Gambar di-screenshot dari Ipusnas. |
Dikumpulkan dan diberi kata pendahuluan oleh : HB Jassin
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Bandung, bekerja sama dengan Bakti Budaya Jarum Foundation
Diterbitkan pertama kali oleh : Balai Pustaka, Jakarta, 1948
Edisi Pustaka Jaya cetakan pertama, 2013
ISBN : 978-979-419-391-4, (E) 978-979-419-555--0
Di Goodreads ada Gema Tanah Air, tapi tidak ada yang kover dan ISBN-nya sama dengan yang saya baca di Ipusnas sehingga saya membuat catatannya di blog sini.
Dalam rangka memupus penasaran, memecah kebosanan, menggelitik dan membangkitkan gairah kreatif kepengarangan, setelah kurang lebih setengah tahun yang pastinya terputus-putus, saya tamat membaca buku setebal 750-an halaman ini dengan berkali-kali download di Ipusnas :D (harga cetaknya di toko buku sampai seperempat juta rupiah 🥲).
Karya-karya puisi dan cerpen dalam buku ini terbit pada masa penjajahan Jepang (1942) sampai masa revolusi atau mempertahankan kemerdekaan (awal 1950-an) di sejumlah majalah dan surat kabar, ditulis oleh yang lebih tua sekaligus lebih muda daripada saya. Lebih tua karena mereka lahir sekitar seabad lalu (1910-1930-an, kurang lebih sebaya dengan mbah/kakek-nenek saya yang sudah pada meninggal dunia). Lebih muda karena usia mereka saat menulis karyanya sekitar akhir belasan sampai awal 30-an tahun--rata-rata 20-an tahun--usia ketika saya sendiri lagi di puncak keranjingan menulis. Sepertinya usia 20-an tahun ke bawah itu memang masanya bermain-main eksplorasi diri dan dunia 🤔
Di sini saya akan mendaftar karangan dalam buku ini yang menarik buat saya terutama yang menimbulkan rasa ingin "mengkliping", disertai komentar singkat sebagaimana yang tertulis di catatan sembari membaca sesuai dengan urutan kemunculannya. Awas spoiler.
Untuk puisi, sayangnya saya masih kurang dapat mengapresiasi. Cuma beberapa saja puisi dalam buku ini yang kena. Lagipula, setelah membaca buku-buku tentang apresiasi puisi, memang "membaca" puisi tidaklah semudah membaca prosa. Di sini saya juga akan menampilkan kutipan beberapa puisi yang buat saya layak dimenungkan lebih dalam.
O, Tuhanku, biarkan daku hidup sengsara,Biar lahirku diancam derita,Tidak daku sudi serupa.("Bunglon" - Ashar Munir Samsul, 1942)
"Tinjaulah Dunia Sana" - Maria Amin
Ini karangan deskriptif tentang macam-macam ikan dalam akuarium berikut karakternya masing-masing berdasarkan penampilan fisiknya (ih, lookism banget deh). Bisakah karangan ini disebut sebagai "vinyet"? Kalau zaman sekarang, ketimbang menguraikan dengan kata-kata seperti ini, si kreator mungkin lebih suka ambil footage dari tiap-tiap ikan untuk dirangkai menjadi satu video kemudian diunggah ke YouTube. Karena dahulu belum ada teknologi videografi, maka digunakanlah kata-kata. Mungkin. Sebetulnya karangan ini tidak sepenuhnya deskriptif karena di ujung ada sedikit twist, dari akuarium ke pelelangan. Itu seakan-akan usaha untuk memberikan makna sehingga karangan ini tidak datar amat. Gaya pengarangnya sendiri terasa persuasif, mengajak pembaca untuk "melihat" melalui penggambarannya itu.
Musik yang sepertinya pas untuk
mengiringi karangan ini.
"Kenang-kenangan" - Abdulgani Abdullah Katili
Cerpen favorit pertama saya dalam pembacaan ini, cerita yang terasa unik. Nama penulisnya menampakkan dia seorang muslim, tapi dalam karangan ini dia menjadi seorang Manado dengan gaya hidup Barat dan menyebut-nyebut pastor. Apakah ini menurut pengalamannya sendiri, atau dia sedang menyaru saja? Jangan-jangan ini sebuah satire sosial, mengangkat kaum bumiputera pansos penjilat Belanda. Itulah kocaknya, saking ingin dianggap sebagai bagian dari bangsa Barat sehingga menanggung konsekuensi tertentu. Karya semacam ini sepertinya sudah banyak belakangan.
Cerpen lainnya dari pengarang ini tampak masih bernada satire dan kocak, tapi kurang kena buat saya.
"Permintaan Terakhir" - Usmar Ismail
Cerpen yang bagus dan mengharukan, kena soalnya mengenai proses kreatif.
"Radio Masyarakat" - Rosihan Anwar
Ceritanya panjang banget dan kiranya masih relevan dengan zaman sekarang. Tokoh Kus dalam cerita ini mungkin boleh dibilang The Doomer zaman Jepang: pemuda yang kepayahan terpincang-pincang menghadapi perubahan zaman, lekas putus asa tak melihat jalan. Katanya ia pun terbiasa hidup mewah dan manja -_- Vibe-nya Kus ini juga mengingatkan sama Guru Isa di Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (yang fragmennya bakal muncul di bagian belakang buku ini).
Di bacaan atau media mainstream, biasanya digembor-gemborkan semangat kepahlawanan pemuda zaman penjajahan '45 yang patut dicontoh generasi selanjutnya dst dsb. Namun karangan Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tersebut seperti menyiratkan bahwa ada juga pemuda-pemuda jenis lainnya yang bertolak belakang. Luput dari semangat itu, tidak gesit menyesuaikan diri sebagaimana diperlukan. Malah kalau ditarik lebih jauh dan luas lagi, ke Rusia yang terkenal tough sampai beruang pun ngeri, ada pemuda macam Oblomov (Ivan Goncharov).
Cerita Kus ini dapat dengan mudah "diterjemahkan" ke konteks sekarang, misal dia ini mahasiswa Hukum yang gegara ada Covid-19, kuliahnya diliburkan sampai entah kapan, jadi serta-merta merasa masa depannya bakal suram dan kena mental terus berobat ke sepikolog tapi berkat kenalannya seorang super-nakes yang berjuang di garis depan, dia pun bangkit dan ikut bootcamp untuk banting setir jadi dana analyst supaya bisa work from home.
Pemecahan masalah cerita ini mengingatkan sama drama Jepang Freeter, Ie wo Kau tentang pemuda sarjana yang susah dapat kerja lagi setelah resign, terpaksa menjadi buruh kasar tapi toh pada akhirnya dapat kesempatan yang tak terduga yang lebih nyaman di hati.
Kiranya begitulah nasib pemuda dari masa ke masa di mana saja. Sejak bergenerasi-generasi dahulu di mana pun, sudah ada pemuda model begitu. Kalau mereka hidup pada masa sekarang, bakal lebih ruwet lagi pikirannya dengan teori-teori dan informasi yang makin banyak. Ada saja yang patah semangat dan tidak adekuat dalam menghadapi perubahan zaman. Toh yang penting akhirnya ketemu jalan :) Jalan tak ada ujung.
... pembersihan jiwa haruslah dilakukan di tempat semula, yang tadinya banyak mendatangkan kesukaran itu, sebab di sanalah terbukti nanti apa tahan uji atau tidaknya, .... (halaman 138)
"Menyinggung Perasaan" - Matu Mona
Karangan yang menohok ini dimuat pada 1942. Walau kejadian-kejadiannya tampak seperti kebetulan, tertangkap intinya bahwa kesusastraan itu cuma orang tertentu saja yang dapat menghargai. Di karangan Misbach Yusra Biran tahun '50-an pun begitu. Selebihnya, menghargainya sebagai barang loak untuk pembungkus kue. Jadi sejak zaman Jepang sampai sekarang memang mending jadi juragan kos-kosan ._.
Aku pun begitu sekarangJiwa kosong dan malangBulan bintangku hilang.("Hampa" - Bahrum Rangkuti, 1946)
Kau takutapi dan maut?("Insaf" - Bahrum Rangkuti, 1946)
Dan ....Sajakku kelak pembungkus kacang,Prosa puisiku pembungkus kopi,Dewi Seni akan menangis.("Masa Baru" - Purwa Atmadja, 1946)
Hanya siput, biasa senantiasabertahan dalam sempit kerangnyadibawa melata di alam luas.Biarpun ia hendak bebastak dapat juga lepasdari sempit karangnya!("Dogma" - Mahatmanto, 1947)
TImbul pertanyaan yang mengerikan dalam hati--siapa di antara kami yang paling dikasihi IlahiAku ataukah anjing belang kerdil kecil inidengan lidah yang meraba-raba sampahdi atas tanah?("Anjing Belang" - Mahatmanto, 1950)
"Wartawan di Desa" - Anggraito, 1946
Cerita yang sebetulnya agak membingungkan untuk diikuti. Banyak istilah Belanda. Kiranya ini cerita tentang orang katro ndeso yang belum tahu wartawan itu apa, begitu pula dengan kamera. Saking enggak pernah keluar desa kali ya, dan mungkin pada masa itu kamera belum umum sampai ada sangkaan bahwa kalau difoto nanti bagian dalam tubuhnya bisa kelihatan (ya kali rontgen wkwkwk). Selain itu, ada semacam subplot (atau pemanis cerita saja? :p) mengenai salah satu wartawan yang pernah tinggal di situ waktu kecilnya. Ada komentar lucu, wartawan kok senyum. Apa waktu itu yang dianggap orang tinggi atau orang besar itu pada enggak suka senyum, ya. Karya ini menarik karena banyak memberi tahu keadaan pada suatu tempat, masa, dan budaya.
"Perjalanan" - Suwandi Tjitrowasito, 1947
Karangan yang merekam zamannya, ketika baru merdeka atau masa agresi Belanda. Tampak sarat maksud, seperti hendak memberi semangat persatuan dalam keberagaman etnik di kereta.
"Ke Mana?" - Pramoedya Ananta Toer, 1947
Cerita yang mengharukan. Tokohnya baru berusia 18 tahun, masih muda belia punya cita-cita. Namun karena ikut perang, kakinya jadi buntung terus dia jadi merasa ketinggalan atau hilang harapan. (PTSD juga?) Karena karangan saya sendiri tokoh-tokohnya masih muda, cerpen ini relatable.
Anak terlahir antara letih dan tak sengajaDia pun tumbuh, mengulang riwayat ibu dan bapa,Dia pun hidup dan tak tahu Hidup yang sebenarnya("Syair-syair Kecil tentang Hidup" - Trisno Sumardjo, 1952)
"Peci" - Mas Saleh Sastrawinata, 1948
Kalau cerita ini bisa dipercaya, maka ia mengenai sejarah popularitas peci di Indonesia. Asalnya dari Sumatra (Padang?) sebagai simbol persatuan pemuda. Fashion pria yang lagi trendi waktu itu: sarung tenun, sandal ban mobil, jas dan dasi, plus peci. Janggal sih. Namun sarung dan peci menunjukkan lokalitas, sandal ban mobil mengandung semangat swadesi, sedang jas dan dasi merupakan pengaruh Barat. Mungkinkah toko peci M. Iming berdiri dari tren peci ini? :v
"Gigi Emas" - Mas Saleh Sastrawinata, 1948
Satu lagi dari penulis mengenai tren peci, kali ini ia mengangkat tren gigi emas (apakah ia seorang pengamat tren pada masanya?). Dalam cerita ini, ada transfomasi jiwa Mas Karto yang awalnya kecut muka tapi suka menyenangkan hati bos Belanda, sejak kedatangan saudara-saudaranya dari luar dan kemudian Jepang jadi ramah dan memutuskan "merdeka". Karena adanya tranformasi ini, saya jadi merasa bahwa karangan ini merupakan contoh cerpen yang baik: jelas alurnya berikut pemicu-pemicunya, ada perubahan yang terstruktur begitulah.
"Atheis" - Achdiat Karta Mihardja, 1949
Fragmen ini dibuka dengan deskripsi keriuhan suasana sekitar Jalan Braga-Alun-alun siang-siang entah tahun berapa, masih zaman Belanda sepertinya. Buat saya ini menarik karena saya sendiri masih bersetia dengan latar Bandung (help, I am trapped!) dan ingin belajar deskriptif juga. Fragmen ini memperkenalkan karakter Anwar sang anak bupati yang bersikap seenaknya dengan gagasan Marxis-nya. Apa suatu saat cerita ini mungkin difilmkan? Kayak Tenggelamnya Kapal ven der Wijk gitu, minus Gery Chocolatos. Sebetulnya saya sudah pernah baca Atheis, pinjam dari perpustakaan SMA tapi waktu itu belum peka akan detai-detail dalam narasi (memang sekarang sudah? wkwkwk).
"Cakap Angin dengan Warna Hijau Muda" - S. Rukiah, 1950
Cerita yang masih terasa "fresh", tampaknya bisa "diterjemahkan" ke konteks sekarang dengan tokoh gadis snob idealis yang gemar bicara politik sembari menyebut-nyebut referensi klasik bersama sosok wishful thinking dalam latar vintage. Penulis masih berusia awal 20-an.
"Dengan Maut" - Rijono Pratikto
Cerita ini tentang guru Bahasa Indonesia yang suka membaca dan menulis tapi karangannya selalu dikembalikan oleh majalah lalu ia diculik. Tampak untuk menghibur hati penulis aspiran-kapiran. Menulislah seakan-akan kau akan mati segera. Kalau di usia saya sekarang, upaya itu mulai beralih menjadi salatlah seakan-akan salat yang terakhir :(( Penulis masih berusia belasan, dan pada umur segitu saya pun masih punya semangat itu dan benar-benar menulis cerita penyemangat semacam ini :')
"Si Rangka" - Rijokno Pratikto, 1951
Cerita yang mengundang penasaran dengan penuturan yang taktis, ringkas, dan tak bertele-tele. Rupanya ini memang cerita horor, tentang istri muda yang diganggu hantu pemain biola sampai-sampai dibawa ke alamnya. Hiii~ Terlepas dari bagaimana verifikasi agama terhadap kejadian mistis semacam ini, penulis berhasil menyampaikan suasana seram.
"Rumah di Sebelah" - M. Balfas, 1951
Paragraf pembukanya sangat relevan dengan zaman sekarang, padahal ini ditulis jauh sebelum era media sosial kan? Sudah begitu isinya pun memuat isu parenting. Karya jadul yang sungguh berwawasan kekinian! Cerita ini sebetulnya memaparkan riwayat hidup seorang anak bastar, campuran antara babu Jawa dan kawan majikan Belanda--indo. Kalau hidup pada masa kini, dia bisa jadi artis sinetron. Namun pada masa itu, dia cuma tukang angon dan seterusnya hidup susah. Sungguh terlalu, sungguh menyedihkan.
apa di sinibatu semua!("Pelarian" - Rivai Apin, 1946-7)
"Bola Lampu" - Asrul Sani, 1948
Saya merasa sudah pernah baca cerita ini entah di mana. Kocak dan mengandung informasi mengenai taraf kemajuan bangsa pada masa baru merdeka di mana bola lampu tampaknya masih barang mewah.
"Sahabat dari Cordiaz" - Asrul Sani, 1948
Another cerita kocak dari Asrul Sani. Saya menduga ini cerpen satire orang Indonesia yang doyan berlagak Eropahh.
Cerpen satu lagi dari Asrul Sani dalam buku ini tidak kocak sebagaimana sebelum-belumnya, tentang mahasiswa galau beserta keruwetan pikirannya. Yang namanya mahasiswa enggak kenal tempat enggak kenal masa selalu saja menggalau ria, hadeh~
"Hati" - Siti Nuraini, 1950
Fragmen dari roman persiapan Si Keras Hati. Kalau penulisnya lahir pada 1934, berarti ia baru berusia 16 tahun waktu membuat ini. Muda benerrr. Tapi di sini ia "berlagak" sebagai perempuan 20-an dengan begitu meyakinkan--bagus! Cerita ini bisa menyuarakan awareness akan mental health, karena mengenai konflik batin atau gejolak moral dari seorang caregiver yang kakaknya gila, ayahnya lansia, ibunya telah tiada, tinggal adiknya tapi keduanya malah berseteru akibat cobaan ini. Selain itu, yang saya sukai dari fragmen ini adalah karena ada detail mengenai cara hidup pada suatu masa berikut dialek di suatu tempat (Padang?). Penulis melanjutkan kuliah di Belanda pada usia kurang lebih 18 tahun, wih!
"Tidak Bernama" - Abas Kartadinata, 1951
Cerpen bagus berakhiran sedih, mengajak pada perenungan dan menyuarakan nasib prajurit pada waktu itu serta kekikiran orang berpangkat? Sepertinya juga ada unsur kepercayaan Sunda mengenai sukma jabang bayi (jadi ingat novel Fetussaga o/ Jamal) dan bidah (lucunya di sini).
"Diagnosa" - Kamal Mahmud, 1951
Cerpen bagus lainnya, kali ini membeberkan perspektif mahasiswa kedokteran yang menggelitik. Apakah gunanya memberi sedekah ke fakir miskin selama akarnya tak teratasi, katanya. Bahkan ia merasa tak ada kewajiban pribadi/fardu 'ain soal itu, sebab dianggapnya merupakan tanggung jawab pemerintah/fardu kifayah (kalau ada orang lain, kenapa harus gue?). Mungkinkah pandangan itu timbul karena sebagai calon dokter ia sudah kebanyakan beban? :v Jadi cukuplah belajar untuk mengatasi penyakit-penyakit tertentu saja yang ada di textbook-nya, sedang penyakit borok masyarakat tidak termasuk ke dalamnya. Pandangan yang pelik karena sejatinya ia bukan sekadar (calon) dokter, melainkan juga makhluk sosial, anggota masyarakat, warga negara, the have ... hamba Allah. Saya coba memahaminya.
"Sengketa" - Muhammad Ali
Cerita yang ternyata kocak walau mungkin sekarang sudah klise, mengenai pertengkaran antartetangga. Anak-anak sih gampang berbaikan, tapi kalau orang gede yang berantem: aweeet!
"Perpisahan" - Gajus Siagian, 1953
Cerpen yang mengandalkan kebetulan, tapi bagus dalam menyiratkan konflik, ironi, dan barangkali juga sentimen keagamaan. Menggugah pikiran bahwa mungkin ada peristiwa atau realita tak terungkapkan dalam buku-buku sejarah, khususnya yang menyangkut orang biasa (bukan tokoh kenamaan).
.
Secara umum, saya sangat suka sekali buku ini. Kalau di Goodreads, mau saya kasih lima bintang. Selain karena saya memang suka cita rasa bahasa Indonesia lawas (meski kadang-kadang ada kosakata yang tidak dimengerti termasuk istilah-istilah dari bahasa Belanda), melalui karya-karya dalam buku ini saya mendapat gambaran mengenai kehidupan bangsa di masa lalu khususnya pada tahun-tahun seputar kemerdekaan, tentunya dengan menginsafi bahwa bagaimanapun juga karya sastra amatlah diwarnai subjektivitas penulisnya.
Saya jadi merasa bahwa tabiat manusia dari masa ke masa itu sama saja, yang membedakan hanyalah adanya perkembangan teknologi dsb. Dalam cerita-cerita terutama yang belakangan, ditampakkan bahwa pada masa-masa sulit seperti kecelakaan, peperangan, dan keterbatasan lainnya ada saja manusia bangsa yang oportunistis dan tak punya belas kasihan kepada sesama (contoh: "Kemelut" Pramoedya Ananta Toer, "Surabaya" Idrus, "Dunia Antara Hidup dan Mati" Sarosi). Tidak semuanya heroik patriotik sebagaimana umumnya digembar-gemborkan. Bahkan yang disebut sebagai "pembela kemerdekaan" tetap saja punya sisi biadab (contoh: "Surabaya" Idrus, "Perpisahan" Gajus Siagian). Sosok-sosok berkebangsaan Belanda atau Jepang pun mesti menyesuaikan diri ketika zaman berganti lagi, bukan lagi bagian dari kaum penguasa melainkan sekadar penumpang di negeri orang (contoh: "Pembelaan" Suwandi Tjitrowasito, "Pahlawan dan Kucing" P. Sengodjo). Karya-karya ini seperti menyugesti supaya tak memandang pelaku sejarah 100% putih atau 100% hitam, tak mesti tegas mana pahlawan dan mana penjahat. Mereka semua sama-sama manusia yang pada dasarnya rentan akan salah dan dosa. Pun ada saja persoalan dalam bidang umum seperti kesehatan dan pendidikan (contoh: "Madrasah Muhammadiyah" Mahatmanto, "Dunia Antara Hidup dan Mati" Sarosi, "Bayi Mati" A. Radjab).
Antologi ini membuat saya penasaran untuk menelusuri beberapa pengarang atau karyanya, misalnya Mahatmanto dan puisi-puisinya (beberapa halaman saya foto dengan HP satunya karena tidak bisa screenshot wkwk), Utuy Tatang Sontani dengan novel sejarahnya Tambera (ada di Ipusnas), serta Asrul Sani dengan kumpulan cerpennya (ada di Ipusnas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar