Minggu, 14 November 2010

tiga

Tak bisa dipungkiri, pemandangan VW kodok berwarna cerah di carport rumah memang cukup menyegarkan mata. VW kodok, wow, Zia senang melihatnya. Bertanya-tanya ia dalam hati apakah Mas Imin mau mengajarinya menyetir lagi. O, tentu saja Mas Imin mau kalau ada waktu. Kendalanya adalah pada Zia sendiri. Ia masih menyimpan trauma. Dalam suatu keisengan belajar menyetir, Zia menabrakkan si Bambang—mobil Mas Imin—ke pagar rumah tetangganya Kakek. Zia tidak tahu bagaimana Kakek mengurusi masalah itu kemudian—ia terlalu pengecut untuk menyaksikan. Sampai sekarang Zia memilih untuk melalui jalan lain—menghindari TKP—jika hendak ke rumah Kakek.

Akhirnya Zaha memiliki keterampilan lain selain menggambar. Zia mengucapkan selamat pada Zaha dengan nada sinis dalam khayalannya. Ia terlalu malas untuk mewujudkan khayalan itu jadi nyata. Zaha pasti akan merinding mendengarnya, apalagi kalau nada sinisnya dihilangkan.

Zia melabuhkan diri di seberang Zaha. Ranselnya masih menempel di punggung. Ademnya lantai menembus ke balik seragam sekolah. Tubuhnya masih terasa letih selepas mengikuti penghitungan suara untuk menentukan siapa ketua OSIS terbaru. Ia tidak bisa berhenti teriak dan loncat-loncat tadi, saking terbawa suasana. Ega yang makin grogi akibat tingkah Zia itu tidak bisa berhenti mendesis, “Tong norak ah, Zia!” Kini keharuan seorang ibu yang baru pertama kali mengantar putranya bersekolah menyelimutinya. Kegembiraan yang sama pernah ia rasakan kala mendapati lengan dan betis Ega akhirnya ditumbuhi rambut.

Zaha menengok sebentar lantas terperanjat. “Eh, masuk rumah tuh dibuka sepatunya!”

“Ih, sepatuku bersih kok… Nggak kotor ini…” Tubuh Zia berguling hingga telungkup. Matanya melirik pada kedua ujung tungkai kakinya yang menyilang ke atas.

“Tapi tetep aja ada debu dari luar! Joroknya kebangetan ih! Lepas, lepas, lepas!”

“Hah, iya, baweeel…”

“Naruh di rak sepatunya jangan asal! Baru aku beresin tadi!”

“Iyaaaaaaaa…!” Zia tidak habis pikir. Seharusnya Papa tidak usah menggaji pembantu lagi. Satu orang Zaha saja sudah cukup untuk membuat isi rumah terlihat bersih dan rapi. Setelah memastikan Zia mengerjakan titahnya, Zaha kembali mendaratkan pandangan ke layar TV. Sebundel kertas HVS di pangkuannya. Zia mendaratkan tubuhnya lagi di seberang Zaha sembari melirik benda tersebut. Pasti komik karangan terbaru Zaha. “Enak yah, yang nggak usah belajar…”

“Aku belajar kok. Baru aja gurunya pulang.”

Zia masih menebak-nebak apakah guru homeschooling Zaha adalah seorang pria muda menawan idealis yang menentang lembaga akademis formal. Kalau datang kesempatannya bertemu pria tersebut, Zia akan mengungkap bahwa mereka sepikiran. Lalu ia dan si keren akan membangun lembaga akademis informal yang fokus programnya adalah pada pengembangan potensi sejati anak. Yadda yadda yadda… Zia belum ingin mengklarifikasi kebenaran langsung pada Zaha. Bisa runtuh khayalan indahnya.

Mendapati Zaha tampak lengah, Zia menarik bundelan kertas HVS dari pangkuan Zaha dengan gerakan cepat. Zaha memekik. Ia berusaha meraih miliknya kembali namun Zia lekas berlari ke ruang depan. “Yee ye ye ye, ye…” Zia melampiaskan kemenangannya. Zaha mendesah kesal namun terlalu malas untuk mengejar. Ia berbaring miring dengan kepala tetap mendongak pada layar TV.

Zia menghempaskan tubuh ke atas sofa. Mengambil posisi enak untuk menikmati draft terbaru Zaha. Baru halaman pertama, matanya sudah lengket saja. Zia tidak habis pikir akan orang-orang yang memiliki bakat menggambar sejati. Bagaimana bisa garis sehalus ini tertoreh? Bagaimana menentukan arsiran apa yang tepat untuk bagian ini, sementara bagian itu harus diberi arsiran begitu? Mengapa bisa sampai kepikiran memberi detil-detil seperti ini? Mengapa gambar ini tampak ‘bernyawa’? Zia ngeri. Halaman demi halaman dibukanya.Ya ampun… Makin jadi aja nih anak… Perasaan iri menyambar-nyambar batin Zia. Ke luar dalam bentuk decakan yang tak terdefinisi—entah kagum atau cemooh. Begitu sampai di halaman terakhir, Zia kecewa.

Zaha mengomel ketika Zia mengembalikan draft komiknya dengan cara dilempar. Sebetulnya Zia tidak bermaksud demikian. Entah mengapa tangannya terasa licin, begitu pun mulutnya. “Bikin cerita tuh yang koheren. Awalan harus nyambung ma yang akhir. Sebenernya apa sih yang dicari tokoh utama kamu tuh? GJ banget tau nggak?”

“Ya emang ceritanya belum selesai kali!”

Zia tidak peduli. Kenikmatan tersendiri baginya menyemprot Zaha tiada henti. “Trus adegan-adegan nggak pentingnya diilangin ajalah. Itu maksudnya apa sih yang dia ngais-ngais tong sampah cuman buat nyari peniti? Trus kenapa si… siapa itu temennya tokoh utama… di akhir-akhir wajahnya jadi kayak Nobita?”

“…sengaja…” jawab Zaha malas.

“Makanya jangan baca komik terus dong ah. Novel juga dijamah kek!”

“Lah, ngebacot aja. Mana novel bikinan kamu? Sini aku liat!”

Zia terhenyak. Ternyata Zaha masih ingat! “Entar, lagi aku matengin dulu…” Zia menaiki tangga, meninggalkan sindiran-sindiran Zaha yang telak mengena. Memang sudah ratusan buku yang sudah Zia baca. Zia merasa tahu cerita yang bagus itu seperti apa. Namun itu tidak menjamin bahwa ia tahu bagaimana cara membuatnya. Ia belum bisa membuktikan bahwa tahu-seperti-apa secara signifikan menyokong tahu-bagaimana.

Zia sudah lama tidak membuka lagi draft novelnya—yang jadinya sangat kacangan itu. Padahal ia sudah berusaha berhenti mengonsumsi teenlit, tapi ide cerita yang muncul dalam kepalanya tidak pernah jauh-jauh dari itu. Sekolah pun jadi kambing hitam. Zia mengganggap tuntutan akademis begitu menekannya sehingga pikirannya ingin lari pada penghiburan semata. Bisa tambah amburadul nanti pikirannya kalau dipaksa untuk mencari-cari ide “wah”.

Lain halnya dengan Zaha, tema ceritanya kerap merambah ke ranah-ranah yang tidak pernah Zia kepikiran. Seperti waktu Zaha menjadi juara harapan untuk sayembara komik korupsi—tidak pernah Zia kepikiran sama sekali untuk membuat cerita dari sudut pandang seekor tikus. Begitu pun waktu Zaha mendapatkan uang dan sertifikat dari sayembara komik kependudukan. Ia menampilkan konflik antara seorang petugas sensus penduduk dengan seorang berkepribadian terbelah. Si kepribadian terbelah bersikeras mencantumkan identitas beberapa manusia yang selama ini ia anggap tinggal bersama dalam rumahnya—padahal tanpa disadarinya mereka semua hanya satu tubuh.

Zia menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Sebelah tangannya menggapai-gapai remot mini compo. Dapat. Ia nyalakan salah satu sumber penghiburan hatinya itu. On. Function. Radio. Channel 1. Ringo FM adalah saluran favorit kawanannya semasa SMP. Zia masih ingat saat-saat di mana mereka saling pamer setelah sms mereka dibacakan penyiar radio. Setelah SMA, ia jadi tidak begitu antusias mendengarkan radio lagi. Mungkin karena ia tidak satu sekolah lagi dengan para kawan maniak radionya.

Setelah beberapa kali jingle iklan, pikiran Zia berhenti jalan-jalan. Indra pendengarannya menangkap sebuah suara yang ia kenal. Bukan, itu bukan suara penyiar Ringo yang ia akrabi sejak SMP. Itu adalah suara seseorang yang Zia lupa namanya. Zia bersimpuh. Ia memacu pikirannya untuk mengingat-ingat. Siapa… siapa… siapa... Ia sempat mengakrabi cewek tersebut pasca audisi penyiar pelajar Ringo FM beberapa bulan lalu. Zia ganti menggenggam remot dengan ponsel. Dicarinya nama salah satu kawan maniak radionya di buku telepon.

“Ul, dengerin Ringo nggak?” ucap Zia begitu nada sambung terputus suara manusia di ujung saluran.

“Eh, iyaaa! Itu si… si… Handoce yah, yang siaran?”

Ah, iya, Handoce! Tapi tentu saja itu bukan nama aslinya. “Eh, berarti pengumumannya udah dong…”

“Iya yah. Kayaknya aku mah nggak keterima da…”

“Eh, emang pengumumannya gimana sih?”

“Nggak tau. Udah lama da nggak main ke sana.”

Lantunan lagu menggantikan suara cewek yang ditengarai sebagai Handoce. “Eh, eh, nama aslinya si Handoce itu siapa sih...?”

“Aduuuuh… lupa! Bukannya kamu yang waktu itu teh deket sama dia?”

“Justru itu saya mau nanya! Udah ya, Ul!” Zia jadi tak sabaran hendak menelpon Handoce langsung. “Tanya Tata atau Regi aja!” jawab Zia sebelum memutus hubungan. Tadi Aulia menanyakan apakah mereka jadi reuni SMP atau tidak dalam waktu dekat. Sejenak kebingungan melanda Zia. Ia belum berhasil mengingat nama asli Handoce, bagaimana ia dapat menemukan nomornya di buku telepon? Iseng ia mengetik “Handoce”. Ternyata ada.

Nama belakang Handoce sama dengan nama belakang kecengan Zia waktu SMP, yaitu Handoko. Hampir mirip pula wajah mereka. Untuk membedakan, maka kawanan Zia sepakat memanggil yang cewek dengan Handoce, atau Handoko cewek, dan kecengan Zia dengan Handoco, atau Handoko cowok.

“Hei, masih inget aku nggak? Ini Zia!” teriak Zia begitu menangkap suara-suara di ujung saluran. Setelah berkali-kali melakukan panggilan, akhirnya diangkat juga!

“Eh, Zia! Masih inget atuh…” Zia merasa lucu dengan lawan bicaranya. Bisa-bisanya menerima telepon saat siaran. Tahu deh kalau sampai kena apa. Sudah begitu masih ingat pada Zia pula, padahal Zia sebaliknya. “Gimana kabarnya?”

Zia kerap heran mengapa orang masih mempertahankan kalimat basa-basi demikian. Dan sepertinya tidak layak untuk memberi jawaban selain “Alhamdulillah, baik.“ Memangnya orang yang bertanya sungguh-sungguh mau mendengarkan kabar yang ditanya? Kadang hidup terlalu pelik untuk dijabarkan dan orang-orang tentu hanya ingin hal-hal baik yang masuk ke lubang telinga mereka.

“Eh, aku barusan dengerin kamu siaran lo… Selamat yah, Han… eee…”

Untung Handoce keburu tersipu-sipu. “Iya, makasih ya, Zia… Dengerin terus ya, Zia. Aku siaran tiap Rabu. Temen-temen kamu disuruh dengerin Ringo juga dong…”

“Oke, oke… Eh, kamu mulai kapan sih siarannya?”

“Mmm… Udah dari minggu kemarin, Zia.”

“Emang kapan pengumumannya?”

“Udah rada lama sih.”

“Itu, kamu dateng langsung ke Ringonya atau dikasih tau lewat mana gitu…”

“Ditelpon, Zia. Eh, kamu nggak?”

“He…” Ngapain sih pake tanya lagi? Seharusnya kamu udah tau dari awal kan, orang-orang yang sama beruntungnya dengan kamu itu siapa aja?!

“Eh, Zia, maaf ya, aku harus balik ke studio lagi nih…”

“Mangga, mangga…”

“Kamu nge-req ke acara aku dong. Entar aku pasti bacain deh!”

Zia terpikir untuk me-request tembang “The Winner Takes It All” dari ABBA atau “Maybe This Time” yang jadi soundtrack Glee. Tapi itu malah akan makin mengukuhkan kekalahannya dari Handoce. Oh, ya, siapa nama asli Handoce tadi? Sambungan sudah keburu diputus.

Beberapa lama, Zia terpekur. Ia menghembuskan nafas. Setelah mengambil sebuah buku dengan kawat melingkar di tepi dari dalam laci meja belajar, ia telungkup di atas kasur. Halaman demi halaman buku tersebut ia buka hingga sampailah ia pada daftar hal-hal yang ingin ia lakukan. Ia mencoret beberapa poin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain