Kami menginap di sebuah rumah penduduk. Di sana saya membantu apa yang bisa dibantu. Sesekali saya hanya meringkuk saja karena perut saya perih. Makin lama makin perih. Maag saya kambuh. Memang hari itu saya baru makan sekali sekitar jam 10-an. Tapi biasanya begitu saya tak kenapa-kenapa kok. Kata teman saya sih, kemungkinan karena kena angin juga makanya bisa sampai begitu.
Saya makan hanya sedikit—tidak seperti biasanya—karena perih yang mencakar-cakar lambung saya membuat saya jadi tidak bisa menikmatinya. Meskipun makanannya cukup melimpah dan gratis, sebagaimana tujuan saya semula ke sana. Satu, karena tinggal ada seribu tujuh ratus perak di kantong dan tak enak kalau sudah harus menarik duit lagi di ATM. Dengan ikut acara ini saya bisa makan gratis untuk malam itu, besok paginya, dan mungkin juga siangnya. Dua, karena jam 1 siang keesokan harinya saya ada acara di tempat yang cukup jauh dari kos kalau harus ditempuh dengan berjalan kaki, saya bisa minta diantar yang mengantar saya pulang—kalau dengan motor—ke tempat tersebut. Pragmatis sekali. Pada akhirnya sih, saya tidak mendapatkan keduanya. Yang pertama memang saya mendapatkannya. Tapi karena saya makan hanya sedikit dan tidak menikmatinya, jadi ya percuma saja.
Terlepas dari alasan logis yang menghalangi tercapainya kedua tujuan tersebut, saya menyadari memang sebaiknya kita melakukan sesuatu itu dengan niat yang ikhlas, bukannya disertai tujuan-tujuan pragmatis. Tujuan pragmatis itu padahal bisa kita dapatkan tanpa kita harus benar-benar meniatkannya. Yang harus benar-benar kita niatkan adalah ketulusan untuk membantunya itu.
Terlepas dari siksaan perih, saya meresapi pengalaman saya selama di sana dengan pikiran yang mengembara ke alam cerita saya. Kesyahduan yang dipijarkan tungku di ruang belakang, ditambah suasana malam yang melingkungi rumah pedesaan, memasukkan para tokoh cerita saya ke dalam kepala kembali. Membayangkan apa yang akan mereka lakukan jika mengalami hal yang sama. Melengkapi kepingan-kepingan cerita yang telah ada.
Memang kedua tujuan pragmatis saya tidak tercapai, namun saya merasa mendapatkan beberapa pelajaran dari pengalaman ini. Saya tidak merasa rugi karena tidak memanfaatkan malam Minggu dengan menghabiskan teenlit-teenlit yang telah saya pinjam.
Keesokan harinya, saya turun lebih cepat dari yang saya rencanakan jadi tidak terwujud tujuan pragmatis yang kedua—minta antar ke tempat acara, karena pasti belum mulai. Saya langsung pulang ke kosan. Mengaso dengan membaca teenlit-teenlit tersebut. Jadi merasa malas untuk menghadiri acara jam 1, lagipula siapa lagi yang saya bisa minta antar? Menjelang zuhur, saya tidur sampai jam setengah 2-an. Acara sudah pasti akan segera dimulai. Saya belum membersihkan diri. Siang begitu terik. Saya tidak akan ke sana. Saya akan menghabiskan siang hingga sore dengan menamatkan teenlit-teenlit ini saja.
Saya mengambil kembali “Skenario Dunia Hijau dan Cerita-cerita Lainnya”. Meneruskan untuk menamatkannya. Kali ini saya tidak bakal sambil menyambinya dengan buku lain.
Kembali ke dunia SK. Berkenalan dengan para tokohnya yang antar cerita pastinya masih saling berkaitan. Setiap tokoh dalam cerita diambil dari karya SK lainnya, biasanya berupa novel. Hm, salah satu trik promosi.
Menamatkan kumpulan cerpen tersebut. Melanjutkan membaca teenlit berikutnya dengan gembira.
Judul : Girl-ism
Penulis : Desi Puspitasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
Oh, teenlit yang amat sederhana. Seperti buku cerita anak-anak. Saya membayangkan penulisnya sendiri yang menjadi tokoh utama, hihi. Lagipula namanya sama.
Karena itulah, saya merasa, teenlit kiranya sepatutnya ditulis oleh orang yang memang sudah matang hidupnya. Halah. Maksudnya, kalau teenlit ditulis oleh remaja untuk remaja, sepertinya teenlit tersebut hanya akan menjadi curahan pikiran yang masih labil. Baiklah, saya membayangkan diri saya sendiri, yang meskipun sudah memasuki tahap remaja akhir tapi masih belum bisa memantapkan hidup. Dengan pemikiran saya yang masih mencari-cari, menimba, dan belum mantap benar ini, saya merasa kalau saya membuat cerita, maka cerita yang saya hasilkan bakal menunjukkan kelabilan saya.
Saya punya pikiran, jika seorang pengarang ingin menghasilkan karya yang berkualitas, maka seharusnya dia juga seorang manusia yang berkualitas. Setidaknya, dia sudah melewati tahap-tahap bagaimana caranya mencapai kualitas hidup. Pelajaran yang dia dapatkan saat melewati tahapan itulah yang akan dia bagi lewat karyanya. Kalau seorang pengarang belum dapat melihat dunia ini dari perspektif yang utuh, maka saya kira karyanya juga bakalan tak adil. Maksudnya, di karyanya dia menampilkan realita yang suram hingga membuat pembacanya merasa ikutan suram juga. Pesimis hidupnya. Padahal, seandainya si pengarang bisa melihat dunia dari sisi yang lain, realita yang disampaikan tidak harus sesuram itu. Dia bisa memberikan solusi yang lebih berguna ketimbang menampilkan realita yang menyesakkan. Intinya, pengarang tidak boleh picik. Harus memiliki keluasan pandang.
Tapi, kalau teenlit ditulis oleh orang dewasa yang sudah memiliki kemantapan, dia bisa memberikan lebih banyak pelajaran untuk remaja.
Dalam teenlit ini, saya merasakan nilai-nilai islami yang subtil. Tidak banyak kontak fisik, ajakan halus memakai rok untuk para putri, semacam itulah. Realistis pula. Interaksi antara Desi, tokoh utama, dengan teman-temannya sejak awal cerita pada mulanya saya rasakan sebagai hiburan (kocak sih) sekaligus suatu hal yang bertele-tele. Memang berhasil membuat saya merasa ingin mengulang masa-masa di bangku sekolah, mengisinya dengan momen-momen indah seperti Desi dan kawan-kawan, tapi kok cerita utamanya tidak sampai-sampai... Baru deh, setelah mulai agak akhir saya menemukan pelajaran-pelajaran oke dari teenlit ini.
Tidak bertaburan hal-hal menyilaukan seperti dalam karya SK memang, karena memang tidak perlu. Tanpa itu pun, esensinya sudah bisa sampai tanpa harus membuat pembaca iri.
Segera lanjut ke teenlit berikutnya!
Judul : 57 Detik
Pengarang : Ken Terate
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009
Ini loh, yang kata review yang saya temukan melalui googling ada “cerdas-cerdas”-nya. Bukan tokohnya. Penulis cerdas lebih baik daripada tokoh yang cerdas. Tokoh yang katanya cerdas tidak akan terasa kecerdasannya kalau penulisnya tidak dengan cerdas membuatnya menjadi tokoh yang cerdas. Begitulah.
Entah karena terpengaruh review yang sudah saya baca atau bukan, sejak awal membaca cerita ini saya merasa merinding. Saya tahu cerita yang saya baca ini akan memberikan kesan baik untuk saya. Dan memang.
Ciri khas Ken Terate (lah, berasa pengamat per-teenlit-an handal!) adalah menampilkan para tokohnya dengan sudut pandangnya masing-masing. Dan kuat. Pada awalnya memang saya merasa gaya bahasa ketiga tokoh dalam teenlit ini sama-sama saja. Lancar mengalir seperti air PDAM, diselipi kalimat-kalimat kocak yang bikin mendengus. Tapi lama-lama kerasa juga bedanya Nisa, yang biar anak cheers tapi karena berasal dari keluarga biasa-biasa aja terasa tabah, dibandingkan dengan temannya, Ayomi, yang kemanjaannya sebagai anak orang kaya kentara juga. Lalu ada Aji. Yang membuat saya kagum sama penulis adalah gaya bahasa Aji yang menurut saya memang sangat cowok. Seakan penulis yang perempuan bisa mengikuti jalan pikiran seorang cowok yang ngomongnya ke hal-hal teknis. Tapi, saya agak wagu juga kalau orang ngomongnya dicampur antara “gue” dengan “kamu”. Tidak konsisten. “Gue” ya pasangannya sama “lo”. Kalau “kamu” itu dengan “aku” atau “saya”. Padahal Aji ini sudah hampir sempurna jadi orang Jakarta, tapi gara-gara ngomongnya kecampur-campur begitu saya merasa dia tak ubahnya teman-teman saya yang biasa ngomong Bahasa Jawa, karena ingin gaul maka ikut-ikutan ngomong memakai “gue”. Atau “nggue”, tepatnya. Dan tidak heran kalau masih kecampur-campur juga. Dan saya kira Aji kurang banyak menggunakan istilah Kedokteran. Mungkin karena latar belakang penulisnya juga bukan dari sana kali ya.
Saya agak kecewa ketika Aji dan Ayomi pacaran. Dalam teenlit, hal itu seharusnya lumrah. Tapi karena kata Mbak Desi Ken Terate jarang menampilkan masalah pacaran dalam karyanya, saya jadi agak kecewa. Namun kemudian saya bersorak gembira ketika mereka putus lagi.
Hebatnya Ken Terate (selanjutnya KT), dia sangat menyelami para karakternya. Kita seakan mengalami apa yang mereka alami.
Dalam karya KT, setiap tokoh memiliki kelebihan masing-masing juga, sebagaimana para tokohnya SK. Para tokoh KT terasa manusiawi karena kita diajak menyelami benar permasalahan tokoh dengan potensinya, yang bisa jadi kekurangan maupun kelebihannya. Karena alurnya tipikal, pada akhirnya si tokoh ini bisa memanfaatkan potensinya dengan baik. Tidak ayal, hal ini memang memberikan inspirasi bagi pembacanya. Kadang membuat saya malas, kadang memang betulan inspiratif.
Sementara dalam karya SK, apa yang dialami oleh para tokohnya sepertinya hanya di permukaan saja. Tidak mendalam. Karena cerpen kali ya? Ah tidak, mungkin karena dia mau menyombong betapa hebat tokohnya. Sebaiknya dia fokus memanusiawikan dan menguatkan karakter para tokohnya ketimbang menyebutkan apa-apa yang hanya bisa diicip segelintir orang.
Dalam karya SK, setiap tokohnya, oke, jangan ditanya lagi. SK sepertinya lebih suka mengeksplor relasi hubungan cowok cewek ketimbang pergulatan si tokoh dalam mengelola potensinya.
Memang, cerita-cerita seperti ini (termasuk KT juga) akan berakhir dengan “semuanya akan baik-baik saja pada akhirnya kok”. Namun dalam karya SK, geregetnya itu kurang (atau tidak bisa) dikatakan kerasa. Dalam karya KT, kita diajak benar merasakan kecemasan si tokoh sehingga kita boro-boro menyadari bahwa semuanya akan baik-baik saja di akhir. Tapi dalam karya SK, kita seakan-akan tinggal mengikuti saja cerita dengan esensinya yang kurang penting itu.
Selain itu, meski mengaku nasionalis, SK rasanya banyak berkiblat pada Amerika. Menguarkan nasionalisme terasa bagai sebuah apologi.
Selesai membaca “57 Detik”, saya merasa teenlit ini memang inspiratif karena satu alasan. Satu pertanyaan muncul dalam benak saya: “Saya bisa apa?”
sumber gambar:
waaaah jadi pingin baca mb,, :)
BalasHapus