!

Zia menyentuh tangan Papa. “Pa… Itu… Tau nggak, di depan rumah kita jadi ada VW kodoknya?” Sekilas Zia melihat Zaha berhenti menaiki tangga. Tubuhnya berputar setengah ke belakang.

“Itu mobil kita,” jawab Papa.

Kerut di dahi Zia bertambah-tambah. Pandangan matanya menajam. Tubuhnya berbalik cepat ke arah Zaha. “Sejak kapan kamu bisa nyetir, hah?! Aku aja belum bisa!”

“Lebih lama dari yang kamu tahu!” Cewek dengan bingkai kacamata tebal itu balas merepet cepat.

“Umur kamu kan lima belas aja belum! Dasar warga negara nggak budiman, SIM-nya pasti nembak kan? Iya kan?!”

“Yang jelas aku berhak atas mobil itu karna aku bisa nyetir!”

“Heh, Zahanam, ngaku deh, udah berapa orang yang kamu tabrak?”

“Pa...!”

“Hah, dasar anak bungsu. Bertengkar aja nggak bisa mandiri…” Gerutuan Zia tertelan decak kesal Papa, yang lekas Zia hantam lagi dengan nada lebih pelan, “Papa ni orangtua pilih kasih. Aku uang mentah les gitar aja nggak dikasih, malah si Zaha dikasih mobil. Aku boleh dong kalo gitu minta laptop sendiri…”

Zaha tidak jadi menaiki tangga lagi kala mendengar Papa menanggapi Zia dengan, “Makanya kamu juga bisa nyetir, jadi bisa pakai mobilnya gantian!”

Mata Zia mengikuti gerak kilat Zaha dalam menghampiri mereka. “Papa nggak bilang aku harus gantian sama Zia!” Zaha berdiri di samping Papa. Kepalanya menuding Zia. “Kan belinya pake uang aku juga, Zia nggak!”

“Yee, salahnya sendiri nggak bilang?” tangkis Zia.

“Siapa yang mau sama duit hasil manipulasi?!”

“Enak aja! Paling juga kamu cuman nyumbang sepersekian persen kaaan? Sok kaya banget sih kamu!”

Zaha menginterupsi Papa lagi. “Aku juga mau laptop…”

Papa membanting lintingannya ke sembarang arah. Hancurlah hasil karya tersebut bersamaan dengan membungkamnya dua anak perempuan di dekatnya. Mereka kompak menyilang lengan di depan kepala dan memperlebar sedikit jarak mereka dengan Papa. Sekian menit hening mencekam. Tidak ada perasaan bahwa Papa akan menampar salah satu dari mereka. Takut-takut Zia mengangkat muka. Papa menyisir-nyisir pelan rambutnya dengan jemari, seperti dalam kesukaran mencari kata.

Susah payah Zia menggapai kembali ketenangannya. Jantungnya mencelos lagi saat melayang sentakan Papa ke arahnya, “Bisa nyetir dulu, baru punya mobil! Kamu tuh kebiasaan males aja!”

Papa bangkit menuju ke kamarnya. Gestur dua saudari sudah siap mendengar bantingan pintu, namun tak terjadi. Zia menelan ludah yang terasa amat pekat di kerongkongannya. Makanya ia lebih betah di rumah Kakek. Semenegangkan apapun konflik yang terjadi di sana, efeknya tidak akan semengena di rumah sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain