Majalah LEMPERs edar setiap satu
semester sekali, yaitu saat pembagian rapot. Tampilan penuh warna, paduan font
dan warna yang eye-catchy, kualitas kertas yang baik, serta berseliwerannya
potret siswa-siswi rupawan di sana-sini menjadikan media tersebut pilihan utama
untuk memanjakan mata. Kendati dikomersilkan, majalah semesteran justru menjadi
yang paling dihargai ketimbang media LEMPERs lain. Selain memberi pemasukan
untuk kas, menopang hidup mading, dan menambah kesejahteraan anggota, ada saja
orangtua murid yang ikut mengonsumsi media ini.
Suatu kebanggaan bagi Zia, tulisannya
dimuat di sana pada semester pertamanya di SMANSON. Terima kasih banyak untuk
Mas Imin saat itu, karena tulisannya merupakan sari dari suatu obrolan
bernasnya dengan Mas Imin.
“Potensi yang terpendam itu ibarat
wahana terselubung,” begitu Zia berkata dalam tulisannya. “Seperti wahana di
Dufan. Saat kamu bermain di dalamnya, kamu merasa senang, nyaman, dan tenggelam
dalam keasyikkan. Kamu bakal merasa ingin untuk melakukannya berulang dan
berulang kali.
Zia ingat cerita Mas Imin yang telah
mencoba macam-macam hal—mulai dari PATIN, MLM, LEMPERs, ekskul sinematografi,
dan lain-lain—untuk menemukan potensi dirinya. Alih-alih demikian, Mas Imin
malah menemukan potensi pada diri orang lain. Jadilah Zia menulis, “Semua
orang ingin jadi sukses. Orang harus mencari terlebih dulu apa minat, bakat,
dan potensi yang bisa dikembangkan dari dirinya untuk mengarahkannya pada
kesuksesan.”
Dalam tulisannya itu, ia juga
menyebutkan, “…pengembangan minat, bakat, dan potensi adalah yang utama. Itu
semua adalah karunia Tuhan yang tidak boleh disia-siakan!”,
dan, “Peranan bakat seringkali
dinafikan. Kerja keras jauh lebih utama ketimbang mengandalkan bakat semata.
Itu benar, tapi kalau memang punya bakat, kenapa malah disia-siakan? Bukannya
kerja keras akan lebih berhasil kalau didukung oleh bakat? Mengasah bakat pun
perlu kerja keras.”,
serta, “Tes bakat itu bisa jadi menipu.
Cara yang paling tepat untuk mengetahui apa bakat kita adalah dengan metode empiris.
Ingat-ingatlah hal yang paling senang kamu lakukan dan apakah hal itu bisa
berguna buat kamu? Kalau tidak ada, jangan segan-segan, cobalah segala hal yang
bermanfaat!”
Selain kebanggaan, hal lain yang Zia
dapat dari pemuatan tulisannya itu adalah keyakinan bahwa ia memiliki potensi
untuk melakukan banyak hal bermanfaat—kalau tidak dikatakan multitalenta. Masa
depannya tentu tidak hanya terbatas di dunia tulis-menulis saja.
Seiring dengan pergantian pengurus, pada
semester berikutnya Zia dimasukkan ke dalam tim mading. Pemimpin redaksinya
waktu itu bilang kalau kreativitas Zia dibutuhkan untuk menyemarakkan mading
LEMPERs. Sebaliknya, Zia merasa potensinya akan lebih terasah jika ia berada di
tim majalah semesteran. Setelah negosiasi panjang dan berbelit-belit, Zia
mengalah. Tapi ia tidak bisa menutupi rasa angin-anginan kala harus mengerjakan
sesuatu yang ia tidak suka. Kreativitasnya yang diharapkan pemimpin redaksi pun
enggan timbul. Ia yakin benar, dimasukkannya ia ke tim mading adalah lebih
karena tim majalah semesteran hendak dijadikan hegemoni kaum cewek centil sok
eksis. Sejak itu dan sampai sekarang Zia tidak mau ambil pusing bagaimana
kelanjutan mading LEMPERs.
Mading LEMPERs terpajang di dinding
salah satu koridor tersuram di SMANSON—tidak ada koridor yang tidak suram di
SMANSON sebetulnya—kendati koridor tersebutlah yang paling banyak dilintasi
siswa. Zia tahu, sejak berlalunya era Madam SMANSON dan naik pamornya majalah
semesteran, tidak ada seorang siswa pun yang benar-benar mengacuhkan keberadaan
mading LEMPERs. Kecuali mungkin seorang kakak kelas kurang kerjaan yang
dikenalnya sebagai Kang Detol. Zia berusaha tidak sakit hati saat mendengar
Kang Detol berkata padanya, “Tampilan mading LEMPERs kok makin ngerusak mata
aja ya?”
Zia merutuki angin yang menerbangkannya
kembali ke hadapan pemimpin redaksi umum LEMPERs—yang kini seangkatan
dengannya. Yang pandangannya menyimpan pertanyaan, “Ke mana aja kamu selama
ini, Zia?” Zia menahan-nahan desakan egonya untuk balik kanan dan tidak kembali
ke ruangan penuh keberantakan ini lagi. Zia mendesis ngeri kala melihat
mading-mading edisi lampau terkulai di pojok ruangan. Tempelannya lepas-lepas.
Seekor laba-laba merayap masuk ke balik lipatan karton. Apalagi ketika sang
pemred mengabarkan bahwa mading LEMPERs kini hanya akan diterbitkan sebulan
sekali setelah sempat vakum sementara. Suatu masa jaya yang memudar—Zia merasa
jadi lebih dapat memahami Kakek.
“Jadi, ada yang bisa aku bantu?” Zia
berusaha menyembunyikan keprihatinannya akan tampang Bang Ali—begitu ia memanggil
sang pemred yang masuk SD-nya telat itu. Pikir Zia, hebat sekali Bang Ali masih
bertahan jadi pemred. Mungkin selama itu sari-sari kehidupannya sudah disedot
para cewek centil sok eksis kebanyakan energi itu. Jam istirahat begini mereka
pasti lagi pada mejeng di kantin. Kasihan, pasti Bang Ali sudah menanti-nanti
tibanya pergantian kepengurusan. Ialah Ali Baba di sarang perawan—mungkin
seperti itu juga tampang Harry Potter tanpa surat panggilan dari Hogwarts.
Tambah lagi asumsi Zia, pantas saja Mas Imin tidak bertahan lama di LEMPERs
yang secara turun temurun memang didominasi kaum hawa.
Bang Ali mengamatinya dengan ekspresi
tak yakin. Zia berharap Bang Ali masih mau memberinya kesempatan untuk unjuk
potensi. Angan-angan Zia, orang-orang LEMPERs akan melakukan penilaian ulang
terhadapnya. Penilaian tersebut lantas berujung pada suatu fakta yang tak bisa
dipungkiri bahwa ia memang layak diperhitungkan di tim majalah semesteran.
“Kang, ini sisa kartonnya saya taruh di
sini yah.” Kepala Zia berputar sedikit ke belakang untuk mengetahui siapa yang
datang. Heh, masak yang begitu anak
mading? Tampilan fisik cewek tersebut lebih cocok untuk digolongkan ke
dalam kaum cewek centil sok eksis.
“Mading yang baru udah dipasang, Rieka?”
tegur Bang Ali.
“Baru aja tadi.” Setelah basa-basi yang
sekian lama mengacangkan Zia, akhirnya cewek itu melambaikan tangan diiringi
senyum. “Duluan yah, Kang.”
“Anak mading?” tanya Zia setelah cewek
yang mestinya anak kelas X itu berlalu. Bang Ali mengangguk. O, jadi sekarang
kaum cewek centil sok eksis sudah merambah mading juga rupanya… Zia
menyimpulkan.
“Jadi, Bang…?”
“Mmh…” Bang Ali mengucek-ngucek mata.
Kacamatanya timpang ke atas. Matanya terlihat suntuk saat berkata, “Entar lagi
kan KOMBAS mo ngadain gig.”
KOMBAS adalah Komunitas Band SMANSON,
suatu komunitas yang sejak dulu ingin Zia masuki. Namun tak kunjung Zia punya
kemahiran dalam alat musik tertentu, atau vokal, yang jadi salah satu
kualifikasi anggota.
“Kapan?”
“Besok.”
“Engh…”
“Kamu liput ya, Zia.”
Sesaat Zia merasa ada harapan liputannya
akan dimuat di majalah semesteran. Liputan sepertinya tidak termasuk rubrik
pengisi mading. “Entar buat majalah semesteran yah?”
“Buat madinglah…”
“Hah, bukannya liputan masuk majalah
semesteran yah?”
“Sekarang format mading kita udah beda,
Zia. Lagian buat majalah semesteran juga udah disediain space buat gig KOMBAS
yang lebih gede menjelang akhir tahun entar.”
Zia melebarkan bibir. Matanya memicing.
Selalu saja ia diberi pekerjaan rendahan. Keadaan mungkin akan sedikit lebih
baik sekiranya ia dulu tidak pakai mangkir segala. Sekarang ia harus mulai lagi
dari awal. Pelajaran yang sama sudah didapatkannya di SMP. Zia mengambil ekskul
jurnalistik juga, dan keaktifannya bisa dianalogikan dengan sepasang orang yang
berpacaran tanpa komitmen jelas.
Sekeluarnya dari markas LEMPERs, Zia
menuju koridor tersuram di mana mading LEMPERs terpajang. Ia tercengang,
koridor itu kini tak terasa sesuram dalam pikirannya, berkat aura ceria yang
terpancar dari kotak mading. Ternyata benar kata Bang Ali, anak kelas X
sekarang rajin-rajin dan lebih mengerti prinsip disain. Mereka tahu bagaimana
memadukan warna tulisan dengan latarnya sehingga tidak menjadi sesuatu yang
merusak mata. Penempatan gambarnya juga tidak asal-asalan. Dan mereka sangat
mumpuni menggambar dengan aneka rupa pewarna. Apa yang dipikirkan tim mading
seangkatannya waktu itu sehingga tidak kepikiran untuk berusaha membuat mading
macam demikian? Apa yang dipikirkannya
waktu itu?
Kiranya anak-anak kelas X itu memang
belum terpengaruh dengan kejomplangan gengsi di antara tim majalah semesteran
dengan tim mading. Semangat mereka masih murni. Tunggu saja sampai mereka merasakan… Zia tertawa dalam hati.
Zia menyimpulkan, tampilan baru mading
LEMPERs ini secara keseluruhan lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Ia ingin
tahu apa pendapat Kang Detol mengenainya. Jiwa Zia tersuntik sedikit semangat.
Kalau tampilan madingnya macam begini sih, rasa-rasanya ia akan bisa
menuntaskan tantangan kali ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar