Jumat, 03 Januari 2014

Ciuman

Orang bilang ciuman itu manis, dan lembut.

Bukan ciuman seperti yang kau berikan pada ibu-bapakmu sebelum berangkat ke sekolah. Bukan. Itu di punggung tangan cuman.

Bukan pula ciuman seperti yang kau terima dari eyangmu kala Lebaran. Bukan. Itu di pipi cuman, dari bibir keriput beraroma dedaunan.

Pun, bukan ciuman seperti yang kau rasakan ketika motormu tersungkur di jalan. Bukan. Itu di bibir memang, tapi asin, dan merontokkan gigi.

Melainkan ciuman seperti yang kau lihat di komik, TV, dan bioskop, bahkan di benak ketika kau memvisualisasikan yang kau baca di novel, atau mereka ulang yang diserap matamu dari komik, TV, dan bioskop. (Lalu apakah ketika kau lihat orang bersebadan maka kau menginginkannya juga? Orang bilang bersebadan itu…)

Kau kibaskan khayalmu yang menjalar ke mana-mana. Ciuman saja kok. Ciuman cuman. Satu kecupan saja. Seperti judul film itu. Buruan cium gue. Aku ingin menciummu sekali saja. Itazurana kiss. Tersadar dirimu selama ini telah dipropaganda. Termasuk oleh adegan Rangga dan Cinta di bandara.

Kau raba bibirmu. Kasar. Kau jilat bibirmu. Tak berasa. Kau mainkan terus bibirmu. Bibir bawah ke depan bibir atas. Bibir atas ke depan bibir bawah. Sampai basah benar bibirmu. Begitulah caranya berciuman dengan bibir sendiri.

Tapi kau tak puas. Bagaimana rasanya berciuman dengan orang lain?

Kau amatilah bibir-bibir di sekitarmu.

Bibir adikmu mungil dan basah oleh ingus.

Bibir bapakmu ternaungi rambut lebat yang beberapa helainya telah memutih.

Bibir ibumu serupa corong yang mengumandangkan titah-titah.

Bibir pamanmu sehitam raja kegelapan berkat silinder sembilan senti yang tak henti diisapnya.

Bibir pecah-pecah. Bibir berserpih kulit mati. Bibir pelindung sariawan. Bibir sehabis meraup gorengan. Bibir julurkan lidah. Bibir Mick Jagger. Bibir bernoktah darah. Bibir yang tertukar. Bibir menggerenyot. Bibir memelas minta sedekah. Bibir mengerucutkan siulan. Bibir Julia Perez. Bibir berbusa. Bibir memutih, memucat, membiru. Bibir korban Nagin si ratu ular. Bibir korban KDRT. Bibir bibik yang kerja di jazirah Arab. Bibir korban keripik setan. Bibir yang diberati gincu. Bibir terlatih ‘tuk tersungging delapan jam sehari. Bibir toilet. Bibir Titi Teliti. Bibir dengan beberapa cuil nasi di sudutnya. Teruslah kau cari bibir yang tidak membuatmu mual.

Hingga kau paham kebenaran dari kata-kata mutiara di bagian bawah halaman buku tulismu: Dare to dream, dare to achieve. A beginning is difficult. You’ll never know till you have tried.  No pain no gain. 

Kau temukan jua bibir yang terbitkan laparmu. Inginmu melahapnya, mengunyahnya, menelannya. Kau bayangkan merahnya, kenyalnya, manisnya, bak delima. Selembap zaitun. Bibir yang ketika merekah semerbaknya mekarkan bebungaan. Bibir yang dengan rapi menyimpan serangkai mutiara keputih-putihan.

Jodoh bagi bibirmu: yakinmu.

Kaupun pacaran dengan pemilik bibir itu.

Bulan-bulan awal masih satu setengah meter menuju bibir idaman. Bulan-bulan kemudian tinggal sejengkal saja bibir kalian. Bulan berikut bibirmu meradang menerjang[1].

“Kau tak sopan!” akhiri perjumpaan. Bungkamlah bibir menawan, Dengan bibir menyeringai kau ditinggalkan. Aturan, pacaran itu sepaket dengan ciuman, kan?

Bibir gagal menjamah, tak dinyana hati berdarah. Bukan bibirmu benar yang merindu sentuhan rupanya, tapi hatimu. Begitupun ratapmu padanya. Bukan bibirmu benar yang kudamba, sayang, tapi hatimu. Tapi di mana hatimu ku tak tahu. Kukira bibirmu yang kan beri tahu. Bahkan jikapun rupamu tak berbibir… tak berbibir… Tapi hanya karakter di anime yang tak berbibir—dan Voldemort. Bahkan jikapun bibirmu belah hingga hidungmu, hatiku kan terus memburu. Bibirmu hanya gerbang menuju hatimu!

Experience is the best teacher. Kau ingat satu lagi kata mutiara di bagian bawah halaman buku tulismu. Maka janjimu kali lain tak kan kau biarkan bibirmu lebih maju dari hatimu. Tapi ke mana lagi kan kau temukan bibir yang jeratnya sampai ke hati? Yang manisnya, lembutnya, murninya lebihi madu? Bibirmu. Hatimu. Tak bisa lagi kau bedakan. Biarpun kata lagu lama, lain di bibir lain di hati, tapi bibirmu bibir terjujur di semesta. Bergantung kuyu di muka, tak tahankan kesepian kian lama!  

***

Akhirnya kau temukan jua bibir itu walau harus kau tebus dengan uang. Bibir yang rela kau lumat sepuasnya. Kau lumuri dengan liurmu sampai basah benar atasnya, bawahnya. Agar lancar bibirmu dan bibirnya bergesek. Bibirnya kan membalasmu dengan desah dan erang, pilu dan riang. Bergantung bagaimana kau mainkan. Isap dan embus sepenuh nafsu. Salurkan jeritan hatimu melaluinya. Hatimu yang senantiasa merindu.

Saking hausnya dirimu akan ciuman hingga kau rasa tak cukup satu bibir itu saja milikmu. Kau hamburkan lebih banyak uang demi kumpulkan lebih banyak bibir—maniak bibir! Kau namai mereka Bibir C, Bibir G, Bibir D, Bibir A, dan seterusnya. Bibir-bibir yang setia senantiasa bersamamu, kau bawa ke mana-mana dalam kantongmu.

No one is too old to learn. Practice makes perfect. Success is a journey, not a destination. Kata-kata mutiara di bagian bawah halaman buku tulis masih jadi pedomanmu. Bertahun-tahun kemudian kau sudah begitu mahir mencium. Kau rekam pergumulanmu dengan bibir-bibir itu dan pamerkan pada siapapun lewat internet. Ramai orang mengunduhnya. Senang kau tulari gairah dan derita nan merdu. Sekelompok orang mengajakmu bergabung dalam grup. Kau sanggupi. Kini band tersebut memiliki pemain harmonika.[]



[1] Frase ini sepertinya ada di puisinya Chairil Anwar, tapi saya temukan juga di cerpennya Lie Charlie. Entah kenapa lucu saja membacanya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain