Sering kali setiap Zia membuka mata di
atas tempat tidur, empat sosok manusia ditelan gemerlap tata cahaya dan efek
pijar-pijar menyambutnya. Mereka bukan Bono, The Edge, Adam Clayton, dan Larry
Mullen Jr. Keempatnya adalah putra bangsa—meski Zia kira Adam Clayton tanpa
rambut amat mirip dengan Kakek—dalam penampilan mereka di suatu panggung, di
belahan lain dunia, pada suatu masa. Sebelum salah satu personil grup mereka
terjerat alkohol dan obat-obatan sementara lainnya terlibat skandal. Suatu hal
klise yang menjatuhkan kejayaan. Mulanya Zia kira, menjadikan poster itu
sebagai pandangan pertama saat bangun tidur berefek mendekatkan harapan akan
terwujudnya mimpi musykil jadi realita.
Pandangnya bertumbuk dengan kata
“GEBLES” dalam font norak di pojok kanan tersebut. Terngiang-ngiang lirik
bernuansa tujuhpuluhan ciptaan kawan Kakeknya dalam kepala, “…gempita asa
menerjang duka…”, atau semacam itu. Dengan menyenandungkan lirik tersebut, Zia
merasa hidup di jaman yang salah. Orang-orang di masa kini tidak akan doyan
mendengarkan hit-hit band Kakek kalau bukan dalam versi cover-nya.
Zia bangkit dan tertegun mendapati sosok
dirinya dalam cermin di seberang kirinya. Masih bersenandung, Zia menertibkan
helai-helai rambutnya yang masih mematuhi hukum gravitasi. Sesudahnya, Zia
merasa rambutnya amat oke untuk dipamerkan pada warga sekolah. Kalau ia mandi,
rambutnya akan kena air, tatanannya pasti berubah. Apalagi kalau pakai plastik
penutup. Selain itu, meski telah lewat subuh, dinginnya Bandung masih menyambar
penjuru kulitnya. Badannya juga tidak bau—Zia mengendus kedua belah ketiaknya.
Alasan-alasan logis untuk tidak mandi. Ia tinggal mengoleskan deodoran,
merangkap kaos dan celana pendeknya dengan seragam, dan siaplah ia untuk
bergaya di sekolah!
Zia menyepak benda-benda di karpet kamar
yang menghalangi jalannya menuju rak buku seberang. Remot mini componya ada di
sana. Kepalanya terasa pusing. Ia baru tidur sehabis subuh. Itu pun Kara Ben
Nemsi-nya belum tamat dibaca. Padahal Regi memaksanya untuk meminjamkan novel
tersebut hari ini. Menepis sebal pada temannya itu, ia menyalakan mini compo
lalu memilah-milah lagu yang pas untuk meningkatkan semangatnya. Sekaligus uji
ingatan terhadap judul lagu-lagu yang dilewatkannya. “With or Without You,
Stuck in The Moment, Stay…” gumamnya pelan. Sampai di suatu lagu, ia berhenti
memencet forward. Mendengarkan lirik lagu tersebut dengan saksama sambil
mengingat-ingat judulnya. Lagu tersebut berkata, “…you know I believe it… But I
still haven’t found what I’m looking for…” Zia lekas melewatkan lagu tersebut
sambil menggerutu, “Ah, sial, nyindir aku ya?!”
Beberapa lagu lagi hingga pendengarannya
menangkap irama rancak. Ia bergoyang pelan. Sebelah lengannya bergerak tak
tentu arah sedang sebelahnya lagi menggenggam remot di hadapan mulutnya yang
komat-kamit. Sesekali ia mengangkat kakinya, menjejakkannya lagi, memutarnya,
dan berhenti. Daun pintu telah terpisah dari kusennya dan samar-samar suara
Papa menjauh, “…sekolah nggak?”
Zia mendongak. Lingkaran di atas pintu
menunjukkan pukul enam seperempat. Wew. Tidak ada kesempatan lebih lama untuk
melanjutkan ritual bangun pagi. Bertambah lagi satu alasan logis untuk tidak
mandi. Kembali ia menyepak berbagai benda. Lemari pakaian ada di sisi lain
kamar. Untung masih ada seragam bersih tersisa. Ia kerap lupa memasukkan yang
kotor ke keranjang cuci, sebab.
Setelah berseragam, Zia menyerbu ransel
di bawah meja belajar. Ia mengangkat bagian bawah ransel tersebut secara
terbalik. Seluruh isi ransel berhamburan ke karpet. Ia masukkan kembali
barang-barang yang dikiranya akan ia perlukan hari itu. Tumpukan buku terdekat
ia obrak-abrik kemudian. Ia menghambur ke tempat tidur. PR bisa dipastikan
selalu berada di sana.
Segala yang kiranya akan melancarkan
kehidupan akademisnya hari itu telah masuk ke dalam ransel. Zia menyeretnya ke
luar kamar dengan langkah berderap. Ia mendengus sebal saat hendak melewati kamar
Zaha. Sementara ia harus pergi pagi-pagi setiap hari, Zaha masih bisa
enak-enakan bergelung di kasurnya. Semenjak kematian Mama, Papa jadi sering
tidak bisa berpikir jernih. Zia merasa kecele saat adiknya yang tak berperasaan
itu memanfaatkan benar momen tersebut. Papa mewujudkan keinginan Zaha untuk
tidak mengikuti jalur formal begitu lulus SMP. Mulai tahun ini Zaha sekolah di
rumah.
Sekuat mungkin Zia menggedor pintu kamar
Zaha. “BANGUN, PEMALAAAS!”
Zia cepat-cepat menuruni tangga saat
Zaha membuka pintu kamar dan balas meneriakkan sesuatu yang Zia tidak dengar.
Ia sudah sampai di kamar Papa untuk menyodorkan telapak tangan. Mengerutkan
kening saat Papa tidak memberinya lebih. “Uang les! Uang mentahnya!”
“Nanti Papa langsung kasih aja ke
Kakek.” Mata Papa tidak beralih dari koran yang tengah dibacanya.
“Tapi Kakek tuh korup! Dia pasti nggak
ngaku kalau udah dikasih uang sama Papa!”
Tak sengaja pandang Zia bertemu jam di
atas buffet. Tidak bakal ada cukup waktu lagi untuk memaksa. Zia balik badan
sembari keras-keras mengempaskan keluh ke udara. Taktiknya belum berhasil. Ia
akan mencobanya lagi kalau ingat.
=====
Setelah melewatkan dua menit lari
sprint, lima menit di atas ojeg, sepuluh menit dalam angkot, dan tujuh menit
sisanya kembali berlari sprint, sampailah Zia di balik gerbang sekolah. Ledakan
bom atom dalam kepalanya. Saking cepat jantungnya memompa udara, rasa-rasanya
organ itu hendak meloncat pula dari dalam mulutnya. Setidaknya sepanjang
maraton tadi tidak terasa gelora kemalasan bersekolah dalam jiwanya—meski
kemudian perasaan tersebut kembali mengendap-endap.
Tertutuplah gerbang di belakang
punggungnya. Zia menghembus nafas pelan. Telat sedikit saja, ia harus merengek
minta dibukakan gerbang oleh satpam. Belum habis ngos-ngosannya ketika ia
lanjut berjalan, suatu suara menyongsongnya, “Yang tas coklat!”
Seorang wanita paruh baya berjilbab
kuning menyodorkan sisir padanya. Tanpa pikir panjang Zia melangkah ke teras
ruang piket. Menuju satu sisi dinding di mana tergantung cermin 1,5 meter
bertulisan “SUDAH RAPIKAH ANDA?” di atasnya. Zia kaget mendapati tatanan
rambutnya sudah berubah. Dasar rambut
bandel!
Zia merasa sungkan untuk memodifikasi
rambutnya lagi. Guru piket beberapa meter menghadap punggungnya. Sorot matanya
menggerakkan tangan Zia untuk mengangkat sisir ke kepala. Sir, sisir, sisir… Fokus Zia berlari ke dalam ruang piket di mana
terdapat suara milik anak-anak sebayanya, yang kiranya semua cowok, dan
bapak-bapak. Setidaknya ia tidak sendirian—kalau jenis kelamin tidak
diperhitungkan. Zia mengembalikan sisir pada guru piket.
Tanpa dinyana, wanita itu malah
merengkuh pundaknya. Membalikkan lagi tubuhnya menghadap sang detektor
kerapihan. Wanita itu terus menyisir hingga rambut Zia terlihat bak rambut
paskibraka nasional wanita tanpa tutup kepala. Zia mengernyitkan dahi. Ia
merogoh saku roknya, mencari-cari ikat rambut. Tidak ada. Inilah ruginya
berganti seragam bersih. Bahkan recehan pun tak teraba! Akhirnya wanita durjana
itu menjauh setelah sukses meredupkan sisa semangat Zia.
Sepasang Converse cerah mengiringi
langkah lunglai Zia menuruni tangga teras. Zia menoleh. Menengadah. Mendapati
seorang cowok bertubuh tipis menjulang dengan kulit putih pucat, bibir merah,
dan potongan rambut yang—refleks salah satu ujung bibir Zia tertarik ke
atas—jelas bukan karya profesional. Tidak merata di berbagai bagian! Zia ngeri
membayangkan seandainya dirinya cowok, tentu nasibnya tak akan jauh beda. Zia
terkesima, cowok itu masih bisa cengar-cengir! Pandang mereka bertemu. Setelah
bertukar tawa tertahan selama beberapa belas meter ke depan, mereka melangkah
ke arah berlainan. Cowok kelas X yang aneh, asumsi Zia. Ia sudah tidak sabar
untuk mengabarkan ini pada Epay.
Bel tanda pelajaran hendak dimulai
mengiringi langkah tergesa anak-anak yang hendak kembali ke kelasnya
masing-masing. Namun ada pula mereka yang ingin terlihat tetap cool. Gestur
mereka santai, dengan mata jelalatan menikmati apa yang masih bisa dinikmati
sebelum menceburkan diri dalam siksaan akademis. Salah satu dari mereka adalah
Ega. Kala melihat sosok Zia hendak memapasnya, cowok bermata sipit itu tidak
bisa menyembunyikan senyum gembira. “Sisiran yah?”
Seringaian Zia menyambut Ega, “Bukan
untuk membuat kamu senang, Ega.” Terdengar gelak Ega dari balik daun telinganya.
Zia mendesah keki.
Di dalam kelas, tampak beberapa orang
melihat sekilas padanya dan terpana. Zia berusaha tidak mengacuhkan itu.
Perjalanannya sampai ke bangku tengah. Teman sebangkunya yang setia menyapa.
“Zia! Ih! Rambutnya kenapa kotak gitu?!”
“Argh… Tadi kecegat guru piket. Ketauan
nggak sisiran!” Zia lekas mengacak-acak rambutnya dengan kedua belah tangan.
Epay mendesah kecewa. “Yah… Udah bagus-bagus gitu, kayak ibu-ibu. Ah, Zia mah…”
Desisan Zia belum cukup untuk membungkam
mulut Epay rupanya. “Makanya Zia, pake kerudung!” Epay teguh menutup rambutnya
sejak masuk SMA dan sejak itu pula ia tidak kalah teguh mengajak Zia ikut
serta. Dan selalu saja Zia merasa belum siap menyambut ajakan tersebut. Pun
belum mau ia memikirkan bahwa kalau ia tidak pernah mempersiapkan, ia tidak
bakal pernah siap.
Zia tahu Epay juga tidak pernah menyisir
rambut. Namun ketimbang rambut miliknya, rambut tipis-lurus-berat Epay begitu
patuh pada hukum gravitasi. Mau disisir atau tidak, bedanya tidak kentara. Tapi
jelas-jelas rambut tipe begitu tidak keren karena tidak bisa diapa-apakan.
Sedang rambut Zia, tertiup angin saja bentuknya berubah.
“Eh, Zia, apa ciri-ciri fauna Indonesia
bagian barat dan timur?“ Sebagai teman yang kompetitif sekaligus suportif dalam
hal akademis, adalah kebiasaan Epay untuk melakukan tanya jawab materi
pelajaran kapan pun sempat. Apalagi setelah hasil penjurusan mengukuhkannya di
kelas IPA, sekelas dengan Zia pula—seorang kawan sekaligus kompetitor yang
paling ia sanjung sejak SD. Kadang Zia menanggapinya dengan ringan hati, namun
kadang pula Zia merasa harus menangkisnya sebelum ia muntah-muntah. Saatnya
pengalih perhatian! Selain belajar, ada lagi kegemaran Epay yang Zia paham
benar. Lapor Zia, “Tadi aku ketemu cowok cakep siah.”
“Ih, Zia, masak lupa sih? Kita kan udah
sepakat, mulai SMA ngeganti kata ‘cakep’ dengan ‘ganteng’!” semprot Epay, yang
lekas dipotong Zia, “Tapi cakep sama ganteng itu artinya beda, Pay…”
Zia mengambil tempat pensil Kero-Keropi
Epay dari atas meja. Digenggamkannya benda tersebut di tangan Epay. “Coba
bilang, ‘Wah, tempat pensil ini cakep banget yah? Beli ah…’”
Epay mengerutkan dahi. Paksa Zia, “Ayo, bilang!”
“Wah, tempat pensil ini cakep banget
yah? Beli ah…” beo Epay akhirnya dengan nada setengah bingung dan setengah menahan
tawa.
“Nah, sekarang bilang. ‘Wah, tempat
pensil ini ganteng banget yah? Beli ah…’”
Epay terperangah. “…aneh, ah…”
“Tuh kan, kata ‘cakep’ itu lebih
universal dari ‘ganteng’ kan?” Zia juga baru menyadarinya pagi ini. “Ini
pelajaran Bahasa Indonesia, Epay. Besok pas UN ke luar!”
“Tapi kan kamu yang waktu itu ngusulin
buat ngeganti kata ‘cakep’ dengan ‘ganteng’!” protes Epay.
“Hah? Iya yah?” Zia pura-pura tidak
ngeh. Dengan potongan rambut begitu hancur, susah untuk mengatai ‘ganteng’ pada
cowok kelas X yang ia temui tadi. Baru saja Epay hendak menanyakan identitas
cowok tersebut, sesosok berseragam safari melintas di depan kelas. Para siswa
kembali ke bangku dan siksa akademis dimulai. Secarik kertas bertulisan cakar
ayam, “siapa?” sampai ke hadapan Zia. Zia meremas kertas tersebut lalu
memasukkannya ke dalam saku. Ia menjulurkan lidah pada Epay. Epay memukul
lengan Zia. Zia menyeret pantatnya agak menjauh dari Epay sembari melipat rapat
kedua lengannya dan terkekeh tanpa suara. Epay berhenti mengintervensi karena
insan di depan kelas mulai berkoar.
Lima sentimeter dari dahi, Zia
menggantungkan harapan akan lekas tibanya jam istirahat. Rasionya mengatakan
bahwa harapan itu akan mewujud nyata dalam tempo dua setengah jam. Lambung Zia
berteriak, terlalu lama! Maka pagi
itu Zia lagi-lagi belajar untuk tidak melanggar salah satu ajaran Rhoma Irama.
Jangan begadang kalau tidak mau terbangun dengan kepala pusing, kena razia
rambut pula!
=====
Bel yang dinantikan tiba. Belum sampai
Zia ke pintu kelas untuk memburu sepiring nasi goreng, sepasang wajah sumringah
menyongsongnya. Mereka, ditambah Epay dan Tata, adalah salah satu alasan
mengapa Zia ingin meneruskan pendidikan ke SMAN Selonongan Bandung, atau lebih
akrab disebut SMANSON. Padahal jarak rumah Zia dengan SMANSON relatif jauh dan
bukannya tidak ada SMA negeri favorit lain terletak dekat rumahnya. Zia sudah
satu sekolah dengan Epay dan Ega sejak SD. Regi dan Tata bergabung dengan geng
mereka saat SMP—memang geng tersebut baru terbentuk saat itu. Ada beberapa
orang lagi dalam geng mereka yang tidak melanjutkan ke SMA yang sama.
“Mana yang katanya sisiran teh? Aduh,
rambutnya udah acak-acakkan lagi!” Regi makin mengacak rambut Zia yang kontan
meronta-ronta. Tubuh Regi lebih besar darinya. Tenaganya pun lebih kuat.
“Nih, saya bawa sisir.” Ega mengeluarkan
sebuah sisir kecil dari saku belakang celananya.
“Eh! Eh! Biar saya yang nyisirin!” Epay
cepat-cepat beranjak dari bangku dan mendekat. “Gi! Regi! Pegangin Zia!”
“Heee… Nggak mau ih! Sisirnya si Ega
pasti lengket-lengket banyak ketombenya… Geuleuh! Geuleuh!” Zia lekas
melepaskan diri dari Regi sebelum cewek tersebut tergerak untuk menahannya
lebih erat.
“…sembarangan...” Ega bermuka kecut.
“Eh, Zia, novelnya dibawa nggak?” ucap
Regi.
“Besok deh! Tadi bangun kesiangan…” Zia
malas menjelaskan panjang lebar. Regi selalu mau tahu apakah koleksi buku Zia
sudah bertambah lagi. Berbohong bukanlah sikap yang Zia inginkan, sehingga Zia
tidak bisa mengelak kalau ditanya. Dan kalau sudah tahu, Regi pasti ingin
segera meminjamnya padahal belum tentu Zia sudah selesai membacanya. Zia kurang
senang meminjamkan buku yang belum tamat ia baca. Jadilah sehabis membeli suatu
buku, Zia harus ngebut menamatkan.
“Besok ya?”
“Iya…” Zia berusaha agar tanggapannya
tidak terdengar malas-malasan. “Kalian ngapain sih ke kelas ini?”
“Pingin liat rambut kamu.” Jawaban Regi
mengundang dengus Ega. Zia memandang mereka jengah. Ega membalikkan badannya.
“Hayu ah, balik!”
“Yuk,” sambut Regi, mulai mengekor Ega.
“Ikut nggak, Zia?”
“Ngapain?”
“Itu… nyiapin buat debat terbuka
besok... Gimana sih, kamu kan tim suksesnya Ega!”
Ingatan Zia melayang ke beberapa hari
lalu. Ega dan beberapa calon ketua OSIS lain datang ke kelasnya setelah jam
istirahat untuk mempromosikan program masing-masing. Saat pertama kali
dibilangi Epay, “Ega nyalonin ketua OSIS loh, Zia!”, Zia hendak membuat lelucon
tentang Ega yang membuka salon khusus untuk para ketua OSIS, tapi rasanya tidak
lucu. Lalu tahu-tahu saja ia didaulat untuk jadi tim suksesnya Ega. Tugasnya
adalah berteriak memberi dukungan saat debat terbuka dan penghitungan suara.
Ega berjalan sambil sesekali membalikkan
badan. “Mohon dukungannya ya, Zia.”
Tidak terpikir hendak memberi Ega
tanggapan macam apa, selain tanggapan dengan nada yang biasanya, “Ya sok aja.
Jadi ketua OSIS sono—di Alaska!”
“Nggak ah. Entar kamu kangen lagi,” Ega
mesem-mesem. “Fauzia Bahar.”
“Iiih… Zia… Zia…” Epay mendorong-dorong lengan Zia
sementara Regi tertawa.
“Apa sih?! Ega, jangan manggil aku kayak
gitu lagi ah! Kayak penyanyi dangdut tau!”
Belum jauh mereka dari muka kelas Zia
dan Epay, melintas sepasang insan dengan mesra. Menyadari keberadaan para
karibnya sejak SMP, Tata melambaikan tangan sambil berseru, “Hoi!” Di
sebelahnya, Ardi ikut mengangkat sebelah tangan dengan kaku. Epay meneriaki
mereka, “Eh, jangan lupa yah entar debat terbukanya si Ega! Eh iya, udah tau
belum si Zia kena razia rambut?”
“Oh, kalo si Ega udah jadi ketua OSIS
pastinya razia rambut bakal ditiadakan!” sahut Tata begitu mendekat. Bagian
pinggang seragam Ardi ditarik-tariknya agar cowok kurus agak bungkuk itu tetap
mengekor.
Zia tidak pernah menyangka bahwa Tata
akan tertawan Ardi, sepupu Zia, sejak pandangan pertama. Apa menariknya sih
Ardi? Bahkan bagi Zia yang sudah bergaul dengan Ardi sejak kecil pun, sepupunya
itu jauh dari memikat. Senang membuat Tata menderita, Zia mengajak Ardi untuk
berkonspirasi agar Tata jangan sampai tahu bahwa mereka sepupuan. Namun pada
suatu saat, ketiganya bertemu dengan Mas Imin, kakak Ardi, yang waktu itu masih
duduk di kelas XI SMANSON—sementara mereka bertiga kelas X. Dengan lagak
pura-pura tidak mengetahui konspirasi di antara Zia dan Ardi, Mas Imin menyapa
Zia, “Zia, entar sore kita mo ngerayain ultah Kakek. Ikut nggak?” Seketika, Tata
memandang Zia dan Ardi dengan sengit lalu meminta penjelasan atas segalanya.
Selama berhari-hari kemudian, Tata ngambek berat sebelum mendadak kembali
normal. Setelah itu hubungannya dengan Ardi jadi lebih berwarna.
“Nggak. Justru bakal saya adakan setiap
hari. Sama razia orang pacaran juga, Tat. Sama razia yang behel.”
“Eh, kok saya juga kena sih?!” protes
Epay. Regi puas tertawa.
“Ah, belum jadi ketua aja udah
otoriter!” kecam Zia sambil menunjuk-nunjuk Ega yang mesem-mesem saja. Tata dan
Epay juga ramai menimpali. Namun Zia tak berlama-lama memberi kontribusi pada
kericuhan di tengah koridor tersebut. Di koridor seberang, ia melihat sosok
pengisi kesenangan-kecilnya yang lain.
“Mas Imin!” teriaknya. Yang diteriaki
tidak ngeh. Zia mengambil ancang-ancang untuk lari menyerbu. “Reg, mau
disalamin nggak?” tanyanya sebelum benar-benar meninggalkan kerumunan
kawanannya. Yang ditanya menjawab dengan senyum sok malu-malu. Bergantilah kini
objek yang diricuhi.
=====
Mas Imin adalah alasan lain Zia
menginginkan SMANSON. Sewaktu mengetahui Mas Imin masuk SMANSON dan tinggal di
rumah Kakek, semakin kuatlah keinginan Zia untuk masuk sekolah yang sama. Rumah
Kakek tidak sampai dua puluh menit jalan kaki dari SMANSON pula! Zia bisa
sering mampir ke sana sepulang sekolah.
Zia masih menyimpan kenangan mengesankan
dengan Mas Imin sewaktu ia masih kecil. Beberapa kali Zia pernah menginap di
rumah Mas Imin di Sumedang. Alih-alih bermain dengan adik perempuan Mas Imin,
Zahra, yang hanya sekitar setahun lebih muda darinya, Zia lebih suka bermain
dengan kawanan Mas Imin. Lekang dalam ingatan Zia kegembiraan bersepeda
memasuki gang-gang, menyusuri pematang sawah, dan berlari-lari di kaki lembah.
Ardi termasuk ke dalam kawanan itu juga tentu, tapi sejak dulu Ardi memang
tidak populer dan lebih suka mengasingkan diri. Sementara itu, dalam kawanannya
Mas Imin tidak pernah menonjolkan diri sebagai pemimpin. Namun pendapatnya
kerap diminta. Bukan karena hasil pertimbangannya selalu benar, melainkan yang
lain kerap ragu dalam mengambil keputusan. Tak jarang pilihan Mas Imin malah
menuai pengalaman tak menyenangkan, seperti sewaktu ia memilih jalan ke kiri
dan tak lama kemudian mereka pontang-panting dikejar anjing. Namun semua itu
pada akhirnya lebur menjadi bagian dari kenikmatan bernostalgia.
Zia sudah jarang main ke Sumedang lagi
sejak SMP. Lagipula kini Mas Imin sekeluarga sudah pindah ke Bandung—ke rumah
Kakek—sejak ikut disekolahkannya juga Zahra ke SMANSON, mengikuti jejak dua
kakaknya. Zia masih ingat cerita Mas Imin waktu keluarga Mas Imin belum
menyertai anak sulungnya itu pindah ke Bandung. Mendiang Nenek sudah meninggal
beberapa tahun lalu, sehingga Mas Imin hanya tinggal berdua dengan Kakek. Itu
pun kamar Mas Imin terletak di bangunan utama yang besar sedangkan Kakek betah
menetap di paviliunnya sendiri—di samping bangunan utama. Merasa tidak nyaman
tidur sendirian, hijrahlah Mas Imin ke paviliun Kakek. Sejak itu, setiap malam
Mas Imin tidur diantar gelegar kentut Kakek setiap beberapa jam sekali.
Hendak mengakhiri malam-malamnya yang
buruk, Mas Imin memutuskan untuk mengatasi “ketidaknyamanannya” tinggal di
bangunan utama yang sudah lama tak berpenghuni. Ia pun bergabung dengan sebuah
ekskul seni bela diri bertenaga dalam bernama PATIN alias Pembuka Mata
Batin—satu yang membuatnya merasa lebih dapat menyikapi apapun yang tak kasat
mata. “Kan tak kenal maka tak sayang,” kata Mas Imin di penghujung ceritanya.
Bersyukurlah Mas Imin kala tahun berikutnya Ardi menemaninya tinggal di
Bandung.
Sebagai anak pertama, Zia selalu ingin
punya kakak. Lebih baik lagi jika laki-laki, yang bisa mengayomi sekaligus jadi
tempat berbagi, dan ganteng, sehingga bisa dipamerkan. Dengan frekuensi bertemu
yang jadi lebih sering karena satu sekolah—Zia juga jadi sering ke rumah Kakek
untuk mengunjungi Mas Imin—Zia tahu Mas Imin adalah sosok yang ia cari. Zia
tidak bisa bilang Mas Imin ganteng—meski Zia selalu suka pada bentuk tulang
hidungnya—namun setidaknya ia sudah menemukan seseorang yang bisa dianggapnya
abang.
Setelah sekian tahun hanya bersua saat
acara keluarga, Zia tahu bahwa interaksinya dengan Mas Imin tidak akan lagi
melibatkan lumpur, cacing, maupun kubangan air hujan. Entah apakah mereka bakal
cocok tanpa semua itu atau tidak. Maka Zia takjub saat Mas Imin mengenali
keterampilan-keterampilan kecilnya seperti membuat ilustrasi dan puisi,
mengatakan bahwa itu mungkin bisa menentukan masa depan Zia jika diseriusi,
obrolan panjang pun mengalir dan mereka sepakat bahwa pengembangan potensi diri
itu sangat penting. Dan Mas Imin setuju bahwa Zia bisa jadi apapun yang ia
inginkan. Baru kali itu Zia merasakan seseorang yang benar-benar mengapresiasi
kemampuan dirinya. Zia amat tergugah. Sejak itu, kepada Mas Iminlah Zia
melaporkan apapun tentang pengembangan dirinya. Baginya, hanya Mas Imin yang
sungguh mendengarkan.
Pengejaran Mas Imin berhenti. Zia
menarik-narik seragam Mas Imin dari belakang. Tidak hanya Mas Imin, anak kelas
X yang menyertainya pun menoleh ke belakang. Zia memberi mereka semua cengiran.
“Duluan aja.” Mas Imin melambaikan tangan pada anak tersebut. Seberlalunya ia,
seraya digiring Mas Imin duduk di bangku terdekat, berkatalah Zia, “Mas, aku
berenti les gitar lo.”
“Loh, terus gimana nasib temen-temen
khayalan kamu? Kamu nggak jadi mau manggung sama mereka?”
“Ih, Mas Imin, mereka tuh bukan
temen-temen khayalan aku. U2 tuh band beneran tau!” Zia kerap sebal kala
diingatkan bahwa sepanggung dengan U2 hanyalah khayalan muluk-muluk. Seandainya
wawasan musik dan literatur Mas Imin tidak sebegitu payahnya, tentu mereka bisa
lebih klop lagi. Setelah mengungkapkan kembali alasan-alasan mengapa ia
berhenti les gitar, Zia memungkasnya dengan, “Aku mau belajar sama si Kakek aja
ah.”
Mas Imin terkekeh. “Yakin ama Kakek?”
Zia tidak yakin juga sebetulnya. “Adanya bukan belajar gitar, malah belajar
ngebersiin rumahnya kamu, Zia.”
Zia mengerang. “Aku kayaknya nggak bakat
musik, Mas Imin…” Sama tidak berbakatnya seperti para mantan calon personil
band-nya dulu. Waktu kelas X, Zia pernah berniat membentuk band. Ia sudah
mengumpulkan beberapa personil. Lalu Mas Imin datang mengintervensi hingga
mereka semua memilih untuk mengembangkan potensi mereka yang sudah pasti, dan
yang pasti itu bukan musik. Zia sebal sekali pada Mas Imin waktu itu.
“Kan masih banyak yang lainnya.”
Lambat-lambat Zia tersenyum lagi. Mas
Imin selalu dapat mencerahkan hatinya.
“Gimana kemarin, yang audisi di Ringo
itu? Udah ada pengumumannya?”
Akhir tahun ajaran lalu, Zia mengikuti
audisi penyiar pelajar di Ringo FM. Iseng-iseng saja ia mengikuti audisi
tersebut. Hanya ikut-ikutan kawan. Waktu itu audisi dilakukan dalam mobil van
Ringo FM di suatu pusat keramaian. Aksi coba-coba para pengunjuk suara
diperdengarkan pada khalayak pelintas jalan. Kali ke sekian lidahnya
terpeselet, mata kecengannya terpaku padanya. Membuat konsentrasinya semakin
acak. Suatu kebetulan yang amat tidak menguntungkan. Begitu ke luar dari van,
Zia langsung melupakan pengalaman simulasi mengudaranya untuk pertama dan
terakhir kali. Juga orang-orang yang berinteraksi denganya selama itu—kecuali
para kawan SMP yang membersamainya.
Sekarang Zia sedang tidak ingin
memikirkan hal audisi tersebut. Jadi jawabnya hanya, “Nggak tau, ah…” Zia
memikirkan sebentar topik apa yang tepat untuk menyambung kalimatnya. Teringat
akan cerita Mas Imin tempo hari. Maksud hati hendak mengungkap bakat sang adik,
yang tertuai malah amarah. Mas Imin bilang Zahra bakat menyalahkan orang. “Si
Zahra masih ngambekan lagi nggak, Mas?”
“Mm… Selalu.”
“Salahnya sendiri sih, usil!” Sewaktu
liburan di rumah Mas Imin dulu, Zia sendiri diam saja kalau melihat Mas Imin
mulai mengganggu adik perempuannya. Mau membela, khawatir dimusuhi Mas Imin.
Mau ikut mengganggu, ia terlalu iba. Jadilah ia bergabung bersama Ardi di
pojokan. Bermain dalam dunia ciptaan sendiri.
“Abis lucu sih liat dia ngambek.”
“Tapi kalian sekarang kan udah gede!”
“Iya… Iya…”
“Oke! Kalau gitu sekarang saatnya
‘tantangan untuk perbaikan’!” Dalam upaya mengentaskan kemalasan Zia, Mas Imin
pernah menantang Zia untuk menantang diri sendiri. Zia pun menyuruh orang-orang
di sekitarnya untuk memberikan tantangan. Zaha menantangnya bikin novel, Papa
tidak ingin diingatkan untuk menikah lagi, Tata menugasinya menyelesaikan
rajutan, dan Zia sengaja tidak lapor pada Mas Imin bahwa tidak satu pun dari
tantangan tersebut yang sudah ditunaikannya. Namun sekarang Zia ingin balas
menantang Mas Imin. “Mas Imin jangan usil lagi sama Zahra. Kasian tau.”
“Hee… Ya udah ah, saya juga mau nantang
kamu…”
“Nantang apa?” Zia mengangkat dagu
dengan gaya sengak. Ia mengernyit ketika melihat Mas Imin menunjuk sudut
bibirnya. Dagunya menuding ke arah Zia. “Mulai sekarang kamu harus rajin mandi
pagi ya, atau minimal cuci muka kek. Ilernya masih keliatan tuh.”
=====
Waktu masih hanya Mas Imin dan Ardi yang
menumpang di rumah Kakek, Zia bisa sampai beberapa kali seminggu bertandang ke
sana. Bahkan ruang tengah di lantai dua bangunan utama sudah hampir dikukuhkan
sebagai basecamp bagi geng SMP-nya—yang akhirnya jadi kawanan Ardi juga. Namun
sejak seluruh anggota keluarga Mas Imin dan Ardi hijrah ke sana juga, jadi ada
semacam kesungkanan untuk membuat ribut di rumah itu. Jadilah basecamp mereka
dipindah lagi ke rumah Regi. Namun bagi Zia, setidaknya ada sekali seminggu ia
tetap singgah ke rumah Kakek. Malah dengan adanya Zahra, ia jadi cukup sering
menginap karena ada teman tidur. Tak jarang ia dihinggapi malas pulang ke
rumahnya sendiri.
Kalau bukan konflik dan teriak sana
sini, adalah kesepian mengisi seantereo rumah. Kalau Ega sampai tahu Zia dalam
keadaan demikian, ia akan berbaik hati menemani Zia dengan sms-sms horornya.
Kadang dimulai dengan, “Eh, Zia, kemarin temen saya sendirian di rumah, terus…”
Rumah Zia memang tidak besar, tapi tetap bisa menguar nuansa mistis kalau
penghuninya merasa-rasa. Tanpa membaca kelanjutan sms tersebut, Zia lekas
menghapusnya meski ia belum benar-benar masuk ke dalam rumah. Selesai membuang
sms ke tong sampah, ia tergugu mendapati sebuah VW kodok di carport.
Apakah ada tamu? Apakah tamu tersebut
guru homeschooling Zaha? Apakah guru homeschooling Zaha adalah seorang pria
muda menawan? Tapi di manakah ia berada? Mengapa lantai bawah sepi-sepi saja?
Apakah ia berada di kamar Zaha? Mengapa tidak terdengar suara apapun dari kamar
Zaha? Pertanyaan-pertanyaan berkerumun dalam benak Zia hingga ia berada dalam
kamarnya sendiri. Ia terkejut menemukan kerapihan dan kebersihan di sana. O,
pasti sehabis menengok Zia tadi pagi, dan mendapati kondisi kamarnya yang di
luar kendali, Papa lalu menyuruh Asnah untuk beraksi.
Zia merasa asing dengan kamarnya. Mana
itu Kara Ben Nemsi, Zia mencari-cari. Niatnya langsung pulang ke rumah, dan
bukannya mengaso di rumah Kakek dulu, memang untuk lekas menamatkan novel
tersebut. Keburu lupa. Keburu Regi menganggapnya macam-macam. Regilah salah
satu akses Zia dalam mendapatkan kenalan orang-orang beken. Bagaimanapun juga
Zia harus mempertahankan hubungan dengan Regi.
Mr. Kara Ben Nemsi harusnya berada di
balik gulungan selimut. Namun selimut itu sudah tidak tergulung lagi, melainkan
terlipat rapi di atas tumpukan bantal. Sebagian dari bantal dan boneka yang duduk
manis di pojok kasur juga seharusnya tidak berada di sana. Zia memindah boneka
yang paling besar ke ujung kasur. Beberapa bantal ia tumpuk agak ke tengah,
merapat ke dinding. Jadilah sebuah singgasana yang nyaman untuk membaca!
Sekarang usaha pencarian Mr. Kara Ben Nemsi harus dilanjutkan. Zia
menggaruk-garuk kepala. Ia juga ingin mengganti seragam dengan kaos dan celana
pendek. Biasanya dua bentuk pakaian itu menumpuk begitu saja di atas meja
belajar. Sekarang tidak ada. Coca cola kaleng di atas rak samping tempat tidur
juga entah ke mana. Padahal masih sisa setengah, Zia hendak menghabiskannya
hari ini. Keping-keping CD-nya juga seharusnya berserak di dekat rak yang
memuat mini compo, tertutup sebagian oleh boneka yang kini tengah duduk manis
di… mana? Mereka yang menganggap Zia berantakan sesungguhnya tidak tahu bahwa
Zia tertata dengan caranya sendiri.
Dirundung kebingungan, Zia melangkah ke
lantai bawah. Menuju kamar Asnah di pojok rumah. Mengetuk pintu. Perempuan muda
asal Banyumas itu menampakkan muka. “Mbak, kamar aku entar nggak usah diberesin
lagi yah,” titah Zia sebelum membalikkan punggungnya lagi. “Pokoknya jangan,
biar pun disuruh si Papa juga.”
Zia kembali naik ke kamarnya. Ia hendak
“merapikan” perabotannya seperti sedia kala, namun merasa sayang dengan hasil
kerja Asnah. Jadi Zia memutuskan untuk membiarkan kamarnya “rapi” kembali
dengan sendirinya. Yang penting hasratnya bersua Mr. Kara Ben Nemsi harus
segera dituntaskan! Di mana kira-kira Asnah menaruh novel tersebut? Zia
menemukannya di salah satu rak bukunya—bukan tempat yang seharusnya bagi
buku-buku yang belum tamat dibaca.
Tidak seperti Regi yang dapat menamatkan
novel apapun dalam semalam, Zia tidak tahan memerhatikan aksara selama
berjam-jam. Solat ashar dan solat maghrib tidak cukup menjadi jeda. Mendengar
lantai bawah sudah diisi oleh suara-suara yang dibuat Papa, Zia memutuskan
untuk menghabiskan sisa halaman yang belum terbaca saat malam melarut saja.
Biarlah ia melanggar lagi pantangan Om Rhoma. Toh bangun kesiangan membuatnya
mau tak mau berolahraga pagi.
Jadilah Zia turun ke lantai bawah untuk
mencari penyegaran. Ia menyesal telah melewatkan American Next Top Model dan
The Simpsons meskipun bakal ada siaran ulangnya. Ia malas menyengajakan diri
terjaga dini hari hanya untuk menonton TV. Di hadapan Papa yang tengah
melinting tembakau, Zia duduk menggelayut pada meja makan. Kembali dalam upaya
menagih uang mentah les gitar. Papa sok tak mengacuhkannya. Zia memajukan bibir
bawah. Dalam hati ia memaki kelakuan autis Papa.
Suara mobil mendaki carport menyamarkan
celoteh tokoh kartun di TV. Mesin mobil berhenti. Melalui pintu depan yang
dibiarkan terbuka, Zaha melenggang cuek dengan tas kanvas besar tersandang di
bahu. Zia mengerutkan dahi. Sore tadi ia memang mendengar suara mobil menjauh
dari carport. Ia kira si VW kodok sudah dibawa pemiliknya—entah siapa.
Menjelang maghrib, ganti Ceria Papa yang memasuki garasi. Lalu barusan ada satu
mobil masuk lagi. Sepertinya suara yang sama dengan suara mobil yang pergi tadi
sore. Berarti si VW kodok. Pemiliknya telah kembali. Tapi mengapa yang muncul
Zaha?!
Zia menyentuh tangan Papa. “Pa… Itu… Tau
nggak, di depan rumah kita jadi ada VW kodoknya?” Sekilas Zia melihat Zaha
berhenti menaiki tangga. Tubuhnya berputar setengah ke belakang.
“Itu mobil kita,” jawab Papa.
Kerut di dahi Zia bertambah-tambah.
Pandangan matanya menajam. Tubuhnya berbalik cepat ke arah Zaha. “Sejak kapan
kamu bisa nyetir, hah?! Aku aja belum bisa!”
“Lebih lama dari yang kamu tahu!” Cewek
dengan bingkai kacamata tebal itu balas merepet cepat.
“Umur kamu kan lima belas aja belum!
Dasar warga negara nggak budiman, SIM-nya pasti nembak kan? Iya kan?!”
“Yang jelas aku berhak atas mobil itu
karna aku bisa nyetir!”
“Heh, Zahanam, ngaku deh, udah berapa
orang yang kamu tabrak?”
“Pa...!”
“Hah, dasar anak bungsu. Bertengkar aja
nggak bisa mandiri…” Gerutuan Zia tertelan decak kesal Papa, yang lekas Zia
hantam lagi dengan nada lebih pelan, “Papa ni orangtua pilih kasih. Aku uang
mentah les gitar aja nggak dikasih, malah si Zaha dikasih mobil. Aku boleh dong
kalo gitu minta laptop sendiri…”
Zaha tidak jadi menaiki tangga lagi kala
mendengar Papa menanggapi Zia dengan, “Makanya kamu juga bisa nyetir, jadi bisa
pakai mobilnya gantian!”
Mata Zia mengikuti gerak kilat Zaha
dalam menghampiri mereka. “Papa nggak bilang aku harus gantian sama Zia!” Zaha
berdiri di samping Papa. Kepalanya menuding Zia. “Kan belinya pake uang aku
juga, Zia nggak!”
“Yee, salahnya sendiri nggak bilang?”
tangkis Zia.
“Siapa yang mau sama duit hasil
manipulasi?!”
“Enak aja! Paling juga kamu cuman
nyumbang sepersekian persen kaaan? Sok kaya banget sih kamu!”
Zaha menginterupsi Papa lagi. “Aku juga
mau laptop…”
Papa membanting lintingannya ke
sembarang arah. Hancurlah hasil karya tersebut bersamaan dengan membungkamnya
dua anak perempuan di dekatnya. Mereka kompak menyilang lengan di depan kepala
dan memperlebar sedikit jarak mereka dengan Papa. Sekian menit hening mencekam.
Tidak ada perasaan bahwa Papa akan menampar salah satu dari mereka. Takut-takut
Zia mengangkat muka. Papa menyisir-nyisir pelan rambutnya dengan jemari,
seperti dalam kesukaran mencari kata.
Susah payah Zia menggapai kembali
ketenangannya. Jantungnya mencelos lagi saat melayang sentakan Papa ke arahnya,
“Bisa nyetir dulu, baru punya mobil! Kamu tuh kebiasaan males aja!”
Papa bangkit menuju ke kamarnya. Gestur dua saudari sudah siap mendengar bantingan pintu, namun tak terjadi. Zia menelan ludah yang terasa amat pekat di kerongkongannya. Makanya ia lebih betah di rumah Kakek. Semenegangkan apapun konflik yang terjadi di sana, efeknya tidak akan semengena di rumah sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar