Kamis, 18 November 2010

Pengarang sebagai Perekam Zaman



Judul : Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka, 2008


Kumpulan prosa ini terdiri dari tiga bagian: Zaman Jepang; Corat-coret di Bawah Tanah; Sesudah 17 Agustus 1945. Masing-masing bagian mungkin mencirikan latar waktu pada cerita-cerita yang ada di dalamnya. Kendati demikian, saya merasa penjajah Jepang ada di hampir semua cerita.

Pertama kali dicetak tahun 1948, buku ini merupakan dokumentasi kehidupan rakyat Indonesia pada tahun-tahun sebelum itu. Kendati setiap judul menampilkan para pelaku dan latar tempat yang berbeda-beda, namun semuanya menunjukkan tema yang sama: derita rakyat di masa sekitar kemerdekaan—terutama di bawah kependudukan Jepang. Hal ini kuat terasa mulai bagian kedua.

Dalam Jawa Baru, tergambarkan secara umum kondisi masyarakat Pulau Jawa yang begitu susahnya mendapatkan pangan untuk menyambung hidup. Apa-apa serba mahal, termasuk beras, padahal mereka sendiri yang menghasilkan! Sudah bukan cerita baru lagi kalau orang pada zaman itu berbaju karung goni—bahkan tak berbaju. Demikian menderitanya mereka pada masa sekitar kemerdekaan ini, sampai-sampai Tuhan pun diragukan.

Semua orang menengadahkan tangan ke langit, meminta rezeki dari Tuhan Yang Maha Kuasa seperti Tuhan lupa memberi mereka rezeki. Setiap tahun padi menguning juga, beras digiling juga… Tuhankah yang salah? (hal. 88—Jawa Baru)

Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur, mortir. (hal. 118—Surabaya)

Mula-mula orang terkejut kalau mendengar tembakan, tetapi setelah mereka tahu, bahwa tembakan-tembakan itu ditujukan ke atas, ke tempat Tuhan lama, sekarang mereka bersorak gembira mendengar setiap tembakan. (hal. 119—Surabaya)

Mereka merintih-rintih kesakitan di tepi jalan dan dalam hatinya mereka menyumpahi Tuhan. (122—Surabaya)

Kebetulan pada malam sebelum saya menamatkan buku ini, saya menyaksikan tayangan dokumenter di Metro TV mengenai perebutan Tarakan oleh pihak Jepang dan Belanda. Di sana disuguhkan juga betapa saking tak adanya makanan, kulit ubi pun dilahap.

Sebagai mahasiswi tingkat akhir yang gemar bolak-balik Jogja-Bandung dengan kereta ekonomi, cerita paling mengena bagi saya adalah yang berjudul Oh… Oh… Oh! di mana latar tempat berada di stasiun, berlanjut di dalam kereta.

Kereta api berangkat meninggalkan stasiun Sukabumi. Orang Tionghoa itu duduk di kelas dua, tertawa, dan tersenyum manis kepada seorang nona Belanda Indo. Di kelas tiga dan di kelas empat orang menangis karena berdesak-desak. Kondektur berjalan dari kelas tiga ke kelas empat. Sampai ia ke sekumpulan orang berdiri dekat tangga.
“Karcis-karcis,” kata kondektur.
Semua orang mengeluarkan uangnya. Pura-pura marah kata kondektur, “Kalau tidak ada karcis, mengapa naik kereta api juga. Bagaimana masuk stasiun tadi?”
Seorang daripada mereka berkata, “Tukang periksa karcis di pintu stasiun, kami beri sepicis seorang, Tuan.”
Kondektur tidak menjawab lagi, uang di tangan orang-orang itu diambilnya, dimasukkannya ke dalam sakunya dan lambat-lambat katanya, “Lain kali beli karcis, ya.” (hal. 104)

Sekitar tujuh puluh tahun telah berlalu sejak waktu yang melatari cerita tersebut, namun saya merasa tak jauh beda keadaan zaman itu dengan zaman sekarang. Sudah berkali-kali saya ikut merasakan nikmatnya berdesak-desakkan di kereta ekonomi. Sudah dua kali pula saya naik kereta tanpa karcis. Pertama kali, saya disuruh turun sama masinis di stasiun berikutnya untuk beli karcis (Pramex, 17 Oktober 2010). Kedua kali, saya titip goceng pada seorang ibu yang sudah biasa naik Progo tanpa karcis—ibu itu yang membayarkannya pada masinis (Progo, 13 November 2010).  

Sebagaimana Oh… Oh… Oh! tadi, Kota—Harmoni menyajikan situasi hampir serupa di dalam trem. Pasar Malam Zaman Jepang menggambarkan situasi di suatu pasar malam di mana permainan rolet jadi hiburan bagi para serdadu Jepang dan pemicu bunuh diri bagi pribumi. Tak jauh beda, Sanyo adalah cerita tentang seorang tukang kacang yang lancang menanyakan hakikat tukang catut pada masa itu. Fujinkai adalah semacam perkumpulan wanita sedangkan Heiho adalah pembantu serdadu polisi. Keduanya adalah bentukan Jepang yang tak ada untungnya bagi rakyat Indonesia sebagai bagian di dalamnya—sebagaimana yang tersaji dalam Fujinkai dan Heiho.

Bagian ketiga terdiri dari sebuah cerita pendek berjudul Kisah Sebuah Celana Pendek dan dua prosa panjang berjudul Surabaya dan Jalan Lain ke Roma. Kisah Sebuah Celana Pendek adalah kisah mengenai… ya, sebuah celana pendek, yang amat dikhawatirkan oleh pemiliknya. Karena terlalu sering dipakai, celana pendek itu jadi jelek rupanya. Ia ingin menjual benda itu agar bisa makan, tapi kalau dijual, dengan apa ia hendak menutup auratnya?

Surabaya ialah sekumpulan situasi di Surabaya saat terjadi insiden yang mengarah pada tercetusnya Hari Pahlawan. Kebetulan juga Hari Pahlawan baru beberapa hari lalu lewat, wew. Tidak hanya penjajah yang harus prajurit kita serang rupanya, melainkan juga ancaman penyakit sipilis! Banyak perempuan jadi ‘jahat’ di masa itu—menjual tubuh dan menyebar penyakit sipilis para para prajurit kesepian—demi menyambung hidup!

Prosa panjang yang kedua ialah yang cuplikannya kerap dipersoalkan dalam ujian Bahasa Indonesia semasa sekolah menengah. Masih ingat si Open? Orangtuanya menamakannya demikian agar ia jadi seorang yang berterus terang. Namun sifat terus terangnya itu malah memberi sial baginya. Open sudah coba jadi guru, mualim, hingga pengarang, namun selalu saja ia menghadapi sesuatu yang tak menyenangkannya.

Saya membayangkan pengarang kumpulan prosa ini sebagai seorang yang rajin mengikuti media—entah lewat koran atau radio, maupun mengamati atau mengalami langsung kejadian yang menginspirasi prosa-prosanya ini. Gaya bertuturnya meyakinkan dan mengagumkan saya. Saya merasa harus mempelajarinya. Untuk menghasilkan karya seperti pengarang, saya seolah diajak untuk lebih peka terhadap kehidupan kaum marjinal. Mulai dari mengamati hingga berempati. Sebelum tahu dari Wikipedia bahwa pengarang adalah pegawai Balai Pustaka, saya kira ia seorang wartawan—jika bukan pengarang merdeka yang didam-idamkan dalam Kejahatan Membalas Dendam.

Suksoro : Tinggal di kota sangat mahal. Semua harus dibeli. Pakaian harus bagus. Akhirnya terpaksa juga mencari pekerja. Pengarang-pengarang di negeri asing dapat maju karena mereka dapat merdeka hidupnya.
Susilawati : Benar juga perkataan Ayah. Hidup merdeka, tentunya hidup dari hasil karangannya.
Suksoro : Itu yang belum bisa di Indonesia ini. Di Eropa sebuah sajak saja kudengar, dibayar oleh majalah yang memuatkannya, ratusan!
Susilawati : Dengan itu saja, pengarang telah dapat hidup beberapa bulan!
Suksoro : (menarik napas) Ya, ke sana hendaknya pergi kita nanti, apabila pengarang-pengarang muda kita (melihat ke atas). Pengarang-pengarang Indonesia merdeka? (hal. 71-72)

Dikisahkan dalam sandiwara ini, Suksoro adalah tipe pengarang kolot yang kontra dengan (mantan?) kekasih Susilawati, Ishak—seorang pengarang muda dengan semangat kemerdekaan menggebu-gebu. Ada situasi lucu dalam sandiwara ini. Agar dapat menulis dengan tenang, Ishak pergi ke desa dan menemukan sebuah rumah kosong. Ia pun menulis di rumah tersebut. Saking asyiknya, ia sampai tak menyadari kedatangan nenek pemilik rumah. Berhari-hari nenek itu coba berinteraksi dengannya, tak pernah ia hiraukan. Suatu ketika ia berhasil menyelesaikan tulisannya sehingga cukup peka indranya untuk dapat bercakap dengan sang nenek.

Ishak : Untuk kita, untuk kita juga (memandang jauh kembali). Itu rupanya mereka bersedih, sedang padi menguning (sambil mengepalkan tinjunya). Mereka harus mendapat penjelasan lebih banyak lagi. Mereka tidak tahu, tidak mengerti.
Perempuan tua : (mengeluh)
Ishak : (lekas membalikkan badannya). Akan tetapi, Nenek siapa?
Perempuan tua : Kemarin telah kukatakan.
Ishak : Kemarin? Aku tidak tahu.
Perempuan tua : Aku kemarin baru datang.
Ishak : Mengapa kemari?
Perempuan tua : Mengapa? Aku yang punya rumah ini.
Ishak  : Nenek…? Nenek yang punya rumah ini? (tiba-tiba sujud di muka perempuan tua itu, mencium tangannya). Maaf, maaf, Nek. Aku sangka rumah ini rumah kosong. (hal. 51)

Lumayan jadi penyegar di tengah kejemuan :)

Masih soal kepengarangan, dalam Jalan Lain ke Roma pun Open sempat ditinggalkan istrinya. Terlalu asyik mengarang, Open tersinggung ketika sang istri menyuruhnya bekerja supaya mereka tak mati kelaparan. Open pun menyuruh istrinya enyah ke desa. (hal. 65)

Kedua tokoh dalam buku ini mengingatkan saya pada Wayne Danton dalam Olenka. Seorang pengarang bisa jadi amat peka terhadap kehidupan orang lain—tapi belum tentu terhadap kehidupannya sendiri dan atau orang-orang di sekitarnya. Seorang pengarang bisa jadi amat mengedepankan egoismenya—mentang-mentang pengarang, ada saja yang mendukung kehadirannya dari zaman ke zaman. Sekali lagi, ini jadi semacam pengingat bagi para pengarang wanna be agar tak lantas jumawa dan lupa diri.

Mungkin inilah kekuatan dari sastra klasik. Kendati sudah lebih dari enam puluh tahun sejak buku ini pertama kali dicetak, permasalahan-permasalahan di dalamnya masih dapat dirasakan hingga kini. Tentu kita berharap keadaan dapat membaik dari waktu ke waktu. Maka itu, dari buku semacam ini kita dapat berkaca dan sadar akan betapa lambannya kemajuan yang kita peroleh. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk memperbaikinya?

Akhir paragraf, saya hendak mengutip sesuatu dari Jalan Lain ke Roma. Inilah bagian yang amat menyentuh dari prosa panjang nan kocak favorit saya ini, dari halaman 168 – 169,

…Boethius berkata, kesengsaraan itu sebenarnya tidak apa-apa. Hanya anggapan yang salah terhadap kesengsaraan itu, itu yang menjadikan orang putus asa dan celaka. …Kesengsaraan bukan musuh, anggapan itulah yang musuh. Setelah ia dapat melepaskan anggapan itu, dan dapat melihat kesengsaraan yang dideritanya sebagai sewajarnya, ia mengucap syukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada Boethius.

sumber gambar 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain