Sabtu, 13 November 2010

dua

(i keep looking for a place to fit it, where i can speak my mind/ i’ve been trying hard to find the people, that i won’t leave behind/ they say i got brain/ but they ain’t doin’ me no good/ i wish they could/ each time things start to happen again/ i think i got something good goin’ for myself, but what goes wrong?/

every time i get the inspiration, to go change things around/ no one wants to help me look for places, where new things might be found/ beach boys – i just wasn’t made for these times)

.

Jati diri sang cowok kelas X akhirnya terkuak juga. Sebetulnya sejak awal Zia sudah menduganya. Bisa dipastikan cowok tersebut adalah saudara kembar Arderaz—cowok kelas X yang sedang jadi pujaan anak-anak seangkatan Zia dan juga angkatan atas—meski keidentikan rupa keduanya tidak kentara. Zia bertemu lagi dengannya pada suatu malam di ruang tengah lantai dua rumah Kakek. Saat itu ia dan Mas Imin baru pulang dari berburu bandros. Dean kawan sekelompok tugas Zahra rupanya. Sebagai sesama korban peraturan sekolah pasal penertiban rambut, Zia langsung merasa ada kedekatan emosional antara ia dan Dean. Dengan potongan rambut yang sudah dibereskan, cowok tersebut ternyata lebih enak dilihat.

Setelah pertemuan kembali tersebut dan beberapa kali bertukar sapa kala berpapasan di sekolah, Zia merasa mereka bisa gila bersama. Dean tidak menolak diajak berkaraoke ria. Betapa asyiknya anak ini, tidak ada sungkan-sungkannya dengan kakak kelas! Agar lebih ramai, Dean berinisiatif mengajak kawan-kawan sekelompok tugasnya. Zia tidak tahu kalau kawan-kawan Dean tersebut termasuk tipe penggembira. Memang pada tempo malam silam Zia baru bertemu dua di antaranya: si anak Jawa yang merasa dirinya berbakat menyanyi (seketika antusiasme Mas Imin tersulut) dan Zahra. Yang Zia khawatirkan sebetulnya adalah suasana hati Zahra yang berisiko mengubah keramaian jadi kecanggungan berjamaah. Namun lagak santai Dean mengatakan bahwa semua bisa diatur.

Yang terjadi kemudian adalah Zia larut sendiri dalam aksi unjuk suaranya. Zia maklum saja Zahra hanya mau duduk diam dengan mulut terkatup rapat. Suara Dean ternyata kontras dengan tampangnya dan memang bakatnya hanya sebagai penggembira. Dua anak lain, Acil dan Rani, sepertinya tidak hafal banyak lagu selain yang berhubungan dengan alam dan hidupan liar macam “Naik-naik ke Puncak Gunung”, “Burung dalam Sangkar”, “Mars Rimbawan”, “Gelatik”, “The Lion Sleeps Tonight”-nya Paul Simon, jingle-jingle Pramuka, dan lagu-lagu dari albumnya The Safari. Yang benar-benar niat mengekspresikan vokal dan menemaninya lepas kontrol hanya si anak Jawa. Kini Zia hapal namanya adalah Salman.

Ternyata kepiawaian Salman bernyanyi bukan sekedar kepercayaan diri buta yang Zia kira lumrah menjangkiti kaum cowok. Padahal Salman mengaku tidak pernah mengikuti les, lomba, atau apapun yang berkaitan dengan kegiatan asah vokal—selain menyanyi di kamar mandi. Bakatnya muncul begitu saja saat ujian praktek SMP. Ia mendapat nilai tertinggi di antara kawan-kawan seangkatannya untuk itu. Sejak itu Salman memikirkan kemungkinan untuk mempertahankan dan mengembangkan bakatnya tersebut.

Sejenak Zia tenggelam dalam bengong kala mendengar Salman menyanyi untuk pertama kali. Tak hanya mampu mengubah jazz jadi seriosa, ke-medhok-annya pun tak lagi teridentifikasi. SMANSON kini memiliki Pavarotti! Mas Imin pasti bakal turut terpesona seandainya ia juga ada di ruangan ini. Dengan tidak memberi Salman pujian, Zia merasa masih punya kepercayaan diri untuk mendampingi Salman menyanyi. Mas Imin bilang, nyanyian Zia hanya enak didengar saat Zia baru bangun tidur—di kamar mandi, dengan air mengalir deras dari keran. Padahal Zia ingin jadi vokalis seandainya ia punya band sungguhan.

Sebagai senior, Zia punya kuasa lebih untuk menentukan lagu-lagu. Lagipula memang sepertinya baru kali ini Salman menginjak karpet ruang karaokean. Salman mengamati Zia meniti daftar lagu dengan mouse. Sesekali ditunjuknya lagu yang ia inginkan. Kendati hidup di jaman yang sama dengan Zia, selera musik Salman ternyata satu jaman dengan Kakek. “Beatles, Elvis Presley, Julio Iglesias, Bee Gees, sama ABBA, Teh!” jawab Salman mantap waktu ditanya apa favoritnya.

Untung saja Zia cukup bergaul dengan Kakek, jadi ia punya beberapa lagu favorit juga dari siapa-siapa yang disebut Salman tadi. Jawaban Salman belum tuntas rupanya. Ia melanjutkan, “Rolling Stones, Deep Purple, The Cats, Michael Jackson…” Untung Zia tumbuh dengan rutinitas Papa memutar kaset para band dan penyanyi favoritnya keras-keras pada akhir minggu

“Kalau Belle & Sebastian atau Temper Trap gitu suka nggak?” sambung Zia. Melihat air muka Salman, Zia memutuskan untuk kembali mundur dua sampai empat dekade. Wawasan Salman akan band-band kontemporer ternyata tidak sebaik kualitas vokalnya. Setelah memilih beberapa lagu, Zia mengangkat mic tinggi-tinggi. “Ayo kita nyanyi lagi!”

Sembari menyusul Zia bangkit, berkatalah Salman dengan hati-hati. “Oh ya, Teh, maaf, Teh, entar pas bagian nada tinggi biar aku aja ya, Teh. Telingaku agak pekak e pas Teteh… Sori, ya, Teh!”

Zia mengangguk-angguk dengan mimik sok ikhlas. Dean yang tengah tiduran di sofa berteriak, “Bahasa gaulnya budeg, Salman!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain