Rumah Regi juga termasuk oase bagi Zia.
Zia senang kala tiba momen di mana ia di sana dan melakukan kegiatan bersama pada
suatu petang berhujan. Merajut bersama Regi sambil mengenang betapa Ega di masa
SMP-nya bukanlah siapa-siapa, misal. Ternyata Regi merasakan keharuan yang
sama. “Nggak nyangka yah, Ega yang dulu culun… Sekarang bisa jadi ketua OSIS
gini…” Regi mengusap sudut matanya dengan buku jari. Zia menyedot ingus dan
berucap dengan suara tersendat, “Huhu… Iya… Akhirnya selesai juga masa-masa di
mana kita harus nutup-nutupin aibnya dia…”
Jemari mereka terus menari seiring
dengan mengalirnya lebih banyak memori indah mengenai keculunan-keculunan Ega
di masa lampau.
“Inget nggak waktu dulu gel-nya kita
sembunyiin?”
“Wahaha… Terus dia ngebasahin rambutnya
pake air…”
“Tata, ih, dari tadi cekikikan sendiri
aja…” tegur Regi. Di ujung meja, perhatian Tata teralih dari laptopnya. Sambung
Regi, “Pasti lagi wall-wall-an ama si Ardi da.”
“Ah, wall-nya si Ardi kan isinya dari
Tata semua,” cibir Zia.
“Ih, nggak…” Tata menyangkal. “Ini aku
lagi liat blog adik kamu, Zia.”
“Ngaah?” Zia menaruh rajutannya di meja.
Ia menyeret tubuhnya mendekati Tata. Demikian pun yang Regi lakukan. Ketiga
pasang mata menatap blog berjudul “mysisterzia”. Tata menunjukkan strip demi
strip komik yang habis ia baca. Mata Zia langsung menangkap kata “tobacco” di
pojok kanan bawah setiap strip. Ia jadi kepikiran apakah Zaha mengasap juga
seperti Papa. Tapi tak pernah tercium bau tembakau terbakar di lantai atas atau
dari kamar Zaha—kala kamar itu terbuka. Lagipula Zaha kerap mengomel kalau Papa
meninggalkan abu rokok dalam keadaan berceceran.
“Iiih… lucu…” desah Regi, “…gambarnya…
Mana kamu katanya pingin ngeliatin komik adik
kamu tea, Zia?”
“Ya minta aja sama orangnya langsung!”
sergah Zia dongkol.
Panel pertama dalam salah satu strip
komik menampilkan karikatur Zaha. Sosok itu berkata bahwa salah satu cara
melindungi anak dari bahaya TV adalah dengan menaruh TV di tempat yang tidak
strategis. Panel berikutnya adalah sosok serupa Zia tengah duduk di atas kloset
sambil menonton TV. Ada sebuah seruan dari pintu di belakangnya, “Zia, udah
selesai belum beolnya? Papa mau nonton TV nih!” Regi tertawa ngakak. Tata
menarik tubuh Zia yang hendak menghajar laptopnya. “Dasar anak kurang
ajaaaar…!” Zia menjerit.
“Eh, itu beneran di rumah kamu TV
ditaruh di kamar mandi?”
“Ya nggaklah!” Zia tidak tahu harus
memarahi Zaha sebagaimana rupa saat mereka bertemu nanti. Mana ternyata
follower blog tersebut mencapai puluhan pula! Zia yakin benar Zaha telah
terilhami salah satu episode The Simpsons, di mana Bart membuat kartun tentang
Homer dan laku keras. Zia tidak merasa perangainya seburuk Homer.
Panel pertama pada strip berikut
menggambarkan Zia yang tengah berkubang dalam kebosanan. Pada panel
selanjutnya, Zia memutuskan untuk mengentas bosan dengan belajar menggambar. Di
panel terakhir, masih Zia dalam kubangan kebingungan karena tidak tahu
bagaimana cara menggambar kebosanan.
Masih ada strip lainnya yang
menceritakan asal-usul potongan rambut Zia, mengapa Zia hanya punya satu
ponsel, dan lain sebagainya, yang membuat Zia menggoncang-goncang tubuh Tata.
“Tutup! Tutup! Tutup!”
“Iya! Iya! Iya!”
Regi menjauh sambil tetap mesem-mesem.
“Haha, entar saya mau buka lagi ah. Apa tadi alamat situsnya, Tat?”
“mysisterzia…”
“Apa? misterizia?”
“…adaaaw…!” Zia mencubit sebelah pipi
Tata sekeras mungkin. Tata buru-buru merangkul Zia yang cemberut sambil minta
maaf.
“Kamu juga bukannya pinter gambar, Zia?
Bikin komik tandingan atuh…” saran Regi dengan fokus mata sudah kembali pada
rajutannya.
Zia yang masih dipeluk-peluk Tata
mendesah keras. Ia sudah berhenti menggambar sejak seorang teman culun Ardi
mengklaim diri sebagai guru gambarnya. Padahal jelas-jelas Zia merasa
kemampuannya menggambar karena otodidak. Tata bilang, si Kamal itu naksir Zia.
Hampir saja cowok itu dekat dengannya, Zia lekas menggusahnya jauh-jauh. Dan
tertawa sekencang mungkin begitu mendengar si oknum kena lempar ember petugas
kebersihan saat berdua Ardi membaca komik di gudang sekolah.
“Jangan marah atuh, Zia…” rengek Tata.
“Heuh… Dari kapan Tat, kamu nemuin itu?”
“Baru tadi aja kok, Zia, sumpah… Janji
deh, aku nggak akan buka-buka lagi… Abis si Ardi suka ngomongin ke aku tentang
itu. Jadi ya aku penasaran…”
“Hah? Ardi juga?!” Arrrgh, dasar, sepupu sialan! Zia menerka-nerka apakah Mas Imin
juga tahu mengenai perihal blog keparat itu. Mas Imin pasti bakal tertawa terbahak-bahak
membacanya.
“Iya kan si Ardi suka gambar juga…
Kayaknya si Ardi sama adik kamu bakalan bisa nyambung banget deh…”
“Ya iyalah, Tat, nyambung ikatan darah,
da sepupu ini,” komentar Regi.
Lama Zia diam saja sambil menekuk muka.
Tata masih dalam usaha meminta belas kasih Zia untuk memaafkannya. Menyadari
suasana yang mulai jadi tidak mengenakkan, Regi mengajukan inisiatif, “Mau
ngundang si Ega nggak, biar rame?”
“Hayu! Hayu! Dia belum ngadain selametan
jadi ketua OSIS kan?” Tata tampak mensyukuri benar kesempatan beralih ke lain
topik ini. “Siapa tau dia mo ngajak makan-makan. Kamu seneng kan, Zia?”
Zia mendelik ke arah Tata. Tata makin
memelas. Regi memutar bola mata. Ia meraih ponsel dan mulai mengetik sms.
=====
Zia dan Tata termasuk langganan mampir
ke rumah Regi, kendati Zia lebih sering ke rumah Tata sedang Tata lebih suka ke
rumah Ardi—rumah kakeknya. Sedang Ega, karena rumahnya tak jauh dari rumah
Regi, kadang bersepeda ke rumah Regi lalu curhat panjang lebar sampai malam.
Namun Regi sendiri baru sekali bertandang ke rumah Ega. Itu pun bersama Zia,
Tata, Epay, Oman, Akbar, serta seekor anjing herder yang tahu-tahu muncul di
penghujung jalan dan lantas mengejar mereka. Lalu Tata berinisiatif menimpuki
anjing itu dengan mangga dari pohon terdekat yang dapat diraihnya. Yang lain
mengikuti. Setelah serangkaian pekik dan jerit mengancam dari mereka, Ega
membuka pintu rumahnya sembari berteriak, “Hei, eta mangga urang!”
Regi meletakkan ponselnya kembali ke
lantai untuk ke sekian kali. Ibunya juga sudah sekian kali menyuruh ia dan
teman-temannya untuk mengudap sesuatu. Sehabis melepas kepergian sosok ibunya
dengan kerlingan mata, Regi melaporkan sms Ega yang baru ia terima pada Zia dan
Tata. “Ceuk si Ega, males ceunah.”
“Ah, biarkeun budak eta mah…” Tata hanya
menoleh sekilas. Zia juga sama sebalnya. Setiap kali Regi melapor pada Ega
bahwa Zia ada di rumahnya maka datanglah-kau-ke-mari-wahai-Ega, jawaban Ega
selalu sama. Lalu tahu-tahu terdengar “punten”-nya di balik pagar. Regi
mengangkat bahu. Setidaknya kini Tata dan Zia sudah akur lagi dan ia bisa
meneruskan rajutannya dengan tenang. Namun diam-diam ia menyimak cerita Zia
pada Tata.
“...mau jadi apa aku ini, Tat? Ikut AFS,
baru seleksi administrasi aja udah gagal. Ikut seleksi Ringo, nggak kepilih. Ikutan
mading, tulisanku suka ditolak terus. Inget nggak Tat, pas SMP, pas aku ngasih
puisi yang tentang si Bagas tea? Padahal itu puisi terimajinatif yang pernah
aku bikin tau… Mo ikutan Greenpeace, mahal banget donasinya per bulan, mending
kutabung sendiri aja uangnya.... Gambar aku juga nggak sebagus si Zaha. Nyanyi
juga nggak bagus. Bikin band, personilnya pada kabur… Gitar, nggak
lancar-lancar, huhuhu…” ungkap Zia dengan jemari yang juga tengah sibuk
merajut. Begitu pun Tata yang sedang mendengarkannya.
Tata kehabisan ide untuk menghibur Zia
karena apa yang Zia katakan memang benar adanya. Karena ada Regi juga dalam
ruangan yang sama, ia tak berani bermuka dua.
“..ngapain dong aku?”
“Ya udah. Sekarang mah pikiran sekolah
dulu ajalah, Zia.”
“Iya, rangking kamu kan masih sepuluh
besar terus, Zia. Nggak usah kufur nikmatlah.” Akhirnya ke luar juga apa yang
sedari tadi Regi pendam.
Zia mengerang. “Tapi masak kompetensiku
pas lulus SMA cuman ngerjain soal sih? Kamu kan udah aktif terus di OSIS, Reg. Si Tata di olimpiade. Trus
keunggulan aku apa coba…? Eh, nih, rajutanku udah jadi. Segini aja ah, Tat…
Nggak tau gimana cara ngakhirinnya.” Zia menyerahkan rajutannya pada guru
merajutnya selama ini. Ia menopang kepalanya dengan sebelah lengan yang
bersender pada sofa. Tangannya yang sebelah lagi meraba-raba hasil rajutan
Tata. “Ih, kok masih bagusan kamu sih, Tat?”
“Ya iyalah, si Tata gurunya!” sergah
Regi.
“Punya kamu juga bagus kok, Zia.”
“Ah, tau ah, itu apaan. Mo dijadiin
syal, pendek gitu. Gimana bisa dikalungin…”
“Ya ngerajut kan nggak mesti jadi syal
atuh Zia. Ini bisa jadi tatakan piring kok.”
“Serbet juga bisa,” lagi-lagi Regi
menimpali.
Zia tersedu. Bersamaan dengan itu,
terdengar seseorang mengucap, “Punten…” dari luar rumah. Ketiga cewek tersebut
kompak menengok. Ega sedang berusaha membuka pagar rumah Regi tanpa harus turun
dari sepedanya. Tidak berhasil. Turunlah ia. Regi menggeleng-gelengkan kepala.
Teriaknya, “Masuk, Gaa…”
“Eh, liat ini rajutannya si Zia udah
jadi.” Tata menyambut Ega dengan mengacung-acungkan hasil rajutan Zia.
“Ngerajutnya dari jaman kapan, hasilnya
gitu doang…” kata Ega begitu sampai di ambang pintu.
Zia menggeram. Dengan gerakan cepat ia
merebut syal rajutan Regi yang panjangnya sudah semeter lebih untuk membekap
mulut Ega, lalu melilit tubuhnya dengan syal lain yang sudah jadi. Kupluk
rajutan Tata ia rampas sekalian untuk menutup seluruh kepala Ega sehingga cowok
tengil itu tidak bisa melihat apa-apa.
Namun semua itu terjadi hanya dalam
benak Zia. Membayangkan Regi jadi misah-misuh karena syal rajutannya rusak
lebih membuat Zia ngeri.
“Kok lama sih, Ga?” tegur Regi.
“Iya, tadi abis kumpul-kumpul ma
pengurus OSIS yang lama.” Ega menyeka titik-titik keringat yang bertonjolan di
pelipisnya sembari duduk bersila.
“Wei, Dirgantara, katanya dikau malas ke
mari?” ganti Tata menegur.
“Abisan ada kamu sih, Tat. Jadi weh
urang hoream.”
“Ah, kamu mah…”
Ega nyengir. “Eh, Reg, kamu mau nggak
bantuin saya di OSIS? Jadi bendahara?”
“Cie… Cie… Regi dilamar Ega, euy…” Tata
menggoda.
“Hm… Pikir-pikir dulu ya…”
“Udah, nggak usah sok jual mahal gitu
deh. Direkomendasiin si Kang Lutung tau.”
Tawa Zia tanpa suara. Tata heboh
sendiri. Regi mendelik pada mereka semua. Kang Lutung adalah nama alias Mas
Imin. Sebetulnya sejarah mengapa Mas Imin sampai dijuluki demikian di SMANSON
cukup panjang dan terdiri dari beberapa versi. Namun cukuplah tingkah atraktif
Mas Imin sehari-hari jadi alasan yang mewakili.
“Eh, emang gimana ceritanya saya ampe
direkomendasiin gitu?”
“Tampang pemalak kali,” ucap Zia asal.
“Ah, udahlah, bilang ajalah mau. Saya
kudu mikirin anak buah lainnya juga nih.”
“Ih, bilang dulu dong kenapa…” desak
Regi.
“Iya, kita juga mau tau, Ga,” kata Tata.
“Bilang dulu, mau, gitu.”
“Ah, lamaran yang kurang menyenangkan…”
“Ega… Ega… Aku juga mau bantuin kamu dong di
OSIS.” Masih ada sisa harapan Zia untuk melakukan “sesuatu yang berarti”—selain
urusan akademik—selama statusnya masih siswi SMA kelas XI.
“Emang kamu ikutan OSIS?” Ega memutar
tubuhnya untuk menghadap Zia.
“Nggak.” Zia sendiri heran mengapa ia
tidak pernah minat untuk menjadi bagian dari jajaran eksekutif siswa setiap
perekrutan OSIS dibuka. Ia kira, sudah menjadi pembawaannya untuk selalu
menolak sistem tempatnya bernaung—rasanya keren saja. Termasuk sistem
kepengurusan OSIS, kendati ia tidak tahu persis bagaimana macamnya.
“Ya nggak bisalah…”
“Paling juga nggak keterima, ikutan
juga…”
“Pastinya…”
“Iiih…” Zia menarik-narik lengan seragam
Ega dengan gemas.
“Atau nggak, kamu ikutan ekskul nggak?
Seenggaknya kamu aktif di ekskul mana gitu, jadi entar bisa ikut ngasih
kontribusi di bidang yang membawahi ekskul kamunya…”
“Mmm…“ Zia tidak tahu apakah ia masih
dianggap di Lembaga Pers SMANSON, alias LEMPERs, atau tidak.
“Twewewew…” Ega membalikkan tubuhnya
lagi. “Jadi gimana, Reg? Mau, ya?”
“Egaaaaaa…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar