(i keep looking for a place to fit it, where i can speak my mind/ i’ve been trying hard to find the people, that i won’t leave behind/ they say i got brain/ but they ain’t doin’ me no good/ i wish they could/ each time things start to happen again/ i think i got something good goin’ for myself, but what goes wrong?/
every time i get the inspiration, to go change things around/ no one wants to help me look for places, where new things might be found/ beach boys – i just wasn’t made for these times)
.
Jati diri sang cowok kelas X akhirnya
terkuak juga. Sebetulnya sejak awal Zia sudah menduganya. Bisa dipastikan cowok
tersebut adalah saudara kembar Arderaz—cowok kelas X yang sedang jadi pujaan
anak-anak seangkatan Zia dan juga angkatan atas—meski keidentikan rupa keduanya
tidak kentara. Zia bertemu lagi dengannya pada suatu malam di ruang tengah
lantai dua rumah Kakek. Saat itu ia dan Mas Imin baru pulang dari berburu
bandros. Dean kawan sekelompok tugas Zahra rupanya. Sebagai sesama korban
peraturan sekolah pasal penertiban rambut, Zia langsung merasa ada kedekatan
emosional antara ia dan Dean. Dengan potongan rambut yang sudah dibereskan,
cowok tersebut ternyata lebih enak dilihat.
Setelah pertemuan kembali tersebut dan
beberapa kali bertukar sapa kala berpapasan di sekolah, Zia merasa mereka bisa
gila bersama. Dean tidak menolak diajak berkaraoke ria. Betapa asyiknya anak
ini, tidak ada sungkan-sungkannya dengan kakak kelas! Agar lebih ramai, Dean
berinisiatif mengajak kawan-kawan sekelompok tugasnya. Zia tidak tahu kalau
kawan-kawan Dean tersebut termasuk tipe penggembira. Memang pada tempo malam
silam Zia baru bertemu dua di antaranya: si anak Jawa yang merasa dirinya
berbakat menyanyi (seketika antusiasme Mas Imin tersulut) dan Zahra. Yang Zia
khawatirkan sebetulnya adalah suasana hati Zahra yang berisiko mengubah
keramaian jadi kecanggungan berjamaah. Namun lagak santai Dean mengatakan bahwa
semua bisa diatur.
Yang terjadi kemudian adalah Zia larut
sendiri dalam aksi unjuk suaranya. Zia maklum saja Zahra hanya mau duduk diam
dengan mulut terkatup rapat. Suara Dean ternyata kontras dengan tampangnya dan
memang bakatnya hanya sebagai penggembira. Dua anak lain, Acil dan Rani,
sepertinya tidak hafal banyak lagu selain yang berhubungan dengan alam dan
hidupan liar macam “Naik-naik ke Puncak Gunung”, “Burung dalam Sangkar”, “Mars
Rimbawan”, “Gelatik”, “The Lion Sleeps Tonight”-nya Paul Simon, jingle-jingle
Pramuka, dan lagu-lagu dari albumnya The Safari. Yang benar-benar niat
mengekspresikan vokal dan menemaninya lepas kontrol hanya si anak Jawa. Kini
Zia hapal namanya adalah Salman.
Ternyata kepiawaian Salman bernyanyi
bukan sekedar kepercayaan diri buta yang Zia kira lumrah menjangkiti kaum
cowok. Padahal Salman mengaku tidak pernah mengikuti les, lomba, atau apapun
yang berkaitan dengan kegiatan asah vokal—selain menyanyi di kamar mandi. Bakatnya
muncul begitu saja saat ujian praktek SMP. Ia mendapat nilai tertinggi di
antara kawan-kawan seangkatannya untuk itu. Sejak itu Salman memikirkan
kemungkinan untuk mempertahankan dan mengembangkan bakatnya tersebut.
Sejenak Zia tenggelam dalam bengong kala
mendengar Salman menyanyi untuk pertama kali. Tak hanya mampu mengubah jazz
jadi seriosa, ke-medhok-annya pun tak lagi teridentifikasi. SMANSON kini
memiliki Pavarotti! Mas Imin pasti bakal turut terpesona seandainya ia juga ada
di ruangan ini. Dengan tidak memberi Salman pujian, Zia merasa masih punya
kepercayaan diri untuk mendampingi Salman menyanyi. Mas Imin bilang, nyanyian
Zia hanya enak didengar saat Zia baru bangun tidur—di kamar mandi, dengan air
mengalir deras dari keran. Padahal Zia ingin jadi vokalis seandainya ia punya
band sungguhan.
Sebagai senior, Zia punya kuasa lebih
untuk menentukan lagu-lagu. Lagipula memang sepertinya baru kali ini Salman
menginjak karpet ruang karaokean. Salman mengamati Zia meniti daftar lagu
dengan mouse. Sesekali ditunjuknya lagu yang ia inginkan. Kendati hidup di
jaman yang sama dengan Zia, selera musik Salman ternyata satu jaman dengan
Kakek. “Beatles, Elvis Presley, Julio Iglesias, Bee Gees, sama ABBA, Teh!”
jawab Salman mantap waktu ditanya apa favoritnya.
Untung saja Zia cukup bergaul dengan
Kakek, jadi ia punya beberapa lagu favorit juga dari siapa-siapa yang disebut
Salman tadi. Jawaban Salman belum tuntas rupanya. Ia melanjutkan, “Rolling
Stones, Deep Purple, The Cats, Michael Jackson…” Untung Zia tumbuh dengan
rutinitas Papa memutar kaset para band dan penyanyi favoritnya keras-keras pada
akhir minggu
“Kalau Belle & Sebastian atau Temper
Trap gitu suka nggak?” sambung Zia. Melihat air muka Salman, Zia memutuskan
untuk kembali mundur dua sampai empat dekade. Wawasan Salman akan band-band
kontemporer ternyata tidak sebaik kualitas vokalnya. Setelah memilih beberapa
lagu, Zia mengangkat mic tinggi-tinggi. “Ayo kita nyanyi lagi!”
Sembari menyusul Zia bangkit, berkatalah
Salman dengan hati-hati. “Oh ya, Teh, maaf, Teh, entar pas bagian nada tinggi
biar aku aja ya, Teh. Telingaku agak pekak e pas Teteh… Sori, ya, Teh!”
Zia mengangguk-angguk dengan mimik sok
ikhlas. Dean yang tengah tiduran di sofa berteriak, “Bahasa gaulnya budeg,
Salman!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar