Senin, 15 November 2010

Weekend with Teenlit (Bagian 2 dari 3)

Lepas komik tadi dibaca, saya melanjutkan dengan teenlit yang satu ini.

Judul : Skenario Dunia Hijau dan Cerita-cerita Lain
Pengarang : Sitta Karina
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009

Sitta Karina (selanjutnya SK) adalah seseorang yang kolaborator-novel-jadi-pertama saya hindari. Meski kami pernah sama-sama setuju bahwa karya-karya SK terlalu menyilaukan untuk dibaca—terlalu glamor dan jauh dari hidup kami yang hanyalah remaja biasa kebanyakan, sesekali saya penasaran juga untuk membaca karya terbarunya. Begitu melihat buku ini dan tahu siapa yang mengarangnya, saya kontan mengambilnya.

Buku ini terdiri dari 20 cerita pendek yang rata-rata isinya bermuara pada satu hal: relasi antara cewek dan cowok. Ada masalah dalam hubungan mereka. Si tokoh utama—entah cewek atau cowok, kebanyakan ceweklah—akhirnya menyadari kesalahannya. Masalah diselesaikan. Hubungan membaik. Hubungan itu apa lagi kalau namanya bukan pacaran.

Tidak perlu kaget sebetulnya saat membaca karya yang satu ini. Seperti yang sudah-sudah, cerita-cerita SK menampilkan para tokoh yang seakan tidak memiliki masalah berarti. Good looking, pasti. Status sosial, ah, tidak perlu dipermasalahkan. Meskipun “katanya” mereka “biasa-biasa saja”, tapi terasa kurang meyakinkan. Prestasi, selalu ada. Pacaran, tidak ada yang perlu diperhatikan. Ujung-ujungnya pasti berakhir dengan manis.

Merek-merek yang bertaburan dengan gemerlapnya sempat membuat saya keder. Karya SK memang memberikan banyak wawasan baru. Wawasan mengenai kehidupan kaum kelas atas, terutama. Dia memang tahu bagaimana membuat cerpen yang baik (untuk para remaja kelas atas). Gaya berceritanya. Pemilihan bahasanya. Cerita tentang Bianca sang jurnalis berhasil memberikan pengaruh buat saya (tentu saja, karena saya pernah kepikiran untuk menjadi jurnalis). Oh, betapa menyilaukan karyanya ini sampai-sampai saya harus menetralisir ranah visual saya dengan menyelingi pembacaan buku ini dengan membaca buku lainnya, “Girl-ism”-nya Mbak Desi, yang jauh lebih sederhana.

Sempat muncul keminderan dan kegusaran dalam pikiran saya. Bisakah juga saya menjadi novelis yang baik? Kaya akan referensi? Memberi wawasan? Saya merasa tidak akan mampu menampilkan sebanyak yang ada di karya SK.

Bisa juga karena dunia SK terlalu jauh dari dunia saya. Kalau para konsumen karya SK membaca karya kolaborasi saya maupun buatan saya sendiri, siapa tahu mereka juga bisa mendapatkan wawasan baru mengenai kehidupan orang-orang biasa seperti saya? Ah, tapi yang seperti itu kan sudah banyak. Sepertinya jumlah masyarakat marjinal di Indonesia masih lebih banyak daripada jumlah masyarakat kelas atas yang diceritakan dalam karya-karya SK.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai kumpulan review sebetulnya. Jadi review buku yang satu bisa bersambungan dengan review buku yang lainnya. Tapi inti utamanya adalah bagaimana saya menghabiskan weekend dengan membaca teenlit dan bagaimana pengaruh teenlit-teenlit itu kepada saya.

Menjelang ashar, saya sudah membaca sebagian buku SK dan sebagian buku Mbak Desi (kenapa saya memanggilnya Mbak? Karena saya kenal dengan pengarangnya... ^^). Saya tidak mungkin meneruskannya lagi karena jam setengah 4 sudah ditunggu di kampus untuk mengikuti acara rohis yang diselenggarakan di Kalikuning. Membawanya ke sana untuk dibaca kalau sempat pun tak mungkin.

Saya ke Kalikuning dengan mobil sewaan panitia. Bersama para peserta putri dan seorang teman seangkatan yang tidak hanya sekedar diperbantukan tapi juga memiliki fungsi yang lebih penting, kami memenuhi (yang penuh sebetulnya hanya jok tengah) mobil tersebut yang merangkak naik menyusuri Jalan Kaliurang. Sepanjang perjalanan entah kenapa perasaan saya tidak enak. Bisa jadi karena sikap peserta yang sepertinya tidak ikhlas mengikuti acara ini karena dipaksa (saya mengerti betapa tidak enaknya perasaan itu, jadi bisakah bersikap cuek seperti saya dan menjadi penggembira saja?). Bisa jadi karena gaya bicara teman saya yang kurang saya sukai. Diperkeruh dengan seorang pengendara motor di tengah jalan yang seolah ingin cari gara-gara dengan si sopir. Ditambah dengan kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dari kami yang tahu persis di mana lokasi acara. Tidak ada panitia yang menuntun di depan pula. Perasaan saya makin tidak enak saja. Kegusaran mengenai masa depan saya sebagai novelis, jurnalis, apapun yang berkaitan dengan kegiatan kepenulisan asal berupa karya kreatif—bukannya laporan keuangan apalagi penelitian—semakin membuat pikiran saya butek.

Mobil berhenti beberapa puluh meter dari gerbang masuk kawasan taman nasional. Baik teman saya, para peserta, sampai si sopir, menelponi panitia untuk menanyakan ke mana jalan yang benar... Tercetus inisiatif untuk ikut menjadi problem solver. Tidak terus berkubang dalam pikiran akan masa depan suram. Mobil balik haluan. Turun. Belok. Naik lagi. Berhenti lagi di gerbang masuk. Mentok. Lagi-lagi kami harus berhadapan dengan para petugas yang akan menagih biaya masuk.

Berniat ikut mengentaskan masalah, saya turun diekori teman saya. Saya bilang kami dari Kehutanan UGM. Kata panitia, kami bisa langsung lewat tanpa membayar. Kata seorang petugas, memang panitia telah membayar untuk 40 orang. Tapi yang lewat gerbang ini dari pihak kami sudah lebih dari 40 orang jadi kami tetap harus membayar. Kami kembali ke dalam mobil. Mengkonfirmasi panitia. Akhirnya ada yang tersambung. Akan ada panitia yang menyusul kami dan mengurus masalah ini. Menunggu. Terlihat sebuah motor yang diboncengi dua orang putra datang dari atas. Mereka yang kami tunggu-tunggu. Sambil menunggu mereka bernegosiasi, peserta yang duduk di jok tengah ada yang turun. Si sopir juga ikut-ikutan turun. Karena pintu di sampingnya tidak bisa dibuka, maka dia harus lewat pintu satunya. Peserta yang duduk di sebelahnya jadinya harus ikut turun. Semua peserta akhirnya turun, selain kami yang memang dari awal duduknya di jok belakang: saya, teman saya, dan seorang peserta.

Tak berapa lama setelah hanya tinggal kami bertiga saja dalam mobil, teman saya menyadari bahwa mobilnya kok turun sendiri. Mendengar ucapan teman saya, saya jadi sadar juga. Walah! Rupanya rem tangannya kurang kencang!

Di belakang kami ada sebuah motor. Mas-mas yang nangkring di atasnya sepertinya sedang sibuk mengambil sesuatu dari jaketnya, tidak menyadari bahwa mobil yang kami tumpangi sedang melaju turun, bakalan menabraknya!

Kami bertiga berteriak-teriak panik sambil menggedor-gedor pintu belakang. Berharap agar si mas-mas di atas motor itu ngeh dan segera menyelamatkan diri sebelum terjadi kecelakaan...

Alhamdulillah, dia pergi. Tapi mobilnya terus berjalan mundur! Orang-orang terasa jauh berada di depan. Saya sudah takut saja mobil ini bakal terus turun sampai bawah, makin cepat, menabrak apapun di belakangnya, memunculkan semakin banyak kerusakan dan kecelakaan. Dan bagaimana nasib kami selanjutnya?! Dua pintu samping yang terbuka lebar terdengar. Rupanya tertahan oleh tiang listrik di pinggir jalan. Bukannya, memperlambat laju mobil, kedua pintu itu akhirnya rusak dan tidak bisa ditutup lagi!

Akhirnya, panitia, para peserta, sopir, dan beberapa lainnya yang menyaksikan dapat juga menahan mobil.

Huff, lega...!

Setelahnya, seorang peserta tidak mau naik mobil lagi. Dia memilih untuk mengendarai motor panitia saja. Tidak ada peserta yang mau duduk di boncengan sama dia sementara dia di depan. Karena sudah kadung kesal (dengan segala pikiran dan perasaan tidak enak ditambah insiden tadi), saya mengalah. Saya mengambil helm, turun dari mobil, mendatangi anak itu, dan mengatakan saya akan menemaninya.

Kemudian, saya tahu kenapa tidak ada teman-temannya yang mau boncengan dengan anak ini. Dia bisa mengendarai motor tapi tidak cukup lihai di jalan yang turun naik seperti ini. Dia bahkan kelihatan tidak mumpuni membelokkan motor sementara mobil sewaan sudah kembali melaju. Weks... Saya tahu nyawa saya justru bakal lebih terancam ketika boncengan motor dengan anak ini daripada ketika berada dalam mobil celaka tadi. Sambil menaiki motor tersebut, saya memperingatkan anak itu beberapa kali agar hati-hati.

Saat itulah saya sadar. Setelah pikiran negatif akan masa depan saya di bidang kepengarangan yang terancam suram, mendadak hasrat hidup saya naik. Saya belum mau kehilangan nyawa sekarang. Hanya satu alasan terlintas: masih ada draft-draft cerita saya yang harus saya kerjakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain