Minggu, 18 Oktober 2009

SANG CO ASS

Ia adalah co ass untuk praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumber Daya Hutan—atau biasa disebut Invent saja. Ia sudah siap dibenci karena dirinya dan praktikum itu sendiri. Ia tidak tahu apa yang salah dengan dirinya namun ia bisa merasakan hawa negatif dipancarkan para praktikannya sejak selama ia menjadi co ass. Itu sudah berlangsung beberapa semester. Ia tidak mengindahkan itu dan tetap happy-go-lucky seperti biasa. Praktikum Invent memang tidak mudah dan juga tidak sederhana. Para praktikan sudah terlalu suntuk dengan praktikum itu sendiri—alih-alih berusaha menyukai co ass mereka—ia maklum.

Pragmatis saja tujuannya menjadi co ass. Ia selalu mendapat A untuk setiap mata kuliah yang melibatkan perhitungan. Sebut saja mulai dari Matematika, Pengantar Statistik, Pengukuran Sumber Daya Hutan (PSDH), Invent, Ekonomi Sumber Daya Hutan (ESDH), Perencanaan Sumber Daya Hutan (Perencanaan), dan Pemanenan Sumber Daya Hutan (Pemanenan). Invent, ESDH, Perencanaan, dan Pemanenan—beberapa matkul “dewa”—adalah spesialisasinya. Kecuali ESDH, mata kuliah-mata kuliah tersebut berpraktikum dan meski tidak seberapa, ada fee di setiap akhir semester bagi para co ass praktikum. Lumayan buat menambah penghasilannya sebagai part-timer di sebuah distro di tengah kota.

Ia memang senang menghitung. Hal yang paling senang dihitungnya adalah pendapatannya setiap akhir bulan, lebih-lebih saat akhir semester. Namun menjadi co ass bukanlah untuk melampiaskan hobi menghitungnya. Jika sedang mood, ia akan memeriksa hasil perhitungan praktikannya. Ia hanya perlu mencerna dan mencek hitungannya dengan Tabel WvW dan kalkulator—satu hal yang amat mudah dan biasa dilakukannya dalam waktu singkat—lalu menemukan kesalahan. Kesalahan mereka kadang bisa ditemukan hanya dengan logika saja. “Masak sih umurnya udah masak tebang tapi Vst totalnya cuman segini?”, begitu suatu kali ia menguakkan tanda tanya. Mereka akan menyadari bahwa co ass mereka benar tapi mereka terlalu sombong untuk mengakui kesalahan mereka dan mengucapkan terima kasih. Kadang pula mereka terlalu picik untuk menerima kenyataan. Mereka susah menerima perhitungan yang telah mereka kerjakan semalam suntuk ternyata mengandung kesalahan yang fatal. Mereka merasa sudah melakukan prosedur perhitungan secara benar.

Memang ia bisa membuat para praktikan jelas akan materi praktikum. Ucapannya lugas dan kadang disisipinya sentuhan humor meskipun tidak ada tawa dari para pendengarnya. (“Nanti setelah ketemu berapa faktor kerusakan hutannya, dibahas mengenai kemungkinan-kemungkinan hutannya rusak gara-gara apa, mati gara-gara apa... Kayak lampu kelas ini nih, tiba-tiba mati, pasti kalian belum pada bayar SPP ya?”) Suaranya cukup keras sehingga mampu menarik perhatian. Ia suka tertawa. Polah para praktikan yang kadang begitu polos membuatnya geli, misalnya ketika ia memergoki ada praktikan yang menaruh buku petunjuk praktikum di lantai sebagai sumber sontekan saat pre test. Jika ia tidak jeli memerhatikan tentu ia tidak akan tahu kalau saat praktikannya tunduk menulis itu ternyata sambil melihat ke arah jawaban juga. Koordinasi dengan rekan satu shift-nya sendiri selalu berjalan baik karena ia selalu menurut saja.

Namun para praktikan tidak pernah bisa melupakan arogansi yang selalu ditampilkannya saat praktikum.

“Aku mau laporan selalu dikumpulkan tepat waktu. Nggak ada toleransi keterlambatan, atau nilai dipotong. Keterlambatan satu hari dipotong 5 point.”

“Kalau mau ngumpulin laporan telat, aku cuma ada di kampus hari Senin, Rabu, Jumat.”

“Aku mau semuanya hasil perhitungan ini diketik rapi, pembulatan harus 4 angka di belakang koma, ukuran font-nya jangan kekecilan tapi jangan kegedean juga—12-lah, pilih karakter font-nya yang enak dibaca ya, paragrafnya 1,5, nggak boleh di-copy, harus print-an asli. Aku bisa ngebedain mana yang di-copy dan mana yang asli.”

“Aku mau semua laporan di-staples, nggak ada yang pake klip-klipan kayak gini. Punya siapa ini...? Riandi Alamsyah... Atau aku nggak jamin laporan kalian nggak bakal kececer ke mana-mana. Tuh kan, pada copot-copot...”

“Aku mau...”

“Aku...”

Semua kemauannya membuat para praktikan merasa beban mereka bertambah-tambah meskipun sebenarnya itu bukan hal yang berat untuk dilakukan. Namun data perhitungan yang harus mereka garap bisa sampai puluhan lembar. Baru diterangkan bagaimana cara mengolahnya saja sudah bikin mereka pusing dan mual-mual. Segala kemauan co ass yang terkesan bernada paksaan untuk dituruti menjadi tekanan tersendiri bagi mereka.

Apalagi mereka melihat ada hal-hal yang tak patut diteladani dari co ass mereka. Ia baru memakai baju berkerah kalau masuk kelas—itu pun dapat minjam. Ia merokok. Ia banyak protes kalau praktikan melakukan kesalahan. Ia jarang membalas sms dari para praktikannya tapi selalu membalas sms dari praktikan co ass lain. Ia susah dihubungi untuk diajak kumpul membahas pengerjaan laporan. Sekali ia meninggalkan banyak coretan di bagian dalam laporan namun laporan-laporan setelahnya yang dikembalikan seperti tidak pernah disentuh. Di halaman judul hanya ada tulisan “Acc” dan tanda tangannya tertera. Ia tidak pernah mencantumkan nilai. Dan yang membuat para praktikannya makin jengkel sekaligus malu, coretan-coretan yang ditinggalkannya justru bukan untuk perbaikan isi laporan, melainkan sesuatu yang menguak rahasia terdalam mereka.

.

Rintik hujan jatuh terpental di atas aspal, menguar kesan romantik. Sang co ass duduk meringkuk di balik salah satu pilar penyangga gedung tertua di kampusnya itu. Beberapa bundel laporan berserak di sampingnya sementara tas selempang kumalnya tergeletak tanpa daya di samping satunya lagi. Bibir tebal pinknya mengapit sebatang silinder 7 cm. Mentol. Ia tak khawatir masuk angin. Sesekali jari telunjuk dan tengah kirinya ganti mengapit benda berasap tersebut. Matanya yang tak berkelopak mengerjap-ngerjap dan ia menyibakkan poni tebalnya kalau menemukan sesuatu yang menarik dari apa yang sedang ditekuninya. Sebundel laporan di pangkuan dan Standard AE 7 Fine hasil pungutan di tangan kanan.

“Tingkatkan kerja sama dengan teman-temanmu,” tulisnya di bagian belakang laporan tersebut. “Mungkin ada baiknya sering-sering puasa biar emosi stabil.”

Dilemparnya laporan tersebut ke tumpukan laporan yang sudah selesai diperiksanya. Namun diambilnya kembali seakan teringat sesuatu. “KBD-nya itung lagi,” dia menambahkan di bagian belakang laporan itu lagi. Lalu di halaman judul, “Acc”, dan tanda tangannya menyusul.

Ia mengambil laporan yang baru dari tumpukan satunya. Dicermatinya bagian samping laporan tersebut lalu dibolak-baliknya. Diangkatnya satu lembar pada bagian tepi sementara lembar-lembar lainnya dibiarkan jatuh ke bawah namun lembaran-lembaran itu tetap terekat pada satu sisi. Diamatinya sisi tersebut. Ia mendengus. Matanya makin menyipit. “Huh, pake double tape. Ora nduwe staples po piye ki?” ucapnya dalam Bahasa Jawa yang tidak medhok.

Lama ia menatapi lembar demi lembar laporan tersebut. Ia cermati gaya tulisan yang tergores baris demi baris. Bentuk tulisan kali ini bersambung tak karuan dan kadang sukar membacanya. Orang yang menulis dengan gaya seperti ini biasanya adalah orang yang kreatif namun susah menerima kritik kalau melakukan kesalahan. Sepertinya juga tulisan ini ditorehkan dalam ketergesaan. Mungkin baru digarap 1 jam sebelum praktikum dimulai. Ia tersenyum lagi akan prasangkanya itu. Laporan memang seharusnya dikumpulkan saat praktikum berikutnya. Itu namanya tepat waktu. Namun ia menduga ada kemungkinan lain yang melatarbelakangi gaya menulis seperti itu. Dilihatnya nama yang terletak di halaman judul: Prastya Dipta. Ia ingat anak yang memiliki nama ini adalah anak yang tidak banyak tanya di kelas dan tampaknya cepat menangkap penjelasan co ass. Kalaupun belum mengerti benar, anak ini akan menggunakan caranya sendiri untuk mengerjakan. Tampaknya suatu saat anak ini akan menjadi penemu metode-metode baru dalam dunia inventarisasi kehutanan. Namun sepertinya juga anak ini yang paling tidak suka kalau co ass mulai berkehendak macam-macam akan format penulisan laporan. Tanpa pikir panjang-panjang ia menulis di halaman belakang laporan tersebut, “Kritik itu perlu supaya kita bisa jadi orang yang lebih baik. Menolong orang lain juga perlu, meskipun itu tidak sesuai dengan kehendak kita. Hasilmu hampir benar tapi cara pengerjaannya kok beda sama yang lain??”

Dilemparnya laporan itu ke tumpukan laporan satunya lalu diambilnya satu laporan dari tumpukan laporan lainnya. Langsung ia mengernyit ketika membuka-buka laporan tersebut. Dilihatnya nama pemilik laporan itu. Oh, ini anak yang ia tahu sengaja membuat tulisannya jelek sedemikian rupa untuk menyusahkan co ass-nya. Ia pernah mendengarnya langsung saat kebetulan melintas sekilas di depan anak itu—yang sedang ramai-ramai menyelesaikan laporan di tepi koridor bersama teman-temannya. Katanya, “Biar aja tulisannya jelek ah, biar co assnya nggak bisa baca, hehe. Aku nggak ngerti nih mesti bahas apa.” Ia tersenyum saja sehabis itu. Sinis. “Huhu, awas kamu nanti, toh nilaimu di tanganku juga...” batinnya.

Dilemparkannya laporan itu ke sembarang arah.

Ia goyang-goyangkan rokoknya agar abunya jatuh. Lalu ia mengusap-usap mukanya dengan sebelah tangan. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, pekerjaan mengoreksi laporan bukanlah pekerjaan yang menyenangkan dan membutuhkan ekstra kesabaran. Padahal tahun ini ia sudah mulai menggarap skripsi. Ia membutuhkan konsentrasi yang cukup tinggi dan urusan-urusan yang memicu stres dan kesuntukan harusnya ia hindari. Untunglah ia bukan tipe co ass teladan sehingga ia masih bisa menikmati hidupnya.

Apalagi sejak ia menekuni grafologi. Memahami ilmu membaca gaya tulisan tangan ini membuat hidupnya sebagai co ass menjadi lebih hidup. Ia jadi bisa menduga-duga kepribadian para praktikannya. Sambil memandangi wajah para praktikannya satu per satu ketika ia sedang tampil di depan kelas, ia merasa seakan dapat membaca isi pikiran mereka semua. Saat mereka menatapnya dan bertanya, saat ia mendekat dan berinteraksi dengan mereka, ia ingin berkata,” Kamu sebaiknya lebih membuka diri pada orang lain” atau “Kamu harus lebih PD dan dewasa ya, jangan cuma diam saja,” atau “Eh, kita bisa cocok loh. Coba kamu nggak sok jaim gitu sama aku,” dan masih banyak lagi sugesti-sugesti lain dalam kepalanya yang ia tahu biarlah semua itu tak usah menjadi kata-kata yang terucapkan. Setidaknya jangan secara lisan.

Memang grafologi tidak 100% akurat. Ia juga tidak begitu saja percaya karena berdasarkan eksperimennya pada beberapa teman, hasilnya cenderung subjektif pun belum ia temukan bacaan yang menunjukkan keilmiahan grafologi. Meski demikian, dugaan-dugaan akan kepribadian orang-orang yang mesti berurusan dengannya menjadi hiburan tersendiri baginya. Hanya rekan 1 shift-nya saja yang menolak untuk dites karena tidak percaya. Namun tak ayal, rekannya itu suatu kali minta tolong juga bantuannya menganalisis kepribadian seseorang yang menyelipkan surat cinta di tumpukan laporan miliknya.

Ia mengambil satu laporan lagi dan berniat setelah menyelesaikan ini ia akan segera cabut. Lagipula hujan sudah tidak sederas tadi. Ditengoknya nama pemilik laporan yang kali ini dipegangnya: Nabila Faithia. Oh, ini anak yang pernah dipergokinya sedang membuka Facebook di acara praktikum yang menggunakan laptop. Ia tidak begitu memedulikan anak itu. Ia hanya menegurnya dengan nada menggoda sementara anak itu cekikikan bersama teman di sebelahnya. Laptop itu sedang mereka pakai bersama. Ia tidak tahu kalau kedua gadis itu baru saja membaca statusnya yang ia post 4 jam yang lalu, di mana tanpa maksud apa-apa ia memberitakan pengalamannya terjebak sejam di kamar mandi pada pagi itu.

.

Tidak ada wajah para praktikan yang tidak bersuka cita di petang yang dingin ini. Suasana ini takkan terasa saat masa-masa praktikum kemarin namun sudah menjadi hal yang biasa didapatkannya saat waktunya responsi tiba dan selesai dilalui. Para praktikan menamakannya: Hari Kebebasan. Petang ini mereka tidak akan lagi merasakan derita sekali seminggu bernama praktikum Invent yang sudah berminggu-minggu kemarin menyiksa mereka. Lupa akan masa lalu. Tiada lagi tabel dan peta besar hasil inventarisasi hutan alam Kalimantan dengan IS 100% yang harus mereka olah. Tiada lagi begadang sampai pagi. Tiada lagi cekcok dengan teman karena salah paham atau pembagian kerja kelompok yang tidak merata. Tiada lagi memelototi Excel sampai mata jereng. Tiada lagi co ass biadab. Horeeeee!!

Mereka tahu, semester berikutnya akan tiba dalam jangka waktu yang takkan terasa, dan mereka akan menemui lagi praktikum-praktikum yang tak kalah mengerikan dari praktikum Invent. Tapi biarlah. Kebebasan ini menjadi euforia sesaat yang harus dirayakan.

Ia turut bergembira dengan gelombang suka cita para praktikan. Segera setelah ia menyetorkan nilai-nilai “bayangan” pada dosen pengampu (ia tidak pernah benar-benar memeriksa laporan para praktikannya melainkan hanya membayangkan berapa nilai yang layak diberikan untuk masing-masing praktikan—semacam mencari wangsit untuk nomor togel), ia akan mendapatkan gajinya. Lumayan untuk beli rokok, pulsa, dan burjo.

Di tengah tumpah ruah sorak sorai para praktikan dari semua shift di koridor gedung yang dipakai sebagai tempat menggelar responsi, ia mendengar suara-suara memanggilnya,

“Jadi ikut kita nggak, Mas?”

“Makan-makan...”

“Kita udah pesen tumpeng nih buat syukuran selesainya praktikum Invent!”

“Loh, jadi toh?” Ia sadar kemarin belum memberikan jawaban saat diajak para praktikannya ikut merayakan Hari Kebebasan ini. Ia bingung sebaiknya ikut apa tidak secara belum diakrabinya benar mereka. Untung rekan 1 shift-nya lewat. Ransel sudah menempel di punggung dan di pelukannya terdapat setumpuk lembar jawab responsi.

“Ikut nggak?”

Para praktikan mereka, karena memang 1 shift dan 1 ruangan, sepakat hendak merayakan ini bersama-sama. Shift lain bahkan tidak kepikiran untuk mengadakan syukuran.

“Dateng aja bentar,” kata rekannya itu kalem.

“Ikut makan-makannya abis itu langsung cabut,” bisik rekannya setelah mereka sudah berjalan cukup jauh dari rombongan praktikan mereka.

Setelah mengumpulkan soal-soal dan lembar jawab responsi ke ruangan dosen dan ngobrol-ngobrol dengan karyawan yang ada di sana, mereka berboncengan naik motor ke warung makan yang telah ditentukan oleh para praktikan mereka. Dari kampus mereka, warung makan itu letaknya beberapa ratus meter ke sebelah timur. Tepat di seberang selokan besar, warung makanan yang menjual aneka masakan jamur itu berdiri. Banyak motor sudah berderet di halamannya. Di salah satu sisi pada bagian dalam warung sudah ramai para praktikan mereka berceloteh mengenang praktikum Invent yang sudah lalu sambil duduk lesehan. Mereka tambah ramai begitu melihat kedatangan kedua co ass mereka.

“Asik, asik, yang bayarin udah dateng!”

“Ayok kita pergi lagi,” ia menarik lengan rekannya tapi mereka segera mencegahnya. Mereka berhasil mendudukkan 2 orang itu di antara mereka.

“Mana tumpengnya?” Ia bertanya.

“Tumpeng jamur, Mas,” seorang anak menjawab sambil menyusun serpihan jamur crispy di depannya menyerupai tumpeng.

Ora mutu.” Ia mendengus. Ramai lagi anak-anak menanggapinya.

Karena makanan sudah lengkap, salah seorang dari mereka segera memulai proses syukuran. Hari semakin gelap dan mereka semua tidak sabar ingin segera menunaikan ‘acara puncak’. Sementara itu ia malah sudah tidak nyaman karena ingin segera menyelesaikan urusan yang lain. Ia jadi berniat tidak ikut makan-makan karena kalau sudah terlena ia pasti ditodong untuk ikut membayar padahal gajinya belum turun. Tapi rekannya yang terancam bernasib sama tampak tenang-tenang saja. Ia redam kegelisahannya itu.

Setelah doa diucapkan, segala amin menyusul dihembuskan.

“Kita mungkin masih akan bertemu dengan para co ass kita tercinta ini di praktikum Perencanaan dan atau Pemanenan semester besok. Tapi tidak apa-apa. Yang penting kita bersenang-senang dulu untuk yang ini. Nanti kita makan-makan lagi...!”

“Tapi tetep kalian yang bayarin kan?” ia nyeletuk.

“Ho ho... Itu lihat nanti saja... Mungkin dari mas-mas co ass ada yang mau disampaikan?”

“Kalian mungkin masih ketemu aku di Perencanaan tapi aku nggak ambil co ass Pemanenan,” rekannya menjawab takzim.

Gilirannya, “Semester ini aku masih ngoassin tapi nggak tahu ya semester besok.”

“Skripsi ya, Mas?” sahut seseorang.

“Ah, ada deh.”

Lantas mereka bersorak sorai lagi sambil gantian menyalaminya.

“Kami doakan cepat lulus ya, Mas!”

“Iya, semoga lancar ngerjain skripsinya.”

Seraya menjawab salam mereka, ia ditenggelamkan pada kebingungan apakah harus senang dengan doa tulus mereka atau malah itu suatu pengusiran halus untuknya? Ia mencoba mafhum kenapa selama ini ia begitu kurang disukai dan itu membuatnya kembali ringan.

“Nah, sekarang acara puncak!”

“Ayo, Yat, kita balik.” Ia menyenggol pinggang temannya.

Namun sebelum ia sempat berbalik, anak-anak telah menyerbunya. Tangan-tangan mereka menggerayanginya tubuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan mengusungnya ke luar ruangan. Orang-orang dalam temaram warung memandangi peristiwa ini takjub. Mata mereka membesar sebagaimana mulut mereka yang menggembung karena terisi makanan. Seseorang menjatuhkan selembar potongan semur jamur lada hitam ke lantai.

“Larung co assnya, larung co assnya, larung co assnya sekarang juga! Sekarang juga... Sekarang juga...” Mereka bernyanyi dengan penuh semangat, meredam kepanikannya karena serangan tiba-tiba ini.

“Weh, apa-apaan ini?? Turunin, woy!”

Mereka seolah tak mendengar, malah makin memperkuat cengkeraman mereka. Bagian bawah kaosnya tersibak, memperlihatkan perutnya yang putih.

Cahaya senja yang masih cukup terang menyambutnya keluar dari keremangan. Matanya menyaksikan kelamnya warna langit sehabis hujan. Biarpun sendu, langit itu seolah terhibur lantas tersenyum mengejek akan situasi yang tengah menimpanya ini. Ia sudah tak banyak meronta-ronta karena takut tiba-tiba dijatuhkan. Apa nyana, sedetik kemudian ia mendapati dirinya terendam dalam air kecokelatan setinggi perut. Di tengah kegelagapannya, sempat ia menyaksikan popok kotor meluncur melewatinya, disusul bangkai seekor tikus pada sisi yang lain. Para praktikannya berdiri di tepi selokan, bersorak, dan menertawainya. Dilihatnya juga rekannya berada di antara mereka, tersenyum, dan melambai, “Selamat ulang tahun!”

“Ulang tahunku masih 11 bulan lagi tau!”

Tangannya menggapai-gapai lalu lenyap menyusul bagian tubuh lainnya.

 

 

18 Oktober 09/9.44 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain