Senin, 06 Januari 2014

Memoar

I

Papa selalu bersemangat soal menulis. Mungkin karena ia jurnalis. Waktu aku SD, atas dorongan Papa aku rajin mengirim puisi dan cerita pengalamanku ke sebuah majalah anak-anak. Papa senang sekali kalau tulisanku dimuat. Papa akan mengarsipkannya, atau kadang meminta Mama menyimpankan dulu kalau ia belum sempat. Waktu aku SMP, aku sudah malas mengirimkan apapun. Lagipula aku merasa majalah tersebut bukan segmenku lagi.

Sesekali Papa masih mendorongku untuk mengikuti lomba tertentu, dan dengan senang hati memberikan jasa pengeditan. Tapi Papa editor yang perfeksionis. Kali kesekian ia mengedit tulisanku, ia bilang aku tidak mendapat kemajuan berarti. Penggunaan EyD salah melulu. Tema terlalu biasa. Apa deh! Aku bisa mengerti Papa ingin aku jadi penulis yang baik. Tapi aku tidak bisa terima ketika aku lama tidak berkarya, ia malah memantau kepenulisanku dengan membaca buku harianku! Suatu hari aku temukan tulisanku di buku kecil itu ditimpa oleh tulisan yang bukan milikku. Miring ke kanan dengan derajat kecuraman tinggi—tulisan sipit, kalau kubilang—tapi sedikit lebih lebar dari punyaku. Tulisan Papa. Pakai tinta merah lagi! Sontak aku lempar buku itu dan berhenti menulis di sana.

Akupun beralih ke blog. Tapi di rumah tidak ada komputer yang dapat kugunakan secara bebas, sehingga aku seringnya menebeng komputer di rumah Tante, laptop Mama, atau laptop Papa.

Tapi kalau pakai laptop Papa, ia suka curi-curi lihat apa yang kubuka.

“Blog isinya gambar doang.” Ada tulisan “Bisa Berani” di pojok kiri halaman sebagaimana aku sering katakan pada orang-orang mengenai pengertian namaku (padahal akupun asal saja)—Bibe kan Bisa Berani! Papa tahu itu.

“Ini tumblr, Pa, emang buat ngeakomodasi gambar. Enggak perlu tulisan panjang-panjang, yang penting ngena. Generasi sekarang tuh cuman butuh sedikit disepet kayak gini!” repetku tanpa kasih ia kesempatan menyela.

Tidak semua orang bisa seperti papaku yang bisa menulis panjang-panjang secara rutin lalu mendapat banyak tanggapan—bahkan dari orang-orang yang sesungguhnya tidak dikenal. Blog papaku memuakkan.

“Cuma reblog-reblog gitu, ngambil dari punya orang kan? Kreatiflah. Bikin gambar sama tulisan sendiri. Nulis kok dikit-dikit. Minimal 2500 kata per hari, gitu.”

Lalu ia mengusirku karena hendak mengerjakan tugasnya.

“Gimana mau nulis banyak-banyak kalau laptop aja enggak punya? Kapan aku punya laptop sendiri? HP aja masih butut gitu. Enggak pernah naik mobil punya sendiri…”

“Ya entar. Bangun rumah yang ada garasinya dulu. Rumah di gang, mau punya mobil gimana…” gerutunya pelan. Dan di akhir cerita aku akan kena azab karena telah merongrong orangtua yang tidak memberiku kemudahan duniawi. “Dibeliin laptop tahunya cuman buat hiburan.”

Jelas tidak. Maraton Running Man itu jelas bukan sekadar hiburan, tapi juga membuka wawasan mengenai perikehidupan masyarakat Korea.

“Ya udah. Selamanya aku enggak punya kesempatan nulis banyak-banyak.”

“Maunya laptop kayak gimana?”

“Enggak mau yang second.” Kusebut merek yang terkenal akan kemahalannya.

“Kamu ini,” Papa berdecak. “Yang dilihat tuh kualitas, bukan harganya.”

Sepertinya Papa memang sudah berniat membelikanku. Ia hanya ingin mengujiku. Aku dapatkan benda merah tipis itu di meja kamarku beberapa hari kemudian. Charger-nya, tasnya—semua perangkatnya terbitkan girangku. Yang paling kuharapkan adalah kapasitasnya sanggup menampung koleksi hiburanku yang selama ini tersimpan di laptop Mama. Mereknya memang tidak seperti yang kudambakan, tapi konon yang ini juga lumayan. Merek sejuta umat. Tapi bukan Papa kalau memberi barang tidak menyertai catatan.

Bibe, putri Papa,

Papa ambil lagi notebook ini kalau nanti terbukti Bibe malah tidak rajin menulis.

Ttd.

Papa

Lalu ketika membaca isi beberapa carik kertas yang menempel di pintu kulkas, aku jadi sebal dengan kesungguhan Papa dalam menggugah kepenulisanku lagi. Semua tentang informasi lomba menulis. Sesaat aku tercenung. Menulis fiksi dan nonfiksi sama saja buatku—menyusahkan! Aku akan bikin memoar saja, sepertinya gampang, supaya Papa tahu kalau hidupku bukan sekadar gambar dengan satu-dua kalimat menyentak.

II

Jadi kupikir menulis memoar itu gampang. Tinggal mengenang masa lalu sembari menuliskannya. Tapi aku terlalu sibuk jalan sama Om Yan, dan mengurusi kehamilan tanteku tentunya.

Aku bukannya melupakannya sama sekali sih. Aku ingat sewaktu berburu buku-buku kehamilan untuk tanteku, di ruangan berisi koleksi buku Mama dan Papa. Tidak sengaja aku menemukan buku harian Mama. Kertasnya sudah menguning. Sekilas kupindai tanggalannya—mencakup tahun sebelum tahun kelahiranku hingga beberapa tahun setelahnya. Ini bisa jadi bahan berharga untuk memulai memoarku. Kubuka lagi secara acak hingga mataku terisap tepat pada kalimat: Malam-malam menyusahkan itu akhirnya menghasilkan sesuatu. Kulempar buku itu. Aku tidak tahu. Tiba-tiba aku merinding saja.

Aku berhasil lupakan kalimat misterius itu sampai bertemu Mama secara langsung. Iseng aku mengatakannya, “Ma, Bibe kan mau bikin memoar. Pinjam diary Mama ya.”

Mama mengulurkan telapak tangannya. “Tukar sama punyanya Bibe.”

Ha! Tidak usah ya. Aku tahu di mana menyimpannya.

Tapi karena aku masih takut kalau-kalau menemukan lebih banyak kalimat horor, aku coba tanyakan pertama-tama pada Tante yang adik mamaku itu, jawabnya, “Enggak tahu ya. Waktu Bibe lahir Tante kan enggak di sini (Tante waktu itu memang sedang studi di luar negeri hingga bertemu suaminya kini—Bb.), lalu pada Om yang adik kelas mamaku waktu SMA itu, jawabnya sungguh di luar dugaan karena bibirnya yang biasanya tersenyum lebar itu malah mengatup horizontal sedang matanya yang besar menyorotku dalam-dalam. Oh ayolah ayolah ayolah—pintaku dengan tatap memelas. Iapun takluk dan menjawab penuh pengertian, “Tanya sama Mama aja ya.” Tidak mungkin…! Aku terus mendesaknya tapi ia membungkamku dengan sebaskom Baskin Robbins.

Malah Tante kemudian bilang kalau aku tidak seharusnya dekat-dekat Om Yan lagi. Kukatakan kalau omku yang menawan itu bukan sejenis penyamun anak perawan seperti yang tanteku baca di novel-novel picisan. Ia pulang ke Indonesia untuk mendekati mantan pacarnya yang sudah janda. Ia jarang menyentuhku, hanya sekali mengecup pipiku sebelum aku keluar dari mobilnya dan menuju rumah. Dengan entengnya Tante bilang, “Kita enggak tahu seberapa besar orang punya hasrat seksual, Bibe,” dan terus mengulanginya. “Has-rat sek-su-al. Seks! Kalau enggak ada itu, adikmu enggak jadi,” sambil menunjuk perutnya yang gembung.

Papa lebih tidak senang lagi tahu aku sering jalan bareng Om Yan. Menyindir-nyindir terus. “Habis main sama papamu itu ya,” atau, “Kok enggak pergi sama papamu itu?”, dan sebagainya.

Kupikir Mama akan membelaku—atau minimal temannya yang entah kenapa masih melajang itu. Memang begitu. Tapi yang Mama lakukan sebenarnya hanya menyinggung Papa yang dulu pernah tertarik juga sama pacarnya Om Yan. Aduh. Tahu deh.

Bagaimanapun persoalan tentang Om Yan reda dengan sendirinya, apalagi ketika Tante melahirkan. Rumah kami seolah-olah pindah ke rumah Tante. Melihat bagaimana kedua orangtuaku berebut menimang bayi Tante, aku jadi makin heran kenapa mereka tidak membuat bayi mereka sendiri saja. Jadinya kan aku tidak perlu menanti-nantikan adik selama ini. Kami semua semringah menyambut kedatangan anggota baru dalam keluarga. Kecuali Tante. Ada yang bilang kalau Tante mungkin mengalami baby blues. Apalagi ini kelahirannya yang pertama, yang tidak pernah ia harapkan sebelumnya—sebetulnya.

Kubuka pintu kamar Tante. Ia duduk di kasur. AC menyembur-nyembur hawa dingin ke seantero ruangan temaram itu. Cahaya hanya berasal dari lampu berdiri di sudut. Kurangkul Tante, namun ia menepisnya. Kedua belah tangannya menutup wajah. Punggungnya naik-turun. Akupun mengambil sedikit jarak darinya namun terus memandanginya. Isaknya mengencang, mereda. Sisa-sisa air mata diusapnya, namun bibirnya masih bergetar. “Tante… Tante mau cerita?” tanyaku lembut.

Suaminya mungkin akan lebih bisa mengendalikannya. Tapi Om Pir di Azerbaijan—cutinya sudah habis dan pada waktu ia mesti kembali ke sana Tante menyampaikan keyakinannya bisa mengatasi semuanya sendiri. Ia menghela napas berkali-kali sebelum menanyakan bayinya. Aku bilang Kiran sedang bersama Kakek.Ia tidak segera merespons. Matanya lara, tapi sorotnya kosong. Ia tarik napas dalam-dalam ketika sengguknya menyergap. “Anak itu bakal mirip sama mamanya, Bibe.”

“Iya, Tante.”

“…dia… bakal jadi… manusia individualis, egois…”

Bukan itu maksudku!

“…beban…” Suara Tante As tenggelam, lalu muncul lagi dengan intonasi lebih rendah. “Gimana kalau mamanya enggak bisa ngebesarin dia dengan baik?”

Bisa, Tante.

“…dia bakal tumbuh jadi anak yang benci sama mamanya, benci sama dirinya sendiri…”

Tante As mengusap lagi matanya, mencebik berkali-kali.

“Tante… Jangan ngeramalin yang enggak-enggak… Itu cuman pikiran Tante aja…” Tubuhku condong lagi padanya.

Pelan-pelan ia mengendalikan napas. Tidak lagi kelepasan isak, ujarnya, “Itu bukan cuman pikiran…  Kenyataannya seperti itu Bibe, aku sama kakakku… seperti itu.”

III

Aku mengatakannya pada kesempatan berdua dengan Papa di restoran—di sela-sela jam kerjanya. “Buat ultah Papa entar, aku pingin ngasih Papa sesuatu, tapi Papa harus ngembaliin lagi yang udah aku kasih itu pas ulang tahunku… Maksud aku, editannya.” Ulang tahunku sepuluh hari setelah ulang tahunnya. Jika ia biasa mengedit sekian tulisan dalam semalam, mestinya ia bisa mengedit memoarku dalam sepuluh hari.

“Memoar ya?”

“Dikasih tahu Mama ya?” Padahal waktu itu aku mengatakannya pada Mama dengan nada bercanda. “Bibe kan anak hebat. Orang hebat harus punya memoar.” Papa berdecak lalu menyendokkan banyak-banyak sambal ke piringnya. “Aku mau coba nulis pakai bahasa Inggris,” imbuhku.

“Bahasa Indonesiamu dibenerin dulu…”

“Bahasa buat memoarku entar bakal beda sama bahasa di buku harianku, Paa…” Dan jangan suruh aku mengingat isi Sumpah Pemuda. “Kalau aku bikin memoar, Papa enggak perlu baca-baca buku harianku lagi.”

Papa menghela napas. “Udah sampai mana nulisnya?”

“Riset, seratus-duapuluhan kata,” dan itu adalah prakata. Membaca pandangan Papa, aku menyengir.

Dari sekian banyak tulisan yang telah Papa hasilkan, aku yakin tidak satupun berupa memoar. Papa pasti tidak pernah mengoyak-ngoyak batinnya sendiri, apalagi membaca buku harian Mama (habisnya tidak ada coret-coretannya di sana sebagaimana pada buku harianku). Sebetulnya berat juga bagiku membaca buku itu walau bukannya aku tidak mencobanya lagi. Aku sempat baca catatan obrolan Mama dan Om Yan, hampir duapuluh tahun lalu. Aku jadi mengerti betapa tengilnya om itu dulu. Mengorek-ngorek rahasia ranjang lalu tercengang dengan jawaban Mama yang, “Enggak ada.” Selain karena kesibukan suaminya bertualang ke daerah-daerah konflik dan bencana, huf… perasaanku kalau ada “sesuatu” dalam hubungan mereka seakan terkuatkan. Sekarang kukira aku bisa membaca arti tatapan Om Yan padaku waktu itu. Prihatin. Bagaimanapun pembacaan itu tidak kulanjutkan. Begitu sampai pada catatan berisi saran-saran dari Om Yan, aku menutupnya karena risi.

Kalau kuingat momen-momen yang kulalui bersama orangtuaku di masa kecil, kini aku sadar apa yang tidak utuh. Hujan-hujanan sama Mama. Tidak ada Papa. Mengerjakan PR sama Mama. Tidak ada Papa. Bergandengan tangan saat pulang dari sekolah dan macam-macam les sama Mama. Tidak ada Papa. Lalu Papa pulang dari penugasannya di luar kota, kadang luar negeri. Menjelajah kota pakai motor sama Papa. Tidak ada Mama. Main ke rumah saudara dan kenalan Papa. Tidak ada Mama. Balapan renang sama Papa. Tidak ada Mama. Memang Mama jarang mau diajak. Tapi bukannya kami tidak pernah bertiga sama sekali. Tapi aku hanya ingat momen di kebun binatang dan Dago Pakar—yang terputus karena Papa tahu-tahu mendapat panggilan. Lalu ketika malam tiba, aku tidur di antara Papa dan Mama. Kadang Papa tidur sendiri di kamar sebelah, sementara Mama bersamaku di kamarku. Atau Mama di kamar sebelah, Papa di sofa. Atau Papa di kamar sebelah, Mama di sofa. Ada apa sih dengan mereka!? Sekarang agak berkurang keherananku kenapa aku tidak punya adik dari mereka, berganti keheranan kenapa aku bisa sampai ada.

Hei! Fokus! Kamu harusnya menulis memoar! Tapi belum menulis saja mukaku sudah berkerut-kerut dan panas. Kalau aku menuliskannya betulan, mungkin aku bakal menangis. Menulis membuatmu berpikir melalui perenungan hingga sampai ke hatimu. Menulis memerihkan hatimu.

Kalau saja aku tidak berpikir untuk menulis memoar. Aku mungkin tidak akan sampai pada pikiran untuk… untuk… aku teringat oleh-oleh dari temanku yang baru berlibur di Dieng. Apa ya itu namanya—yang katanya viagra dari Jawa?

IV

Malam pergantian umur kulalui dalam sepi di rumah. Papa ditugaskan keluar kota sedang Mama sepertinya belum selesai meliput. Hanya Om Yan yang menemaniku, itupun lewat Skype. Kuhentikan obrolan dengannya ketika Papa menelepon. “Belum tidur, Bibe?”

“Belum. Masih nunggu dibeliin motor.”

Papa terkekeh. Lalu katanya, “Masih dicorat-coret ini. Yang utuh prakatanya doang, Be?” Ganti aku yang terkekeh-kekeh. Satu dari enampuluh tujuh halaman. Kuakui, memoarku itu memang belum utuh. Mungkin butuh puluhan tahun lagi untuk menyelesaikannya. Papa bacakan prakata buatanku untuknya.

Aku ingin tahu apa Papa pernah baca Dunia Sophie. Seandainya novel itu adalah hadiah buatan Papa untukku, dan bukannya hadiah buatan siapa itu untuk anaknya, aku ingin membuat karya balasan yang tidak kalah menakjubkan. Tapi kemudian aku pikir lagi kalau yang Papa butuhkan bukan lagi pelajaran filsafat atau ucapan selamat ulang tahun yang bertebaran di mana-mana dan sesuai selera Papa, dibawakan para tokoh politik dunia—bukannya para tokoh Disney. Maka aku hanya akan membuat sesuatu yang lain. Sesuatu yang aku ingin bagi. Sayang sekali, sebagaimana Papa selalu menulis untuk kebutuhan orang banyak, maka aku menulis ini bukan hanya untuk Papa. Aku juga ingin belajar menulis bagi orang banyak. Semoga aku bisa menulis sebaik Papa. Aku mohon Papa sudi mengoreksi.

Papa bilang ia sudah menyiapkan hadiah lain sebagai pengganti. Aku disuruh mencarinya sendiri di kamar, di sekitar lemari. Aku nyalakan lampu kamar ruangan itu, menuju lemari, dan mengobrak-abrik isinya. Di laci, aku temukan plastik putih. Ada kotak di dalamnya. Bon yang menyertai kotak tersebut menunjukkan pembelian dilakukan tiga hari lalu. Isinya testpack. Dua garis merah tertera di sana.

Aku tidak tahu apakah ini memang berkat percobaanku kapan itu, membuatkan mereka purwaceng—kopi Dieng yang katanya berkhasiat khusus itu—lalu meninggalkan mereka dan menginap di rumah teman, ataukah…

“Masih di sana Be?” tegur Papa.

“Ma—masih Pa. Udah ketemu hadiahnya…”

“Gimana?”

“Positif, Pa.”

“Apanya yang positif? Coba dipakai dulu!”

Yang benar saja—pasti bukan ini yang dimaksud Papa!

Buntalan berisi hadiah itu kemudian menjatuhiku begitu aku menutup lemari. Aku tersipu-sipu begitu mengetahui isinya. Kuucapkan terima kasih sekali lagi pada Papa. Kukenakan pemberian Papa itu sambil mematut-matut penampilanku di cermin. Tapi terhibur oleh penampilanku sendiri bukan berarti kegundahanku pudar.

Aku bukannya tidak ingin adik lagi—apalagi dari orangtuaku sendiri. Aku tidak ingin meragukan kekuatan Mama, tapi tahun ini usianya empatpuluh tiga tahun. Sudah rawan untuk melahirkan. Aku ingin mamaku hidup sampai renta dan merasakan nikmatnya merawat anak-anakku—cucu-cucunya—kelak.

Suara-suara yang muncul di depan rumah menandakan kepulangan Mama. Salamnya mengalun. Doa pertama untukku hari ini. Pintu tidak aku kunci, namun aku tetap ingin menyongsong Mama.

“Selamat ulang tahun Bibe!” kata Mama begitu wajah kami bertemu. Ah… Perut sudah berisi, masih pulang selarut ini. Bandel. Tapi aku sudah berpengalaman menangani yang semacam mamaku sebelumnya. Kali ini aku akan memperlakukannya dengan lebih baik.

Akupun memeluknya. Dan kukatakan, “Enggak, Ma. Seharusnya aku yang ngasih selamat ke Mama, atas perjuangan Mama sembilanbelas tahun lalu supaya aku bisa lahir ke dunia ini.” Pelukanku makin erat. Aku merasa nyaman sekali saat perut kami bersentuhan. Perutnya yang mulai buncit.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain