Orang bilang ciuman itu manis, dan lembut.
Bukan ciuman seperti yang kau berikan pada ibu-bapakmu sebelum berangkat
ke sekolah. Bukan. Itu di punggung tangan cuman.
Bukan pula ciuman seperti yang kau terima dari eyangmu kala Lebaran.
Bukan. Itu di pipi cuman, dari bibir keriput beraroma dedaunan.
Pun, bukan ciuman seperti yang kau rasakan ketika motormu tersungkur di
jalan. Bukan. Itu di bibir memang, tapi asin, dan merontokkan gigi.
Melainkan ciuman seperti yang kau lihat di komik, TV, dan bioskop, bahkan
di benak ketika kau memvisualisasikan yang kau baca di novel, atau mereka ulang
yang diserap matamu dari komik, TV, dan bioskop. (Lalu apakah ketika kau lihat
orang bersebadan maka kau menginginkannya juga? Orang bilang bersebadan itu…)
Kau kibaskan khayalmu yang menjalar ke mana-mana. Ciuman saja kok. Ciuman
cuman. Satu kecupan saja. Seperti judul film itu. Buruan cium gue. Aku ingin
menciummu sekali saja. Itazurana kiss.
Tersadar dirimu selama ini telah dipropaganda. Termasuk oleh adegan Rangga dan
Cinta di bandara.
Kau raba bibirmu. Kasar. Kau jilat bibirmu. Tak berasa. Kau mainkan terus
bibirmu. Bibir bawah ke depan bibir atas. Bibir atas ke depan bibir bawah.
Sampai basah benar bibirmu. Begitulah caranya berciuman dengan bibir sendiri.
Tapi kau tak puas. Bagaimana rasanya berciuman dengan orang lain?
Kau amatilah bibir-bibir di sekitarmu.
Bibir adikmu mungil dan basah oleh ingus.
Bibir bapakmu ternaungi rambut lebat yang beberapa helainya telah memutih.
Bibir ibumu serupa corong yang mengumandangkan titah-titah.
Bibir pamanmu sehitam raja kegelapan berkat silinder sembilan senti yang
tak henti diisapnya.
Bibir pecah-pecah. Bibir berserpih kulit mati. Bibir pelindung sariawan.
Bibir sehabis meraup gorengan. Bibir julurkan lidah. Bibir Mick Jagger. Bibir
bernoktah darah. Bibir yang tertukar. Bibir menggerenyot. Bibir memelas minta
sedekah. Bibir mengerucutkan siulan. Bibir Julia Perez. Bibir berbusa. Bibir
memutih, memucat, membiru. Bibir korban Nagin si ratu ular. Bibir korban KDRT. Bibir
bibik yang kerja di jazirah Arab. Bibir korban keripik setan. Bibir yang diberati
gincu. Bibir terlatih ‘tuk tersungging delapan jam sehari. Bibir toilet. Bibir
Titi Teliti. Bibir dengan beberapa cuil nasi di sudutnya. Teruslah kau cari
bibir yang tidak membuatmu mual.
Hingga kau paham kebenaran dari kata-kata mutiara di bagian bawah halaman
buku tulismu: Dare to dream, dare to
achieve. A beginning is difficult. You’ll
never know till you have tried. No pain no gain.
Kau temukan jua bibir yang terbitkan laparmu. Inginmu melahapnya,
mengunyahnya, menelannya. Kau bayangkan merahnya, kenyalnya, manisnya, bak
delima. Selembap zaitun. Bibir yang ketika merekah semerbaknya mekarkan
bebungaan. Bibir yang dengan rapi menyimpan serangkai mutiara keputih-putihan.
Jodoh bagi bibirmu: yakinmu.
Kaupun pacaran dengan pemilik bibir itu.
Bulan-bulan awal masih satu setengah meter menuju bibir idaman.
Bulan-bulan kemudian tinggal sejengkal saja bibir kalian. Bulan berikut bibirmu
meradang menerjang[1].
“Kau tak sopan!” akhiri perjumpaan. Bungkamlah bibir menawan, Dengan bibir
menyeringai kau ditinggalkan. Aturan,
pacaran itu sepaket dengan ciuman, kan?
Bibir gagal menjamah, tak dinyana hati berdarah. Bukan bibirmu benar yang
merindu sentuhan rupanya, tapi hatimu. Begitupun ratapmu padanya. Bukan bibirmu benar yang kudamba, sayang,
tapi hatimu. Tapi di mana hatimu ku tak tahu. Kukira bibirmu yang kan beri
tahu. Bahkan jikapun rupamu tak berbibir… tak berbibir… Tapi hanya karakter
di anime yang tak berbibir—dan
Voldemort. Bahkan jikapun bibirmu belah
hingga hidungmu, hatiku kan terus memburu. Bibirmu hanya gerbang menuju hatimu!
Experience is
the best teacher. Kau ingat satu lagi kata mutiara di bagian bawah halaman buku tulismu.
Maka janjimu kali lain tak kan kau biarkan bibirmu lebih maju dari hatimu. Tapi
ke mana lagi kan kau temukan bibir yang jeratnya sampai ke hati? Yang manisnya,
lembutnya, murninya lebihi madu? Bibirmu. Hatimu. Tak bisa lagi kau bedakan.
Biarpun kata lagu lama, lain di bibir
lain di hati, tapi bibirmu bibir terjujur di semesta. Bergantung kuyu di
muka, tak tahankan kesepian kian lama!
***
Akhirnya kau temukan jua bibir itu walau harus kau tebus dengan uang.
Bibir yang rela kau lumat sepuasnya. Kau lumuri dengan liurmu sampai basah
benar atasnya, bawahnya. Agar lancar bibirmu dan bibirnya bergesek. Bibirnya
kan membalasmu dengan desah dan erang, pilu dan riang. Bergantung bagaimana kau
mainkan. Isap dan embus sepenuh nafsu. Salurkan jeritan hatimu melaluinya.
Hatimu yang senantiasa merindu.
Saking hausnya dirimu akan ciuman hingga kau rasa tak cukup satu bibir itu
saja milikmu. Kau hamburkan lebih banyak uang demi kumpulkan lebih banyak
bibir—maniak bibir! Kau namai mereka Bibir C, Bibir G, Bibir D, Bibir A, dan
seterusnya. Bibir-bibir yang setia senantiasa bersamamu, kau bawa ke mana-mana
dalam kantongmu.
No one is too
old to learn. Practice makes perfect. Success is a journey, not a destination. Kata-kata
mutiara di bagian bawah halaman buku tulis masih jadi pedomanmu. Bertahun-tahun
kemudian kau sudah begitu mahir mencium. Kau rekam pergumulanmu dengan
bibir-bibir itu dan pamerkan pada siapapun lewat internet. Ramai orang
mengunduhnya. Senang kau tulari gairah dan derita nan merdu. Sekelompok orang
mengajakmu bergabung dalam grup. Kau sanggupi. Kini band tersebut memiliki pemain harmonika.[]
[1] Frase ini sepertinya ada di puisinya Chairil Anwar, tapi saya temukan juga di cerpennya Lie Charlie. Entah kenapa lucu saja membacanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar