Jumat, 21 September 2012

While There’s Still Time (A. Rahartati Bambang)


                Dani menggelengkan kepala. Tulisan dalam poster di atas boks Tata sungguh mengundang tanya. Apa maksudnya? While there’s still time… Senyampang ada waktu.
                Kendati telah membacanya berulang kali, dan menerjemahkannya di dalam hati, Dani masih juga tak mengerti. Apa kaitan poster itu dengan kepulangannya dari rumah bersalin? Mengapa pula secara khusus Suryo meletakkannya di sana, di atas boks Tata? Ia yakin Suryo memilih benda itu bukan karena latar belakangnya—lukisan setangkai anterium warna magenta—melainkan karena rangkaian kata-katanya.
                While there’s still time… Senyampang ada waktu…
                “Yok?” Dani berteriak memanggil suaminya.
                Ia baru sadar begitu mendengar suara mobil yang semakin menjauh. Ah, ya. Suryo harus segera ke apotek…
                Diam-diam ia merasa kecewa. Mengapa pada hari seistimewa hari itu—hari pertama kehadirannya bersama Tata, anak pertama mereka—Suryo tidak menyambutnya dengan hadiah yang lebih semarak, misalnya karangan bunga anyelir warna merah muda kesukaannya?
                Dengan hati-hati ia membaringkan Tata yang masih nyenyak di tempat tidur. Ia sendiri lalu bergolek di sampingnya.
                While there’s still time… Gumamnya berulang kali. Senyampang masih ada waktu…
                Ya? Senyampang masih ada waktu. Bukankah cuma seperti itu artinya? Tak ada yang luar biasa. Tak ada istimewanya.
                Diam-diam Dani menyesali ketidakmampuan suaminya dalam memberikan “isyarat”. Ah! Suryo memang tak seromantis Mas Ardi, kakak sulungnya. Pada hari ulang tahun perkawinan pertama, ia menghadiahkan sebuah buku mungil berjudul Bloom where you are planted, kepada Mbak Peni, istrinya, berisi kata-kata mutiara yang sangat mengena, khusus bagi pasangan-pasangan muda. Tetapi poster itu… While there’s still time… Bah!
                Ia lalu berusaha menghilangkan kekecewaannya dengan berkata kepada dirinya sendiri bahwa kecakapan dalam memilih hadiah memang bukan milik setiap orang. Seperti Martina, teman sekantornya. Ia yakin atasan tak akan berani lagi menugasi rekannya itu untuk mencari hadiah bagi siapapun. Selera Martina memang aneh. Gara-gara anehnya selera Martina, hubungan mereka sampai merenggang selama beberapa waktu.
                Peristiwa itu terjadi ketika Retno—teman satu departemen—akan menikah. Diputuskan, kantor akan memberikan hadiah lemari es. Karena kebetulan Dani tahu warna ubin di dapur Retno—terracotta—ia menjerit kecil ketika Martina bersikeras memilih warna biru. Apa mau dikata. Barangkali karena merasa diri sebagai si pembuat keputusan, Martina sama sekali tidak mempedulikan saran Dani. Baru ketika hadiah dibuka di depan karyawan—termasuk atasan—diam-diam semua mengulum senyum. Karena merasa ikut terpojok, Dani akhirnya keceplosan. “Coba kita ambil yang tadi, ya, Tien…”
                Oleh Martina kalimat tersebut rupanya dianggap sebagai ajakan bermusuhan. Selama berminggu-minggu ia membiarkan Dani menegur angin. Bahkan berpapasan pun ia enggan…
                Rangkaian kata di poster kembali mengganggu pikirannya. Apa sebenarnya maksud Suryo?
                “Melamun ya?” tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka. Suryo masuk sambil tertawa-tawa. “Mana anakku?”
                “Psst!” jawab Dani sambil menempelkan telunjuk ke bibirnya. “Jangan keras-keras. Dia tidur!”
                Tanpa mempedulikan larangan istrinya, Suryo naik ke tempat tidur dan menyelujurkan tubuhnya di samping si bayi mungil untuk menciumi pipinya. Cukup lama ia menunggu kedatangannya. Wajah dan matanya menyiratkan kebahagiaan.
                “Lihat, Dan!” ujarnya sambil menggamit istrinya. “Kakinya cuma segini…,” ujarnya sambil merentangkan ibu jari dan telunjuknya. “Cuma segini, Dan!”
                Ia terkejut ketika menyadari bahwa Dani tetap menengadahkan kepala, tak menoleh ke arahnya.
                “Sakit?”
                Dani tidak menjawab. Ia hanya mengetuk bibir berulang kali dengan ujung telunjuknya.
                Suryo tertawa, lalu menciumi bibir istrinya.
                “Maaf! Sampai lupa. Kau punya saingan, sekarang. Oh, ya, Dan. Kau sudah lihat itu?” ujarnya sambil menunjuk poster.
                Dani mengangguk.
                “Suka?” tanya suaminya.
                Dani kembali mengangguk.
                “Itu artinya kau kurang suka,” lanjut lelaki itu. “Buktinya kau cuma mengangguk.”
                “Suka,” ujar Dani kemudian, “Tapi terang saja aku tidak tahu maksudnya. While there’s still time…”
                “Siapa sih, guru bahasa Inggrismu dulu? Pakai bakiak barangkali ya?” kata Suryo sambil terbahak.
                “Psst! Nanti Tata terbangun!” kata Dani sambil menyodok dada suaminya. “Tentu saja aku tahu artinya… Senyampang ada waktu… Ya, ‘kan?” Tapi apa maksudnya? Apa kaitannya dengan kedatangan Tata dan kepulanganku dari Ibunda?”
                “Makanya, Non. Punya IQ tinggian dikit, dong. Jangan cuma sekadarnya. Sekarang coba lagi utak-atik maknanya. While there’s still time… Kauterjemahkan apa tadi?”
                “Senyampang ada waktu…”
                “Apa? Senyampang? Bukan! Mumpung…” sergah suaminya.
                “Huh. Itu sulitnya punya suami aji mumpung. Ada padanan lain yang lebih canggih, Bung! Senyampang… atau selagi kebetulan. Lihat saja di kamus…”             
                “Oke. Senyampang ada waktu…. Bagus, ‘kan?”
                “Apa bagusnya?”
                “Payah banget, sih! Dulu kupikir kau ini cuma pura-pura bodo, Dan. Ternyata beneran. Jangan-jangan ijazah sarjanamu juga aspal. Aduh!” Suryo menjerit ketika Dani mencubit pinggangnya. “Sekarang dengar. Senyampang ada waktu…”
                “Diulang-ulang terus. Bosen!” ujar Dani sambil memberengut. “Senyampang ada waktu kau mau ngapain?”
                “Nah! Kau sudah jawab sendiri. Kau mau ngapain senyampang ada waktu?”
                “Mau baca… Mau masak… Mau apa saja bisa: Senyampang ada waktu.”
                “Nah! Senyampang ada waktu, aku mau mencintai suamiku…”
                “Males! Senyampang ada waktu, aku mau meracun suamiku… Au!” Giliran Dani menjerit ketika Suryo mendekapnya kuat-kuat.
                “Maaf, Non. Lupa. Masih rapuh, sih, ya. Habis, baru lulus jadi Ibunda… Makanya serius dikit, dong. Senyampang ada waktu, aku mau merawat Tata sebaik-baiknya…
                “Senyampang ada waktu, aku mau mengajaknya bermain-main… Senyampang ada waktu, aku mau… Apa saja, deh. Kau selalu bisa membubuhkan kata-kata itu di depan semua rencanamu. Yang baik, tentunya.”
                “Hih! Aku jadi ngeri. Bukankah ungkapan semacam itu seolah mengingatkan bahwa waktuku tak banyak lagi, seolah sebentar lagi aku ma…”
                “Psst!” ujar Suryo sambil membungkam mulut istrinya, “Berpikirlah positif, Non! Kalau kau selalu menambahkan While there’s still time pada setiap kegiatanmu, rencanamu, kau pasti akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Itu pasti. Karena kau merasa dikejar waktu. Karena kau merasa waktumu tak banyak lagi… Begicu…
                “Jijay! Kaya bencong!”
                “Bencong? Lalu itu apa, dong?” ujarnya sambil menunjuk Tata yang masih lelap dan menepuk dadanya berulang-ulang…
                “Oke. Sekarang aku tak tahu apa maksudmu. Dan kau sendiri bagaimana? Tentu sangat tidak adil kalau kau tidak menerapkannya…”
                “Siapa bilang? While there’s still time, aku mau menikmati keberadaan Tata dengan sejenak tidur-tiduran di sampingnya… While there’s still time, aku juga ingin mencium ibunya anakku puas-puas… Wow! Sudah dulu, ya. Aku mau ke kantor lagi…”

*

                Malam itu, dengan hati-hati Dani membaringkan tubuh di samping anaknya. Esok pagi, Tata akan merayakan ulang tahun yang keenam. Semua telah siap. Termasuk kotak-kotak dari kertas chrome-coated putih bertuliskan, Tata, 6 tahun, yang akan dibagikan di sekolah. Tinggal memasukkan isinya…
                Dani tersenyum. Di mata seorang ibu, anak adalah malaikat, seberapapun bengalnya. Dan kini, malaikat kecilnya yang bengal sedang lelap tidur. Dengan hati haru Dani mengamati setiap sudut wajah buah hatinya, sambil membelai jari-jari tangan dan kakinya yang mungil. Ketika sambil lalu ia merentangkan ibu jari dan kelingkingnya untuk mengukur kaki bidadarinya, ia terhenyak. Pada usianya yang keenam, panjang kaki Tata tepat sejengkal tangannya…
                Ah! Bukankah seperti baru kemarin Suryo menggamit lengannya sambil merentangkan telunjuk dan ibu jari untuk memperlihatkan “ukuran” telapak kaki Tata?
                Ia menjerit dalam hati. Ternyata waktu begitu cepat berlalu. Karena kesibukannya, banyak hal terabaikan. Pertumbuhan Tata telah luput dari perhatiannya. Hari ini panjang telapak kaki Tata tepat sejengkal tangannya. Sebentar lagi ia pasti akan bertambah sebuku jari, dan sebuku lagi… Hingga suatu hari Tata tak akan membutuhkan dirinya lagi. Ia tidak akan merengek-rengek lagi meminta cerita pengantar tidur. Ia akan malu bermanja-manja. Ia tak akan mengganggunya lagi dengan seribu macam pertanyaan yang terkadang menjengkelkan. Ia akan memiliki sahabat, teman akrab, bahkan kekasih. Ia akan memiliki dunianya sendiri… Dan, ah! Poster itu… Ia bahkan tidak menyadari kapan Tata tak tidur lagi dalam boksnya…
                Mendadak ia begitu merindukan anaknya. Ah! Bukankah Tata sedang terlelap di sampingnya?
                Dengan penuh kasih ia lalu membelai rambut anaknya, sementara bibirnya menggumam janji…
                Senyampang ada waktu akan kubuka lebar mataku untuk melihat pertumbuhannya… Senyampang ada waktu akan kudengarkan dan kunikmati “gangguan” pertanyaannya… Senyampang ada waktu akan kuhayati setiap detik masa kanak-kanaknya… Senyampang ada waktu akan kuresapi setiap detik keibuanku…
                “Ibu!” bisik anak itu sambil menggeliat. Belaian Dani membangunkannya tiba-tiba. “Ceritain, dong!” ujar gadis kecil itu masih dengan mata mengantuk.
                Hampir saja Dani memberikan jawaban klisenya, ‘Ih! Ibu ‘kan capek!’ Untung kepalanya bereaksi lebih cepat. “Mau cerita apa, Ta?”
                Anak itu kini benar-benar membuka matanya. “Ibu punya waktu?” tanyanya heran.
                “Punya, Ta. Banyak sekali…”

Untuk Rita dan Jane Oetoro
(Sarinah, No. 306, 11-24 Juli 1994)


NB: Ini cerpen yang paling menyentuhku di antara cerpen-cerpen lainnya dalam “ApresiasiCerpen Indonesia Mutakhir” (Korrie Layun Rampan: Bukupop, Jakarta, 2009). Kupersembahkan untuk para calon ibu maupun yang sudah ibu. :)

Senin, 17 September 2012

Di Balik Kesedihan

sumber gambar dan cerpen bisa dilihat di
http://www.eldritchpress.org/ac/misery.htm
Suatu malam Iona Potapov menyusuri jalanan Rusia yang bersalju deras dengan semacam delman. Ia yang mengendarai delman tersebut, dengan seekor kuda betina. Setelah lama, seorang opsir yang kasar menaiki delman tersebut. Iona dimaki oleh sang opsir karena cara Iona mengemudi yang tidak becus. Kemudian Iona mendapat kesempatan untuk memberitahu sang opsir, putra Iona meninggal minggu itu. Sang opsir tidak peduli, malah menanggapi Iona dengan kasar.

Setelah sang opsir turun, tiga pemuda yang menaiki delman Iona. Bahasa mereka buruk, dan mereka ingin membayar Iona kurang dari yang seharusnya. Iona menerimanya, daripada tidak sama sekali. Lagi-lagi Iona disentil akan cara mengendaranya yang buruk. Iona pun memberitahu mereka bahwa putranya meninggal minggu itu. Tetap tidak ada tanggapan yang baik untuk Iona.

Bahkan ketika ia sekadar menanyakan jam pada orang di pinggir jalan, ia tetap kena hardik.

Kesedihan Iona menjadi-jadi. Berhubungan dengan orang-orang malah tidak menjadi hal yang baik. Ia pun kembali ke pangkalan. Di sana orang-orang tidur seraya menghangatkan diri.

Iona menawarkan minum pada seorang pemuda. Ia berharap pemuda itu mau mendengarkan ceritanya. Tapi pemuda itu segera tidur kembali.

Iona pikir lebih baik ia bercerita pada seorang perempuan, tapi satu-satunya perempuan yang ia temukan hanya kudanya. Iona bercerita pada sang kuda betapa lelaki itu terlalu tua untuk mengemudikan delman, almarhum putranya itulah pengemudi delman yang sesungguhnya. Semua Iona ceritakan pada sang kuda.

***

“To Whom Shall I Tell My Grief?”, kalimat pembuka dalam cerpen karya Anton Chekhov ini langsung menyentilku. Kepada siapa aku akan berbagi dukaku? Pertanyaan itu juga sering aku alami, dan cocok untuk dipajang sebagai status di Facebook.

Dari judulnya saja, “Misery”, calon pembaca barangkali sudah menerka kalau ia bakal disuguhi melankolia di sepanjang cerpen. Menurutku tidak salah. Cerpen ini bisa menjadi semacam katarsis bagi siapapun yang tengah pilu, dengan kalimat semacam ini terasa menohok.

With a look of anxiety and suffering Iona’s eyes stray restlessly among the crowds moving to and fro on both sides of the street: can he not find among those thousands someone who will listen to him?

Meski menurutku kepiluan yang dialami oleh pembaca-katarsis belum tentu bisa menyamai kepiluan Iona. Kepiluan Iona adalah kepiluan yang khas, yang hanya dimiliki oleh seorang tua, yang piawai tidak piawai mesti mengemudikan delman supaya bisa makan, yang baru saja kehilangan putranya, istrinya telah meninggal, dan ia tinggal memiliki seorang putri di desa…

Selanjutnya cara penyampaian cerpen ini bisa dibilang gamblang, sebagai contoh,

Again he is alone and again there is silence for him… The misery which has been for a brief space eased comes back again and tears his heart more cruelly than ever.

Aku kira cara seperti atas bakal dihindari oleh seorang Ernest Hemingway. Bukannya aku menjadikan Eyang Hemingway sebagai panutan juga sih. Sekian karya Eyang Hemingway yang sudah kubaca, cuman satu yang aku bisa mengerti, yaitu cerita tentang seorang anak yang tidak bisa membedakan skala Fahrenheit dengan Celcius.

Biasanya aku terkesima akan cerita yang berhasil membuatku melankolis sesaat, contohnya novel “The Little Prince” dan “The History of Love”. Tapi kemudian aku pikir bahwa cerita semacam itu tidak bagus. Yang aku perlukan dari suatu cerita bukanlah supaya melankoliaku kambuh, melainkan bagaimana supaya aku tergerak untuk melakukan sesuatu, atau setidaknya berperasaan positif sebagaimana aku sehabis membaca novel “Negeri 5Menara” atau “Rumah Seribu Malaikat”.

Adapun akhir dari cerpen ini aku lihat dari dua sisi.

Sisi pertama, pembaca dibikin sangat kasihan pada Iona. Saking menyedihkan dirinya—hidupnya, sampai-sampai tidak ada satupun yang mau mendengarkannya selain kuda. Dengan demikian cerpen ini memiliki nuansa yang negatif, karena efeknya yang bikin melankolis. Sebetulnya melankolia tidak melulu negatif. Menurutku sifat melankolis membuat kita menjadi lebih peka dengan masalah, dan itu bisa dimanfaatkan. Aku kira di balik setiap karya hebat mestilah ada permasalahan yang melatarbelakanginya. Untuk bikin skripsi saja kita harus terlebih dulu menemukan masalah.

Sisi kedua, pembaca dibuat memahami makna peribahasa “tiada rotan akar pun jadi”. Tidak usah sedih amat kalau tidak menemukan seorangpun sebagai tempat berbagi duka, carilah kuda. Hewan ternyata bisa lebih baik dari manusia. Dengan demikian cerpen ini memiliki nilai positif, karena menawarkan alternatif bagi pembaca. Sekiranya Iona dibesarkan dalam tradisi tulis-menulis yang kuat, barangkali ia bisa menanggulangi kesedihannya dengan menulis diary, alih-alih cerita pada kuda. Benda mati ternyata tidak kalah baik dari hewan.

Sepilu-sepilunya aku tidaklah sebesar kepiluan Iona. Aku adalah orang yang beruntung, masih punya orangtua yang mau menanggung hidupku. Aku tidak harus memacu kuda di bawah guyuran salju demi sesuap nasi, atau, buat orang Rusia mah, oat. Aku bahkan masih memiliki waktu untuk membaca lantas membahas kisah Iona. Sedang Iona, ia barangkali tidak memiliki kesempatan bahkan untuk membaca kisahnya sendiri, karena ia harus mendayakan waktu dan tenaganya untuk sesuap oat. Tidak ada lagi putra yang bisa menanggung hidupnya. Dengan demikian nilai positif lain dari cerpen ini adalah bisa menyentil pembaca agar mensyukuri hidupnya.

Aku tidak bisa membayangkan akhir yang lebih baik untuk cerpen ini. Aku kira cerpen ini sudah diakhiri dengan sepatutnya, hingga aku bisa memikirkan berbagai kesan yang menjadi efek dari cerpen ini. Yang terpikir olehku malah alasan untuk tidak menggubris seseorang yang ingin melampiaskan deritanya. Alasan yang secara otomatis egois, tapi aku kira mestilah ada sebab di balik sikap tidak mengenakkan seseorang terhadap orang lainnya. Toh pada akhirnya sang orang bisa menemukan solusi alternatif, sebagaimana yang ditunjukkan dalam cerpen ini.

Tema besar cerpen ini adalah “misery”, yang menurut kamus elektronikku berarti “kesengsaraan, kesedihan, kemelaratan”. Aku tidak bisa bayangkan berada dalam kondisi sengsara/sedih/melarat ala Iona, jadi aku hanya bisa memaknai berbagai kata yang jadi pengertian tersebut dalam konteks kehidupanku saja, dan kata yang paling aku pahami barangkali hanya “sedih”. Jika aku mesti membuat rumusan dari tema besar ini hingga menjadi tema yang lebih spesifik, maka menurutku: kesedihan membuat seseorang lebih siap untuk menghadapi kemungkinan yang lebih buruk.***


(dari "The Harper Anthology of Fiction" oleh Sylvan Barnet, 1991, HarperCollins Publishers Inc.)
kalau foto ganteng Pak Chekhov bisa dilihat di sini ;)

Senin, 10 September 2012

Yang Ketujuh


Bundel konsep yang hendak dijadikan novel


Pada 25 Agustus 2012 aku menyelesaikan Yang Ketujuh alias novel keenam yang aku kerjakan tanpa kolaborator. Panjangnya sejauh ini 51.276 kata (bisa berubah kalau aku edit lagi) dalam format TNR 11, 0 pt, spasi 1 (116 halaman A4 dengan margin skrispi alias 3-3-4-4). Sekitar 10.000 kata aku ketik di rumah orangtua di Bandung secara tersendat-sendat, lalu 37.000-an kata aku karang di rumah bude-pakde di Jogja dengan lancar, sedang sisanya aku tuntaskan di dalam Kuda merah di sepanjang rute Jogja-Batang-Majalengka. Jika dipadatkan, total pengerjaan novel ini sekitar 1,5 minggu.

Apalah artinya Yang Ketujuh? Tujuh itu kuantitas, bukan kualitas. Tapi bagiku ini tetap merupakan sebuah pencapaian. Lebih baik menulis buruk daripada tidak menulis sama sekali. Practice makes perfect, begitu pesan di halaman buku tulis Sinar Dunia.

Bagaimanapun novel ini dapat kutuntaskan antara lain karena beberapa faktor berikut.

1. CampNaNoWriMo Agustus 2012

Sekali lagi aku harus berterima kasih pada siapapun yang menyelenggarakan ajang semacam ini. Mujarab sekali, aku betulan terpacu. Aku bahkan jadi berniat untuk mengoleksi setiap sertifikat NaNoWriMo dan CampNaNoWriMo dari tahun ke tahun.

2. Ketersediaan waktu 

Di minggu-minggu awal Agustus, aku mengerjakan novel ini secara tersendat-sendat hingga mandek sama sekali. Saat itu aku memang lagi mengurus skrispi, sehingga novel ini aku kerjakan sesempatnya. Pertengahan Agustus, urusan administratif menyangkut skrispi alhamdulillah dapat dituntaskan. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan untuk skrispi yang berkaitan dengan orang lain, karena instansi-instansi pada tutup dalam rangka libur lebaran. Maka keluangan waktu aku isi dengan menuntaskan novel itu.

Sebelumnya aku sempat pesimis apakah aku masih bisa mengejar target. Aku pun menghitung-hitung, jika aku bisa mengetik 3.000 kata/hari maka novel ini bisa diselesaikan pada tanggal 25 sementara tenggatnya masih hampir seminggu lagi. Karena waktu luang yang tersedia memang banyak, aku bisa mengetik hingga sekitar 5.000 kata/hari.

3. Ketersediaan bahan

Biasanya aku sudah memiliki semacam konsep sebelum menggarapnya hingga jadi sebuah novel. Biasanya konsep berkembang dari sosok karakter utama. Karakter utama dalam novel ini mulai menghampiriku saat liburan pergantian tahun kemarin. Aku mulai mengumpulkan kepingan-kepingan yang ia kirimkan. Menjelang Agustus, kepingan-kepingan itu belum lengkap tapi aku merasa harus bikin novel karena momen CampNaNoWriMo. Konsep tentang novel inilah yang paling memadai, meski aku masih perlu mengimprovisasinya saat eksekusi.

4. Karakter 

Satu lagi yang menjadi semangatku dalam mengerjakan novel adalah simpatiku terhadap karakter yang lagi kugarap. Kalau buatku, karakter tidak dengan sengaja diciptakan, melainkan muncul dengan sendirinya. Barangkali ini yang disebut dengan intuisi.

Aku melihat mereka sebagai lumrahnya manusia, dengan berbagai nilai positif dan negatif berkecamuk dalam diri mereka. Kalaupun aku belum bisa menyajikan mereka secara believable, itu adalah semata-mata kekuranganku yang belum bisa mengenal mereka dengan lebih dalam.

Selain itu, melalui karakter pulalah aku menyampaikan apa yang ingin kusampaikan, entah dari pikirannya, ucapannya, maupun perilakunya, meskipun kami adalah pribadi yang berbeda dengan latar belakang masing-masing. Biasanya karakter merupakan perwujudan dari masalah yang sedang aku alami, sehingga menjadi semacam katarsis buatku untuk menuangkannya, karena aku biasanya menulis, ya, lewat tulisan. Maka kadang kala aku merasakan euforia selama beberapa hari ketika sudah menyelesaikan sebuah novel.



Gambaran umum mengenai novel ini

Sekali lagi seorang remaja yang jadi karakter utama, tidak usah protes, karena perkembangan kepribadianku memang masih belum lepas dari taraf ini. Dan yang tampak dari plot utama adalah bagaimana hubungan antara remaja tersebut, yang laki-laki, dengan seorang temannya, yang perempuan. Beberapa lagu yang terpikir olehku cocok untuk mengiringi berbagai situasi dalam novel ini antara lain...

D' Bagindaz (betul enggak sih nulisnya?) - Empat Mata
Chaseiro - Shy
Seurieus - Apanya Dong
Naif - Itulah Cinta

...meskipun aku mengerjakan novel ini sambil mendengarkan seluruh lagu Padhyangan Project (sejak Jilid 1-4 hingga Jilid Lebaran, plus lagu-lagu yang tidak termuat dalam album) secara acak. Dengan lagu-lagu sedemikian rupa, silahkan tebak saja bagaimana kira-kira jalan cerita dalam novel ini :). Yang jelas buatku novel ini lebih dari sekedar interaksi antar lawan jenis, melainkan passion. Interaksi antar lawan jenis hanya bingkai.



Proses yang kujalani

Gagasan-gagasan yang muncul di konsep boleh macam-macam, tapi aku memutuskan untuk menjadikan novel ini simpel. Tidak sepelik Yang Kelima dan Yang Keenam, tapi kurang lebih seperti Yang Ini dan dua novel lain semacamnya.

Aku telah mengerjakan 1/5 bagian novel ini, lalu vakum. Ketika hendak memulai lagi, aku membuat sinopsis yang simpel untuk novel ini. Ini berguna untuk memberiku arahan dalam mengembangkan cerita. Jadi aku fokus pada interaksi antara karakter utama dengan karakter pendukungnya. Tapi lama-lama aku jenuh dengan interaksi di antara mereka saja. Lagipula ini novel, satu plot saja tidak cukup. Aku mencari plot sampingan dengan bertanya, "bagaimana jika...", hingga mencuat satu gagasan yang aku pikir malah menekankan tema novel ini.

Selama mengetik novel ini, sering aku berpikir kalau aku mengerjakan ini hanya untuk memenuhi target, yaitu 50.000 kata dalam sebulan. Bagaimanapun yang ditekankan oleh penggagas ajang semacam NaNoWriMo adalah kuantitas, bukan kualitas. Maka aku berusaha untuk terus mengetik tanpa memedulikan betapa tidak indahnya kalimat-kalimat yang telah kubuat, bagaimana susunannya, efektif atau tidak, dan sebagainya. Aku biarkan itu. Sesekali secara tidak terduga aku menciptakan rangkaian kalimat yang menurutku bagus, bahkan ada yang menurutku sangat lucu. Tapi tidak jarang juga, aku sudah mengetik sampai setengah halaman lebih, aku malah menghapusnya, lalu menggantinya dengan tatanan kalimat yang lebih simpel.

Selama mengetik novel ini, aku berhasil untuk tidak membaca ulang apa yang telah aku tulis. Memang sesekali aku tekan "Ctrl + F", tapi sekadar untuk memperbaiki detail yang dalam ingatanku tiba-tiba muncul dan minta diganti, keburu lupa, dan bukannya membaca terus.

Akhirnya novel ini pun tertuntaskanlah. Hingga saat aku menulis ini, aku baru sekali baca ulang, itupun tidak secara mendetail. Banyak hal dalam novel ini yang baru aku sadari justru ketika novel tersebut selesai dituliskan. Hal-hal yang bahkan tidak aku rencanakan sebelumnya dalam konsep--yang ada di konsep malah tidak tergarap--tapi aku justru mensyukurinya.

Keajaiban justru terjadi saat eksekusi. Di situlah kemampuan kita terjajal. Maka jangan ragu untuk memulai, karena kamu tidak bakal mendapatkan apa-apa kecuali jika kamu telah menjalaninya.



Menurut penilaianku sendiri

Aku suka mencari di berbagai buku tentang teori atau kritik sastra mengenai bagaimana kriteria karya yang baik. Agaknya perlu latihan yang terus-menerus untuk mewujudkan yang seperti itu. Aku kira bagian dari latihan adalah dengan mengerjakan novel hingga tuntas, seperti yang aku lakukan ini, bagaimanapun hasilnya. Lalu menghimpun penilaian atas novel tersebut, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Lalu menulisnya ulang, terutama bagian-bagian yang bermasalah. Tapi aku sih belum sampai tahap menulis ulang, untuk karya manapun yang pernah aku hasilkan.

Sebagai contoh, aku mengerjakan novel ini hanya dengan mengandalkan pengetahuan yang sudah ada dalam kepalaku saja, tanpa melalui riset lagi. Contoh lebih spesifik, karakter dalam novel ini gandrung akan sejarah. Sekiranya ia suka mempertautkan apapun yang ia hadapi dengan sejarah. Tapi aku sendiri tidak gemar membaca buku-buku sejarah, bagaimana aku bisa mengejawantahkan itu?

Tata bahasaku dalam menyampaikan tema novel ini juga masih buruk, tapi secara umum aku bisa mengidentifikasi beberapa keberhasilan yang membuatku cukup puas dengan novel ini. Hal-hal berikut ini juga yang menjadi alasan bagiku untuk menyukai suatu karya.

1. Karakter yang bisa dibolak-balik. Karakter tidak mesti konsisten dengan apa yang ia nyatakan semula, karena begitulah manusia. Dinamis. Pelupa. Aku suka karakter yang seperti plastisin, bisa dipenyokkin sesuka hati.

2. Ada beberapa detail yang terulang hingga membentuk suatu pola. Penjelasan tentang ini bisa dibaca di buku "Teori Fiksi" oleh Robert Stanton.

3. Kejujuran. Novel ini mengusung semangat tertentu, tapi di sisi lain ada pesan agar semangat tersebut tidak keblablasan. Dengan demikian jujur berarti mempertentangkan nilai secara imbang. Ini yang aku pahami dari membaca buku "Pengantar Teori Fiksi" oleh Pujiharto.

Barangkali keberadaan hal-hal tersebut dalam novelku hanya aku sendiri yang bisa mengidentifikasi hehehe. Toh bagaimana aku memandang novel tersebut terpengaruh oleh konsep ideal novel tersebut yang bercokol dalam benakku, sedangkan orang lain hanya melihat hasilnya saja--ditambah persepsi mereka barangkali, jadi bisa saja aku terkecoh. Oleh karena itu pendapat orang lain mengenai novel ini sangat kubutuhkan, untuk mengetahui apakah hal-hal yang ingin kusampaikan melalui novel ini telah berhasil mereka dapatkan apa belum. Kalau belum, berarti masih ada masalah dalam caraku menyampaikan.

Aku tidak bisa memastikan apa latihan semacam ini kelak bisa membuatku menghasilkan novel yang berkualitas, tapi itu tidak cukup jadi alasan untuk berhenti berupaya kan?***

Minggu, 02 September 2012

Domba-domba Saling Tanduk di Babakan Siliwangi


Duak!
Pikap-pikap berbaris di tepi Jalan Siliwangi pada Sabtu (01/09/12). Butiran-butiran hitam--kotoran domba--berceceran di bak. Gempita musik Jaipongan teredam tajuk pepohonan Babakan Siliwangi. Rupanya pertunjukan seni ketangkasan domba Garut tengah berlangsung. Cuaca cerah mendukung 92 pasang domba asal Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cianjur, hingga Sukabumi untuk saling menghantamkan kepala pada satu sama lain.

Di satu panggung nayaga menyemarakkan suasana. Sesekali beberapa orang naik ke depan panggung lalu menggerakkan tubuh mereka sesuai irama. Domba-domba yang menanti giliran maupun sudah anteng atau gelisah pada patoknya masing-masing di luar tribune, dengan atau tanpa alas. Banyak lelaki berpakaian hitam-hitam dengan ikat kepala batik berkeliaran di sekitar domba-domba. Tribune yang mengelilingi lapangan diisi oleh pengunjung  lain yang tidak sedikit jumlahnya, tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan, dewasa hingga anak-anak. Para pedagang, mulai dari pedagang kupat tahu, nasi kuning, siomay, cendol, boneka domba, hingga asongan menempati posnya masing-masing.

Mengantri giliran di atas singgasana
Lagu berganti seiring dengan sepasang demi sepasang domba berlaga di lapangan. Seorang wasit berpeluit memberi aba-aba bagi pasangan domba yang akan bertanding. Masing-masing domba mundur seraya ambil ancang-ancang, lalu menyerbu bagian depan kepala satu sama lain. Duak! Satu tandukan. Keduanya lekas mundur lagi, melaju lagi, dan duak! Dua tandukan. Dan seterusnya hingga 20 kali tandukan, atau salah satu domba semaput. Tiap domba di lapangan didampingi oleh sedikitnya seorang lelaki. Kadang seusai menyeruduk lawan, domba dipijat oleh pendampingnya masing-masing sebelum melakukan tandukan berikutnya. Lecet di dahi domba adalah hal biasa, bisa pulih lagi.

Keriuhan di lapangan
Usia domba yang ditandingkan berkisar antara 3 - 6 tahun. Pasangan domba ditentukan sejak sebelum pendaftaran oleh pemilik domba itu sendiri. Begitu sampai di lokasi pemilik domba mencari pemilik domba lain yang hendak dijadikan lawan bagi dombanya, lalu kedua domba tersebut didaftarkan pada panitia.

Domba tidak akan ditandingkan lagi dalam waktu pertunjukan yang sama, meskipun telah mengungguli lawannya. Domba dinilai berdasarkan beberapa kriteria. Domba yang mendapat skor paling besar menjadi pemenang.

Mobil, domba, orang, motor campur aduk di jalan

Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi yang negatif terhadap seni ketangkasan domba Garut, atau lazimnya dikenal dengan "adu domba". Padahal domba yang diadukan masih bisa hidup hingga sepuluh tahun lagi. Benturan antara kepala domba tidak menyebabkan gegar otak, sebab struktur tengkorak domba tidak sebagaimana milik kita. Terdapat semacam pegas pada bagian depan tengkorak domba, sedang otak domba terletak di bagian belakang tengkorak. Adapun domba yang semaput dikarenakan arah tandukan domba lawan tidak mengenai bagian yang tepat. Kemampuan domba berlaga di lapangan juga meningkatkan nilai jual domba itu sendiri, yang dengan demikian menguntungkan peternaknya.

Seni ketangkasan domba Garut mulai berkembang pada awal abad 20 di Jawa Barat, sempat terhenti pada masa perang kemerdekaan Indonesia, dan berlanjut lagi pada tahun 1950-an. Hingga kini Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) Jawa Barat rutin menyelenggarakan seni ketangkasan domba Garut sebagai ajang silaturahmi bagi para pemilik domba.

Suasana di Babakan Siliwangi, 01/09/12
Cabang HPDKI di Kota Bandung melangsungkan latbar atau latihan berhadiah  tiap minggu, sedangkan kontes tidak tentu. Saat latbar jumlah domba bisa mencapai 100 pasang, sedangkan saat kontes 150-250 pasang. Informasi acara bisa dilihat setiap Rabu di Galamedia. Blok pamidangan (lapangan adu domba) di Babakan Siliwangi biasanya digunakan pada minggu pertama tiap bulan, sedang pada minggu-minggu berikutnya dilangsungkan di blok pamidangan lain di Cilimus, Moh. Toha, dan Arcamanik.

Adapun blok pamidangan  di Babakan Siliwangi dibangun setelah Otje Djoendjoenan menjabat sebagai walikota, yaitu tahun 1977. Semula blok pamidangan berada di area yang kini merupakan kolam renang, sebelum dipindahkan ke area yang lebih tinggi.***
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...