Rabu, 23 September 2009

Sorry. I Left You, Darling

#1

 

Beberapa tahun yang lalu sebuah iklan kacang menyatakan bahwa kebanyakan bengong bisa bikin ayam tetangga mati. Entah apa hubungannya, yang jelas di sini tidak ada ayam. Yang ada hanyalah hewan laut yang beku, dimasak, disajikan, diluncurkan ke dalam lambung manusia, mendekam di sana beberapa lama, dikeluarkan, lalu digelontor bersama air kloset.

Mungkin memang salah Rieka terlalu lama memandangi dudukan kloset sementara ponselnya terus memancarkan radiasi panas ke telinga. Tertutup dari hiruk pikuk orang-orang yang sedang tertawa sambil tangan mereka lincah mengais-ngais daging kerapu atau gesit menguak cangkang lobster.

Rieka ingat apa yang dibicarakannya selama kurang lebih setengah jam itu di mana sesekali ia harus ambil nafas menghirup bau pewangi toilet.

“Kalau aja tadi gue nggak nyela mereka, ngasitau mereka kalo gue kenal si Flora anak SMP 2, nggak tahu deh apa lagi yang bakal mereka bacotin. Cowok tuh kalo udah ngumpul sama sesamanya gitu, ya? Serem gue... Nggak, cowok gue sih ya cuman ketawa-ketawa aja gitu... Iya, iya... Kapan-kapan kita ajak anak-anak ke Maribaya juga yuk. Asik sih sebenarnya tempatnya cuman gue ngerasa kurang nyaman aja tadi. Nggak tau, temennya dia pada aneh-aneh gitu. Nggak ngerti gue, pada ngomongin apa aja tadi mereka. Eh, udah dulu ya, kayaknya gue udah kelamaan di toilet deh... Yuk, bye, honey, ntar malem gue call lagi deh.”

Rieka menekan tuts bergambar gagang telpon merah sembari mendorong pintu toilet. Harum masakan seafood tersibak mendesaki rongga hidungnya sepanjang perjalanannya menuju meja nomor 2, di mana didapatinya bangku-bangku yang mengitari meja panjang tersebut telah kosong. Tinggal perabotan makan kotor yang tersisa di atas meja.

Meski kini tengah bertopang dagu di atas dudukan semen di luar pelataran rumah makan seafood di Jalan Cilaki tersebut, Rieka tidak sedang bengong. Ia hanya bisa terdiam entah karena ia terlalu kaget, bingung, atau marah. Seperti ada penabuh taiko sedang menggebuk-gebuk bagian dalam dadanya. Serasa ada toaster juga menempel di mukanya.

“Nunggu jemputan, Neng?” Satpam berbaju oranye itu tergugah melihat seorang nona cantik di bawah pancaran sinar lampu jalanan tampak bengong sendirian.

Rieka menatap orang itu sekilas lalu membuang muka. Dicarinya nomor Dean di dalam ponselnya lalu ia tekan tuts bergambar gagang telepon hijau. Terdengar Symphony no. 4 Beethoven menjawab panggilannya lalu suara seorang wanita yang dengan angkuh mengatakan, “Maaf, nomor yang Anda panggil tidak menjawab.”

Sekali lagi.

Sekali lagi.

Berkali-kali lagi.

Rieka mendesah namun kegondokannya semakin tumbuh saja. Ia menatap nanar aspal, tak memedulikan mobil-mobil dan motor-motor yang berseliweran di hadapannya maupun datang dan pergi dari halaman parkir di sebelahnya. Seperti ada gumpalan kusut lidah api di otaknya, di hatinya, di seluruh tubuhnya.

“Pak Sam, aku di Cilaki. Rumah makan C 17.” Rieka mendongak mencari-cari petunjuk yang menandakan keberadaannya lalu ia berbicara lagi dengan suara sedingin es dan sekeras batu, “Sekarang.”

.        

Puluhan kenangan di Maribaya yang terekam dalam kamera digital membangkitkan gairah sekawanan anak muda di pelataran salah satu rumah di Jalan Jawa. Lampu jalanan di atas menjadi penerang bagi mereka yang mulai kelaparan lagi setelah tadi habis makan malam di Jalan Cilaki. Sementara sepanjang siang hingga senja sebelumnya mereka habiskan Sabtu nan luang tersebut untuk konvoi bermotor ke Maribaya. Masih segar pengaruh dari rentetan gurauan tak jelas dan tawa lepas yang mereka keluarkan di sana.

Salah satu kenangan itu adalah kenangan akan cewek-cewek manis yang sempat mereka temui di pinggir jalan setapak. Si pemegang kamera digital menekan-nekan tuts agar gambar fokus pada bagian tubuh tertentu dari salah satu cewek.

“Wooo...” Mereka terkesima. Dean tidak melepaskan pandangannya dari gambar, yang dari posisinya berdiri sekarang terlihat begitu kecil dan tidak jelas itu, meski tengah sibuk merogoh-rogoh saku celananya. Beberapa detik sebelum ‘wooo...’ yang ramai itu ia menyadari ponselnya berbunyi. Dean menduga jangan-jangan itu ibundanya yang menyuruhnya segera pulang. Habis sudah keriaan malam ini kalau begitu. Masih menatap layar kamera yang sudah berganti gambar, Dean menempelkan ponsel ke telinganya.       

“Ha... Eh, belum diteken tombolnya, halo? Bun...”

“Kamu di mana?” terdengar suara beku di seberang sana.

Kening Dean mengkerut. Ini siapa sih? Tubuhnya serasa dihunjam paksa masuk ke dalam bumi saat melihat nama yang tercantum di layar ponselnya. Semua temannya menoleh kaget ketika mendengar jeritan umpatannya. Refleks ia menutup mulutnya dan berjongkok. Kini ialah pusat kerumunan teman-temannya. Mereka memperhatikan bagaimana teman jangkung mereka hampir menjatuhkan ponselnya. Tangannya gemetar menutup lubang bicara. Dengan wajah pucat ia menyeringai, “Kok nggak ada yang ngingetin gua sih?”         

“Ngingetin apa?” Salah satu temannya berkata bingung. Yang lainnya menunjukkan kebingungan yang sama.

Dean berbisik gugup, “Cewek gua ketinggalan di C 17!”

“Haaa...?” Kontan semua kaget bukan kepalang. Mereka juga baru ingat kalau bulan ini teman mereka itu telah resmi melepaskan status “lajang”-nya menjadi “sudah menikah”—di Facebook. Seorang teman lugu yang mereka kira akan menjadi jomblo abadi. Kebahagiaan Dean kebahagiaan mereka juga. Mereka masih ingat bagaimana lezatnya ditraktir sobat periang mereka itu di Hartz Chicken Buffet. Suatu kemenangan besar karena setelah hampir 7 tahun mendamba akhirnya di-acc juga!

Sehingga ketakutan Dean menjadi ketakutan mereka juga. Mengamati ekspresi dan tingkah lakunya sungguh membuat debar jantung mereka berdetak lebih cepat. Tanpa disadari wajah mereka juga memucat meski mereka tidak bisa mendengar luncuran kalimat demi kalimat yang tengah membuat tubuh Dean panas dingin.

“Kamu ke mana?” ulang suara itu lagi. Beku, karena mendinginkan sekujur tengkuk hingga punggung Dean.

“...”

“Kamu ke mana, Sayang? Pergi kok nggak bilang-bilang?”

“...”

“Kamu tau udah berapa lama aku nunggu di sini?”

“...”

“Kamu emang lupa kalau aku ikut sama rombongan kalian atau, ah, nggak mungkin kan kamu sengaja ninggalin aku?”

“...”

“Halo, Dean... Kamu masih di situ? Say?”

“...tut...tut...tut...”

Sebelumnya sudah ada 13 kali panggilan dari nomor yang sama. Lunglai tubuh Dean sebelum kemudian dengan beringas menjambak rambutnya. “Aarrrgghhh...! Gua mau balik ke Cilaki!”

Cepat Dean bangkit dan menduduki motor berkoplingnya. Terdengar suara klik pengaman helm dipasang, pedal diinjak, dan gas diputar. Tercium asap BBM membumbung ke udara, dibuang dari lubang knalpot yang semakin menjauh.

.

Bulatan-bulatan gelap muncul pada permukaan jins biru. Jumlahnya perlahan bertambah sampai akhirnya berhenti sama sekali. Rieka menarik sehelai tisu dari atasnya dan dilapnya air mata yang membasahi wajahnya dengan tangan yang masih menggenggam ponsel. Ia tidak mengindahkan tatapan prihatin supirnya yang duduk di jok sebelah. Pria paruh baya itu sudah terdiam bersamanya di dalam sedan baru hitam metalik ini selama kurang lebih setengah jam. Masih di pelataran C 17. Sesekali ia menengok ke luar jendela, menahan jemu akan kejengkelan nonanya yang belum juga bisa menghubungi kekasih barunya.

“Sabar, ya, Neng, mungkin emang belum saatnya Neng nemuin orang yang tepat.”

Rieka menggeleng. Sesungguhnya ia ingin tertawa. Geli karena kenapa ia harus sampai menangis hanya karena masalah yang seperti ini.

Hanya karena masalah yang seperti ini?!

“Cowok lo, pergi ninggalin lo gitu aja, bareng temen-temennya yang nggak jelas itu, dan lo cuman bilang, ini bukan masalah besar, mungkin dia emang lupa atau apa. Lo ngerasa nggak sih, lo tuh kayak nggak dianggep gitu ama dia? Seorang Raden Rieka Ayu Dewi Satyawinata, ditinggalin gitu aja— ”

“Udah deh. Lo tau kan dia itu orangnya kayak gimana?” Rieka masih ingat pembicaraannya dengan sobatnya di telepon beberapa menit lalu. “Selama ini gue berjuang buat ngedapetin versi cerdasnya dia dan lo inget yang gue dapet cuman pernyataan ‘maaf, saya nggak pacaran’ dan...”

“Tapi bukan berarti lo dengan mudahnya bisa nerima kembarannya yang jelas-jelas nggak qualified itu? PR aja masih dikerjain kakaknya? Selalu ngelupain tugas piketnya? Cuman duduk-duduk santai sementara temen-temennya disuruh muterin lapangan Jurassic 15 menit? Ayolah, Rieka, biasanya lo tuh pilih cowok yang bener, mana harga diri lo?”

“Er, udah, Er, ini keputusan gue. Lagian lo kan temenan baik juga ma dia.”

“Dia emang enak buat dijadiin temen tapi kalau buat dijadiin cowok, apalagi awas ntar kalau jadi bakal suami, a very big no-no! Gue nggak percaya lo bisa senaif itu nerima dia cuman gara-gara dia udah ngidam ama lo dari kelas 5 SD!?”

“Ah, udah, ah, Er. Kok lo malah jadi ngedakwa gue gitu sih?” Tiba-tiba Rieka menjadi tidak yakin atas perasaannya sendiri. “Gue mau coba telpon dia lagi, siapa tahu aja nyambung. Dah, Erna.”

“Masih mau nunggu Dean, eh, cowoknya, Neng?” Bukan salah Pak Sam kalau ia cukup akrab dengan pacar terbaru majikannya ini sampai fasih menyebut nama.

Waktu mereka masih SD, kadang-kadang Dean dan saudara kembarnya ikut menumpang pulang sampai ke rumah. Sebetulnya saudaranya itulah yang diajak nebeng. Siapa ya namanya? Oh, ya, Deraz. Deraz lalu mengajak saudara kembarnya ikut serta. Waktu itu mereka seakan tidak bisa dipisahkan. Lagipula lebih banyak Dean yang bicara ketimbang Deraz. Rieka tidak begitu suka menanggapi Dean. Ia malah mencoba menginisiasi pembicaraan dengan Deraz. Akhirnya Pak Samlah yang meladeni keaktifan Dean. Anak itu begitu periang dan mudah mengakrabkan diri dengan orang baru. Sementara saudaranya malah tidak banyak bicara. Deraz hanya menanggapi Rieka seperlunya saja.

Beranjak SMP, Rieka beda sekolah dengan si kembar. Meski sekolahnya masih bersebelahan, tapi mereka jarang bertemu. Si kembar pun tidak pernah menebeng kendaraan lagi. Namun sesekali Pak Sam bertemu dengan mereka. Dean akan melambaikan tangan dengan ceria dan kalau mungkin maka ia akan mendekat dan ngobrol sebentar sementara saudaranya lebih suka melempar senyum saja.

Saat SMA, mereka bertiga satu sekolah lagi dan entah apakah itu sebabnya sehingga Dean jadi suka mengunjungi rumah Rieka. Kalaupun tidak bertemu gadis pujaannya, baik karena sang pujaan tidak mau atau memang sedang tidak ada di rumah, maka Dean hanya akan bercakap saja dengan Pak Sam, atau Pak Toyib—satpam rumah, atau Mang Kardi—tukang kebun, dan pekerja lainnya di rumah gedung tersebut.

Teguran Pak Sam disambut oleh wajah sayu. Tidak ada harapan bagi cowok yang begitu saja memutus telepon di saat seorang R. R. A. D. Satyawinata sudah berbaik hati mengklamufase getaran amarah dengan gelombang beku. Bukan itu saja sebetulnya. Ia juga sakit hati karena begitu saja ditinggal di rumah makan yang jauh dari rumah, di tengah malam yang dingin. Juga karena ketidakacuhan yang harus dengan pahit diterimanya selama di Maribaya tadi. Mereka lebih tertarik menggoda cewek-cewek kampung yang mereka papas di jalan. Baru kali ini ia diperlakukan seperti itu dan ia merasa terhina. Mereka tidak tahu ia cewek yang punya reputasi!

Bahkan Dean pun sepertinya jadi tak berarti kalau tak ada teman-temannya. Ia lebih banyak bergurau dengan teman-temannya ketimbang memilih menyepi berdua dengan Rieka seperti pasangan-pasangan lainnya di Maribaya. Ketika sekalinya kesempatan itu terjadi, berdiri berdua di depan hamparan lautan kabut diselingi bercak-bercak kanopi hijau, cuman satu kalimat yang ke luar dari mulut Dean, “Bagus, ya?”

Cowok itu tersenyum dan kembali menghampiri teman-temannya sementara Rieka melepas harapan akan dirangkul atau apa yang akan membawa mereka ke tahapan selanjutnya.

Cowok itu juga jadi ikut-ikutan tidak mutu bicaranya (meskipun biasanya juga tidak). Saat mereka sempat tertinggal berdua saja di belakang, cowok itu menegurnya, “Rieka, nama kamu mirip sama artis sinetron ya?”

“Siapa?”

“Rika Roeslan.”

Rieka mengerjap-ngerjapkan matanya. “Itu bukannya nama penyanyi?”

“Oh. Eh, bukan itu deng, Rieka Dyah Pitaloka!”

“Itu Rieke.”

Mengingat kejadian itu membuat Rieka mual. Ia menggeleng pelan.

“Yakin, Neng?” goda Pak Sam.

Rieka mendecak. “Ah, bapak ni... Langsung pulang aja deh, Pak!”

“Yah, ya sudahlah, Neng, namanya orang lupa ini... Besok paling datang ke rumah bawain bunga ama coklat, kayak di film-film...”

“Kok malah belain dia sih, Pak?” cecar Rieka galak. “Dan ide ngedatengin rumah sambil bawa bunga dan coklat trus minta maaf itu norak banget tau, nggak?”

Pak Sam tidak berbicara lagi. Ia sudah paham akan tabiat majikan mudanya itu. Melajulah sedan tersebut tanpa menyadari di belakangnya ramai menyusul bunyi klakson entah berapa motor. Bunyi raungan motor yang sedang dipacu maksimal gasnya menyertai. Sekelebat bayangan yang bergerak cepat terlihat dari sisi jendela Pak Sam yang lantas menekan pedal rem kuat-kuat.

“Astagfirullah!” teriaknya sementara Rieka menutup mulutnya.

 Motor nyeleneh itu tahu-tahu membuat gerakan menikung dan berhenti tepat di mulut bemper. Posisi motor yang miring 45o itu membuat pengemudinya hampir jatuh. Motor besar itu lalu ia biarkan saja dalam posisi tidur sementara ia berjalan terburu-buru ke jendela sebelah kiri. Di baliknya Rieka masih memegangi dahinya yang nyut-nyutan karena membentur dashboard dengan keras saat pengereman mendadak terjadi. Rieka dan Pak Sam memang tidak bisa melihat wajah si pengemudi yang terbungkus helm itu, tapi dari gerak-gerik slebornya mereka tahu pasti itu siapa.

Sambil mencopot helm, pengemudi itu balik lagi ke motornya. Ditaruhnya helm hati-hati di samping motor kemudian ia kembali lagi ke tujuannya semula. Diketuknya jendela dan tercengang mendapati raut muka yang menyambutnya. Cepat-cepat Dean mengalihkan pandangannya ke arah Pak Sam lalu meringis.

“Makasih, ya, Pak Sam, bapak ngeremnya tepat waktu. Jempol deh, Pak.”

“Heh! Lain kali jangan begitu, Nak! Membahayakan nyawamu sendiri! Kalau kamu nggak selamat dan saya nggak ngerem secepat itu trus kamu ketabrak gimana?!” Pak Sam tak main-main menyemprot Dean yang mundur karena Rieka hendak membuka pintu mobil. Dibantingnya pintu itu dan ditatapnya Dean serius. Ragam perasaan bergumul di dadanya. Ia hanya mampu melampiaskannya lewat mata saja tapi tak tahu bagaimana harus mengucapkannya dengan mulut. Bisa ia rasakan kegugupan Dean, akan aksi nekadnya tadi, dan mungkin terlebih karena urusannya dengan Rieka. Sepasang bola mata Dean ganti menatap Pak Sam dan Rieka. Kini jadi ada dua masalah yang harus diselesaikannya.

“Pak Samsudin, maafin Dean, ya, Pak. Abis tadi mobilnya keburu jalan sih terus... ng, eh, nggak kepikiran cara yang lain. Entar keburu sampai rumah...” Dean mengelus lehernya. “Tau kan, Pak, kalau Rieka udah masuk rumah entar Dean susah nemuinnya lagi...”

Dean jadi makin salah tingkah. Ia menghindari tatapan tajam Rieka dengan memandang ke sekeliling. “Bintangnya bagus ya. Bintang yang gede-gede gitu pasti nyalanya panas banget deh. Hehe, kayaknya ada yang lagi panas...”

“Lain kali jangan begitu, ya, Yan. Kalau kamu sampai kenapa-napa kan saya juga yang susah. Nggak perlu sampai mengorbankan nyawa buat mengejar orang yang kamu cintai.”

Rieka mendelik ke arah Pak Sam yang jadi sama salah tingkahnya dengan Dean. Kembali ditatapnya cowok jangkung di hadapannya. Lama, hingga membuat cowok tersebut semakin kikuk.

“Maafin Dean, ya?”

“Kamu kenapa ninggalin aku tadi?”

“Aku lupa.”

“Beneran?”

“Bener, Rieka. Masak Dean ngeboong. Coba deh tanya temen-temen Dean.” Dean mengerling ke arah sekompi teman-temannya yang tengah asik menonton dari belakang mobil.

Rieka menoleh sebentar lalu masih cemberut ia berucap, “Kamu boong sama ibu kamu, kan. Bilangnya hari ini cuman mau jalan ma aku tapi kamu nggak bilang kalau kita jalannya ampe Maribaya sama temen-temen kamu.”

“Ih, ya, nggak, Rieka. Kalau aku boong tuh aku bilang ma ibu aku, aku mau ngajak kamu ke BIP padahal ke Maribaya...” Takut-takut Dean membalas tatapan Rieka. “...tapi emang tadi aku bilang gitu sih... He.”

“Kalau aku sengaja ninggalin kamu ngapain aku balik ke sini lagi?” kata Dean lagi.

“Bisa aja kan kamu males bareng aku terus dan lebih milih jalan ama temen-temen kamu.”

“Nggak kok.” Dean tidak tahu lagi harus bicara apa karena ia memang hanya punya satu alasan yang sudah dikemukakannya tadi: lupa. Dan ia ingin urusan ini cepat-cepat berakhir dan segera pulang kalau tidak ia tak akan kuat untuk bangun menonton Arsenal dini hari nanti. “Maaf ya, Rieka...”

Dean tak menduga Rieka malah memeluknya erat. Terdengar suit-suitan dan tepukan tangan dari arah belakang mobil. Disusul oleh serentetan bunyi klakson mobil. Bukan Pak Sam yang melakukannya melainkan mobil di belakang gerombolan teman-teman Dean. Pak Sam segera meminggirkan mobilnya sementara teman-teman Dean kompak menyingkirkan motor.

“Dean, kamu tuh inget dong kalau kamu udah punya aku.”

“Iya, Rieka...” jawab Dean lirih. Ia merasa darah di sekujur tubuhnya menggelegak.

“Jangan bodoh lagi ya?”

“Hah?”

“Untung kamu nggak sampai kegilas Pak Sam tadi.”

Rieka sudah mendengar beberapa orang dengan keji berpendapat bahwa Dean mendapatkan pembagian nutrisi yang tidak merata saat masih janin di dalam rahim. Jelas Deraz mendapatkan yang terbanyak. Rieka tidak menyetujui pendapat ngasal itu tapi jelas ia sependapat kalau Dean agak tolol. Tapi itu dulu, sebelum Dean memainkan piano untuknya. Dalam suatu kunjungan ke rumah Dean, Dean segera menariknya ke ruang tengah dan mendudukkannya di sofa. Ia sendiri duduk di kursi piano.

“Rieka pernah nonton Nodame Cantabile?”

“Apa itu?”

“Drama Jepang. Lucu loh.”

Rieka menggeleng. Ia memang tidak terlalu menggemari drama Asia. Tidak disangkanya Dean punya selera seperti itu. Tanpa menjelaskan lebih lanjut Nodame Cantabile itu apaan, ceritanya bagaimana, dan sebagainya, ia berceloteh lagi sementara jemarinya—yang baru Rieka sadari begitu lentik—menari di atas tuts-tuts piano, memainkan melodi tak beraturan namun tetap terdengar indah. Ia tak pernah menyangka bahwa Dean, yang di sekolah hanyalah cowok periang yang tak bisa apa-apa dan lemah dalam banyak hal tapi tetap disukai semua orang, ternyata begitu berjaya jika sudah disandingkan dengan piano. Mungkin dia semacam Nobita, yang lemah dalam pelajaran, berkelahi, dan memikat wanita, tapi diam-diam memiliki keahlian menembak dan main karet. Katakanlah, idiot savant, begitu? Rieka tak sampai hati mengatainya begitu. 

“Nodame bilang musiknya Mozart itu warnanya merah jambu.” Rieka baru tahu musik punya warna. “Menurutku juga kayak gitu.”

“Terus?”

“Terus...” Baru kali ini Rieka terpikat pada kerlingan mata Dean padanya. “Ini Mozart buat kamu.”

Setahu Rieka Mozart biasanya buat bayi. Tapi, ah, sudahlah, yang ia inginkan kini hanyalah menikmati denting-denting indah yang ditujukan khusus untuknya. Membuatnya serasa terbang ke negeri merah jambu dengan istana hati dan hamparan mawar berwarna senada. Rieka mendadak sentimental. Ia menyadari Deraz juga tengah berdiri di kusen pintu, mendengarkan permainan Dean yang seakan tanpa cela. Dulu ia tak akan melepaskan pandangannya dari Deraz kalau cowok itu sedang berada di dekatnya. Namun kini cowok tersebut terasa tak seindah dulu lagi. Setidaknya kalau dibandingkan dengan, musik apa ini judulnya? Dean barusan menyebutkannya tapi Rieka hanya seperti mendengarkan serentetan kalimat berbahasa latin. Baru kali ini ia benar-benar dapat menikmati musik klasik tanpa jatuh tertidur. Rieka juga dibuat takjub karena ternyata Dean bisa memainkan Canon in D—satu-satunya judul yang Rieka tahu—tak kalah memukau dengan saat Deraz memainkannya dengan gitar sewaktu audisi band sekolah.

Dean terus memainkan pianonya dengan melodi-melodi yang asing bagi telinga Rieka namun anehnya tetap terasa indah. Mungkin karena Dean yang memainkannya? Sejak itu Rieka merasa benar-benar jatuh hati pada cowok yang selama hampir 7 tahun kerap ia hindari.

“Pulang yuk, Rieka. Aku antar.”

Teguran Dean membuat kenangan indah Rieka buyar.

“Ayo.” Senyum Rieka mengembang. Dean megap-megap rasanya dibuatnya. Ia tak pernah menyangka bidadarinya kini terasa benar-benar nyata di dekatnya. Memeluk tubuhnya pula.

Malam itu setelah penghormatan terakhir dari teman-teman Dean, Rieka dibonceng pulang oleh Dean dengan Pak Sam mengekor di belakang. Senyum lebar tak pernah pudar dari wajah sepasang muda-mudi tersebut.

Lewat telepon, Dean memperdengarkan permainan pianonya pada Rieka yang tengah bersiap tidur.

“Apa judulnya, Dean?” Rieka berguling di atas kasur empuknya. Daster longgar sudah mengganti kaos dan celana jinsnya.

“Rhapsody in Blue-nya Gershwin. Perhatiin deh, awalnya agak menegangkan tapi akhirannya ceria.” Terdengar suara Dean menahan senyum. “Kayak kita tadi, hehe...”

.

 

#2

 

Dean masih ingat sebuah iklan yang marak diputar di TV beberapa tahun yang lalu. Dalam iklan yang menjual produk kacang tersebut dikatakan bahwa kebanyakan bengong bisa bikin ayam tetangga mati. Dean tidak tahu apakah yang dikatakan iklan itu valid atau tidak tapi dia bisa memastikan semua ayam yang ada di ruangan ini jelas-jelas sudah mati. Sebagian dari mereka jadi semur, sebagian dari mereka terjepit di antara lapisan roti, sebagian dari mereka dipanggang, dan entah bentuk transformasi apalagi yang jadi nasib mereka. Dean tak habis pikir, kenapa perbuatan bengong bisa sampai membunuh ayam? Padahal orang yang sedang bengong kan tidak mengusik apapun yang ada di sekitarnya. Bergerak saja tidak. Ya, sebagaimana yang dilakukannya kini di pojok ruang tengah sebuah kafe di kawasan pusat kota yang disulap menjadi ruang pesta. Ia tidak berminat pada siapapun di ruangan ini. Pikirannya tidak di sini melainkan pergi mengikuti mobil keluarganya sampai mobil itu berhenti di rumah Oma di kawasan utara kota. Anggota keluarganya lengkap—kecuali dia—turun dari mobil dan memasuki rumah Oma. Oma dan Opa menyambut dengan gembira. Oma menunjukkan hasil masakan terbarunya. Biasanya tidak terlalu enak namun karena setiap orang dipaksa mencicipinya banyak-banyak maka akhirnya habis juga. Setelah itu mereka akan melakukan suatu kegiatan bersama-sama. Entah itu membuat barbekyu—kalau masakan Oma tak cukup mengenyangkan, mencoba game yang bisa dimainkan bersama-sama, nonton film, atau hanya sekedar ngobrol-ngobrol biasa. Kadang beberapa kerabat yang rumahnya masih berdekatan datang meramaikan. Ada juga beberapa tetangga yang sudah akrab ikut menghampiri. Ah, Dean dapat membayangkannya. Sejak keluarganya menetap di kota ini, Dean tak pernah melewatkannya sekali pun. Kadang memang ayah, atau bunda, atau Deraz, atau Zara—adiknya, tak datang karena memiliki suatu agenda. Namun Dean dipastikan tidak pernah absen acara kumpul keluarga kecil-kecilan setiap Jumat malam seperti ini. Pernah beberapa kali hanya Dean yang datang. Bermanja-manja di pangkuan Oma sudah cukup menyenangkan hatinya. Opa kerap meledek Dean yang seolah tak ingat umur bahwa dia sudah menginjak remaja. Tapi tak ayal kemudian Opa membersamai mereka dengan menceritakan pengalaman atau pemikirannya yang bagai dongeng dalam pendengaran Dean karena tak lama setelah mendengarkan pasti Dean jatuh tertidur. Opa atau Oma nanti akan membangunkannya dan menyuruhnya untuk pindah ke kamar Om Alfian di lantai atas. Di mana pemiliknya hanya kembali beberapa tahun sekali karena profesi yang menuntutnya untuk menetap di suatu negri yang teramat jauh.

Jumat malam kali ini tidak akan menjadi sama lagi, duganya. Suatu penyimpangan rutinitas yang mengganggunya. Seperti bagaimana kerja kelompok mengganggu latihan pianonya dan dia lebih suka mangkir dan kalaupun datang hanya setor muka dan banyolan singkat lalu, dadah...

Jumat malam ini seharusnya ia berada di dalam kehangatan ruang tengah Oma, di mana keluarganya berpesta pora. Pesta yang terjadi di dalam ruangan ini pun tak kalah ‘pora’-nya sebetulnya, apapun arti ‘pora’ itu Dean tak tahu, namun ia merasa bukan bagian darinya.

Semua yang ada di sini adalah teman-teman SMP Rieka, yang dia-kadang-masih-sukar-mempercayainya, ceweknya. SMP mereka berbeda jadi meski Dean kenal beberapa, dan sesekali tangannya melambai ke sana ke mari sambil tersenyum, tak ada satu pun yang menarik minatnya untuk diajak ngobrol lantas ngebanyol. Masalahnya bukan karena kesungkanan pada orang yang tak terlalu dikenal. Dean bisa saja langsung membuat terbahak-bahak orang yang baru saja dikenalnya beberapa menit lalu. Pikirannya hanya sedang tak di sini. Ia tak berminat apa-apa selain duduk setengah membungkuk di pojok, menenggak minuman bersoda sesekali, dan bertanya-tanya kapan Rieka akan mengajaknya pulang. Mungkin masih seabad lagi. Lihatlah, dia masih ngobrol begitu asyiknya dengan yang punya pesta sejak kedatangan mereka sekitar setengah jam yang lalu.

Dean tidak tahu bagaimana Rieka sewaktu SMP, tapi sepertinya tidak jauh berbeda dengan sewaktu SD dan SMA, kedatangannya selalu menarik perhatian orang banyak sejak di pintu masuk. Penampilannya selalu menawan dan merawankan hati. Itu pula sebabnya Dean terpikat. Rambut ikal halus dan kulit lembut kuning langsatnya seakan minta dielus. Juga wajahnya yang rupawan dan tinggi badannya yang semampai, siapa yang tidak senang melihat? Kecantikannya ditunjang oleh kelihaiannya dalam memilih pakaian dan aksesoris yang bergaya. Kali ini saja, ia memakai gaun berlengan sabrina dengan motif cantik yang serasi dengan tote bag-nya dan blazer Dean. Memang Rieka sih yang memintanya memakai blazer ini. Di balik blazer Dean hanya memakai kaos biasa dan bawahannya apalagi kalau bukan jins dan Converse. Rieka melarangnya memakai jumper, sweater, jaket, atau baju hangat apapun favorit Dean karena nanti tidak akan sesuai dengan dresscode-nya. Dean tidak berani menolak, mengingat banyak sekali kesalahan yang telah dilakukannya pada Rieka. Ia ingat acara jalan pertama mereka yang berubah menjadi tragedi—begitu Dean menyebutnya—saat ia lupa bahwa ia sudah punya cewek yang harusnya selalu ia perhatikan, ia malah meninggalkannya di rumah makan. Ia juga ingat berapa malam ia lupa mengsms Rieka hanya untuk mengucapkan ‘met tidur, mimpiin aku yah’, juga karena ia harus remedial di semua mata pelajaran UTS padahal Rieka sudah meluangkan waktu untuk membantunya mengerjakan soal-soal yang sulit, juga karena ia keliru memencet tuts saat Rieka memintanya memainkan lagu kesukaannya dengan piano, juga... Maka apa salahnya jika empat minggu sejak ‘tragedi’ itu terjadi Dean mengiyakan ajakan Rieka menemaninya ke pesta ulang tahun ke-17 teman karibnya sejak SMP? Meskipun itu di Jumat malam yang merupakan acara kumpul keluarga yang pantang Dean lewatkan? Lagipula sejak ‘tragedi’ itu mereka belum jalan ke luar lagi karena ada UTS dan kesibukan Rieka di OSIS dan ekskul jurnalistik.

Dean masih merasa nyaman saat berjalan menggandeng Rieka ke arah temannya yang sedang punya hajat. Dia juga ikut menyalami orangtua gadis tersebut. Ia menyadari banyak pasang mata sedari tadi memantaunya. Apakah begini rasanya jadi pacar Rieka atau memang ia yang terlalu ganteng? Kalau statusnya kini bukan pacar Rieka tentu ia akan sangat yakin pada jawaban yang kedua.

 “Oo, ini cowoknya Rieka. Gantengnya...” Rieka menyikut temannya yang lantas hanya cengar-cengir sebelum kemudian menjulurkan tangan untuk kenalan. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun yang penuh dengan doa sebagai rasa terimakasihnya karena dibilang ganteng, Dean bingung harus apa. Rieka segera nyangkut dengan temannya itu. Teman-temannya yang lain juga segera berdatangan. Riuhlah gerombolan cewek tersebut. Apalagi ketika melihat Dean yang tengah berdiri kagok.

“Ih, cowoknya Rieka! Jangkung banget yaa?”

“Kapan nih kita-kita nongkrong bareng gitu ama dia?”

“Yuk ayuk. Katanya ada warung seafood yang enak gitu ya di Cilaki?”

Enak dompet lo, gua tekor tiga ratus rebu bayarin delapan orang doang makan di sana, gerutu Dean dalam hati.

“Eh, rugi tau ninggalin cewek kayak Rieka, lo nggak tau sih yang ngantri jadi cowok dia kan banyak...”

“Ih, apa sih, Ngga...” Rieka menoel temannya yang barusan bicara itu sambil tersipu-sipu.

“Oh, tau dong, kan gua termasuk yang ngantri itu,” sambut Dean polos. “Tapi gua nggak nyerobot, kok.”

Teman-teman Rieka terdiam.

“Eh, gua mu ngambil es goreng dulu ya. Ada yang mau diambilin juga nggak?” Retoris. Dean segera menghilang ke balik kerimbunan tamu undangan.

“Sori, Ka, gue nggak maksud nyinggung kejadian lo yang waktu itu secepat tadi,” sesal teman Rieka yang tadi lengannya ditoel. “Tapi dia ngerasa nggak ya?”

“Ah, paling juga dia nggak ngerasa kesindir.” Rieka tertawa. “Eh, ngomong-ngomong lo nyediain es goreng gitu, Sha?”

Yang ditanya menggeleng. Tawa gerombolan cewek itu meledak.

“Lo nggak nyusul dia, Ka? Ntar ada yang ngembat loh, ganteng gitu, nggak asal ngomong gue.”

“Gantengan abangnya,” jawab Rieka kalem sembari menyeruput fruit punch yang diambilnya dari meja sebelah kanannya. “Ah, lupain ajalah masa lalu gue. Kali ini gue pingin pacaran yang bener-bener.”

“Bener-bener? Kayak lo udah mau kawin aja.”

“Males gue, jadian putus jadian putus terus. Nggak ada yang bener-bener sreg di hati gue.”

“Ya iyalah, lo kan maunya cuman sama Arderaz.”

“Emang lo ditembaknya waktu itu gimana sih?”

“Pas lagi pelajaran Seni Musik di kelas gue, tiba-tiba dia masuk, main keyboard sambil nembang pupuh apa gitu. Tapi liriknya diganti jadi, isinya ya nembak gitu. Tapi pake bahasa sunda!”

“Hah, serius?”

“Nggak tahu malu, haha. Alay banget!”

“Nggak juga. Guru musiknya langsung nyuruh kita buat privat ma dia gitu deh.”

Teman-teman Rieka saling bertukar pandang.

“Pas SD...” Rieka ingat bagaimana Dean pernah memakai sweater rajutan bergambar sepasang anak laki-laki dan anak perempuan berseragam merah putih dengan hati merah di tengah mereka. Ia ingat saat Dean bilang, “Yang cowok itu aku, yang cewek kamu. Yang bikinin sweater ini oma aku loh.”

Rieka langsung beringsut menjauh.

Pernah juga ia menemukan secarik puisi di mading yang setiap barisnya diawali dengan huruf per huruf namanya dicetak tebal. Sehingga apabila hanya huruf awal yang dibaca dari baris awal sampai baris akhir akan terbaca nama lengkapnya. Rieka cepat-cepat mencabut kertas itu sebelum ada yang melihat.

Suatu kali saat mata pelajaran IPA dilakukan di luar ruangan, Dean memetik sebatang bunga matahari—entah darimana ia mendapatkannya—dan menyerahkannya pada Rieka. Mungkin Dean tidak sadar atau malah tidak peduli, tapi Rieka melihatnya dengan amat jelas sekali ulat-ulat yang bergelantungan di sekujur bagian atas bunga tersebut. Rieka kontan lari tunggang langgang tanpa sempat menyaksikan ekspresi Dean yang terluka.

Rieka tersenyum-senyum mengingat kembali kenangan tersebut. Belum lagi ulah Dean lainnya saat mereka satu sekolah lagi di SMA.

“Gue nggak nyangka, Ka, mentang-mentang Arderaz akhirnya mendeklarasikan kalau dia nggak pacaran—yang masih belum jelas maksudnya apa, nggak pacaran apa? Nggak pacaran sama onta?”

Cewek-cewek itu kembali tergelak.

“—dengan mudahnya pas adeknya yang udah sekian taun ngejar lo itu akhirnya nembak lo buat ke sekian kalinya, lo langsung nerima aja...”

“Asal lo tau aja, di OSIS tuh Deraz Kabid I.”

“Haha, bisa kebawa solehah entar lo, Ka...”

Rieka mengangkat bahu.

“Physically, emang mereka mirip banget sih. Lo kan pernah bilang kalau Dean tuh cuman versi tololnya Deraz dan Deraz versi cerdasnya Dean—“

“Please, berhenti nyebut Dean tolol, ya? Kita tuh selama ini cuman ngeliat keunggulan seseorang tuh cuman dari satu sisi aja. Coba deh liat dari sisi yang lain.” Rieka berhenti meneguk fruit punch-nya.

“Tapi dia ninggalin lo, Ka.”

“Dia emang pelupa.”

“Dan mungkin suatu saat dia bakal lupa kalo lo pacarnya dan tau-tau dia udah punya cewek lain aja.”

“Kalau gitu, mestinya sebelum gue dia udah punya cewek juga dong, tapi dia nggak tuh.”

“Iya... Yang lagi kasmaran nih...”

“Eh, awas, entar gue umumin pake mic soal lo ama si Radit!”

“Yee... Coba aja!”

Dean masih memandangi keriuhan Rieka dan teman-temannya dari kejauhan. Ia sudah duduk di pojok ruangan setelah mengitari ruangan dua kali untuk meyakinkan bahwa benar-benar tidak ada es goreng yang tersaji. Entah kenapa, ketika melihat baskom es sejak di pintu masuk tadi ia jadi teringat akan Omanya. Suatu kali, seperti biasa, Oma bereksperimen masakan. Ia membeli es krim dalam wadah kemudian dicobanya menaruh beberapa sekop es di atas penggorengan. Katanya sih mau coba bikin es goreng. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana kelanjutannya. Opa bilang kelucuan Oma menurun pada Dean. Dean tidak tahu apakah itu pujian atau bukan dan apakah ia harus berterimakasih atau tidak, karena bahkan seorang ‘Dean’ pun tahu es tak mungkin digoreng begitu saja di atas penggorengan! Tidak ada es goreng di sini. Jadi Dean hanya makan sepiring roti cane kari diselingi beberapa teguk soda sambil menonton Rieka dan teman-temannya. Benar-benar suatu pemandangan indah melihatnya dari kejauhan sini. Apalagi dari dekat. Teman-teman Rieka juga tak kalah cantiknya. Tapi tentu saja yang paling bersinar di hatinya hanya Rieka. Dean merasa dibutakan dan tak berdaya saat sinar itu semakin lama semakin mendekatinya. Dan dalam keadaan tak berdaya begitu baginya tak ada yang lebih aman selain bersama-sama keluarganya. Kerinduan kembali menyergap Dean. Hidungnya jadi sensitif terhadap segala bebauan makanan dan minuman di penjuru ruang ini. Ia jadi ingat akan segala eksperimen dapur Omanya. Ketika melihat ada pasangan menyelinap keluar menuju sisi lain kafe, ia teringat akan orangtuanya yang ke mana-mana sering berdua dan saling bahu membahu dalam membina bahtera rumah tangga, baik dalam belanja ke pasar maupun dalam memarahinya (kalau yang satu memarahinya yang lain ikut mengompori). Ketika melihat dua orang bercakap-cakap dengan akrab dan saling menepuk bahu, ia teringat akan saudara kembarnya yang selalu siap memudahkan kesulitan-kesulitannya. Ketika melihat sekelompok anak saling meledek dan tertawa satu sama lain, ia teringat akan adiknya yang tak pernah bosan masuk ke kamarnya untuk menggebukinya karena ia telah mengoprek-oprek barang-barang milik adiknya itu tanpa izin. Ketika dari balik jendela ia melihat gambar Kolonel Sanders pada kotak layanan siap antar saji melintas sekelebat, ia jadi teringat Opanya. Ketika memandang balon-balon yang terpasang di sudut-sudut ruangan, ia jadi teringat pesta ulang tahunnya ke-7 yang dirayakan di rumah Oma. Ia menyadari bahwa tak mungkin ia bisa bertahan lebih lama di sini. Tempat yang tepat baginya di waktu Jumat malam adalah rumah Omanya, bukan di dalam kafe yang meriah ini.

Melodi sentimental Fur Elise mengalun di benaknya.

Ingatannya melayang lagi ke saat-saat terakhirnya sebelum meninggalkan rumah.

“Perginya nunggu Yan pulang aja, ya?” Dean memasuki kamar orangtuanya di mana ibunya sedang menyisir rambut sedangkan ayahnya memakai celana.

“Mau pulang jam berapa entar emangnya?”

“Mmm... Tergantung Rieka, Bunda.”

“Kemaleman banget entar, ya mending nggak usah berangkat sekalian aja.”

“Loh, Yan, nggak apa-apa kan sekali-kali nggak ikut ke rumah Oma?” suara Ayah yang sedang mengencangkan ikat pinggang.

“Entar nggak rame loh kalo nggak ada Dean.”

Bunda mendelik. “Dean nih, udah gede, jangan merajuk gitu ah. Ayo, entar Riekanya gimana?”

“Riekanya diajak ke rumah Oma aja,” usul ayah.

“Terus pestanya gimana?”

Bunda cepat menyela, “Udah, Yan, lain kali aja Rieka ke rumah Omanya. Nggak apa-apa kamu tuh sekali-kali nggak ke rumah Oma. Besok kan masih bisa ke sana sendiri. Libur, kan?”

Dean keluar dari kamar orangtuanya dengan perasaan tidak puas. “Baik-baik sama Rieka ya. Entar jangan pulang malem-malem!” sayup-sayup suara Bunda ketika ia menutup pintu kamar.

Maka pada jam 7 malam motor Dean bertolak ke selatan hendak menjemput Rieka sedangkan mobil keluarganya melaju ke utara.

“Ampe jam berapa ya?” tanya Dean pada seorang cowok yang mengambil minum di sebelahnya.

“Maaf, nggak tahu. Bentar lagi aku pulang.”

Ketika ada seseorang dengan pakaian seperti seragam pramusaji lewat di depannya, ada name tag-nya pula, ia bertanya lagi, “Mas, ini entar acaranya sampai jam berapa ya?”

“Biasanya kafe kami tutup jam 10. Tapi kalau sedang dipesan gini sampai jam 12 bisa.”

Kembali mata Dean mencari-cari sosok Rieka yang masih asik bercengkerama dengan teman-temannya. 

“Rieka, aku mau ke rumah Oma... Ah, jangan... Ampe jam 9 aja yuk, abis itu kita ke rumah Oma... Hm. Aku mau cari angin dulu di luar, ntar kalau ada apa-apa telpon aja. Jangan. Cari angin... Ntar masuk angin?” Dean mendesah. Tanpa pikir panjang ia keluar ruangan menuju halaman parkir. Blazer coklatnya ia jejalkan ke dalam bagasi motor, menggantikan jumper tebalnya tersayang. Sekarang masih sekitar jam 8. Ia akan kembali lagi ke sini sekitar jam 10 nanti, jemput Rieka, mengantarkannya sampai rumah, terus pulang. Lewat bypass aja ah biar lebih cepat...

.

“Eend? Apa itu eend?” Zara membaca susunan huruf yang tertata di papan scrabble.

“Tunggu... Tunggu sebentar. Oma ingat, Oma ingat... Eend itu itik!” jawab Oma girang.

“Bahasa apa itu?” Zara mengernyit heran.

“Belanda,” ucap Deraz pelan.

“Oh, soang!” Ayah manggut-manggut.

“Eh, tunggu deh, bukannya kita sepakat pake bahasa Indonesia ya?”

“Kata dalam bahasa Indonesia apa yang terdiri dari 1 huruf d, 2 huruf e, dan 1 huruf n?” Deraz mengusap dagunya.

“Need—butuh?”

“Itu bahasa Inggris, Bunda!”

“Huruf punya saya habis,” kata Deraz lagi.

“Ya kalah berarti! Ayo main lagi! Giliran siapa sekarang?” Zara meregangkan tubuhnya, siap untuk meneruskan permainan.

Deraz menunjuk dirinya sendiri. “Pemain terakhir.”

Zara mendesah.

“Kita main monopoli aja yuk! Oma mau beli tanah di Afrika. Oma belum pernah ke sana. Pa, ayo kita partneran ya?”

“Kalo gitu kita jangan mau kalah. Kita ke Amerika, Bun. Ayah mau ngambil arloji Ayah yang ketinggalan di sana!”

“Tuh kan, kamu lagi-lagi ngilangin barang pemberianku!”

“Saya pegang duit aja deh.” Deraz sudah kelihatan ngantuk.

Seseorang membuka pintu depan. Semua orang di ruang tengah menoleh ke arah ruang tamu dan mendapati sosok Dean muncul di kegelapan.

“Yah, ada si pengacau!” gerutu Zara, sok kesal dengan kedatangan kakaknya yang satu itu.

“Bawel!” Sebelum menggetok kepala adiknya dengan ujung buku jari, Dean menyalami Oma, Opa, Bunda, dan Ayah satu per satu. Ia menepuk pundak saudaranya lalu duduk di sebelahnya dan mendapati semua sedang memandanginya.

“Dean bukannya katanya lagi ada acara pesta gitu?” Oma beranjak hendak mengambilkan cucu kesayangannya sesuatu untuk diicip-icip.

“Rieka gimana, Yan? Udah selesai acaranya? Udah diantar pulang?” sela Bunda sebelum ia sempat menjawab pertanyaan Oma.

“Ntar Dean jemput, Bunda, jam sepuluhan.”

“Tapi kamu udah bilang dia kan? Nggak diem-diem pergi kayak kemarin itu?”

“Kemarin itu Dean beneran lupa, Bunda...”

Oma menyuguhkan Dean segelas coklat hangat. Dean terharu. Memang ini yang ia inginkan dan tidak ia dapatkan di tempat tadi. Diseruputnya coklat itu dengan hikmat.

“Yan ikut main monopoli nggak?” tanya Oma yang sedang membantu Deraz membagi-bagikan uang.

“Nggak, Oma. Dean jadi asisten pegawai bank aja,” Dean nyengir lebar sambil menoleh sekilas pada kembarannya.

“Pegang duit beneran aja nggak bener,” cela Zara. Memang tidak ada habisnya keinginan Zara untuk membalaskan semua kelakuan tak menyenangkan yang telah abangnya lakukan padanya.

“Eh, abangmu ini sekarang udah tau nabung buat masa depan...”

“Iya, yang udah punya pacar...”

Cengiran Dean melebar mendengar komentar Ayahnya yang pengertian itu.

“Sekolah dulu dibikin bener, Yan...” 

Lengkaplah malam itu dengan kehadiran Dean sebagai objek penderita. Selalu begitu dan Dean merasa senang bisa memainkan perannya kembali. Celoteh ramai yang kadang-kadang disertai gelak tawa mulai mewarnai lagi suasana di ruang tengah tersebut menandakan bahwa permainan tengah berlangsung dengan seru. Ada tiga tim yang bertanding: Zara; Bunda dan Ayah; dan Oma dan Opa. Deraz mencuri-curi waktu untuk membaca buku di tengah kesibukannya sebagai ‘bankir’ sementara Dean yang tadinya hendak membantu malah hanya ribut sebagai peramai saja.

Tak terasa dari tadi Deraz mencoba menarik perhatiannya hanya untuk sekedar iseng bertanya, “Kenapa kamu ninggalin Rieka lagi?”

“Gua pingin ke sini, Yas.”

“Dia udah tahu kamu mau ke sini?”

“Hee, belum.” Hanya pada Deraz dan ayahnya Dean berani jujur setiap saat.

“Terus kalau dia mendapati kamu tau-tau nggak ada, gimana?”

“Minta maaf?”

Deraz tersenyum. Matanya tampak mengantuk.

“Kenapa, Yas?”

“Nggak apa-apa. Yan, apa kamu udah tau, mengamati dari temen-temen, atau mungkin sumber lainnya, kalau kamu punya pacar, maka kamu harus merelakan waktu dengan keluarga kamu, temen-temen kamu, buat pacar kamu itu?”

“Nggak tahu nih, Yas. Rasanya aneh aja. Dulu gua setengah mati ngarepin dia tapi sekarang, oh, Ya Tuhan, dia begitu deket sama gua! Ampe rasa-rasanya gua mau lepas kontrol. Itu yang gua takutin, Yas,” suara Dean nyaris berbisik karena takut didengar oleh yang lainnya meski sepertinya mereka semua sedang asik dengan bidaknya masing-masing. Melempar dadu, mendapat kartu Kesempatan, membeli tanah, seakan-akan semua itu nyata. Lihat, Oma memeluk Opa karena mereka berhasil menguasai satu blok.

“Pak Bankir, kami dapat bonus duit lagi, lo,” suara serak Oma.

“Siap, Ibu!” Deraz menghitung duit seakan dia memang pegawai bank yang cekatan. “Mau pecahan berapa?”

“Lima ribu!”

“Minta dua ribuan yang baru aja, Oma?” celetuk Dean.

“Oh, maaf. Untuk yang itu Bank Monopoli belum siap mencetaknya,” sambut Deraz.

“Ya sudah nanti kita beli saja set monopoli edisi terbaru kalau udah ada di toko, yang udah ada pecahan dua ribuannya!” timpal Opa yang disambut oleh tawa tertahan. Mereka kembali sibuk dengan permainan mereka.

“Gini deh, Yas, misalnya tuh gua lewat suatu toko. Trus di dalemnya ada boneka bagus banget. Tiap hari gua lewat toko itu cuman buat memandangi boneka itu, berusaha buat ngedapetin tu boneka. Tapi tiap kali gua masuk ke toko itu gua pasti diusir karena gua selalu nggak punya cukup duit untuk beli,” Dean melanjutkan lagi curhatnya.

“Terus?”

“Sampai akhirnya gua ketiban durian runtuh. Gua jual tu durian trus gua dapat untung gede.”

“Durian sekarang lagi murah, Yan.”

“Duriannya sekebon, Yas, runtuh semua. Trus jadi milik gua semua.”

Deraz mengerti tidak ada gunanya memrotes logika dan nalar dalam analogi-analogi yang dilontarkan Dean jadi dia sebisa mungkin diam saja mengangguk-angguk sampai cerita Dean selesai. Ia merebahkan dirinya di karpet, berbaring miring dengan sebelah tangan menyangga kepala.

“Singkat cerita, gua dapetin juga tuh barang bagus. Tapi, kemudian gua ngerasa nggak akan sanggup ngerawat tu boneka. Boneka itu terlalu bagus buat gua. Gua nggak berani menyentuh boneka itu karena gua takut begitu gua sentuh atau apa-apain gitu dia jadi rusak atau kotor. Gua rasa dia lebih aman dan lebih indah kalau tetep dipajang di toko.”

“Trus akhirnya bonekanya kamu apain?”

“Bingung gua, Yas.”

“Perempuan nggak akan suka kalau kamu ibaratkan dengan barang, Yan. Mereka bukan barang.”

“Tadinya gua malah mau pakai kelinci, Yas.”

Deras manggut-manggut. “Trus, kamu mau bingung selamanya?”

“Gua emang orangnya bingungan sih, Yas. Kayaknya seumur hidup gua bakal selalu bingung. Bahkan kenapa sin x + cos x= tan x aja gua masih bingung kenapa bisa kayak gitu. Dan apaan itu sin, ama, cos, ama tan? Nggak ada barangnya, gua nggak bisa ngebayanginnya!”

Deraz menahan tawa. “Kamu sadar nggak, kalau kamu udah pernah nyeritain yang tadi itu?”

“Kayaknya?”

“Tiga kali.” Deraz menguap. “Kalau bonekanya pingin sama kamu terus gimana?”

“Emang bisa boneka kayak gitu?”

“Eh? Bukannya kamu sendiri yang nyontohin kayak gitu?”

“Ng... Tau deh, Yas. Nggak tau nih gua kok sekarang malah jadi kebayang-bayang si Rieka gitu yah. Gua di sana, yang kebayang di sini. Gua di sini, jadi kepikiran yang di sana. Aduh, gua nggak tahu nih harus nyesel ninggalin dia apa nggak. Gua nonton TV aja ah.” Dean meloncat ke atas sofa dan sudah sibuk lagi memilih-milih acara TV yang dianggapnya mampu melupakan masalahnya. “Eh, Yas, ada American Pie di Cinemax nih! Film kesukaan lu kan?”

Deraz merebut remot TV dari tangan Dean. Dean berusaha meraihnya kembali tapi lengan Deraz lari ke mana-mana untuk menghindar. Deraz menghentikan pilihannya pada saluran Discovery Channel. “Udah ini aja.”

“Ah, BT!” Dean menutup mukanya.

“Kalau menurut saya sih, Yan.” Dean menoleh. “Setiap orang pasti punya seseorang yang disukainya—”

“Lu ada? Nggak bilang-bilang...” Dean mencoba merebut remot lagi tapi tak berhasil.

“Kamu nggak mesti pacaran sama dia kalau kamu emang nggak butuh. Menghabiskan sesuatu untuk hal yang nggak kamu butuhkan, ya buat apa? Rugi sendiri kan? Ya, emang kebanyakan orang melakukannya tapi belum tentu apa yang kebanyakan orang lakukan cocok juga buat kamu lakukan. Kamu nggak perlu ikut-ikutan kalau hal itu emang nggak berguna buat kamu.”

“Ulangin dong Yas, lu kecepetan ngomongnya.” 

.

Ingga, Tiara, dan Marsha sudah menarik-narik lengannya sedari tadi. Tapi lalu lengan itu jatuh lunglai ketika mereka melepaskannya kembali.

“Ka, ayo pulang, Ka...” Marsha memohon untuk ke sekian kalinya sementara Ingga bolak-balik memberitahu supir Marsha untuk menunggu sebentar lagi dan sebentar lagi.

“Udah deh kalian duluan aja nggak apa-apa. Gue bisa pulang entar minta dijemput supir gue...”

“Tapi masak lo mau diem terus di sini sendirian?” Tiara memeluk pundak Rieka di mana cardigan miliknya tersampir di sana. “Motornya aja udah nggak ada.”

“Iya, Ka, lo cari cowok yang rada bener dikit napa? Nggak usahlah mesti kayak si Deraz-Deraz itu. Masih banyak yang lebih baik daripada dia di dunia ini.” Marsha merasa matanya makin lama makin berat. Dari tadi ia menguap terus. Ia menggosok-gosok lengannya yang telanjang. Udara pukul setengah sebelas malam sudah mulai tidak baik untuk kesehatan.

Yang terjadi adalah pesta ulang tahun Marsha sudah berakhir sejak jam setengah sepuluh malam. Orangtuanya sejak awal tak mengizinkan pesta berakhir lebih dari jam segitu. Jadi sekitar jam 9 satu per satu tamu undangan sudah pada pamit dan menghilang di balik pintu keluar. Dengan demikian kafe tersebut dapat tutup pada jam yang biasanya yaitu jam 10 malam. Kini kafe itu sudah dibersihkan dan ditutup. Karyawan terakhir sudah menghilang di ujung jalan sejak sekitar setengah jam yang lalu. Tinggal empat sahabat itu masih menunggui pelatarannya.

“Dasar orang aneh. Dateng cuman buat nganterin ceweknya, nampang, makan, abis itu pergi entah ke mana. Dia bahkan udah pergi sebelum acara utamanya dimulai!”

“Iya, Ka. Cowok lo tuh aneh banget. Nggak ada tanggung jawabnya. Gue sih kasian aja ma lo, Ka—“

“Berhenti ngata-ngatain Dean dong, udah, stop!” Rieka mengangkat wajahnya yang memerah, membuat teman-temannya jadi merasa bersalah. “Ini urusan gue ama dia.”

Mata Rieka menyipit ketika seberkas sinar dari kegelapan jalan memasuki pelataran kafe. Rieka bangkit setelah yakin mengenali sosok itu dari potongan tubuhnya yang jangkung lagi cungkring.

“Ya, Rieka, terserah lo deh. Lo maafin dia, yang dengan entengnya mengatakan ‘lupa’, dan lo harus selalu menunggu satu sampai dua jam setelah acara lo berakhir buat nungguin jemputan dia.”

“Mungkin harus ada yang di-upgrading gitu atau di-install ulang, Ka? Atau jangan-jangan dia kena alzheimer?”

Ingga, Tiara, dan Marsha menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Biarpun ganteng, tapi tulalit, wah, susah juga.

Dean mendapati Rieka sudah berdiri di hadapannya begitu ia melepas helmnya. Ia mendapati raut wajah yang sama dengan yang membuatnya tercengang saat ‘tragedi’ empat minggu lalu. Tapi entah kenapa kini ia merasa bisa menghadapi ini dengan lebih tenang.

“Kali ini kamu lupa lagi atau gimana?” Suara Rieka yang sok tenang itu terdengar jauh lebih mengerikan ketimbang suara meledak-ledaknya yang biasa.

Dean melepas jumpernya. Menyodorkannya pada Rieka. Rieka menampiknya. “Pakai lagi. Kamu mau masuk angin?”

Dean menggeleng pelan sambil memakai jumpernya lagi. “Aku nggak lupa. Aku sengaja pergi. Malam ini keluargaku pada ngumpul di rumah Oma. Aku ikut mereka main monopoli sampai aku dimarahin nyokap karna aku harus jemput kamu lagi...”

“Kenapa kamu nggak bilang? Kalau kamu mau ke sana, oke, silahkan, tapi bukan gitu caranya. Kamu nganggep aku apa sih?”

“Rieka—“

“Kamu tuh kenapa sih? Kamu tuh kenapa? Kenapa? Kenapaaa?”

“Aku kira acaranya selesai masih lama—“

“Kenapa kamu nggak tanya?”

“Aku nggak enak—“

“Kenapa kamu jadi nggak jujur gitu sih, sama aku?” Rieka mengusap matanya yang tahu-tahu sudah basah dengan punggung lengan. Dean bahkan tak berusaha untuk menyentuh pipinya, mengusap air mata dengan jemarinya atau apa. “Kamu tuh anggep aku apaa? Kamu selalu lebih mentingin temen-temen sama keluarga kamu.”

Dean tak mengerti apa yang salah dengan itu.

“Ya, aku salah, Rieka. Hubungan kita ini, maksud aku, ng...” Dean menatap waspada teman-teman Rieka yang datang mendekat. Rieka menoleh sebentar, “Terusin aja.”

“...ini baru buat aku dan aku biasa dengan keluarga dan teman-teman aku.” Dean teringat kalimat-kalimat Deraz tadi dan kepalanya pusing sekali harus memikirkan apakah memang dia butuh Rieka apa tidak. “Bukan karena aku lebih milih mereka, ya, itu juga bener si, tapi... ah, aku kira kita emang butuh waktu, maksud aku, lama-lama aku biasa dan aku sadar bahwa aku butuh waktu bersama kamu... Yah, itu aja, Rieka, maafin aku. Aku tahu kamu pasti susah maafin aku tapi aku... ada nggak sih kata lain selain ‘maaf’ yang bisa nyampein maksud aku, kalau-kalau kamu bosen denger kata ‘maaf’....? Maafin aku, Rieka, aku cuman butuh terbiasa, cuman itu...”

“PLAK!”

Kepala Dean menoleh ke kiri dengan pipi kanan panas berdenyut. Belum ada satu pun anggota keluarganya yang pernah menamparnya.

“JADI APA ARTINYA 7 TAHUN YANG KEMARIN ITU?”

Punggung Rieka yang menjauh terasa masih gencar memancarkan semburat amarah sebagaimana dada Dean belum bisa berhenti naik turun. Punggung itu berbalik lagi, “Apa aku ngasih pengaruh buruk buat kamu sampai kamu yang biasanya ngomong lancar, jujur, blak-blakan, jadi suka ngomong nggak jelas kayak gini? Marsha, gue pulang ama lo malem ni.”

“PLAK!”

“Gue nggak tau maksud lo tuh apa, tapi tolong ya otak lo tuh dipake kek dikit-dikit.”

“PLAK!”

“Awas, kalo sampe lo apa-apain Rieka lagi!”

“PLAK!”

“....”

Masih dengan kepala miring Dean memandangi keempat cewek tersebut menaiki mobil kapsul di depan sana. Dalam hitungan beberapa detik saja mobil itu sudah pergi menjauh. Diraihnya ponsel dari saku jumper. Ditekannya tuts demi tuts berkali-kali.

“Yas, gua ditampar. Sama Rieka. Sama temen-temennya juga. Ng... Nggak tau. Kayaknya gua butuh empat kali lagi ditampar di pipi sebelah kiri. Biar muka gua bisa simetris lagi. Ahaha, lu nggak liat sih merah banget pipi gua sekarang. Yang sebelah tinggal dikasih blush on, bibir gua dilipstikin, ma dikasih kuda, joget dah gua di perempatan...”

 

 

‘meeting place’ by the last shadow puppets

2309909-4.24 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain