Kamis, 30 Januari 2014

Kunjungan Pagi

Pagi ini, ketika sedang membaca bersandarkan bantal dan jendela, kudengar garukan di belakang. Kutolehkan kepala. Kudapati kuku-kuku mungil menancap di tepian kosen. Sepasang mata mengintip di balik kaca. "Siapa kamu?" tanyaku. Ia tidak menjawab. Sempat ia berlalu. Kudorong jendela melalui celah jeruji agar bisa mengamatinya dengan saksama. Ia kembali. Sebagian tubuhnya bergelendot di sudut jendela, mengacau rute semut pekerja. Semut-semut hitam itu merayapi tubuhnya. Aku tertawa. Ia menjauh sementara. Lalu kembali ke jendela yang lain, yang sedari mula memang terbuka. Berakrobat di balik jeruji dan tirai. Kudekati ia. Kupancing dengan pengikat tirai. Ia menyambutku dengan cakarnya menggores tangan kiriku. Aku memekik. Kucing yang terlalu bersemangat! Merah merembes pada gorengan panjang itu. Kupanggil adikku agar ikut menikmati. Tak lupa aku memperingatkannya agar berhati-hati terhadap cakar-cakar si kucing. Kuambil ponsel untuk mengabadikan kedatangan makhluk tengil ini. Namun tampaknya aku terlalu dekat. Hingga giliran tangan kananku kena tancap. Macam macan saja lagakmu, Cing!


Mengintip di jendela


Terbelit tirai

Keluar sebentar, mondar-mandir, lalu mengawasi...

Teralih sejenak oleh cericit burung

Lama ia bermain-main di jendela. Ia luaskan jelajahnya ke dalam kamarku. Tahu-tahu ia menyusup ke bawah lemari. Keluar dengan mahkota debu di kepalanya. Lalu ia lompat ke kasur. Tinggalkan jejak-jejak kehitaman di seprai. Aduh! Serta-merta kutepuk-tepuk bekas jejaknya sementara kaki-kakinya terus berkelana. Ia hinggap di atas kardus lalu menggerogoti kasurku. Ia masuk ke balik seprai dan merebut singgasanaku. Ia lompat ke rak dan menjatuhkan arsip-arsipku. Ia mendarat di meja kemudian mencoba celah sempit. Sempat aku mencangkung di sudut kasur sembari menyelamatkan sisa sarapan agar tidak dirampasnya. Kubiarkan saja ia berbuat semaunya. Tiba-tiba ia menerjangku! Kontan aku teriak dan menjauh keluar kamar. 


Sembunyi di bawah lemari untuk memanen debu


Wah... Dia meninggalkan jejak di seprai! :((

Jangan terlalu dekat! Bagian yang melendung ini mengancam kemulusan kulit Anda!

Merebut singgasanaku!


Perlahan kuintip lagi keadaan kamarku. Aku tersentak ketika mendapati ia tepat di sampingku. Duduk anteng di meja tepat di tepi kosen pintu. Apalagi ketika kaki-kakinya menggapaiku! "Kucing psycho"--begitu adikku menjulukinya. Menclok di kasur, di meja, di lantai, di jendela bagai kamarku ini padang rumput saja. Kutahan pintu supaya ia tidak keluar kamar lantas mengacaukan lebih banyak ruangan. Kakinya berusaha melebarkan celah pintu tapi tidak berhasil. Lalu sepertinya ia bosan. Melalui celah pintu, kuamati ia perlahan menjauh sembari sesekali melirik ke arahku. Kembali ia bertengger di jendela. Lalu melompat ke bawah. Segera kudorong pintu. Kuawasi keberadaannya. Tidak terlihat. Kututup jendela, dan, oh, ternyata ia masih ada! Ia berusaha masuk lewat celah jendela satunya tapi tidak segigih semula. Ia pun pergi entah ke mana. 


Hinggap di meja

Menyelinap celah sempit


Siap-siap mengagetkan yang mau masuk

Horeee! Akhirnya dia keluar! Tutup jendela biar dia enggak masuk lagi!

Entah siapa gerangan kucing itu, siapa pemiliknya. Darimana asalnya... Jantan atau betina? Akankah ia mengejutkanku lagi pagi berikutnya?[]

Selasa, 28 Januari 2014

Hadiah kecil yang ditulis seseorang untukku


Aku Hanya Tidak Ingin Menulis
으로






"Aku hanya tidak ingin menulis," kataku padamu ketika kamu bertanya kenapa aku berhenti merangkai kata-kata.

"Lalu kamu ingin apa?" ada sinar di matamu yang mengatakan aku akan mati jika tidak menulis, meski aku sudah punya satu rumah, satu mobil, dan uang di bank yang tak akan habis seumur hidupku yang aku dapat dari menulis.

"Aku ingin seperti teman-temanku yang lain, berpacaran, bekerja mencari uang, lalu menikah dan punya anak."

Dulu saat mereka pergi bersama pacarnya di hari minggu, aku malah mengurung diri di perpustakaan yang pengap dengan aroma harum buku, meniti setiap kata yang tercetak di kertas. Saat teman-temanku bekerja mencari uang, aku malah berusaha menghidupkan kata-kata dalam sebentuk paragraf dalam kamar tak tersentuh sosiawan. Sekarang teman-temanku telah menikah, sebagian sudah punya anak, aku malah terjebak di rumah mewah bersamamu, perempuan yang satu tahun lebih dewasa dariku dan selalu merawatku.

"Kapan kamu berhubungan lagi dengan mereka?"

Sejenak aku ingat, aku tidak pernah lagi kontak dengan teman-temanku setelah lulus SMA. Saat itu pun aku mengurung diri di sebuah kosan dan mulai melakukan eksperimen menghidupkan kata-kata. Lalu tanpa sengaja, tulisanku ditemukan olehmu, seorang mahasiswi baru semester empat yang pindah ke ruang sebelah sebulan sebelumnya. Kemudian kamu berinisiatif mengirimkan tulisan-tulisanku ke media cetak dan penerbit, sehingga royalti yang aku dapat bisa kembali menyokong kehidupanku yang hampir disentuh tangan malaikat maut. Sekarang tangan tak kasat mata dan tak tahu datangnya itu, terasa sangat jauh dariku, begitu pun dengan Tuhan.

Aku masih ingat saat pertama kali aku keluar dari sarangku, setelah lama berkubang dalam ruang operasi kata. Saat itu aku pergi untuk mengucapkan selamat atas kelulusanmu, mengambil fotomu ketika rektor memindahkan tali yang terpasang di topi togamu. Lalu kamu membawaku ke sebuah rumah mewah yang hanya bertetangga dengan dedaunan, batang pohon, dan hewan kecil yang biasanya berbunyi saat malam mulai memekat.

"Ini hasil tulisan-tulisanmu selama ini," katamu dengan wajah ceria, lebih ceria dari pada saat kamu wisuda. Lalu kamu membawaku ke setiap sudut rumah, memilihkan kamar di lantai dua yang mewah, sementara kamu memilih kamar yang lebih kecil di bawah.


"Kamu tahu, banyak yang menunggu seri novelmu," nadamu yang mengandung kekesalan membuatku terdampar lagi ke masa kini, masa di mana aku hanya tidak ingin menulis. "Coba pikirkan betapa besarnya harapan mereka untuk kembali membaca tulisan-tulisanmu," tanganmu yang menyentuh seprai tempat tidur mengenggam erat.

"Aku tidak peduli," aku hanya menulis untuk kesenanganku sendiri, meski aku pernah hampir mati karenanya, dan saat itu kamu menolongku kan? Sekarang saat aku ingin berhenti menulis karena bosan, kamu menuduhku melakukan kejahatan. Memenggal harapan banyak orang?

"Kamu bilang tadi ingin pacaran," kamu angkat lagi hal ihwal yang menjerumus ke arah perilaku kebinatangan itu, selayaknya perempuan yang selalu membahas hal yang sama dan tidak pernah bosan melakukannya. Tetapi apakah kamu lupa, aku laki-laki, yang menganggap hal itu sudah selesai di awal pembicaraan. "Kita pacaran saja, itu mudah."

"Tetapi pacaran itu butuh cinta, seperti yang dikatakan teman-temanku."

"Cinta?" kamu menggunakan nada cemooh saat mengatakan kata itu, seakan kata itu sangat menjijikkan saat dikatakan oleh seorang laki-laki. "Kamu tahu, saat pria bilang cinta pada seorang wanita, itu bisa diartikan dia ingin bercinta dengan wanita itu. Sementara saat wanita bilang cinta pada pria, artinya wanita itu memang ingin dicintai oleh pria itu."

Kamu tidak menatapku saat mengatakan itu, membuatku berpikir kalimatmu itu hasil dari kehidupanmu yang tidak pernah aku tahu.

"Apakah kamu ingin bercinta denganku?" kamu katakan itu saat matamu kembali padaku, memberikan tantangan pada lawan jenismu.

"Tidak," bahkan berpikir pun tidak meski kita punyaku banyak waktu dan kesempatan untuk itu dari lima tahun lalu, saat dirimu sepenuhnya mendedikasikan tenaga dan pikiranmu untuk mengurusku.

Kamu perlahan berdiri, lalu melangkah ke depanku, membuatku harus memindahkan berat tubuh dari jendela kaca ke telapak kaki. Kamu menatapku beberapa saat sebelum akhirnya merentangkan tanganmu, lalu merengkuh tubuhku yang kurus ke dalam pelukanmu.

Aku hanya terdiam saat tanganmu semakin erat memelukku, embusan lembut nafasmu mendarat di bahuku, dan membiarkan tubuh hangatmu menggairahkan darahku yang hampir beku. Aku akan membiarkanmu melakukan apa pun padaku, asal kamu mengerti bahwa aku hanya tidak ingin menulis.


"Aku mencintaimu," katamu dengan suara lembut. Lalu perlahan kamu mengendurkan tanganmu, mengerakkan kepalamu ke belakang hingga aku bisa melihat matamu yang berkaca-kaca, pipi yang merah merona, serta bibir yang bergetar. "Aku mencintaimu."

Kemudian aku teringat dengan mata itu, mata yang selalu terlihat saat kamu menyiapkan makanan untukku, mata yang melihatku saat aku berpapasan denganmu, mata yang selalu berada di kursi duduk saat aku menulis, mata yang selalu perlihatkan saat menyuruhku tidur karena sudah larut malam, mata yang selalu terlihat olehku, mata yang selalu menatapku.

"Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali aku membaca tulisanmu. Semakin banyak kamu menulis, semakin besar rasa cinta itu," mata berkaca-kaca itu melahirkan air bening yang meniti di pipi lembutmu. "Aku mohon, jangan berhenti menulis, agar aku punya alasan untuk terus mencintaimu."[]


" ... Di dalam masyarakat ada orang yang suka memeriksa jadwal waktu kedatangan dan keberangkatan alat transportasi, seharian ia terus memeriksa jadwal itu. Juga ada orang yang mau membuat perahu sepanjang satu meter dengan menyambung-nyambungkan batang korek api. Jadi tak aneh bukan kalau di masyarakat ada juga orang yang mau memahami aku?" (Watanabe pada Naoko dalam Norwegian Wood, halaman 209, pengarang Haruki Murakami penerjemah Jonjon Johana penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, cetakan keempat, Mei 2013)


Terima kasih, Elqi :)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...