Jumat, 11 September 2009

Tuah Berjalan Kaki

8.54

Tatang mengusah peluh di dahi dengan lengannya. Dia hanya punya waktu enam menit untuk sampai di kelas tepat waktu. Namun jarak dari tempatnya sekarang ke pelataran kampus masih sepuluh menitan—prediksinya.

Ia sudah berjalan dengan amat cepat. Kaki tak pernah berhenti berderap dengan kekuatan penuh. Lengan kanan dengan lengan kiri ganti maju dan mundur berlawanan dengan gerak kaki. Tatapan mata selalu waspada mengamati jalan, melaporkan apapun yang menghadang. Secepat kilat otak menyuruh kaki agar bergerak lincah. Kali ini otak memerintahkan kaki agar berlari.

 

8.56

Waduh... Masih enam menit perjalanan....

 

8.57

Beberapa bekicot hidup yang bergelimpangan di jalan membuat Tatang harus sesekali meloncat menghindar. Matanya awas. Tak bisa ia terus berlari menerjang apapun.

 

8.58

“Dek... Maaf, saya dari Cirebon... Saya mau mengunjungi rumah saudara tapi uang saya nggak cukup.... Saya butuh uang buat ke terminal...” Seorang bapak-bapak bermuka memelas mendadak muncul merintangi jalannya. Memang sudah tampak sebagai pelancong miskin gayanya.

Boro-boro, Pak, sekarang aja saya masih nunggu beasiswa BOP cair buat bayar BOP kemarin! Tatang berusaha sesopan mungkin bicara tanpa harus memperlambat langkahnya. “Lain kali bawa uang yang cukup ya, Pak, maaf sekali, Pak. Saya buru-buru.”

 

9.00

Tatang terkesiap melihat arlojinya. Ia masih tiga menit lagi perjalanan sampai ke gerbang kampus Fakultas Kehutanan. Ia baru ingat bahwa masih dibutuhkan sekitar lima menit untuk mencapai gedung tempat kuliahnya dilaksanakan. Kuliahnya pasti sudah dimulai. Dosennya tepat waktu. Toleransi keterlambatan sepuluh menit, dan lewat dari itu tidak seorangpun akan dibiarkan memasuki kelas. Baiklah, delapan menit lagi sampai di gedung dan ia kuliah di lantai enam dan ia mengidap klaustrofobia. Berlari menaiki tangga sejauh enam tingkat sudah jadi makanan penutup baginya setiap Rabu pagi. Butuh waktu sekitar lima menit baginya untuk melakukan itu. Ia menyesal karena tadi tidur sepuluh menit lebih lama.

Lima belas menit ternyata yang dibutuhkan Tatang untuk mendobrak pintu ruang 6.03 dan mendapat sambutan dingin dari sang bocah tua nakal, “Silahkan tutup pintu dari luar.”

Di luar kelas, Tatang terkapar di atas kursi kayu panjang.

.

Tatang masih duduk tegak di atas kursi kayu panjang di luar ruang 6.03 ketika satu per satu mahasiswa keluar dari ruangan tersebut. Ia mendapati teman dekatnya, Monang, sudah berdiri di sebelahnya. Tatang bangkit. Tubuh mungilnya menjejeri tubuh Monang yang tinggi. Mereka berdua menyusuri koridor yang ramai demi menuju lift. Tentu saja yang mereka dapatkan di sana adalah para mahasiswa yang tengah berebutan memasuki bilik 1,5 m x 1,5 m yang ditakuti Tatang tersebut. Tatang tak kan pernah mendekat ke sana.

Monang menyulut sebatang rokok. Tatang sering berpikir, sungguh ironis, Monang gemar sekali merokok padahal sudah sejak dua semester ini ia jadi pegiat sebuah LSM Lingkungan Hidup berskala lokal. Tapi setidaknya Monang masih kuat untuk menemaninya menuruni tangga enam lantai.

“Sekali lagi kamu telat, kamu nggak bisa ikut ujian loh,” ucap Monang ketika sudah dua lantai mereka turuni. “Beli motor aja, Tang, biar lebih cepet nyampe kampus.”

Sebetulnya Monang kepikiran juga untuk menjemput Tatang dengan motornya sesekali namun mengingat ia sendiri suka bangun telat dan akan semakin telat kalau harus menjemput Tatang dulu yang letak kosnya berlawanan, niat baiknya itu pun ia urungkan.

Tatang tersenyum merendah. “Ah, ngapain Nang, jarak dari kosan ke kampus kan cuman tiga puluh menit jalan kaki.” Sebetulnya ia cuma tidak tega minta duit lagi pada bapaknya yang hanya seorang petani kecil. Ah, lagipula selama hijrah ke kota pelajar ini ia belum pernah sekalipun sakit. Ini pasti gara-gara ia rutin berjalan kaki bolak balik kosan-kampus setiap hari.

“Jauh itu...” Monang mengepulkan asap. Mereka telah sampai di lantai dasar. “Kalau naik motor bisa lima menit doang sampai.”

Tatang juga sering berpikir, sebetulnya jarak dari kosan Monang ke kampus hanya sepuluh menit jalan kaki. Mestinya bukan jarak yang melelahkan untuk ditempuh. Tapi mengingat Monang adalah seorang perokok berat.... Tatang mengangkat bahu.

“Mau ke mana, Tang, habis ini?”

“Ngapain ya? Ikut kamu aja deh.”

“Aku mau tuker sepatu dulu. Sepatuku masih tak taruh di motor. Untung aja tadi nggak ketahuan sama bapaknya.”

Tatang nyengir. Memang enak jadi mahasiswa di fakultas ini. Mahasiswa berkaos pun kadang masih dilegalkan untuk memasuki ruang kuliah. Pakai sandal pun sebenarnya tidak apa-apa, kalau tidak ketahuan.

Sampai di teras gedung, mereka harus menunggu beberapa menit untuk dapat menyeberang ke parkiran. Brrmmm, nguueeng, bertubi-tubi motor demi motor yang dinaiki para mahasiswa datang dari arah selatan maupun arah utara, baik hendak parkir maupun ke luar kampus. Setelah agak lengang, barulah mereka dapat menyeberang dengan aman.

Tatang tercenung. Mereka semua berkuliah di kampus yang katanya kampus ramah lingkungan. Tapi mahasiswanya masih banyak yang merokok dan menggunakan sepeda motor untuk jarak yang tak terlalu jauh.

Tatang menunggu Monang memakai sepatunya. Setelah itu karena bingung mau ke mana, akhirnya mereka pergi ke teras masjid untuk sekedar kongkow-kongkow. Tapi sesampainya di sana Monang malah asik dengan laptopnya (sinyal wi fi di area sekitar masjid memang kencang sekali) jadi Tatang pun mengisi waktu dengan mengobrol bersama beberapa anak masjid. Mereka sedang asik dengan isu pencurian di kampus rupanya.

“Memang kampus kita ini open access. Setiap orang dari luar bisa masuk.”

“Makanya kalau solat, tas harus selalu ditaruh di depan. Kalau naruh motor jangan sembarangan.”

“Tapi penasaran juga nih, coba sekali-sekali pencurinya bisa kita tangkap. Masak sudah banyak kasus kecurian di sini kita belum bisa juga menangkap pelakunya sih?”

Dalam hati Tatang bersyukur. Ia tidak pernah membawa barang yang cukup berharga untuk dicuri ke kampus karena memang ia tidak memilikinya. Ia punya ponsel tapi keluaran jadul sekali, masih layar biru. Uang di dompetnya tidak pernah lebih dari lima puluh ribu. Ia pun tidak punya laptop karena orangtuanya belum mampu membelikan. Untuk benda yang satu itu sepertinya ia memang harus menabung sendiri. Ups, ia lupa kalau ia juga harus menabung untuk Praktek Umum. Masih lama sih, tapi kalau tidak menabung dari sekarang mana cukup uangnya untuk membayar nanti? Sempat ia heran, sejak semester satu kan ia sudah bayar SPP dan BOP mahal-mahal, yang semuanya itu untuk keberlangsungan kegiatan akademis. Lalu, kenapa kemudian harus dipungut bayaran lagi? Ah, ia tidak tahu. Yang berwenang di atas tentu lebih tahu.

Tak terasa waktu berlalu, azan zuhur membuat gendang telinga serasa ditabuh alu. Sudah waktunya solat. Forum informal itu pun membubarkan diri. Tatang menuju ke arah tempat wudhu pria. Sambil santai melepas kaos kaki iseng-iseng ia memperhatikan tingkah laku orang-orang yang mulai berdatangan memenuhi arena wudhu. Yang sedang diperhatikannya kini adalah seorang mahasiswa baru—wajahnya baru ia kenali akhir-akhir ini—yang baru saja keluar dari tempat wudhu dengan memakai sarung. Celana panjang hitamnya disampirkan di bahu kemudian ditaruhnya begitu saja di pegangan tangga menuju lantai dua.

Segera terngiang peringatan pak satpam dan pak takmir masjid akan bahayanya meninggalkan barang-barang pribadi begitu saja di suatu tempat tanpa pengawasan. Tatang hampir saja tergerak untuk menyampaikan peringatan itu pada si mahasiswa baru, tapi, ah, mungkin itu hanya celana? Memangnya siapa yang mau mencuri celana? Tapi anehnya, ia merasa was-was, seperti ada firasat buruk. Maka, lepas memakai sepatu, masih diawasinya celana yang tergantung tersebut.

“Heh, Tang!”

“Eh, apa Nang?”

“Nggak solat, Tang?”

“Entar, Nang...”

Tatang menyuruh Monang menyingkir dari depannya karena pandangannya ke arah celana jadi terhalang. Sebetulnya bukan Monang saja yang jadi penghalang karena banyak sekali orang-orang lainnya juga berlalu lalang.

Tatang terbelalak ketika didapatinya celana itu raib dari pegangan tangga! Ia langsung sigap berdiri. Matanya langsung liar mencari-cari ke mana celana itu pergi. Atau lebih tepatnya, dibawa pergi oleh seseorang!

“Kenapa, Tang?”

“Celananya ilang!” seru Tatang panik.

“Hah, celananya siapa?”

Matanya menangkap seseorang berambut cepak dan berbaju biru menghilang di tikungan gedung D3 dengan suatu buntalan kain hitam diapit pada lengannya.

“Itu dia!” refleks Tatang berteriak. Segera ia ambil ancang-ancang dan berlarilah ia.

“Pencuri celana! Pencuri celana!”

Sesaat orang-orang yang ada di sekitar situ diam di tempat mereka masing-masing karena kaget dengan seruan Tatang yang bertalu-talu. Beberapa mengikuti Tatang mengejar sang pelaku. Yang dikejar, menyadari dirinya dikejar, langsung berlari secepat-cepatnya menuju gerbang ke luar.

“Tang! Tang! Pake motor aja Tang, biar lebih cepet!” seseorang berseru tapi Tatang tak mengindahkan. Perhatiannya fokus hanya pada sang pelaku seorang. Sepasang matanya lurus mengintai laki-laki cepak berambut biru yang membawa buntalan kain hitam: tidak salah lagi, pasti celana si mahasiswa baru!

Ketika laki-laki itu meloncati pagar gerbang, Tatang tak ragu untuk melakukan hal yang sama. Orang itu menyeberang tanpa memerhatikan lalu lintas. Hampir saja ia tertabrak bis namun sayangnya tidak. Dengan gesit Tatang mencari-cari celah di mana ia bisa cepat menyeberang untuk mengejar si pencuri. Lalu lintas di kota ini tidak akan pernah mau mengalah, ia tahu itu. Mereka begitu ganas memacu gas. Jika ada orang yang hendak menyeberang, bukannya memelankan laju kendaraan, mereka malah semakin kencang menerobos!

Sebagai seorang pedestrian tangguh, tentu saja Tatang tidak boleh dikalahkan begitu saja oleh para pemakai kendaraan bermotor. Kuncinya hanya satu: berani maju, jangan mengalah! Kalaupun ia nanti tertabrak, yang disalahkan dan harus bertanggungjawab kan si pengguna kendaraan bermotornya. Kenapa juga tidak mau mengutamakan pejalan kaki? Bagai seorang master kanuragan, Tatang sudah sampai lagi ke seberang, menghilang dari pandangan.

Sementara itu orang yang mengusulkan menggunakan motor tampaknya masih sibuk mencari-cari di mana letak motornya. Banyak sekali motor yang diparkir di jam-jam kuliah seperti ini. Monang yang hendak mengikuti inisiatif orang tersebut mulai menggerutu, “Halah, ribet ah, mesti nyari motor dulu... Kenapa tadi nggak langsung lari aja... Entar mesti nyetarter lagi, kalau nggak nyala...?”

“Heh, Nang, ketemu nih! Ayo naik!”

“Cihuy!” Monang meloncat ke boncengan orang tersebut. Segera mereka melaju hendak memburu si pencuri yang kini entah sudah ke mana melaju. Mereka optimis, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, urusan ini akan cepat selesai. Nahasnya, mereka lupa kalau sekarang kampus mereka sudah menerapkan portal gate. Jadi siapapun yang mau ke luar atau pun masuk ke dalam lingkungan kampus, harus berurusan dulu dengan penjaga portal. Dan orang yang dibonceng Monang itu lupa membawa Kartu Identitas Kendaraan untuk kendaraan yang ia tunggangi.

Jadilah hanya Tatang yang masih berlari sendiri. Ia terus berlari sampai menyadari bahwa orang yang ia kejar telah ia lewati. Orang itu kini sedang terpuruk di pinggir jalan. Tatang pun kembali lagi. Dengan gerakan cepat ia tarik buntalan yang tadi dibawa orang tersebut. Benar kan, celana. Ada ponsel Nokia keluaran terbaru yang katanya dijual terbatas—ia baca di koran, dan dompet berisi uang sebanyak lima ratus ribu rupiah. Tatang menangkap keadaan si pencuri yang tampak payah terengah-engah itu. Jangan-jangan orang itu juga perokok berat seperti Monang?

Tak lama kemudian berbondong-bondong orang datang mendekat. Ada orang-orang yang dikenalinya sebagai warga kampusnya dan sebagian lagi sepertinya warga sekitar yang penasaran.

“Ini pencurinya!” seru seseorang yang Tatang kira sepertinya warga kampusnya. Terdengar suara-suara yang berpretensi hendak menyulut aksi pengeroyokkan massal.

“Tenang, Saudara-saudara!” ujar Tatang dengan suara yang dibuat membahana. “Barang yang dicuri sudah berhasil saya evakuasi. Akan saya serahkan pada pemiliknya kembali. Saya harap Saudara sekalian tidak main hakim sendiri. Saya sarankan demi tercapainya kemaslahatan bersama, Saudara sekalian terapkan prinsip manajemen kolaborasi. Sekalian balik ke kampus saya juga akan memanggil polisi!”

Selesai bicara, Tatang keluar dari kerumunan. Ia segera disambut oleh Pak Pri, satpam kampusnya, yang rupanya sudah mengamatinya dari tadi.

“Wah, Dek, cepat sekali tadi kamu larinya. Hampir nggak kekejar lo.”

“Ya, saya kan cuma ngejar pencurinya, Pak...” kata Tatang malu-malu.

“Tapi bener lo, larimu tadi itu cepat sekali. Kamu rajin olahraga ya?”

“Tidak, Pak, saya cuma rajin jalan kaki setiap hari.”

Selain itu, jalan kaki juga bisa membuat tubuh kita jadi tidak mudah kena penyakit lo, sebenarnya Tatang mau menambahkan begitu. Terpikir juga olehnya untuk mengatakannya dengan suara keras agar orang-orang semua bisa mendengar banyak manfaat dari olahraga termurah dan termudah ini. Tapi ah sudahlah. Meskipun mereka sudah tahu seribu manfaat berjalan kaki pun, kalau sudah terlanjur jadi budak teknologi, ya mau bagaimana lagi? Tatang hanya bisa mengangkat bahu.

 

 

10-11 september 2009

12.46 AM

sehari jadi, buah pikiran harus dikejawantahkan!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain