Kamis, 03 September 2009

Celana Ketat

Mata Sadewa sudah terpaku padaku sejak sosokku terlihat dalam pandangannya. Mulanya aku GR, apakah penampilanku, yang sudah kupersiapkan berjam-jam ini, berhasil memikatnya? Akhirnya.... Tapi lihatlah lebih dekat, ke bagian tubuhku sebelah mana sebetulnya ia memandang?

Kakiku. Tepatnya sepanjang tungkai kakiku yang terbalut jins biru ketat. Celana jins ini belum lama kubeli dan baru sekali ini kupakai. Sebagaimana warna jins pada umumnya; berwarna biru muda dengan beberapa aksen yang membuatnya tambah manis. Aku menyukainya. Dengan atasan bolero rajut hijau dan jilbab berwarna senada, aku menyukai keseluruhan penampilanku di pagi menjelang siang ini. Terimakasih buat Kak Rini yang sudah meminjamkanku koleksi majalah remaja ibukota miliknya.

“Haa, pake celana?” Dalam jarak sedekat ini, aku bisa lebih menikmati wajahnya yang tetap ganteng biarpun lagi cengok.

“Yang lain juga pakai kan?” tanggapku santai.

Kuedarkan pandang pada teman-teman kami lainnya yang sudah lengkap jumlahnya—menambah ramai suasana pelataran Bandung Indah Plaza. Mereka tampil begitu modis; dalam usaha mengukuhkan diri menjadi bagian dari remaja kota yang terkenal akan surga belanja pakaian ini. Fahmi pakai celana pensil, Naufal menggondrongkan rambut, bahkan Anita berani melepas jilbabnya.

Untuk pertama kalinya sejak hari terakhir kami di pondok, hari ini kami semua kompakan jalan-jalan di mal dengan dresscode celana jins. Kami hendak merayakan kelulusan kami setelah empat tahun mondok sekaligus mengusir rasa ketar-ketir yang muncul akibat menanti pengumuman SNMPTN. Inilah bukti bahwa kami tetap satu meskipun sudah tidak terkurung dalam pondokan lagi.

Lama-lama aku merasa kurang nyaman juga dengan tatapan Sadewa yang hanya tertuju padaku. “Emang kenapa sih?”

“Kaki kamu kan gede banget!”

Aku terhenyak.

“Terus kenapa? Bi—biarin aja, terus kenapa sih emangnya kalo aku pake celana?!” Betapa malunya aku tak bisa menguasai diri. Kelihatan deh betapa aku jadi gugup gara-gara pernyataan sadisnya ituuuu!

Dia tampak rikuh saat berkata, “Kayak yang enak dilihat aja.” Dia memalingkan kepala sambil merengkuh pundak Naufal yang kebetulan sedang di dekatnya. Mencoba menghindar dari suasana tak menyenangkan yang telah dia ciptakan sendiri. Tak bertanggung jawab dengan perasaanku yang jadi super tak keruan. Mukaku memanas. Harga diriku diremukkan oleh cowok yang aku puja diam-diam selama empat tahun mondok di pesantren yang sama....

Aku, Sadewa, Fahmi, Naufal, Anita, Deni, dan Mala, yang sama-sama berasal dari Kota Bandung ini, dipertemukan di suatu pesantren di pinggir Kota Solo. Orangtua kami sama-sama punya pikiran untuk memondokkan anak mereka jauh dari keluarga. Anita, Deni, dan Mala sudah dipondokkan sejak Tsanawiyah sedangkan aku dan cowok-cowok baru masuk di Aliyah-nya.

Jangan tanya alasan kenapa kami mau saja ditinggalkan orangtua kami di tempat yang jauh dari keluarga, kesenangan dunia, dan sebagainya. Kami harus mengkaji kitab kuning di sebagian besar waktu dan hapal Quran sebagai syarat kelulusan. Cowok dan cewek selalu dipisahkan. Kami hanya dipertemukan saat ujian dan kegiatan kesiswaan. Tapi kenapa kami bertujuh sampai bisa bersahabat?

Saat aku baru masuk, aku senang sekali menemukan Anita, Deni, dan Mala yang asal kotanya sama denganku. Aku senang bergaul dengan mereka karena bisa meredakan kerinduanku pada kota asalku tercinta. Kesamaan yang kami punya adalah cara bicara kami yang khas orang Bandung dan juga kami sama tahu tempat-tempat di Bandung yang menarik untuk dikunjungi. Pokoknya pembicaraan kami selalu bisa nyambung. Kalau tidak nyambung ya disambung-sambungkan. Saat hari Jumat—hari libur—kami suka pesiar bersama-sama. Kami berjalan-jalan ke kota dan membandingkan apa yang kami temui di sana dengan apa yang bisa kami temui di Bandung.

Saat pesiar itulah kami bertemu Sadewa, Fahmi, dan Naufal. Mereka rupanya seperti kami; sama-sama orang Bandung yang suka nongkrong bareng mentang-mentang berasal dari kota yang sama. Atas kesamaan visi dan misi (ceilah), kami pun sepakat bahwa kami adalah kesatuan dan kami harus menggalang terus persahabatan antar sesama orang Bandung yang ‘tersesat’ di suatu pondok ‘terpencil’ ini.

Biarpun demikian kami bukan chauvinist loh! Sobat kental Sadewa selama mondok malah bukan orang Bandung melainkan orang Madura. Naufal juga sepertinya lebih banyak berteman dengan anak-anak yang asalnya bukan dari Bandung.

Agar bisa terus bertemu, kami benar-benar memanfaatkan waktu di mana cowok dan cewek diberi kesempatan untuk berinteraksi. Kapan lagi selain waktu ujian, kegiatan kesiswaan, dan pesiar? Kami memanfaatkan betul waktu-waktu tersebut dan memang ada manfaat yang bisa didapat, antara lain Anita diam-diam jadian dengan Fahmi sedangkan aku jadi bisa sering-sering ketemu Sadewa deh... Dulu aku sering mengidam-idamkan, kapan kami bisa seperti Anita dan Fahmi ya? Perjuangan cinta mereka amat berat. Karena ketahuan menjalin hubungan, Fahmi sampai dirotan sedangkan Anita dihukum menyalin kitab. Meski demikian, itu tidak mengusik kelanggengan hubungan mereka.

Sadewa bukan tipe orang yang tertarik untuk selalu berinteraksi dengan cewek. Aku termasuk cewek yang beruntung karena dibanding dengan cewek-cewek lainnya, aku bisa dikatakan dekat dengannya meski dia masih suka menjaga jarak. Kadang dia meledekku sementara kepada cewek-cewek lainnya dia jarang sekali begitu. Mungkin dia mengira akulah cewek terbaik dalam hal membalas ledekannya. 

Sebelum ini aku berharap hubunganku dengan Sadewa bisa naik ke jenjang selanjutnya. Kini aku jadi berpikir ulang mengenai hubunganku dengan Sadewa. Harapan itu pupus sebab ledekannya tadi itu benar-benar menyinggung sensitivitasku!  

Aku menarik jumper-nya dan merengut, “Emang kenapa sih kalau kakiku gede?”

“Ya mending kalau enak dilihat...”

“Kalau gitu nggak usah dilihat. Orang lain aja nggak protes.”

“Aku emang nggak mau ngeliat tapi kan tetep aja keliatan.”

Naufal mengangkat bahu, tak mengerti.

Ingin rasanya aku menangis tapi tentu saja kutahan. Jelas-jelas tidak keren aku menangis di pelataran mal yang ramai hanya karena cowok yang kusukai telah menyiletku dengan perkataan yang amat tajam. Perkataan yang ‘hanya’ memperkarakan kakiku yang besar!

Memang sih baru kali ini Sadewa menyaksikan bentuk tungkai kakiku yang sebenarnya. Begitupun cowok-cowok lainnya. Kami, para cewek, sewaktu masih mondok tidak diizinkan memakai celana kecuali ketika kami sedang berada di antara sesama kami sendiri dalam suasana informal. Jadi kalau pergi ke mana-mana, termasuk pergi pesiar, kami harus selalu pakai rok dan tentu saja atasan longgar. Tidak ada yang namanya modis-modisan. Bukannya tidak boleh sih. Soalnya yang modis itu katanya belum tentu syar’i. Dalam lingkungan pondok tentu saja kami harus selalu memakai pakaian yang syar’i.

Makanya, karena kami sudah tidak terkekang dengan aturan pondok lagi, inilah saatnya untuk mengekspresikan gaya berpakaian kami sebebas-bebasnya!

Aku tak mengira bahwa kebebasan ini akan membawa tuah yang tidak menyenangkan bagiku. Kenapa Sadewa tidak memrotes cewek-cewek yang lainnya juga sih? Kenapa dia selalu ‘hanya’ berani meledekku? 

Kusadari memang di antara cewek-cewek lainnya tungkai kakiku yang paling besar sih. Dengan celana jins ketat seperti ini jelas tercetak bentuk tungkai kakiku. Orang-orang bisa memprediksi berapa ton lemak yang terkandung di dalamnya. Berguncang-guncang setiap ku menjejakkan kaki.

Selama ini aku kira memang sudah potongan tubuhku begini. Begitu pula pendapat kebanyakan orang, terutama dari keluargaku. Sekarang aku tahu mereka semua salah! Mereka hanya coba menghiburku. Aku memang kebanyakan makan!

 Kuperhatikan orang-orang. Tidak ada orang yang memerhatikan tungkai kakiku sebagaimana Sadewa melakukannya. Mereka cuek saja. Lalu kenapa Sadewa harus peduli? Kenapa aku harus peduli pada omongan menyakitkannya? Dia bahkan tidak menengok lagi ke arah gerombolan cewek-cewek—khususnya aku!—sejak kalimat terakhirnya yang hampir membuatku mewek.

Sambil mengikuti rombonganku memasuki mal, kuperhatikan juga bentuk tungkai kaki teman-teman cewekku. Kubandingkan dengan milikku. Tindakan yang salah karena akibatnya aku jadi merasa sangat minder sekali.

Oh lihatlah, Anita dan Deni memiliki bentuk tungkai kaki yang sangat indah. Terpahat dengan sempurna lekuk-lekuknya. Mereka justru akan semakin percaya diri dengan memakai celana jins ketat seperti sekarang ini. Bangga dengan keindahan tubuh mereka, tidak usah malu memperlihatkannya pada dunia. Orang-orang takkan mencelanya melainkan memujinya, membuat kedua temanku itu makin bahagia.

Mala juga memakai celana jins ngepas namun saking kurusnya anak itu (kami suka berseloroh dia akan terbang kalau angin bertiup kencang) lekuk tungkai kakinya tak kentara kalau tidak bisa dikatakan tidak punya. Biarpun demikian, dia tidak mencolok sebagaimana aku. Karena apa yang besar itu sudah pasti lebih mencolok! Dengan iri kupandangi tungkai kakinya yang seperti tusuk gigi itu. Ia sedang mengunyah hamburgernya yang kedua, yang baru saja ia beli di counter hamburger di lantai dua yang sedang kami tapaki ini .

Aku ingin sekali menutupi tungkai kakiku dengan rok. Aku ingin kembali ke rumah dan mengganti celana jins hinaku dengan rok.

Celana jinsku yang manis, kenapa kau mengkhianatiku? Kenapa kau terlihat bagus saat dipajang di etalase tapi malah menurunkan martabatku saat aku memakaimu?

Aku butuh rok itu sekarang.

“Hei, rok itu bagus banget ya!” Aku menarik lengan Deni masuk ke dalam sebuah toko busana muslimah yang kebetulan sedang kami lewati. Serentak teman-teman yang lain menghentikan langkah mereka.

“Yah, biasa, cewek...” keluh Fahmi. Tapi akhirnya dia bergabung juga dengan cowok-cowok lainnya; lengan terlipat berpangku pada pegangan pagar pengaman, memunggungi toko yang tengah dimasuki empat cewek ribut, dan menatap hampa ke lantai dasar.

“Mala, pashmina ini bagus deh...” Biarpun Anita sudah tak berjilbab, tapi berada di toko busana muslimah tidak lantas membuatnya mati gaya.

Deni mengamatiku yang sedang sibuk memilah puluhan rok yang tergantung di salah satu sisi toko. Dia tidak tahu bahwa pikiranku sedang kalut bertanya-tanya apakah aku benar-benar mau membeli rok. Jika ya, apakah rok itu akan langsung kupakai untuk mengganti si celana aib ini? Apa komentar teman-teman nanti? Apa komentar Sadewa? Fahmi pasti bakal mengira aku habis menduduki kotoran atau ngompol di celana. Aduh... Tapi rok-rok ini memang bagus-bagus sekali!

“Mmmm... Mila, aku beli rok juga nggak ya?” Deni bertanya pelan.

“Emang kenapa, Deni?” Mataku masih jelalatan menyeleksi rok-rok terbaik meski kutangkap ada nada yang tak biasa pada suaranya. Biasanya suara Deni selalu bernada ceria dan percaya diri.

Deni mencomot salah satu rok. “Kita cobain dulu yuk, beberapa....”

Setelah kutentukan dua rok dengan model terbaik, aku digiringnya masuk ke dalam bilik untuk mencoba pakaian. Di dalam, di mana hanya ada kami berdua, kusadari wajah Deni menunjukkan kegelisahan.

“Ada apa Deni?”

“Mila, aku nggak nyaman nih pake celana ini...” Deni menggigit bibir; ciri khasnya kalau sedang mengalami sesuatu yang meresahkan. “Ngetat banget... Mau nggak kita sama-sama beli rok terus langsung kita pakai gitu?”

Aku tercengang dengan pertanyaannya itu. Bukannya aku ingin menolak sih. Aku malah merasa agak senang karena sepertinya aku tidak sendirian.

“Emang kenapa Den? Kamu lagi dapet? Tembus?”

 “Iiih, nggak,  Say... Ya, aku ngerasa nggak nyaman aja, celanaku terlalu ngetat!”

“Sesek gitu ya, Den?”

“Nggak juga sih, Mil... Sebenernya ngepas aja di kakiku, nggak terlalu bikin sesek sebetulnya... Yang bikin aku nggak nyaman tuh soalnya celananya ngebentuk kakiku banget. Bukannya aku GR ya, Mil, tapi aku ngerasa kayaknya ada aja orang yang mratiin kakiku. Kalau cewek sih ya... mending, tapi kalau cowok... hiii... Aku kan jadi risih sendiri Mil.”

“Tapi kan kakimu emang bagus, Den.” Kaki model, batinku. Syukurilah apa yang kamu punya, Sayang! Banyak cewek mengibakan yang berharap punya tungkai kaki seindah milikmu, termasuk akuuu!

“Iya, tapi bukan buat jadi tontonan. Aku malah ngerasa lagi nggak pakai bawahan gitu, Mil... Telanjang!” Deni mendesis saat menyebutkan kata terakhir. Dia melanjutkan dengan lirih, “Soalnya lekukan kakiku keliatan jelas banget… Nggak ada bedanya dengan kalau aku lagi nggak pakai apa-apa, bedanya cuman di warna kulitku sama warna jinsnya…”

Aku tercengang. “Itu kan cuman perasaanmu, Den…”

“Tapi apa gunanya berpakaian kalau orang-orang ngeliat kita seakan-akan kita nggak berpakaian?”

 “Ng, tapi gini deh Den, kaki kamu kan bagus, indah gitu, kayak karya seni, makanya orang-orang suka ngeliatnya. Kamu aja kali yang lebay. Orang-orang ngeliat kamu ya masih pakai pakaian!”

“Tapi kita kan nggak tahu apa yang ada di pikiran mereka, Mil.”

“Siapa tau aja mereka malah nggak mikirin apa-apa?”

“Tapi kalau iya?”

Aku terdiam.

Dia menyambung, “Kalau tubuh kita tertutup sempurna tentu mereka nggak bakal tergoda untuk ngebayangin yang nggak-nggak. Kalau hari ini nggak usah pake dresscode-dresscode-an, atau seenggaknya bukan jins deh, aku mending pakai rok. Ini juga celana jinsnya dapet minjem sepupuku...  Adanya yang ngetat gini. Mungkin aku aja kali ya, yang nggak biasa pakai celana. Tapi kalau udah terbiasa dengan yang lebih baik kenapa kita harus menghentikannya meski kita nggak lagi dituntut untuk melakukannya?

“Inget nggak Mil, pas kita masih di pesantren dulu kita nggak boleh pakai pakaian yang macem-macem? Kayak yang terlalu ngetatlah, agak terbukalah... Aku malah ngerasa lebih nyaman gitu. Pakaian kan gunanya untuk menutupi tubuh. Sesuatu yang tertutup itu kan mestinya nggak keliatan sama sekali. Nah, kalau nutup tapi masih keliatan bentuknya, itu membungkus namanya, bukan menutup. Berarti nggak benar-benar menutup dong…

“Tubuhku kan bukan buat jadi tontonan, Mil. Bukan barang murah yang semua orang bisa dengan mudah menikmati. Apa yang dikasih Allah ini mahal harganya. Harus dijaga baik-baik. Nggak boleh seenak itu orang lain mendapatkannya. Terserah deh orang lain mau mempergunakan tubuhnya kayak gimana. Yang jelas aku sayang sama tubuhku. Aku percaya akhirat dan aku harus bisa mempertanggungjawabkan pemberian Allah ini,” suara Deni pelan tapi tegas. Aku melongo dibuatnya. Kok bisa ya dia sampai berpikiran gitu. Kenapa juga dia tidak kepikiran itu sejak awal?

“Kok kamu baru kepikiran sekarang sih, Den? Padahal kan sebelum dresscode-nya ditentuin gini kamu kan bisa nolak.”

“Iya, nih, Mil. Aku baru bener-bener mikirin ini pas ngalamin sendiri. Dari mulai berangkat dari rumah, di jalan, di angkot, aku ngerasa pandangan orang-orang tertuju sama kakiku. Nyuit-nyuitin. Ngegodain. Padahal aku udah pake jilbab! Nggak semua orang yang aku temuin kayak gitu sih, mungkin cuman satu dua, tapi tetep aja bikin risih. Sampai akhirnya aku jadi punya kesadaran kayak gini.”

Aku mengangguk setuju. Coba kalau Sadewa tidak meledek kakiku tadi. Mungkin sampai sekarang aku masih pede menunjukkan kaki besarku dan tak bakal kesasar sampai ke toko busana muslimah ini. “Den, aku malah malu loh sama tubuhku sendiri. Badanku tuh gede banget, nggak proporsional. Kakiku gede banget! Tau nggak, tadi tuh Sadewa aja ampe komentar pedes banget, katanya kakiku nggak enak dilihat!”

“Hah, masak gitu...?”

Bilik ganti pakaian pun berubah menjadi arena gosip. Beginilah aku dan Deni, sobat paling kentalku, kalau sudah diberi kesempatan berduaan saja. Segala pikiran pasti dikeluarkan.

“Iya, jahat banget kan. Mana perkataannya bener lagi.” Kujejakkan kedua kakiku kuat-kuat ke lantai. Tungkai kakiku berguncanng-guncang pelan sesudah itu. Bukan pemandangan yang enak untuk disaksikan. “Aku jadi nggak pede kan buat ngeliatin kakiku lagi. Dari tadi aku kepikiran nyari rok buat nutupin kakiku. Kayaknya aku mesti diet.”

“Tapi potonganmu udah pas gitu kok. Kalau kamu tambah kurus entar pipimu nggak enak buat dicubitin lagi dong.... Kamu nggak kegendutan kok, Mil.”

Aku menghindar dari tangan-tangan jahil Deni yang mulai gatal ingin mencubiti pipiku.

“Meski kakimu besar, tapi justru kamu kan yang jadi pelari cewek tercepat seangkatan. Kamu juga yang paling kuat jalan jauh kan di antara cewek-cewek yang lain,” ujar Deni tadi. Kali ini ia berhasil mencubit sebelah pipiku. Aku meringis.

Aku ingat masa-masa sekolah kami yang baru saja berlalu. Memang, aku selalu nomor satu kalau dites lari dalam pelajaran Olahraga. Waktu sekolah mengadakan acara tracking pun, aku kerap meninggalkan teman-teman cewekku yang sudah pada ngos-ngosan di belakang. Kakiku yang besar ini yang kuat melakukannya.   

“Tubuhmu masih berfungsi dengan baik dan kamu juga termasuk yang paling jarang sakit loh di antara kita, kenapa kamu nggak mensyukurinya? Entahlah Sadewa bermaksud jahat apa nggak, tapi bukankah menutupi tubuhmu dengan sempurna memang suatu keharusan dan itu emang lebih baik buat kamu?”

Kedongkolanku pada Sadewa jadi agak mereda. Sepertinya benar juga apa yang Deni katakan. Meski kesannya Sadewa jahat, tapi esensi perkataannya sebetulnya mengandung kebaikan. Kata-kata ‘tapi kan tetep aja keliatan’ mengiang-ngiang dalam benakku. Meski orang lain tak bermaksud untuk melihat tapi kalau diperlihatkan ya mau tak mau kelihatan juga...

“Maaf Mbak, tolong gantian...” terdengar suara seorang perempuan dari balik tirai bilik.

“Bentar lagi, Mbak! Hihi, kebanyakan gosip kita...” Deni menjulurkan lidah padaku lalu dengan harap-harap cemas, “Gimana, jadi beli rok, Mil?”

“Langsung dipakai, Mil?” Aku mengedipkan sebelah mata.

Kami terkikik bareng.

“Tapi aku bingung milih yang mana, Den. Menurutmu aku cocok pake yang mana, Den? Ya ampun, kita bahkan belum nyobain roknya sama sekali!”

Sejenak kepanikan melanda kami sampai akhirnya kami dapat memutuskan rok mana yang hendak kami beli. Deni memilihkanku rok coklat dengan bordiran cantik di bawahnya sedangkan aku mengambilkannya rok merah tartan yang lebar. Setelah membayar kami minta izin ke penjaga toko untuk langsung memakai rok yang baru kami beli itu. Penjaga toko itu mengangguk heran sementara kami melesat ke dalam bilik ganti pakaian lagi. Setelah orang yang di dalamnya keluar tentu saja.

Dengan suntikan kepercayaan diri yang baru, kami melangkah keluar toko. Anita dan Mala rupanya sudah bergabung dengan para cowok di luar sana.

“Hampir aja kalian mau ditinggal loh,” ucap Anita tanpa bisa menyembunyikan sedikit pun kekesalannya. Tidak seperti kami, dia pede saja mengurai rambut dan memakai baju ngetat. Sejak masih mondok dia memang sudah suka begitu, meski tidak sebebas sekarang. Anita yang paling tidak betah di pondok dan paling sering kena iqob di antara kami yang cewek-cewek. Mata Anita terpekur pada rok baru kami. “Kalian beli rok langsung dipake?”

“Kami lebih nyaman gini,” ujar Deni sumringah.

“Kok nggak ngajak-ngajak sih...” Mala cemberut. Tangannya menggenggam setengah batang coklat. Apa yang sedang dimakannya itu menambah kembung sepasang pipinya. Kusadari hari ini ia sudah makan banyak sekali. Sewaktu kami di toko tadi rupanya ia masih sempat ke Hypermart untuk membeli sebungkus plastik ukuran sedang penuh berisi cemilan. Para cowok tampak cuek mengunyah kripik singkong yang pasti mereka dapatkan dengan memalak cewek tersebut.

“Nonton yuk, kita udah punya banyak perbekalan nih!” seloroh Fahmi sambil lalu.

Anita memandang kami, meminta persetujuan. Kami mengangguk saja.

“Liat dulu ada film apa aja. Kalau ada yang bagus sih, hayuk,” tambahku.

Sambil mengekori teman-teman yang sudah berjalan duluan, aku membisiki Deni, “Besok kita ajak Anita dan Mala pake rok juga yuk.”

Aku menduga Mala mengalami perasaan inferior sebagaimana aku. Kalau aku minder dengan kaki besarku, dia mungkin minder dengan kakinya yang terlalu kurus tak berbentuk. Memakai celana jins ketat membuat kami menyadari ‘kekurangan’ kami ini tapi ironisnya kami malah membiarkan orang lain melihatnya. Asumsiku pula, dia cukup tertekan dan melampiaskannya dengan banyak-banyak ngemil. Cemilan yang sudah jelas akan memberinya banyak kalori dan lemak tentunya.

Sebenarnya dari dulu Mala makannya lumayan banyak. Tapi herannya, kok dia tidak gendut-gendut ya? Sementara aku, mau rajin puasa Daud pun kayaknya tidak akan pernah bisa membuatku tampak lebih langsing. Entah apakah merupakan faktor genetis sehingga potongan tubuh kami selalu seperti ini.

“Yuk, Mala pasti mau. Tapi kalau Anita sih... mungkin agak susah...”

“Temen-temen, untuk ketemuan kita besok, yang cewek dresscode-nya pake rok,” tiba-tiba Fahmi nyeletuk keras. “...kata Sadewa loh...”

“Yah, kayak di pondok lagi nih, tapi nggak apa-apa sih. Cowoknya nggak sekalian pake sarung aja?” timpal Mala, mengundang tawa yang lain.

“Eh iya, kebetulan kemarin aku baru beli rok puff selutut gitu... Lucu loh. Besok kupakai aja kali ya?” Anita mengajak kami terlibat dalam pembicaraan tentang rok.

Aku dan Deni menggeleng-gelengkan kepala memirsa gurauan teman-teman. Kulihat sekilas Sadewa menengok ke belakang dan tersenyum entah padaku, pada Deni, atau pada kami berdua. Kubalas dengan senyum sok jutek. Kukira aku bisa mengerti maksudnya meledekku tadi itu. Dia cuma tidak bisa menyampaikannya dengan baik.

  

buah ramadhan,

1-2-3 september ‘9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain