Senin, 22 November 2010

Cowok Idaman Bibe

Sebelum bertemu fisiknya, orang kerap salah mengenalinya sebagai perempuan. Tapi Manda maklum saja sebab cowok yang bernama Prima, Indi, atau Elda, juga bisa mengalami hal yang sama. Sebagaimana orang bernama Sugeng dan Bambang punya komunitas[1], Manda pernah kepikiran untuk membuat komunitas bagi mereka yang punya nama uniseks.

Belum sebulan Manda menghuni XI A2. Beberapa belas menit lalu ia menolak halus ajakan teman sebangkunya untuk menghabiskan jam istirahat di kantin. Ia memasang headset dan memutar karya dari musisi kesukaannya. Ia menunggu kelas cukup sepi untuknya mengeluarkan buku pelajaran Matematika kelas 5 SD. Ia lalu mematikan pemutar mp3-nya agar bisa berkonsentrasi dalam menekuni buku tersebut. 

Perhatian Manda teralih sebentar. Segerombolan siswi memasuki kelas. Berdasar kesepakatan kelas mengenai pembagian bangku pada minggu silam, adalah satu dari mereka yang mendapat bangku di belakangnya. Ialah Bibe, yang beserta kawanannya mengusir kekosongan di belakang punggung Manda.

Sewaktu kelas X, kelas Manda bersebelahan dengan kelas Bibe. Itulah yang membuat mereka kebagian meja yang bersebelahan saat lomba kreasi nasi goreng dalam rangka peringatan HUT RI. Manda sadar Bibe terus mengamatinya mengiris mentimun. Bibe bilang pergerakan jari Manda mengagumkan. Itu hanya satu dari sedikit interaksi dengan Bibe yang Manda ingat.

Selebihnya, Manda mengenal Bibe tanpa sedikit pun usaha. Bibe sudah terkenal dengan sendirinya. Setiap upacara bendera, selalu disebut nama “Bibe Alizia Pohan” sebagai pemenang bermacam lomba. Bibe pernah menang lomba pidato, lomba debat, lomba cerdas cermat, lomba menulis, hingga lomba baris-berbaris. Namun sekali Bibe menang suatu lomba, tak pernah terdengar lagi kiprahnya dalam lomba yang sama. Belum bisa mengatakannya sebagai yang terunggul dalam suatu bidang, tapi Bibe telah terbukti dapat unggul dalam segala bidang. Bibe juga aktif di banyak ekskul. Kawanannya tak hanya yang itu-itu saja—Bibe pernah terlihat bersama berbagai macam orang. Bibe melukis sendiri sepatunya, juga menjahit sendiri ikat rambut dan tas cangklongnya. Bibe tak berusaha kelihatan modis, seadanya, namun nyaman dipandang meski Bibe bukan cewek tercantik yang pernah Manda lihat.

Bibe sedang ditodong kawanannya. Kini giliran Bibe untuk mengungkap apa saja kriteria cowok idamannya.

“Iya… Iya… Nih aku sebutin, nih… Perhatiin baik-baik ya, semuanya!” Bibe berusaha menenangkan rasa penasaran yang mengerumuninya. “Satu… Seiman dan beriman. Solatnya nggak boleh bolong-bolong… Oke.. Dua… Bisa main piano. Dan ngefans berat juga sama Om Hayyra…”

“Om Hayyra terus, Om Hayyra terus, nikah aja sekalian sama dia!” keluh seseorang ditimpali yang lain. Terasa bahwa nama itu sudah sering mereka dengar namun mereka sendiri sebenarnya tak familier dengan siapa yang dimaksud.

Bibe tergelak. “Haha, ih, masak aku nikah sama yang sepantaran mama aku?” Tak mengindahkan tanggapan ramai kawanannya, Bibe melanjutkan, “Tiga, harus punya banyak saudara kandung. Pokoknya berasal dari keluarga besarlah! Empat, pekerjaannya entar nggak mengharuskan dia buat banyak berpergian. Pokoknya kalau pagi sama malem seringnya harus ada di rumah. Akhir minggu juga nggak malah keluyuran ke mana-mana.”

“Yah, Bibe, dipenjara aja sekalian…”

“Ya nggak mesti gitu juga kali… Lima, intelejensianya kurang lebih setara, lebih tinggi dikit juga nggak apa-apa deh. Enam, nggak protes sama selera makan yang aneh-aneh—“

Terdengar gelak beberapa orang. Berdasar kenangan akan lomba kreasi nasi goreng yang lampau, Manda pernah melihat sekilas Bibe menuang sirup ke piring nasi gorengnya. Baru kemarin juga ia melihat Bibe menjilati es tong-tong yang dibubuhi lada.

Bibe tak menghiraukan ledekan kawanannya. “Tujuh, nggak songong. Delapan, nggak suka berantakin rumah. Sembilan, punya ladang jamur. Sepuluh, rajin nabung. Sebelas, suka main layangan. Dua belas, suka bakar roti. Tiga belas, nggak norak apalagi suka ngumbar kata-kata yang bikin diabetes, hiiii… Empat belas, nggak suram. Lima belas—“

“Eh… nggak bisa, nggak bisa… kriterianya cuman sepuluh…”

“Wah, Bibe maruk nih…”

Kawanan tersebut menuntut Bibe untuk mengeliminasi kriterianya. Bibe mendesah. “Oke! Oke! Nomor tujuh sampai sembilan disatuin di nomor tujuh. Nomor sepuluh sampai dua belas jadi nomor sepuluh aja… Trus…”

“Ye… Ya nggak bisa juga dong! Harus satu-satu!”

“Iya nih, Bibe banyak banget kriterianya…”

“Cuman lima belas aja kok! Pasin ajalah…” sela Bibe.

“Belum kriteria fisiknya…”

“Aduh… aku sih masing bingung ya sama definisi ganteng…” suara Bibe lagi. Ia membungkam sisa luapan komentar kawanannya dengan, “Pokoknya, nomor terakhir nih, nomor terakhir… Biar aku sama dia bisa saling melengkapi, dia mesti BEDA dari aku!”

“Beda kayak gimana, Beb?”

“Aah… Aku tahu, pasti cowoknya Bibe entar yang pendiem banget, sampai-sampai jarang ngomong…”

“Yang jelas selera makanannya normal, hahaha…”

Kembali Bibe ramai diledeki kawanannya. Bibe rusuh mendiamkan mereka.

“Aaah… Beb, kalau kriterianya kayak gitu mah, kapan kamu bisa dapet cowoknya?”

“Iya, ih, aku nggak kebayang loh, Bibe entar cowoknya kayak gimana…”

“Iiih… Apa sih kalian? Aku kan pingin punya cowoknya masih lama. Buat calon suami mah nggak boleh sembarangan dong kriterianya… Jadi tenang aja, masih banyak waktu buat nyari… Dari sekian miliar jumlah cowok di muka bumi ini, masak nggak ada satu pun yang menuhin kriteria kayak gitu sih?” balas Bibe.

“Ya, mungkin ada kali, Beb, di Zimbabwe!”

Terdengar lagi gelak tawa.

“Bukan terong digulain lagi itu mah, tapi kadal dikecapin!”

“Alaaah… Terserah deh, mau di Zimbabwe kek, di Galapagos kek, atau di Barbados sekalian. Pokoknya aku mau yang kriterianya kayak gitu. Titik!”

***

Hari sebelumnya

Manda biasa langsung pulang ke rumah sepulangnya dari sekolah. Gaya jalannya yang terseok-seok menimbulkan bunyi gesekan antara sol sepatu dengan jalan gang yang disemen. Begitu mendekat ke ambang pintu rumah, Azi berlari menyongsongnya dari dalam rumah. “Kakak, gendong! Gendong!”

Manda merengkuh tubuh gempal si mungil dan membawanya masuk kembali ke dalam rumah. Mengayun-ayunkannya hingga anak itu tergelak. “Udah makan belum, Dek Azi?” Jari Manda mengambili butir-butir nasi yang menempel di pipi gembil itu. Sebelah tangannya membetulkan letak vas yang tak tepat di tengah meja. Mungkin gara-gara disenggol Azi tadi.

“Lagi makan…” Mata Azi sudah fokus kembali pada mainan di tangan. Manda menurunkan Azi di sebelah Aza. Kembaran Azi tersebut menoleh. Dengan tak acuh kembali memalingkan perhatian pada layar TV. Sebelah tangannya memegang sendok. Lebih banyak butir nasi berceceran di sekitarnya.

“Tuh, liat, kayak Dek Aza, makan sendiri. Dek Azi makan sendiri apa disuapin?”

“Disuapin Aza…”

Sembari bangkit, Manda mendengus. Layar TV diisi iklan. Masih membawa sendoknya, Aza mengekori Manda ke kamar. Manda terkejut mendapatinya ketika hendak menutup pintu. “Kenapa Dek Aza?”

“Mau disuapin Kak Manda…”

“Iya bentar, Kakak ganti baju dulu ya. Jangan ikut masuk. Kakak malu...” Manda menghembuskan nafas lega karena Aza mau saja menunggu di balik pintu. Lekas ia mengganti bajunya. Sebelum melepas atasan, ia merogoh-rogoh saku. Uang di dalamnya masih tersisa lumayan. Celengannya bertambah berat saja dari hari ke hari. Manda lebih suka mengulik soal matematika SD ketimbang mengeluarkan uang saat jam istirahat.

Ketika ia membuka pintu kembali, Aza sudah tak ada. Azi menunjuk-nunjuk layar TV. “Kakak, liat, Kakak, Sponge Bob!”

“…iya… Kakak solat dulu ya…” Manda lekas melintas sepasang bocah usia tiga tahun itu. Di dapur ia menegur Melia sambil lalu. “Bikin apa, Dek? Hati-hati loh, pake toaster-nya…” Sekembalinya dari kamar mandi dengan titik-titik air membasahi beberapa bagian tubuh, Manda mendapatkan jawaban, “Bikin roti bakar, Kak.”

“Oh…” Manda hendak berlalu lagi, namun Melia memanggilnya.

“Kak, Kakak bisa tungguin ini bentar nggak? Kayaknya bentar lagi mateng nih… Aku mau ke atas dulu bentar…”

“Ya…” Manda menggantikan posisi anak kelas 2 SD itu di depan toaster. Dari jauh dilihatnya Aza yang terpekur karena tayangan TV dan Azi yang membolak-balik mainannya dengan penuh minat. “Azi, Aza, mau roti bakar juga nggak?” Malah toaster yang menggubris. Manda memindahkan roti dari dalamnya ke atas piring yang telah terisi roti bakar sebelumnya. Melia telah kembali.

“Mau diisi apa, Mel, rotinya?”

“Mmm… Atasnya nasi, bawahnya Anak Mas…”

Manda memasukkan dua lembar roti yang sudah dibubuhi margarin lagi ke dalam toaster. “Gantian tungguin ya, Dek. Kakak mau solat dulu…” Manda menyibak poninya yang basah. Ia tunaikan solatnya segera, kembali ke dapur, dan mendapati sepasang roti bakarnya sudah menumpuk di atas piring.         

“Kakak isinya mau kayak yang punyaku juga, nggak?”

“Nggak, ah…” Manda membawa piringnya masuk ke dalam kamar. Ia kunci pintunya. Manda membuka salah satu laci meja belajarnya. Tangannya merogoh hingga ke pojok laci untuk mendapatkan sebungkus Pedigree. Sepuluh tahun lalu ia pernah ikut bermain ke rumah tetangga—teman kakaknya—yang memelihara anjing. Dengan sengaja, kedua bocah yang bisa dikatakan hampir menginjak remaja itu memberinya beberapa butir biskuit kecil berbentuk tulang anjing. Snack keluaran terbaru, kata mereka. Tidak sekali mereka begitu. Manda sudah terlanjur ketagihan ketika sadar bahwa yang diberikan padanya adalah makanan anjing. Perutnya tak pernah mengalami masalah berarti karena itu. Kak Mita bahkan tidak tahu bahwa ia masih mengonsumsi. Selama ini ia membeli cemilan favoritnya itu secara sembunyi-sembunyi dari tabungannya.

Permukaan roti kini sudah penuh terisi tulang anjing-tulang anjing mini. Lembar roti lain ia taruh di atasnya. Sembari mengunyah serta menikmati “krauk krauk” plus sensasi dari sari daging yang dikeringkan, Manda mengamati bayangannya di cermin. Tak sedikit yang mengatakan betapa ia memiliki rambut yang halus dan bersinar—secerah kulitnya, secemerlang matanya. Apa yang dikatakan produsen cemilan favoritnya pada kemasan kiranya bukan bohong belaka.[2]

“Kak…” Sepertinya itu Aza yang menggedor pintu. Manda lekas menghabiskan makan siangnya.

“Iya, Aza…” Manda membuka pintu. Aza hendak menyanyi dan ia minta Manda mengiringinya dengan piano.

Manda memindah mainan-mainan adiknya yang berserakan di atas kap piano ke rak lain sekaligus merapikannya. Aza merengek agar Manda lekas. Hanya Manda yang bisa memainkan piano dengan benar di rumah ini. Para saudaranya sesekali memainkannya juga namun hanya untuk main-main. Tak ada yang seberminat itu mempelajarinya selain Manda.

Waktu masih kecil, Manda iseng mendentingkan sebuah piano di area alat musik suatu toko buku. Seorang karyawan mendekat dan dengan sungguh-sungguh mengatakan bahwa bakat Manda harus dikembangkan. Sewaktu lapak ibunya belum habis dilalap api, Manda masih bisa les privat sekali seminggu. Piano tersebut pun orangtuanya beli dengan harga amat murah dari gurunya. Manda jadi merasa semakin sayang pada orangtuanya setiap mengingat hal tersebut.

Manda mendudukkan Aza di pangkuan. “Aza mau nyanyi apa?” Ia mencium ubun-ubun adiknya itu dengan gemas. Aza menelengkan kepala.

Azi lari mendekat. “Azi mau nyanyi juga!”

“Kemarin lagu yang Kakak ajarin masih hapal, nggak?”

Bintang kecil…” Azi berdendang. Manda menjejakkan jari-jari tangannya di atas tuts kendati tubuh Aza agak menghalangi geraknya. Aza menyusul bernyanyi. Manda juga. Mereka bernyanyi bersama. Manda tersenyum membayangkan masa-masa ini akan ia alami dua kali lagi; saat ia punya anak dan saat ia punya cucu. Mungkin ia bisa lebih sering mengalaminya lagi jika ia menjadi guru Seni Musik bagi anak-anak playgroup. Namun ia pendam saja bayangan itu.

Derum motor terdengar dekat. Aza loncat dari pangkuan, menyusul Azi yang sudah lebih dulu ke halaman. Bapak muncul dengan Azi di pundak dan Aza menggelayuti paha. Manda bangkit untuk memberi salam. Manda selalu bersyukur ayahnya seorang guru. Ayahnya pulang kerja tak lama setelah anak-anaknya pulang sekolah. Ayahnya juga libur ketika anak-anaknya libur. Ayahnya selalu memiliki banyak waktu untuk banyak anaknya. Meski akibat profesinya tersebut, mereka sekeluarga pernah mengalami masa sulit ketika honor seminggu hanya sampai Rabu.

Bapak setuju jika Manda juga ingin jadi guru. Namun Manda kerap tak sanggup jika membayangkan dirinya sampai harus memberi les-les dan jual buku untuk menambah uang saku. Ia juga tak setuju jika harus jadi diktator—jual diktat beli motor. Belum jika ada penyunatan gaji dan murid badung melulu.[3] Bagaimanapun itulah masa lalu. Hidup mereka sudah lebih sejahtera kini.

Di belakang Bapak, tampak seorang perempuan dengan helm menumpuk jilbab. Manda memberitahu perempuan tersebut untuk menunggu sebentar. Ia menuju belakang rumah. Ketika pintu dibuka, tampak sepetak ladang jamur tiram. Manda mengambil sebuntal plastik dari rak dekat pintu.

“Sori tadi pagi aku lupa dateng,” kata perempuan tersebut ketika Manda menyerahkan buntalan berisi jamur tiram padanya. Perempuan itu ganti menyodorkan lipatan sepuluh ribuan ke tangan Manda.

“Iya, jamurnya jadi kurang fresh tuh.”

“Nggak papa, mereka mintanya emang buat malem juga sih.”

Kepergian perempuan itu dengan motor bebeknya digantikan azan ashar. Lipatan uang di saku celana Manda berpindah lagi ke dalam celengan. Adalah perempuan tadi, teman SMP-nya, yang mengajaknya usaha jamur tiram bersama karena tahu Manda punya sepetak lahan tak terpakai di belakang rumah. Dengan rekayasa lingkungan sedemikian rupa, usaha kecil-kecilan ini lumayan untuk memperberat celengan atau variasi lauk di meja makan rumah.

Sebetulnya jadwalnya memberi les di rumah Zulfan jam empat. Namun bocah itu memintanya datang lebih awal. Bocah itu bilang ia ada urusan jam lima. Manda lekas mandi dan solat ashar. Ia mengambil hem dan jins baru dari lemari. Tak lupa rambut ia sisir rapi. Ibunya mendidiknya agar selalu berpenampilan baik jika hendak bertamu ke rumah orang. Tapi akhirnya pakaian licinnya itu tertutup jua oleh jaket yang sudah terpakai kemarin.

Manda kira ia akan menjumpai Momon di rumah Zulfan. Adik kelas 5 SD-nya itu begitu betah main di sana. Manda jadi penasaran game apa saja yang Zulfan punya dan apakah akan pantas jika ia ingin ikutan main.

“Loh, Mas Manda kok udah dateng?” Mama Zulfan tergopoh-gopoh menyambut Manda di ruang tamu.

“Iya, Tante. Kata Zulfan, abis ashar aja langsung ke sini…”

“Walah… Aduh, itu anak, pasti biar bisa cepetan main di luar lagi. Bentar ya, saya panggilkan. Duduk aja dulu, Mas…”

Manda menurut. Sembari menunggu datangnya Zulfan, ia mengamat-amati interior yang sedap dipandang. Zulfan muncul tak lama kemudian.

“Eh, Zulfan. Kakak udah bikinin soal nih.” Manda hendak mengeluarkan kertas berisi soal-soal hasil ulikannya saat jam istirahat di sekolah tadi. Zulfan duduk dengan lesu di sebelahnya setelah menghempaskan tumpukan buku pelajarannya ke atas meja.

“Ah, ngerjain PR aja, yah, Kak. Bisnis nggak bisa ditunda nih…”

“Ya dikerjain dulu PR-nya.”

“Jam empat udahan ya, Kak?”

Karena dibayar untuk tiga jam seminggu, Manda menjawab, “Jam lima deh. Tapi besok Jumat sampai maghrib yah?”

“Aaah!” rajuk Zulfan.

“Eh, Momon tadi main ke sini nggak?”

“Nggak tau.”

“Ngambek nih…”

Kendati Zulfan menunjukkan air muka yang tak enak dilihat, ia tekun mengerjakan PR-nya. Sedikit saja ia bertanya pada Manda yang memperhatikan pengerjaannya dari belakang. Pembantu di rumah itu sempat muncul untuk menyuguhkan minum dan penganan kecil.

“Ini, Kak!” Zulfan menyodorkan hasil pekerjaannya, namun segera ia tarik lagi begitu tangan Manda hendak mengambilnya. “Istirahat dulu yuk, Kak!”

“Eh, diperiksa dulu kerjaannya…”

Tangan Zulfan kuat mencengkeramnya. Kendati tenaganya mungkin lebih kuat, Manda tak enak jika hendak melawan. Ia ikut saja ke mana Zulfan menyeretnya. Untung saja ia tak menemui Mama Zulfan sepanjang jalan menuju taman di atap rumah tersebut. Manda terpana dengan kehadiran tanaman-tanaman hias yang selama ini hanya bisa ia lihat dari bawah. Zulfan muncul dengan membawa sebuah layang-layang besar.

“Pegang, Kak,” titah Zulfan. Manda menurut. Sementara Zulfan mengulur kenur, Manda dipandu untuk terus jalan mundur, terus dan terus. Sesekali Manda menengok ke belakang untuk memastikan langkah selanjutnya masih berpijak di permukaan keras. Titah Zulfan lagi, “Lepas, Kak!”

Zulfan menyentak kenurnya dan si layang-layang melanglangbuana. Manda jadi ingat suatu masa di mana hidupnya belum dihiasi kehadiran adik-adiknya—paling baru Momon yang masih amat mungilnya. Petang begini, Manda pasti berada di luar rumah. Waktu itu masih ada beberapa tanah kosong yang membuat anak-anak sepantarannya leluasa menerbangkan layang-layang. Manda ingat ia sering menamai layang-layangnya. Si Bule dan Si Bontot tertancap di tiang listrik—Kak Mita melarangnya untuk mengambilnya karena takut ia kesetrum. Si Bandrek hanyut di sungai. Si Bandar ia berikan pada seorang anak kecil yang menangis karena kehilangan bolanya. Hanya si Bayu yang ia tak tahu di mana keberadaannya kini.

Lalu ibunya sakit keras yang menyebabkannya harus bedrest dalam waktu lama. Manda, Kak Mita, dan Bapak jadi harus bergantian mengasuh Momon. Itulah awal mula Manda menyadari betapa asiknya mengasuh adik. Orangtuanya pun memberinya lagi, lagi, lagi, dan lagi.

“Ah… dikit lagi…” Manda mengerjapkan mata. Padahal jarak antara layang-layang besar Zulfan mungkin hanya sejengkal dengan si bintang merah. Manda duduk dekat tempat Zulfan berdiri. Besarnya layang-layang Zulfan membuat Manda mengandai-ngandaikan layang-layang dengan ukuran yang lebih besar lagi. Cukup besar hingga kata semacam “I Love You” dapat terbaca oleh orang yang menjejak tanah. Manda tersengal. Kepada siapa akan ia persembahkan yang macam itu? Ia jadi merinding sendiri ketika membayangkan dirinya memanggil “Sayang,” “Cinta”, “dan kata-katas manis lainnya pada seorang gadis.

“Fan, udah yuk. Kita lanjutin lagi PR-nya,” ajak Manda sebelum pikirannya lebih tinggi mengangkasa. Zulfan berdecak kesal. Manda menawarkan dirinya untuk mengambil alih kendali layang-layang. Zulfan menjauhkan tangannya. Manda mencoba beberapa kali seraya meyakinkan Zulfan bahwa di tangannya kemenangan akan lebih cepat teraih. Zulfan mengalah. Si bintang merah terbang tak tentu arah dalam beberapa menit.

Sembari mengekori kegirangan Zulfan di tangga menuju lantai bawah, Manda termenung memikirkan apakah tepat tindakannya menolong Zulfan tadi. Bisa dikatakan bahwa Manda telah menganggu pembelajaran Zulfan akan arti kerja keras. Ia saja baru bisa menumbangkan sebuah layang-layang setelah berusaha selama kurang lebih dua tahun. Tapi mungkin tak semua kerja keras itu berarti. Kerja keras dalam menyelesaikan PR lebih berarti daripada kerja keras dalam menghilangkan kepunyaan orang, Manda meyakinkan dirinya sendiri. Setidaknya Zulfan jadi lebih terbuka padanya kini. Ia dengan jenaka menanggapi penjelasan Manda akan cara yang benar dalam mengerjakan PR-nya—kendati ia menolak soal-soal buatan Manda.

Maghrib Manda pulang, ia mendapati Mama sudah di rumah. Zova minum susu dalam gendongannya. Keadaan Mama semakin membaik setelah mendapat pinjaman modal untuk membangun usaha baru di suatu ruko. Ia bisa ringan tersenyum kembali untuk menyambut anak-anaknya saat pulang ke rumah.

Sepanjang jalan menuju kamar mandi, Manda membereskan barang-barang berserakan yang ia temui. Meski ia tahu, dalam waktu dekat Melia, Aza, dan Azi akan mengacaknya lagi.

“Kak Manda itu loh, tiga besar terus dari SD. Ayo, Momon juga bisa. Jangan mau kalah.” Ucapan Bapak membuat Manda ngeh akan kehadiran Bapak dan Momon tak jauh dari sampingnya. Momon tampak bingung dengan PR-nya.

Manda mendekat. “Ada yang susah, Mon?”

Keruh muka Momon. Bapak menjelaskan bahwa benang layang-layang Momon tadi petang diputus oleh Zulfan. Manda terdiam. “Lagi marahan sama Zulfan?” Momon tak jawab. Manda terus ke kamar mandi untuk berwudu. Sehabis solat maghrib, Manda berniat mendekam saja di kamarnya sampai Isya. Ia akan merebahkan diri di kasur, memasang headset, memutar album Hayyra, dan memejamkan mata.

Hayyra, nama itu tepat benar bagi Manda. Hayy adalah bahasa Arab yang berarti “hidup” sedang Ra adalah dewa matahari bangsa Mesir. Manda selalu merasa hangat hati dan hidup jiwa lagi kala mendengarkan permainan piano Hayyra.

Tak banyak yang tahu Hayyra. Pria tersebut adalah satu dari sekian orang Indonesia yang sukses di mancanegara namun dilupakan di negerinya sendiri. Padahal ia sering mengiringi musisi jazz terkenal dan punya album sendiri yang penjualannya laris manis di pasaran Amerika. Tampaknya di Indonesia hanya penggemar jazz sejati yang mengetahui keeksisan Hayyra.[4] Banyak dari mereka mencintainya. Manda masih mempertimbangkan untuk membongkar celengannya karena Hayyra direncanakan tampil di Java Jazz tahun depan.

Belum lama Manda dihanyutkan dalam hamparan bunga matahari, pintunya diketuk. Manda bangkit namun pintunya sudah keburu dibuka. Tampak wajah ceria Kak Mita. “Hai, honey…” Manda menyungging senyum lalu merebahkan dirinya lagi karena Kak Mita kembali menutup pintu. Lantunan nada Hayyra jadi tak terdengar senikmat tadi. Manda memutuskan untuk bergabung saja bersama keluarganya di ruang tengah.

Kak Mita memang tak terlalu suka—apalagi lihai—dalam memomong adik. Tapi ia adalah pencari uang yang cepat. Sementara Manda menimang Melia di rumah, Kak Mita sedang iseng mengamen bersama teman-temannya di perempatan. Sementara Manda memperhatikan Mama mengganti popok Azi, Kak Mita sedang menodong teman-teman sekolahnya untuk membeli perhiasan ronce buatannya. Sementara Manda memandikan Aza, Kak Mita sedang bertransaksi pulsa dengan seorang kenalannya. Gajinya kini sebagai asisten dosen membuatnya kerap membelikan penganan yang berbeda-beda sepulangnya ke rumah. Manda mencomot sepotong martabak telur di meja makan. Ia duduk di tepi sofa, tapi pindah lagi begitu melihat Melia tampak kepedasan karena iseng menggigit cabe.

Masih menanti gelas penuh oleh kucuran air dari dispenser, Bapak dan Kak Mita memanggilnya untuk lekas kembali ke ruang tengah. Tergopoh-gopoh Manda ke sana.

“Manda, itu anak sekolah kamu!”

“Itu temenmu bukan, Man?”

Manda menyipitkan mata. Tampaknya benar kalau matanya semakin rabun saja dari hari ke hari, tapi belum terasa mendesak baginya untuk pergi ke optik. Semakin dekat jarak matanya dengan layar TV. “Oh, si… Bibe Alizia,” ucap Manda. Ia kembali menjauh. Melia semakin tak tahan dengan rasa pedas di mulutnya. Setelah memberi Melia air, Manda mendekat kembali ke layar TV. Heran ia, ada hal apa hingga seorang anak sekolahnya bisa masuk TV. TV lokal. Manda jadi mafhum. Ada-ada saja reporter cari berita. Memang TV lokal tersebut sedang menayangkan program untuk anak muda. Salah satu isu yang diangkat adalah persiapan SMA-SMA dalam menyambut HUT RI. Manda jadi ingat nasi goreng berkuah sirup milik Bibe.

“Kenal nggak, Man?” tanya Bapak lagi.

“Temen sekelas.” Manda jongkok kini. Ia sendiri baru ngeh kalau Bibe yang menjadi ketua panitia dalam perayaan HUT RI di sekolahnya.

“Eksis juga dong, Man, di sekolah… Kayak si… siapa itu namanya?” Kak Mita menyuapkan potongan martabak ke sekian dalam mulutnya.

Bibe tampak amat percaya diri ketika mikrofon mengarah padanya. Manda kira dirinya tak kan sanggup bicara apa-apa jika berada di situasi yang sama—kendati bersinar penampakannya karena asupan tulang anjing bergizi tinggi. Manda bahkan tak memiliki kepercayaan diri untuk memainkan ulang komposisi Hayyra di piano. Manda jadi diliputi perasaan beruntung karena mengenal Bibe. Pernah berinteraksi dengannya pula, meski hanya beberapa kalimat. Manda membayangkan suatu saat mungkin Bibe akan jadi menteri, ah, atau mungkin presiden wanita kedua di Indonesia. Atau jika Indonesia terlalu picik untuk menghargai multibakatnya, mungkin ia akan hijrah ke Amerika seperti Hayyra.

Gambar berganti. Tak ada lagi Bibe di TV. Manda sadar bahwa ia terlalu tinggi mengangan-angankan masa depan Bibe. Padahal Bibe hanya ketua panitia sebuah acara setingkat SMA—tak ada ubahnya dengan mereka dari SMA lain yang juga diwawancara. Yang meliput hanya TV lokal pula.

“Ah, biarin ajalah, Kak. Aku emang beda kok dari si Bibe…”

Manda bangkit. Ia ingin kembali dipukau Hayyra di kamar.

***

“Alaaah… Terserah deh, mau di Zimbabwe kek, di Galapagos kek, atau di Barbados sekalian. Pokoknya aku mau yang kriterianya kayak gitu. Titik!”

“Yee… maksa! Maksa!”

Manda tersenyum. Membayangkan apa yang akan terjadi jika ia dan Bibe bisa lebih saling mengenal.


 

 

21 November 2010 menjelang jam tidur



[1] Ada  artikelnya dimuat di KOMPAS Minggu. Lupa kapan persisnya tanggal terbit, kemungkinan November 2010 atau dekat-dekat sebelum itu.

[2] Terinspirasi dari salah satu episode dalam serial Disney “Wizard of Waverly Place”. Biasanya di kemasan makanan hewan peliharaan, macam anjing dan kucing begitu, dikatakan bahwa produk tersebut dapat membuat mata dan rambut hewan peliharaan jadi makin bersinar cemerlang.

[3] Diadaptasi dari lirik lagu P Project – Ku Mau Jadi Guru (I’ll Make Love To You)

[4] Nggak usah klarifikasi ke Mbah Google, dia fiktif kok…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain