Tak bisa dipungkiri, pemandangan VW
kodok berwarna cerah di carport rumah memang cukup menyegarkan mata. VW kodok,
wow, Zia senang melihatnya. Bertanya-tanya ia dalam hati apakah Mas Imin mau
mengajarinya menyetir lagi. O, tentu saja Mas Imin mau kalau ada waktu. Kendalanya
adalah pada Zia sendiri. Ia masih menyimpan trauma. Dalam suatu keisengan
belajar menyetir, Zia menabrakkan si Bambang—mobil Mas Imin—ke pagar rumah
tetangganya Kakek. Zia tidak tahu bagaimana Kakek mengurusi masalah itu
kemudian—ia terlalu pengecut untuk menyaksikan. Sampai sekarang Zia memilih
untuk melalui jalan lain—menghindari TKP—jika hendak ke rumah Kakek.
Akhirnya Zaha memiliki keterampilan lain
selain menggambar. Zia mengucapkan selamat pada Zaha dengan nada sinis dalam
khayalannya. Ia terlalu malas untuk mewujudkan khayalan itu jadi nyata. Zaha
pasti akan merinding mendengarnya, apalagi kalau nada sinisnya dihilangkan.
Zia melabuhkan diri di seberang Zaha.
Ranselnya masih menempel di punggung. Ademnya lantai menembus ke balik seragam
sekolah. Tubuhnya masih terasa letih selepas mengikuti penghitungan suara untuk
menentukan siapa ketua OSIS terbaru. Ia tidak bisa berhenti teriak dan
loncat-loncat tadi, saking terbawa suasana. Ega yang makin grogi akibat tingkah
Zia itu tidak bisa berhenti mendesis, “Tong norak ah, Zia!” Kini keharuan
seorang ibu yang baru pertama kali mengantar putranya bersekolah
menyelimutinya. Kegembiraan yang sama pernah ia rasakan kala mendapati lengan
dan betis Ega akhirnya ditumbuhi rambut.
Zaha menengok sebentar lantas
terperanjat. “Eh, masuk rumah tuh dibuka sepatunya!”
“Ih, sepatuku bersih kok… Nggak kotor
ini…” Tubuh Zia berguling hingga telungkup. Matanya melirik pada kedua ujung
tungkai kakinya yang menyilang ke atas.
“Tapi tetep aja ada debu dari luar!
Joroknya kebangetan ih! Lepas, lepas, lepas!”
“Hah, iya, baweeel…”
“Naruh di rak sepatunya jangan asal!
Baru aku beresin tadi!”
“Iyaaaaaaaa…!” Zia tidak habis pikir.
Seharusnya Papa tidak usah menggaji pembantu lagi. Satu orang Zaha saja sudah
cukup untuk membuat isi rumah terlihat bersih dan rapi. Setelah memastikan Zia
mengerjakan titahnya, Zaha kembali mendaratkan pandangan ke layar TV. Sebundel
kertas HVS di pangkuannya. Zia mendaratkan tubuhnya lagi di seberang Zaha
sembari melirik benda tersebut. Pasti komik karangan terbaru Zaha. “Enak yah,
yang nggak usah belajar…”
“Aku belajar kok. Baru aja gurunya
pulang.”
Zia masih menebak-nebak apakah guru
homeschooling Zaha adalah seorang pria muda menawan idealis yang menentang
lembaga akademis formal. Kalau datang kesempatannya bertemu pria tersebut, Zia
akan mengungkap bahwa mereka sepikiran. Lalu ia dan si keren akan membangun
lembaga akademis informal yang fokus programnya adalah pada pengembangan
potensi sejati anak. Yadda yadda yadda… Zia belum ingin mengklarifikasi
kebenaran langsung pada Zaha. Bisa runtuh khayalan indahnya.
Mendapati Zaha tampak lengah, Zia
menarik bundelan kertas HVS dari pangkuan Zaha dengan gerakan cepat. Zaha
memekik. Ia berusaha meraih miliknya kembali namun Zia lekas berlari ke ruang
depan. “Yee ye ye ye, ye…” Zia melampiaskan kemenangannya. Zaha mendesah kesal
namun terlalu malas untuk mengejar. Ia berbaring miring dengan kepala tetap
mendongak pada layar TV.
Zia menghempaskan tubuh ke atas sofa.
Mengambil posisi enak untuk menikmati draft terbaru Zaha. Baru halaman pertama,
matanya sudah lengket saja. Zia tidak habis pikir akan orang-orang yang
memiliki bakat menggambar sejati. Bagaimana bisa garis sehalus ini tertoreh?
Bagaimana menentukan arsiran apa yang tepat untuk bagian ini, sementara bagian
itu harus diberi arsiran begitu? Mengapa bisa sampai kepikiran memberi
detil-detil seperti ini? Mengapa gambar ini tampak ‘bernyawa’? Zia ngeri.
Halaman demi halaman dibukanya.Ya ampun…
Makin jadi aja nih anak… Perasaan iri menyambar-nyambar batin Zia. Ke luar
dalam bentuk decakan yang tak terdefinisi—entah kagum atau cemooh. Begitu
sampai di halaman terakhir, Zia kecewa.
Zaha mengomel ketika Zia mengembalikan
draft komiknya dengan cara dilempar. Sebetulnya Zia tidak bermaksud demikian.
Entah mengapa tangannya terasa licin, begitu pun mulutnya. “Bikin cerita tuh
yang koheren. Awalan harus nyambung ma yang akhir. Sebenernya apa sih yang
dicari tokoh utama kamu tuh? GJ banget tau nggak?”
“Ya emang ceritanya belum selesai kali!”
Zia tidak peduli. Kenikmatan tersendiri
baginya menyemprot Zaha tiada henti. “Trus adegan-adegan nggak pentingnya
diilangin ajalah. Itu maksudnya apa sih yang dia ngais-ngais tong sampah cuman
buat nyari peniti? Trus kenapa si… siapa itu temennya tokoh utama… di
akhir-akhir wajahnya jadi kayak Nobita?”
“…sengaja…” jawab Zaha malas.
“Makanya jangan baca komik terus dong
ah. Novel juga dijamah kek!”
“Lah, ngebacot aja. Mana novel bikinan
kamu? Sini aku liat!”
Zia terhenyak. Ternyata Zaha masih
ingat! “Entar, lagi aku matengin dulu…” Zia menaiki tangga, meninggalkan
sindiran-sindiran Zaha yang telak mengena. Memang sudah ratusan buku yang sudah
Zia baca. Zia merasa tahu cerita yang bagus itu seperti apa. Namun itu tidak
menjamin bahwa ia tahu bagaimana cara membuatnya. Ia belum bisa membuktikan
bahwa tahu-seperti-apa secara signifikan menyokong tahu-bagaimana.
Zia sudah lama tidak membuka lagi draft
novelnya—yang jadinya sangat kacangan itu. Padahal ia sudah berusaha berhenti
mengonsumsi teenlit, tapi ide cerita yang muncul dalam kepalanya tidak pernah
jauh-jauh dari itu. Sekolah pun jadi kambing hitam. Zia mengganggap tuntutan
akademis begitu menekannya sehingga pikirannya ingin lari pada penghiburan
semata. Bisa tambah amburadul nanti pikirannya kalau dipaksa untuk mencari-cari
ide “wah”.
Lain halnya dengan Zaha, tema ceritanya
kerap merambah ke ranah-ranah yang tidak pernah Zia kepikiran. Seperti waktu
Zaha menjadi juara harapan untuk sayembara komik korupsi—tidak pernah Zia
kepikiran sama sekali untuk membuat cerita dari sudut pandang seekor tikus.
Begitu pun waktu Zaha mendapatkan uang dan sertifikat dari sayembara komik
kependudukan. Ia menampilkan konflik antara seorang petugas sensus penduduk
dengan seorang berkepribadian terbelah. Si kepribadian terbelah bersikeras
mencantumkan identitas beberapa manusia yang selama ini ia anggap tinggal
bersama dalam rumahnya—padahal tanpa disadarinya mereka semua hanya satu tubuh.
Zia menjatuhkan tubuh ke atas kasur.
Sebelah tangannya menggapai-gapai remot mini compo. Dapat. Ia nyalakan salah
satu sumber penghiburan hatinya itu. On. Function. Radio. Channel 1. Ringo FM
adalah saluran favorit kawanannya semasa SMP. Zia masih ingat saat-saat di mana
mereka saling pamer setelah sms mereka dibacakan penyiar radio. Setelah SMA, ia
jadi tidak begitu antusias mendengarkan radio lagi. Mungkin karena ia tidak
satu sekolah lagi dengan para kawan maniak radionya.
Setelah beberapa kali jingle iklan,
pikiran Zia berhenti jalan-jalan. Indra pendengarannya menangkap sebuah suara
yang ia kenal. Bukan, itu bukan suara penyiar Ringo yang ia akrabi sejak SMP.
Itu adalah suara seseorang yang Zia lupa namanya. Zia bersimpuh. Ia memacu
pikirannya untuk mengingat-ingat. Siapa…
siapa… siapa... Ia sempat mengakrabi cewek tersebut pasca audisi penyiar
pelajar Ringo FM beberapa bulan lalu. Zia ganti menggenggam remot dengan
ponsel. Dicarinya nama salah satu kawan maniak radionya di buku telepon.
“Ul, dengerin Ringo nggak?” ucap Zia
begitu nada sambung terputus suara manusia di ujung saluran.
“Eh, iyaaa! Itu si… si… Handoce yah,
yang siaran?”
Ah, iya, Handoce! Tapi tentu saja
itu bukan nama aslinya. “Eh, berarti pengumumannya udah dong…”
“Iya yah. Kayaknya aku mah nggak
keterima da…”
“Eh, emang pengumumannya gimana sih?”
“Nggak tau. Udah lama da nggak main ke
sana.”
Lantunan lagu menggantikan suara cewek
yang ditengarai sebagai Handoce. “Eh, eh, nama aslinya si Handoce itu siapa
sih...?”
“Aduuuuh… lupa! Bukannya kamu yang waktu
itu teh deket sama dia?”
“Justru itu saya mau nanya! Udah ya,
Ul!” Zia jadi tak sabaran hendak menelpon Handoce langsung. “Tanya Tata atau
Regi aja!” jawab Zia sebelum memutus hubungan. Tadi Aulia menanyakan apakah
mereka jadi reuni SMP atau tidak dalam waktu dekat. Sejenak kebingungan melanda
Zia. Ia belum berhasil mengingat nama asli Handoce, bagaimana ia dapat
menemukan nomornya di buku telepon? Iseng ia mengetik “Handoce”. Ternyata ada.
Nama belakang Handoce sama dengan nama
belakang kecengan Zia waktu SMP, yaitu Handoko. Hampir mirip pula wajah mereka.
Untuk membedakan, maka kawanan Zia sepakat memanggil yang cewek dengan Handoce,
atau Handoko cewek, dan kecengan Zia dengan Handoco, atau Handoko cowok.
“Hei, masih inget aku nggak? Ini Zia!”
teriak Zia begitu menangkap suara-suara di ujung saluran. Setelah berkali-kali
melakukan panggilan, akhirnya diangkat juga!
“Eh, Zia! Masih inget atuh…” Zia merasa
lucu dengan lawan bicaranya. Bisa-bisanya menerima telepon saat siaran. Tahu
deh kalau sampai kena apa. Sudah begitu masih ingat pada Zia pula, padahal Zia
sebaliknya. “Gimana kabarnya?”
Zia kerap heran mengapa orang masih
mempertahankan kalimat basa-basi demikian. Dan sepertinya tidak layak untuk
memberi jawaban selain “Alhamdulillah, baik.“ Memangnya orang yang bertanya
sungguh-sungguh mau mendengarkan kabar yang ditanya? Kadang hidup terlalu pelik
untuk dijabarkan dan orang-orang tentu hanya ingin hal-hal baik yang masuk ke
lubang telinga mereka.
“Eh, aku barusan dengerin kamu siaran
lo… Selamat yah, Han… eee…”
Untung Handoce keburu tersipu-sipu.
“Iya, makasih ya, Zia… Dengerin terus ya, Zia. Aku siaran tiap Rabu.
Temen-temen kamu disuruh dengerin Ringo juga dong…”
“Oke, oke… Eh, kamu mulai kapan sih
siarannya?”
“Mmm… Udah dari minggu kemarin, Zia.”
“Emang kapan pengumumannya?”
“Udah rada lama sih.”
“Itu, kamu dateng langsung ke Ringonya
atau dikasih tau lewat mana gitu…”
“Ditelpon, Zia. Eh, kamu nggak?”
“He…” Ngapain sih pake tanya lagi? Seharusnya kamu udah tau dari awal kan,
orang-orang yang sama beruntungnya dengan kamu itu siapa aja?!
“Eh, Zia, maaf ya, aku harus balik ke
studio lagi nih…”
“Mangga, mangga…”
“Kamu nge-req ke acara aku dong. Entar
aku pasti bacain deh!”
Zia terpikir untuk me-request tembang
“The Winner Takes It All” dari ABBA atau “Maybe This Time” yang jadi soundtrack
Glee. Tapi itu malah akan makin mengukuhkan kekalahannya dari Handoce. Oh, ya,
siapa nama asli Handoce tadi? Sambungan sudah keburu diputus.
Beberapa lama, Zia terpekur. Ia
menghembuskan nafas. Setelah mengambil sebuah buku dengan kawat melingkar di
tepi dari dalam laci meja belajar, ia telungkup di atas kasur. Halaman demi
halaman buku tersebut ia buka hingga sampailah ia pada daftar hal-hal yang
ingin ia lakukan. Ia mencoret beberapa poin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar