Minggu, 20 September 2009

balada amarah lebaran

adalah suatu pagi satu syawal yang menyebalkan. sejak dia membuka mataku dengan cara yang tidak menyenangkan: bentakan. nada bicaranya memang seperti itu. kini aku sudah tahu apa dampaknya dijejali nada-nada berpretensi tekanan seperti itu. pembawaannya sungguh menanamkan dampak psikologis. aku ingin menghentikannya. tapi aku tidak bisa. aku tidak berani bicara. setiap perkataanku terdengar seperti bantahan dan tantangan buatnya dan dia tidak suka dibantah apalagi ditantang. kebungkamanku, kepasifanku dalam partisipasi di masyarakat adalah hasil didikannya. tidak mutlak, tapi amat berpengaruh pastinya.

gesturnya yang terburu-buru dan lengkingannya yang mengerikan memaksaku melawan kemalasan. aku segera mandi dan bersiap dalam sekejap. aku telah siap dengan sajadah dan atasan mukenaku yang biasa kusampirkan di kursi kamar. tapi mana bawahannya? siapa yang mengambilnya? aku tidak mau menambah pikuk kericuhan di rumah. aku pergi ke kamarnya untuk mencari-cari bawahan mukena yang pasti ada tersampir juga di kursinya. kutemukan dan segera kukenakan. kulihat jam masih menunjukkan pukul enam pagi tapi aku sudah siap dengan sandalku. dia juga sudah bersiap. aku mengekorinya berjalan ke lapangan.

dari kejauhan dapat kulihat bentangan tanah lapang yang telah digaris-garisi melintang. setiap garis ada sekitar satu meter jaraknya. juga orang-orang yang menuju ke arah sana bersama kami. yang laki-laki rata-rata memakai baju koko, sarung, dan peci sementara yang perempuan lebih berwarna-warni. berdandan cantik dan wangi. mereka menenteng lipatan koran dan sajadah. kuperhatikan mereka semua begitu cerah. aku merasa berada dalam iklan deterjen. hei, ini hari yang fitri, wajar saja jika semua orang ingin tampil bersih dan rapi, apalagi ini hendak bersujud ramai-ramai ke haribaan-Nya. hanya satu dua orang yang kutemukan sudah bermukena lengkap seperti aku. kuduga mereka begitu bukan karena mereka tidak punya baju bagus untuk dipamerkan sehingga mereka menutupinya dengan mukena. tidak seperti aku, yang hanya memakai kaos dan rok kumal seperti biasa. seolah-olah ini bukanlah suatu momen yang harus dirayakan dengan 'wah'. bagiku, kembali fitri artinya ya tampil apa adanya.

melihat orang yang dikenal, ia langsung mendekati orang itu dan menggelar koran di sebelahnya. padahal di depan sana masih ada beberapa baris saf terbentang kosong. bukannya kita seharusnya mengisi saf terdepan dulu? terdengar suara keras dari depan sana yang mendukung pikiranku. aku juga mengemukakan pikiranku itu padanya tapi dia tidak mau. dia ingin tetap di situ. tidak apa-apa, katanya. jadi aku dihadapkan pada pilihan apakah hendak meninggalkannya untuk mengisi saf terdepan atau tetap di sini bersamanya. aku tahu sebetulnya aku tak punya pilihan. tak layak jika aku meninggalkannya, maka aku tetap di sana.

jadi buat apa kita berangkat terburu-buru tadi, begitu pagi, kalau hanya untuk mengisi saf belakang? saf belakang seharusnya untuk yang kesiangan. karena bukan adab yang baik jika yang kesiangan harus melintas di depan orang solat karena yang tersisa tinggal saf depan. apa mereka selama ini menunaikan solat tanpa mengetahui adab-adabnya? katanya manusia yang beradab, punya adab.

ia memberitahuku kalau para laki-laki di rumah kami sudah tiba dan sedang berjalan menuju saf laki-laki. aku diam saja. tidak mau mengomentari soal tipe-tipe orang yang solatnya hanya dua kali setahun. supaya tetangganya tahu kalau dia masih beragama. agama? agama apa? agama ktp.

kugelar koranku, sajadahku, dan kududukkan pantatku di atasnya. kusadari di sebelah kiriku ada yang sedang melakukan hal yang sama dan dia memberi jarak sekitar sepuluh centimeter antara koranku dengan korannya. sepuluh centimeter yang berwarna gelap aspal. segelap jalan 'setan' yang mungkin akan menempati jarak tersebut kalau tidak diisi. di sebelah kananku sudah banyak terisi jamaah sementara di sebelah kiriku baru dia dan seorang ibu-ibu. aku menegurnya pelan untuk merapatkan koran. entah suaraku yang terlalu kecil, solawat yang membahana, atau telinganya yang tak minat mendengar, ia hanya menoleh sekilas dan tidak berbuat apa-apa lagi. ia hanya duduk dan entah, aku tak mengamatinya.

sajadah menjadi bagian dari perangkat solat untuk mengalasi kita dari permukaan yang kotor. tapi kukira sebaiknya kita tidak usah pakai sajadah saja kalau malah menghadirkan jarak antar person di momen yang seharusnya semua orang merapatkan barisan, tanpa jarak, dan menyatukan gerakan. sebagai simbol bahwa kita adalah umat yang satu. (seharusnya) tak berpecah belah. sajadah malah mengukuhkan ruang masing-masing individu. ruang yang seolah tak ingin dimasuki oleh individu lainnya. ruang yang memisahkan karena menciptakan jarak antara tubuh yang satu dengan tubuh yang lainnya. aku ingat sebuah teori psikologi yang mengatakan bahwa setiap orang menciptakan ruang di sekitar tubuhnya, di manapun dia berada. hanya orang tertentu saja yang diperbolehkan 'masuk' ke dalam 'ruang'nya, atau dalam situasi tertentu. tapi kukira teori tersebut tak berlaku dalam solat. ada kalanya lengan dan tepi jari kelingking kita harus saling bersentuhan dengan orang lain. dengan demikian kita sadar bahwa kita tidak sendirian, kita bersama orang lain di kanan kiri kita dan di kanan kiri mereka dan seterusnya, menyembah Tuhan yang sama. mengharapkan tujuan yang sama.

sajadah juga dapat menjadi pembeda kelas sosial, kukira. sajadah yang bagus dan sajadah yang kumal, kita pasti dapat menerka-nerka kelas sosial masing-masing pemiliknya. bukan hal yang mutlak dan begitu penting untuk dipersoalkan sebetulnya. karena kualitas solat kita tidak dinilai dari sajadah dan aku bukan sosialis.

penantianku terasa sebentar ketika sebuah suara keras menyuruh kami berdiri untuk menunaikan solat id bersama. suara itu menjabarkan rukun-rukun solat id yang aku tak pernah mengingatnya. saat itu aku masih dalam perenunganku. baru ku menyadari akan hal-hal tidak benar yang berpendar dengan tak acuhnya di sekitarku dan aku seperti tidak punya alat apapun untuk memadamkannya. orang-orang ini harus diberitahu, dan sebaiknya ada yang sudah melakukannya sehingga aku tak usah merasa begitu bersalah karena tak berbuat apa-apa. memang aku sudah sedikit melakukan usaha, tapi mereka tak tertarik atau tetap keras kepala. ya sudah. sebagian besar manusia memang lebih suka mengklaim diri mereka berada di pihak yang benar, walaupun sebenarnya tidak. termasuk aku.

tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali takbir pada rakaat kedua dan lebih dari sepanjang itu kudengar di kejauhan seorang anak kecil hendak merusak pita suaranya dengan menangis sekeras-kerasnya. ibunya pasti sedang (berusaha) khusyuk solat. sebagaimana orang-orang lainnya juga sedang berusaha keras mencapai hal yang sama namun terusik oleh jerit pilu seorang anak kecil yang entah berada di mana. anak kecil yang ingin segala keinginannya dituruti. tak mengerti setiap orang yang sedang berdiri bersedekap di sini menginginkan keheningan yang syahdu. jika aku menginginkan siapapun yang bertanggung jawab akan anak kecil itu untuk menyudahi solatnya dan menghentikan suara menjengkelkan itu, apakah aku juga disebut sebagai anak kecil?

sambil mendengarkan khotbah, kusadari aku sudah tak mendengar jeritan anak kecil lagi. jujur saja, khotbahnya menjemukan. begitu panjang dan berputar-putar dan aku bahkan tidak memerhatikan apa isinya. aku bisa mendapatkan hal yang sama di kolom salah satu halaman koran hari jumat. kita manusia memang harus selalu diingatkan. namun terlalu sering diingatkan malah membuat kita antipati dan tidak lagi mau mendengarkan peringatan tersebut, boro-boro melakukannya. masalahnya, orang terus mengingatkan ya karena kita tidak kunjung melakukan. contohnya, syukur. bisakah kita cukup mensyukuri apa yang sudah kita punya dengan tidak menggugat-Nya saat apa yang kita inginkan tidak kunjung diberikan-Nya? Dia mungkin telah memberi, kita saja yang tak tahu caranya mencari.

 aku menjadi sedikit terhibur dengan mengamati dua anak kecil yang saling berkejaran di depanku. beberapa wanita menatap tak senang pada mereka, merasa terganggu. salah satu wanita yang sepertinya ibu salah satu anak kecil tersebut lantas mengambil tindakan dengan menggaet lengan anaknya. kedua anak itu pun berhenti berkejaran. aku tidak merasa terganggu dengan ulah mereka meskipun orang lain iya. padahal aku jengkel sekali saat mendengar tangisan sejadi-jadinya seorang anak kecil yang entah di mana saat solat tadi. aku kira aku tahu kenapa. anak kecil yang tadi menyebarkan kepedihan karena tidak diladeni, pancaran keegoisan seorang anak kecil, negatif. sedangkan kedua anak kecil di depanku ini saling berinteraksi dengan gembira. mereka bahagia, positif. kenapa para ibu-ibu ini sok serius sekali mendengarkan khotbah yang sewaktu-waktu pesannya akan mereka sendiri pungkiri, dan malah memecah aliran positif yang mulai membercakiku?

ingin rasanya aku berdiri, melipat sajadahku, dan balik pulang. kutahan-tahan sekuat hati. sumpah, khotbahnya benar-benar kelamaan! saat kukira khatib akan berhenti dan hatiku sudah hampir berteriak 'yes!', topik yang baru daru pita suara yang sama meluncur lagi dari speaker. kuubah posisi dudukku. kulipat kedua lutut sambil kubenahi bawahan mukena. kudapati ada bercak merah kecoklatan di bawahnya. seperti darah yang sudah lama mengering. mungkin darah nyamuk yang entah bagaimana nasibnya telah menemui ajalnya di atas kain putih ini. bukankah darah itu najis? jadi, solatku tadi?

semua orang tahu-tahu berdiri. rupanya khotbah telah diakhiri. aku pun ikut bangkit dan kulipat sajadahku. karena tadi aku bawa koran kebanyakan, sisanya hendak sengaja kutinggalkan di sini. aku berniat menambah penghasilan pemulung yang akan datang mengambili lembaran-lembaran koran ini nanti. namun ia malah menyuruhku untuk mengambilinya lagi. aku bilang padanya itu buat pemulung saja. aku pikir daripada diloakkin sendiri dan hasilnya untuk kami lagi, yang sudah hidup berkecukupan ini, lebih baik diberikan cuma-cuma saja pada pemulung yang memang hidupnya kekurangan.

di tengah debat yang tidak menyenangkan itu, terdengar suara keras meminta kepada para jamaah yang hendak pulang agar mengambili lagi koran mereka supaya tidak membuat kotor lingkungan. ekspresinya langsung menunjukkan kemenangan. aku mengernyit heran. kenapa, bukankah nanti akan ada pemulung?

mungkin para pemulung itu juga dianggap akan mengotori lingkungan kompleks perumahan mewah yang individualis ini.

aku tak ingin berjalan bersamanya jadi aku berjalan mendahuluinya, menembus kerumunan orang-orang yang tak kukenal.

 

20 september 2009, 11.11 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain