Datang kabar bahwa suami Mrs. Mallard meninggal dunia. Sesaat Mrs. Mallard menangis lalu ia menyendiri di kamarnya. Ia menyadari betapa bebas hidupnya kini. Ia merasa akan dapat hidup lebih lama. Ia pun ke luar kamar lagi karena terus menerus dipanggil saudarinya. Selagi menuruni tangga, pintu depan terbuka. Sang suami yang dikatakan telah tiada muncul di sana. Dan, when the doctors came they said she had died of heart diseases—of joy that kills. Semua itu terjadi dalam waktu sejam—kalau menilik judulnya.
Awalnya memang Mrs. Mallard tampak sedih akan kematian suaminya. She wept at once, with sudden, wild abandonment, in her sister’s arms. When the storm of grief had spent itself she went away to her room alone. Jika tak diberitahu apa yang ia alami kemudian di kamarnya, kita mungkin akan mengira kesedihan itu tulus.
Di kamarnya yang nyaman, ia coba lepas dari kelelahan psikis yang membayanginya. Butuh waktu untuk meredakan kekagetan akibat kabar yang mendadak ini. Suasana musim semi yang adem ayem memberi kontribusi terhadap penenangan jiwanya. Ini tersaji dalam paragraf empat hingga paragraf tujuh, di mana pada paragraf delapan hingga paragraf sepuluh ialah yang mengantarkannya pada ucapannya, “Free, free, free!” hingga “Free! Body and soul free!” she kept whispering.
Mrs. Mallard tampaknya telah mengalami pernikahan yang mengekangnya. And yet she had love him—sometimes. Often she had not. Tak dideskripsikan benar mengapa ia sampai merasa begitu bebas saat mengetahui bahwa suaminya telah tiada. Hanya kalimat-kalimat yang menggambarkan perasaannya. There would be no one to live for her during those coming years; she would live for herself. Spring days, and summer days, and all sorts of days that would be her own. Atau mungkin karena persepsinya sendiri akan cinta. What could love—the unsolved mystery, count for in face of this possession of self-assertion which she suddenly recognized as the strongest impulse of her being.
(Unhappened) joy that kills, saya kira inilah tema yang pantas bagi cerpen ini. Mrs. Mallard sudah hampir meraih kebahagiannya dengan bayangan akan kebebasannya melalui hari-hari esok sendirian, namun mendadak suaminya tak jadi mati. Kaget karena tak jadi bahagia lebih fatal memberi akibat rupanya. Bukan lagi membuat air mata tercucur, melainkan mematikan. Malang nasibmu, wahai Nyonya… Saya kira akurat saja sang dokter memberi diagnosis bahwa Mrs. Mallard kena serangan jantung.
Atau bisa jadi saya salah tafsir. Mrs. Mallard meninggal bukan karena kaget dua kali, melainkan karena memang saking bersukacitanya ia, sampai-sampai itu membunuhnya. Kebebasan yang membunuh? Barangkali memang Mrs. Mallard sudah punya masalah dengan jantungnya.
Menjadi ironi ketika Mrs. Mallard menyangka hidupnya akan lebih lama karena kematian suaminya itu, she breathed a quick prayer that life might be long, dalam waktu kurang dari sejam kemudian justru suaminya yang masih hidup sementara ia yang menyambut ajal. Maut memang tak bisa diprediksi—sebagaimanapun kita mengharap umur yang panjang.
Pernikahan. Ada yang harus dikorbankan untuk menebusnya, ialah kebebasan. Jika kita ingin menikah, kita harus siap terikat dengan keluarga baru yang akan terbentuk. Dengan suami atau istri. Dengan anak-anak. Kita tak bisa lagi sepenuhnya jadi diri kita. Pasangan hidup mendamba yang terbaik dari kita. Anak-anak membutuhkan teladan dari kita. Keduanya membutuhkan perhatian dari kita. Bagaimanapun menikah adalah cita-cita terbesar saya. Saya mungkin rela melepas kebebasan saya jika itu dapat membuat saya menjadi perempuan yang lebih baik, bagi-Nya.
Saya jadi teringat film “The Painted Veil”. Tokoh utama perempuan justru menikah untuk mendapatkan kebebasannya. Ia ingin lekas lepas dari keluarganya. Namun sebagai istri dari suaminya ternyata malah menggiringnya ke cangkang baru. Ia coba mencari kebebasannya tapi cinta sejati justru muncul dari pengabdian. Semoga saya tak salah tangkap.
Itulah bagaimana jika kebebasan dikaitkan dengan pernikahan. Namun jika kebebasan dikaitkan dengan hal lain, akademis misalnya, kiranya saya akan sukar ikhlas kalau kebebasan saya dari hal itu direnggut. Waktu untuk mengarang diganti waktu untuk mengerjakan laporan misalnya, itu akan jadi suatu ketidakrelaan yang kabur antara mana yang lebih penting, lebih baik, lebih benar untuk diperjuangkan. Seperti lirik yang disajikan Chaseiro dalam lagunya, “Mari Wong”, jauhkanlah dunia berganda/ ke manapun kau pergi/ tak akan sampai…
Ke mana pun kebebasan dicari, tampaknya harus selalu ada yang dikorbankan. Bisa jadi itu kesempatan untuk mengembangkan hal lain, bisa jadi pula itu nyawa.
(dari “The Harper Anthology of Fiction” oleh Sylvan Barnet, 1990)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar