Senin, 29 November 2010

tujuh

Majalah LEMPERs edar setiap satu semester sekali, yaitu saat pembagian rapot. Tampilan penuh warna, paduan font dan warna yang eye-catchy, kualitas kertas yang baik, serta berseliwerannya potret siswa-siswi rupawan di sana-sini menjadikan media tersebut pilihan utama untuk memanjakan mata. Kendati dikomersilkan, majalah semesteran justru menjadi yang paling dihargai ketimbang media LEMPERs lain. Selain memberi pemasukan untuk kas, menopang hidup mading, dan menambah kesejahteraan anggota, ada saja orangtua murid yang ikut mengonsumsi media ini.

Suatu kebanggaan bagi Zia, tulisannya dimuat di sana pada semester pertamanya di SMANSON. Terima kasih banyak untuk Mas Imin saat itu, karena tulisannya merupakan sari dari suatu obrolan bernasnya dengan Mas Imin.

“Potensi yang terpendam itu ibarat wahana terselubung,” begitu Zia berkata dalam tulisannya. “Seperti wahana di Dufan. Saat kamu bermain di dalamnya, kamu merasa senang, nyaman, dan tenggelam dalam keasyikkan. Kamu bakal merasa ingin untuk melakukannya berulang dan berulang kali.

Zia ingat cerita Mas Imin yang telah mencoba macam-macam hal—mulai dari PATIN, MLM, LEMPERs, ekskul sinematografi, dan lain-lain—untuk menemukan potensi dirinya. Alih-alih demikian, Mas Imin malah me­nemukan potensi pada diri orang lain. Jadilah Zia menulis, “Semua orang ingin jadi sukses. Orang harus mencari terlebih dulu apa minat, bakat, dan potensi yang bisa dikembangkan dari dirinya untuk menga­rahkannya pada kesuksesan.”

Dalam tulisannya itu, ia juga menyebutkan, “…pengembangan minat, ba­kat, dan potensi adalah yang utama. Itu semua adalah karunia Tuhan yang ti­dak boleh disia-siakan!”,

dan, “Peranan bakat seringkali dinafikan. Kerja keras jauh lebih utama ketimbang mengandalkan bakat semata. Itu benar, tapi kalau memang punya bakat, ke­napa malah disia-siakan? Bukannya kerja keras akan lebih berhasil kalau didukung o­leh bakat? Mengasah bakat pun perlu kerja keras.”,

serta, “Tes bakat itu bisa jadi menipu. Cara yang paling tepat untuk mengetahui apa bakat kita adalah dengan metode em­piris. Ingat-ingatlah hal yang paling se­nang kamu lakukan dan apakah hal itu bi­sa berguna buat kamu? Kalau tidak ada, jangan segan-segan, cobalah segala hal yang bermanfaat!”

Selain kebanggaan, hal lain yang Zia dapat dari pemuatan tulisannya itu adalah keyakinan bahwa ia memiliki potensi untuk melakukan banyak hal bermanfaat—kalau tidak dikatakan multitalenta. Masa depannya tentu tidak hanya terbatas di dunia tulis-menulis saja.

Seiring dengan pergantian pengurus, pada semester berikutnya Zia dimasukkan ke dalam tim mading. Pemimpin redaksinya waktu itu bilang kalau kreativitas Zia dibutuhkan untuk menyemarakkan mading LEMPERs. Sebaliknya, Zia merasa potensinya akan lebih terasah jika ia berada di tim majalah semesteran. Setelah negosiasi panjang dan berbelit-belit, Zia mengalah. Tapi ia tidak bisa menutupi rasa angin-anginan kala harus mengerjakan sesuatu yang ia tidak suka. Kreativitasnya yang diharapkan pemimpin redaksi pun enggan timbul. Ia yakin benar, dimasukkannya ia ke tim mading adalah lebih karena tim majalah semesteran hendak dijadikan hegemoni kaum cewek centil sok eksis. Sejak itu dan sampai sekarang Zia tidak mau ambil pusing bagaimana kelanjutan mading LEMPERs.

Mading LEMPERs terpajang di dinding salah satu koridor tersuram di SMANSON—tidak ada koridor yang tidak suram di SMANSON sebetulnya—kendati koridor tersebutlah yang paling banyak dilintasi siswa. Zia tahu, sejak berlalunya era Madam SMANSON dan naik pamornya majalah semesteran, tidak ada seorang siswa pun yang benar-benar mengacuhkan keberadaan mading LEMPERs. Kecuali mungkin seorang kakak kelas kurang kerjaan yang dikenalnya sebagai Kang Detol. Zia berusaha tidak sakit hati saat mendengar Kang Detol berkata padanya, “Tampilan mading LEMPERs kok makin ngerusak mata aja ya?”

Zia merutuki angin yang menerbangkannya kembali ke hadapan pemimpin redaksi umum LEMPERs—yang kini seangkatan dengannya. Yang pandangannya menyimpan pertanyaan, “Ke mana aja kamu selama ini, Zia?” Zia menahan-nahan desakan egonya untuk balik kanan dan tidak kembali ke ruangan penuh keberantakan ini lagi. Zia mendesis ngeri kala melihat mading-mading edisi lampau terkulai di pojok ruangan. Tempelannya lepas-lepas. Seekor laba-laba merayap masuk ke balik lipatan karton. Apalagi ketika sang pemred mengabarkan bahwa mading LEMPERs kini hanya akan diterbitkan sebulan sekali setelah sempat vakum sementara. Suatu masa jaya yang memudar—Zia merasa jadi lebih dapat memahami Kakek.

“Jadi, ada yang bisa aku bantu?” Zia berusaha menyembunyikan keprihatinannya akan tampang Bang Ali—begitu ia memanggil sang pemred yang masuk SD-nya telat itu. Pikir Zia, hebat sekali Bang Ali masih bertahan jadi pemred. Mungkin selama itu sari-sari kehidupannya sudah disedot para cewek centil sok eksis kebanyakan energi itu. Jam istirahat begini mereka pasti lagi pada mejeng di kantin. Kasihan, pasti Bang Ali sudah menanti-nanti tibanya pergantian kepengurusan. Ialah Ali Baba di sarang perawan—mungkin seperti itu juga tampang Harry Potter tanpa surat panggilan dari Hogwarts. Tambah lagi asumsi Zia, pantas saja Mas Imin tidak bertahan lama di LEMPERs yang secara turun temurun memang didominasi kaum hawa.

Bang Ali mengamatinya dengan ekspresi tak yakin. Zia berharap Bang Ali masih mau memberinya kesempatan untuk unjuk potensi. Angan-angan Zia, orang-orang LEMPERs akan melakukan penilaian ulang terhadapnya. Penilaian tersebut lantas berujung pada suatu fakta yang tak bisa dipungkiri bahwa ia memang layak diperhitungkan di tim majalah semesteran.

“Kang, ini sisa kartonnya saya taruh di sini yah.” Kepala Zia berputar sedikit ke belakang untuk mengetahui siapa yang datang. Heh, masak yang begitu anak mading? Tampilan fisik cewek tersebut lebih cocok untuk digolongkan ke dalam kaum cewek centil sok eksis.

“Mading yang baru udah dipasang, Rieka?” tegur Bang Ali.

“Baru aja tadi.” Setelah basa-basi yang sekian lama mengacangkan Zia, akhirnya cewek itu melambaikan tangan diiringi senyum. “Duluan yah, Kang.”

“Anak mading?” tanya Zia setelah cewek yang mestinya anak kelas X itu berlalu. Bang Ali mengangguk. O, jadi sekarang kaum cewek centil sok eksis sudah merambah mading juga rupanya… Zia menyimpulkan.

“Jadi, Bang…?”

“Mmh…” Bang Ali mengucek-ngucek mata. Kacamatanya timpang ke atas. Matanya terlihat suntuk saat berkata, “Entar lagi kan KOMBAS mo ngadain gig.”

KOMBAS adalah Komunitas Band SMANSON, suatu komunitas yang sejak dulu ingin Zia masuki. Namun tak kunjung Zia punya kemahiran dalam alat musik tertentu, atau vokal, yang jadi salah satu kualifikasi anggota.

“Kapan?”

“Besok.”

“Engh…”

“Kamu liput ya, Zia.”

Sesaat Zia merasa ada harapan liputannya akan dimuat di majalah semesteran. Liputan sepertinya tidak termasuk rubrik pengisi mading. “Entar buat majalah semesteran yah?”

“Buat madinglah…”

“Hah, bukannya liputan masuk majalah semesteran yah?”

“Sekarang format mading kita udah beda, Zia. Lagian buat majalah semesteran juga udah disediain space buat gig KOMBAS yang lebih gede menjelang akhir tahun entar.”

Zia melebarkan bibir. Matanya memicing. Selalu saja ia diberi pekerjaan rendahan. Keadaan mungkin akan sedikit lebih baik sekiranya ia dulu tidak pakai mangkir segala. Sekarang ia harus mulai lagi dari awal. Pelajaran yang sama sudah didapatkannya di SMP. Zia mengambil ekskul jurnalistik juga, dan keaktifannya bisa dianalogikan dengan sepasang orang yang berpacaran tanpa komitmen jelas.

Sekeluarnya dari markas LEMPERs, Zia menuju koridor tersuram di mana mading LEMPERs terpajang. Ia tercengang, koridor itu kini tak terasa sesuram dalam pikirannya, berkat aura ceria yang terpancar dari kotak mading. Ternyata benar kata Bang Ali, anak kelas X sekarang rajin-rajin dan lebih mengerti prinsip disain. Mereka tahu bagaimana memadukan warna tulisan dengan latarnya sehingga tidak menjadi sesuatu yang merusak mata. Penempatan gambarnya juga tidak asal-asalan. Dan mereka sangat mumpuni menggambar dengan aneka rupa pewarna. Apa yang dipikirkan tim mading seangkatannya waktu itu sehingga tidak kepikiran untuk berusaha membuat mading macam demikian? Apa yang dipikirkannya waktu itu?

Kiranya anak-anak kelas X itu memang belum terpengaruh dengan kejomplangan gengsi di antara tim majalah semesteran dengan tim mading. Semangat mereka masih murni. Tunggu saja sampai mereka merasakan… Zia tertawa dalam hati.

Zia menyimpulkan, tampilan baru mading LEMPERs ini secara keseluruhan lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Ia ingin tahu apa pendapat Kang Detol mengenainya. Jiwa Zia tersuntik sedikit semangat. Kalau tampilan madingnya macam begini sih, rasa-rasanya ia akan bisa menuntaskan tantangan kali ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain