Sabtu, 20 November 2010

empat

Rumah Regi juga termasuk oase bagi Zia. Zia senang kala tiba momen di mana ia di sana dan melakukan kegiatan bersama pada suatu petang berhujan. Merajut bersama Regi sambil mengenang betapa Ega di masa SMP-nya bukanlah siapa-siapa, misal. Ternyata Regi merasakan keharuan yang sama. “Nggak nyangka yah, Ega yang dulu culun… Sekarang bisa jadi ketua OSIS gini…” Regi mengusap sudut matanya dengan buku jari. Zia menyedot ingus dan berucap dengan suara tersendat, “Huhu… Iya… Akhirnya selesai juga masa-masa di mana kita harus nutup-nutupin aibnya dia…”

Jemari mereka terus menari seiring dengan mengalirnya lebih banyak memori indah mengenai keculunan-keculunan Ega di masa lampau.

“Inget nggak waktu dulu gel-nya kita sembunyiin?”

“Wahaha… Terus dia ngebasahin rambutnya pake air…”

“Tata, ih, dari tadi cekikikan sendiri aja…” tegur Regi. Di ujung meja, perhatian Tata teralih dari laptopnya. Sambung Regi, “Pasti lagi wall-wall-an ama si Ardi da.”

“Ah, wall-nya si Ardi kan isinya dari Tata semua,” cibir Zia.

“Ih, nggak…” Tata menyangkal. “Ini aku lagi liat blog adik kamu, Zia.”

“Ngaah?” Zia menaruh rajutannya di meja. Ia menyeret tubuhnya mendekati Tata. Demikian pun yang Regi lakukan. Ketiga pasang mata menatap blog berjudul “mysisterzia”. Tata menunjukkan strip demi strip komik yang habis ia baca. Mata Zia langsung menangkap kata “tobacco” di pojok kanan bawah setiap strip. Ia jadi kepikiran apakah Zaha mengasap juga seperti Papa. Tapi tak pernah tercium bau tembakau terbakar di lantai atas atau dari kamar Zaha—kala kamar itu terbuka. Lagipula Zaha kerap mengomel kalau Papa meninggalkan abu rokok dalam keadaan berceceran.

“Iiih… lucu…” desah Regi, “…gambarnya… Mana kamu katanya pingin ngeliatin komik adik  kamu tea, Zia?”

“Ya minta aja sama orangnya langsung!” sergah Zia dongkol.

Panel pertama dalam salah satu strip komik menampilkan karikatur Zaha. Sosok itu berkata bahwa salah satu cara melindungi anak dari bahaya TV adalah dengan menaruh TV di tempat yang tidak strategis. Panel berikutnya adalah sosok serupa Zia tengah duduk di atas kloset sambil menonton TV. Ada sebuah seruan dari pintu di belakangnya, “Zia, udah selesai belum beolnya? Papa mau nonton TV nih!” Regi tertawa ngakak. Tata menarik tubuh Zia yang hendak menghajar laptopnya. “Dasar anak kurang ajaaaar…!” Zia menjerit.

“Eh, itu beneran di rumah kamu TV ditaruh di kamar mandi?”

“Ya nggaklah!” Zia tidak tahu harus memarahi Zaha sebagaimana rupa saat mereka bertemu nanti. Mana ternyata follower blog tersebut mencapai puluhan pula! Zia yakin benar Zaha telah terilhami salah satu episode The Simpsons, di mana Bart membuat kartun tentang Homer dan laku keras. Zia tidak merasa perangainya seburuk Homer.

Panel pertama pada strip berikut menggambarkan Zia yang tengah berkubang dalam kebosanan. Pada panel selanjutnya, Zia memutuskan untuk mengentas bosan dengan belajar menggambar. Di panel terakhir, masih Zia dalam kubangan kebingungan karena tidak tahu bagaimana cara menggambar kebosanan.

Masih ada strip lainnya yang menceritakan asal-usul potongan rambut Zia, mengapa Zia hanya punya satu ponsel, dan lain sebagainya, yang membuat Zia menggoncang-goncang tubuh Tata. “Tutup! Tutup! Tutup!”

“Iya! Iya! Iya!”

Regi menjauh sambil tetap mesem-mesem. “Haha, entar saya mau buka lagi ah. Apa tadi alamat situsnya, Tat?”

“mysisterzia…”

“Apa? misterizia?”

“…adaaaw…!” Zia mencubit sebelah pipi Tata sekeras mungkin. Tata buru-buru merangkul Zia yang cemberut sambil minta maaf.

“Kamu juga bukannya pinter gambar, Zia? Bikin komik tandingan atuh…” saran Regi dengan fokus mata sudah kembali pada rajutannya.

Zia yang masih dipeluk-peluk Tata mendesah keras. Ia sudah berhenti menggambar sejak seorang teman culun Ardi mengklaim diri sebagai guru gambarnya. Padahal jelas-jelas Zia merasa kemampuannya menggambar karena otodidak. Tata bilang, si Kamal itu naksir Zia. Hampir saja cowok itu dekat dengannya, Zia lekas menggusahnya jauh-jauh. Dan tertawa sekencang mungkin begitu mendengar si oknum kena lempar ember petugas kebersihan saat berdua Ardi membaca komik di gudang sekolah.

“Jangan marah atuh, Zia…” rengek Tata.

“Heuh… Dari kapan Tat, kamu nemuin itu?”

“Baru tadi aja kok, Zia, sumpah… Janji deh, aku nggak akan buka-buka lagi… Abis si Ardi suka ngomongin ke aku tentang itu. Jadi ya aku penasaran…”

“Hah? Ardi juga?!” Arrrgh, dasar, sepupu sialan! Zia menerka-nerka apakah Mas Imin juga tahu mengenai perihal blog keparat itu. Mas Imin pasti bakal tertawa terbahak-bahak membacanya.

“Iya kan si Ardi suka gambar juga… Kayaknya si Ardi sama adik kamu bakalan bisa nyambung banget deh…”

“Ya iyalah, Tat, nyambung ikatan darah, da sepupu ini,” komentar Regi.

Lama Zia diam saja sambil menekuk muka. Tata masih dalam usaha meminta belas kasih Zia untuk memaafkannya. Menyadari suasana yang mulai jadi tidak mengenakkan, Regi mengajukan inisiatif, “Mau ngundang si Ega nggak, biar rame?”

“Hayu! Hayu! Dia belum ngadain selametan jadi ketua OSIS kan?” Tata tampak mensyukuri benar kesempatan beralih ke lain topik ini. “Siapa tau dia mo ngajak makan-makan. Kamu seneng kan, Zia?”

Zia mendelik ke arah Tata. Tata makin memelas. Regi memutar bola mata. Ia meraih ponsel dan mulai mengetik sms.

=====

Zia dan Tata termasuk langganan mampir ke rumah Regi, kendati Zia lebih sering ke rumah Tata sedang Tata lebih suka ke rumah Ardi—rumah kakeknya. Sedang Ega, karena rumahnya tak jauh dari rumah Regi, kadang bersepeda ke rumah Regi lalu curhat panjang lebar sampai malam. Namun Regi sendiri baru sekali bertandang ke rumah Ega. Itu pun bersama Zia, Tata, Epay, Oman, Akbar, serta seekor anjing herder yang tahu-tahu muncul di penghujung jalan dan lantas mengejar mereka. Lalu Tata berinisiatif menimpuki anjing itu dengan mangga dari pohon terdekat yang dapat diraihnya. Yang lain mengikuti. Setelah serangkaian pekik dan jerit mengancam dari mereka, Ega membuka pintu rumahnya sembari berteriak, “Hei, eta mangga urang!”

Regi meletakkan ponselnya kembali ke lantai untuk ke sekian kali. Ibunya juga sudah sekian kali menyuruh ia dan teman-temannya untuk mengudap sesuatu. Sehabis melepas kepergian sosok ibunya dengan kerlingan mata, Regi melaporkan sms Ega yang baru ia terima pada Zia dan Tata. “Ceuk si Ega, males ceunah.”

“Ah, biarkeun budak eta mah…” Tata hanya menoleh sekilas. Zia juga sama sebalnya. Setiap kali Regi melapor pada Ega bahwa Zia ada di rumahnya maka datanglah-kau-ke-mari-wahai-Ega, jawaban Ega selalu sama. Lalu tahu-tahu terdengar “punten”-nya di balik pagar. Regi mengangkat bahu. Setidaknya kini Tata dan Zia sudah akur lagi dan ia bisa meneruskan rajutannya dengan tenang. Namun diam-diam ia menyimak cerita Zia pada Tata.

“...mau jadi apa aku ini, Tat? Ikut AFS, baru seleksi administrasi aja udah gagal. Ikut seleksi Ringo, nggak kepilih. Ikutan mading, tulisanku suka ditolak terus. Inget nggak Tat, pas SMP, pas aku ngasih puisi yang tentang si Bagas tea? Padahal itu puisi terimajinatif yang pernah aku bikin tau… Mo ikutan Greenpeace, mahal banget donasinya per bulan, mending kutabung sendiri aja uangnya.... Gambar aku juga nggak sebagus si Zaha. Nyanyi juga nggak bagus. Bikin band, personilnya pada kabur… Gitar, nggak lancar-lancar, huhuhu…” ungkap Zia dengan jemari yang juga tengah sibuk merajut. Begitu pun Tata yang sedang mendengarkannya.

Tata kehabisan ide untuk menghibur Zia karena apa yang Zia katakan memang benar adanya. Karena ada Regi juga dalam ruangan yang sama, ia tak berani bermuka dua.

“..ngapain dong aku?”

“Ya udah. Sekarang mah pikiran sekolah dulu ajalah, Zia.”

“Iya, rangking kamu kan masih sepuluh besar terus, Zia. Nggak usah kufur nikmatlah.” Akhirnya ke luar juga apa yang sedari tadi Regi pendam.

Zia mengerang. “Tapi masak kompetensiku pas lulus SMA cuman ngerjain soal sih? Kamu kan udah aktif terus di OSIS,        Reg. Si Tata di olimpiade. Trus keunggulan aku apa coba…? Eh, nih, rajutanku udah jadi. Segini aja ah, Tat… Nggak tau gimana cara ngakhirinnya.” Zia menyerahkan rajutannya pada guru merajutnya selama ini. Ia menopang kepalanya dengan sebelah lengan yang bersender pada sofa. Tangannya yang sebelah lagi meraba-raba hasil rajutan Tata. “Ih, kok masih bagusan kamu sih, Tat?”

“Ya iyalah, si Tata gurunya!” sergah Regi.

“Punya kamu juga bagus kok, Zia.”

“Ah, tau ah, itu apaan. Mo dijadiin syal, pendek gitu. Gimana bisa dikalungin…”

“Ya ngerajut kan nggak mesti jadi syal atuh Zia. Ini bisa jadi tatakan piring kok.”

“Serbet juga bisa,” lagi-lagi Regi menimpali.

Zia tersedu. Bersamaan dengan itu, terdengar seseorang mengucap, “Punten…” dari luar rumah. Ketiga cewek tersebut kompak menengok. Ega sedang berusaha membuka pagar rumah Regi tanpa harus turun dari sepedanya. Tidak berhasil. Turunlah ia. Regi menggeleng-gelengkan kepala. Teriaknya, “Masuk, Gaa…”

“Eh, liat ini rajutannya si Zia udah jadi.” Tata menyambut Ega dengan mengacung-acungkan hasil rajutan Zia.

“Ngerajutnya dari jaman kapan, hasilnya gitu doang…” kata Ega begitu sampai di ambang pintu.

Zia menggeram. Dengan gerakan cepat ia merebut syal rajutan Regi yang panjangnya sudah semeter lebih untuk membekap mulut Ega, lalu melilit tubuhnya dengan syal lain yang sudah jadi. Kupluk rajutan Tata ia rampas sekalian untuk menutup seluruh kepala Ega sehingga cowok tengil itu tidak bisa melihat apa-apa.

Namun semua itu terjadi hanya dalam benak Zia. Membayangkan Regi jadi misah-misuh karena syal rajutannya rusak lebih membuat Zia ngeri.

“Kok lama sih, Ga?” tegur Regi.

“Iya, tadi abis kumpul-kumpul ma pengurus OSIS yang lama.” Ega menyeka titik-titik keringat yang bertonjolan di pelipisnya sembari duduk bersila.

“Wei, Dirgantara, katanya dikau malas ke mari?” ganti Tata menegur.

“Abisan ada kamu sih, Tat. Jadi weh urang hoream.”

“Ah, kamu mah…”

Ega nyengir. “Eh, Reg, kamu mau nggak bantuin saya di OSIS? Jadi bendahara?”

“Cie… Cie… Regi dilamar Ega, euy…” Tata menggoda.

“Hm… Pikir-pikir dulu ya…”

“Udah, nggak usah sok jual mahal gitu deh. Direkomendasiin si Kang Lutung tau.”

Tawa Zia tanpa suara. Tata heboh sendiri. Regi mendelik pada mereka semua. Kang Lutung adalah nama alias Mas Imin. Sebetulnya sejarah mengapa Mas Imin sampai dijuluki demikian di SMANSON cukup panjang dan terdiri dari beberapa versi. Namun cukuplah tingkah atraktif Mas Imin sehari-hari jadi alasan yang mewakili.

“Eh, emang gimana ceritanya saya ampe direkomendasiin gitu?”

“Tampang pemalak kali,” ucap Zia asal.

“Ah, udahlah, bilang ajalah mau. Saya kudu mikirin anak buah lainnya juga nih.”

“Ih, bilang dulu dong kenapa…” desak Regi.

“Iya, kita juga mau tau, Ga,” kata Tata.

“Bilang dulu, mau, gitu.”

“Ah, lamaran yang kurang menyenangkan…”

 “Ega… Ega… Aku juga mau bantuin kamu dong di OSIS.” Masih ada sisa harapan Zia untuk melakukan “sesuatu yang berarti”—selain urusan akademik—selama statusnya masih siswi SMA kelas XI.

“Emang kamu ikutan OSIS?” Ega memutar tubuhnya untuk menghadap Zia.

“Nggak.” Zia sendiri heran mengapa ia tidak pernah minat untuk menjadi bagian dari jajaran eksekutif siswa setiap perekrutan OSIS dibuka. Ia kira, sudah menjadi pembawaannya untuk selalu menolak sistem tempatnya bernaung—rasanya keren saja. Termasuk sistem kepengurusan OSIS, kendati ia tidak tahu persis bagaimana macamnya.

“Ya nggak bisalah…”

“Paling juga nggak keterima, ikutan juga…”

“Pastinya…”

“Iiih…” Zia menarik-narik lengan seragam Ega dengan gemas.

“Atau nggak, kamu ikutan ekskul nggak? Seenggaknya kamu aktif di ekskul mana gitu, jadi entar bisa ikut ngasih kontribusi di bidang yang membawahi ekskul kamunya…”

“Mmm…“ Zia tidak tahu apakah ia masih dianggap di Lembaga Pers SMANSON, alias LEMPERs, atau tidak.

“Twewewew…” Ega membalikkan tubuhnya lagi. “Jadi gimana, Reg? Mau, ya?”

“Egaaaaaa…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain