Minggu, 01 Oktober 2023

Mengatasi Insecure dengan Points of You

Sabtu (30/9/2023) kemarin, saya menghadiri acara bertajuk "Stop Insecure Yuk Bersyukur" yang diselenggarakan di Nutrihub, Jalan Raden Patah 36 Bandung, oleh Forum Indonesia Muda dan Yayasan Cintai Diri Indonesia, dengan pematerinya Kadek Pramitha, M.Psi., seorang psikolog. Ada dua puluhan peserta yang hadir, umumnya anak muda: pelajar SMA, mahasiswa, juga yang sudah bekerja.

Memasuki ruang acara, di tengah sudah terhampar banyak kartu yang disusun membentuk lingkaran berlapis-lapis. Sebagian besar kartu bertulisan "POINTS OF YOU" di atasnya. Sebagian lagi di lapisan terluar berupa gambar dengan quote. Ada pula yang berupa lingkaran-lingkaran kecil, entah apa yang ada di baliknya. Dua yang belakangan ini tampak digunakan sebagai cadangan, ketika ada yang tidak kebagian kartu utama. 

Sebelum menggunakan kartu-kartu tersebut, selazimnya acara, pembukaan diisi dengan sambutan dari perwakilan tiap-tiap penyelenggara: Nutrihub, Forum Indonesia Muda, dan Yayasan Cintai Diri Indonesia.  


Tampil Mbak Mitha, yang rupanya sehari-hari bekerja di Jakarta. Beliau membuka materi dengan menerangkan tentang "insecurity", definisi dan gejalanya. Insecurity terkait dengan hierarki kebutuhan menurut Maslow. Tiap-tiap kebutuhan apabila belum terpenuhi dapat memunculkan rasa insecure. Bahkan kelaparan pun termasuk, yaitu insecure akibat tidak terpenuhinya kebutuhan pokok.

Gambar dari Simply Psychology.

Peserta diminta membuat definisi "insecure" menurut diri sendiri berikut daftar hal-hal yang menyebabkan perasaan demikian, kemudian beberapa diminta untuk membagikannya.

Definisi saya sendiri--yang secara spontan terpikirkan--adalah perasaan tidak aman dalam situasi tertentu, khususnya dalam relasi dengan orang lain; perasaan rendah diri. Sesaat saya menarik kesimpulan bahwa rasa insecure umumnya berkaitan dengan pencapaian duniawi yang tidak terpenuhi, terlebih kala terpicu oleh pencapaian orang lain sehingga otomatis membanding-bandingkan. Kalau dipikirkan lagi secara luas, misalnya dalam perspektif Maslow, tentu penyebab insecure bukan itu saja.

Sembari memikirkan daftar saya sendiri, yang cenderung abstrak alias tidak spesifik, terlintas lebih jauh: kenapa pula saya harus mencapai hal-hal itu? Ada apa di balik hal-hal itu? Kebutuhan untuk survival? Self-esteem? Bagaimana jika kenyataannya saya masih bisa survive tanpa perlu mencapai apa yang dilalui orang lain? Bagaimana jika self-esteem dapat saya peroleh dengan cara yang unik, alih-alih dengan cara yang sama seperti yang diraih orang lain? Saya duga mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih jauh seperti itu, why and how, dan berusaha menemukan jawabannya bisa meredam rasa insecure yang timbul. 

Dari daftar penyebab insecure itu, Mbak Mitha memberikan petunjuk untuk memilih satu yang mau diproses diiringi niat untuk tidak akan memaksakan.

Mbak Mitha.

Dilanjutkan dengan sesi "duduk hening" selama lima menit. Dalam sesi itu, kami diminta memejamkan mata. Ada suara yang mengiringi. Terus terang saya tidak begitu mengindahkan suara yang disetel, saya lebih berfokus pada kesempatan untuk merelakskan diri setelah bersepeda selama setengah jam lebih (mungkin mendekati satu jam) ke lokasi yang pagi itu begitu terik cerahnya. Mbak Mitha bilang, sesi ini bukanlah meditasi. Saya duga ini merupakan mindfulness practice. Saya sendiri lagi berusaha menerapkan ini di sela-sela aktivitas, rebahan dan do nothing walau seringnya malah mindlessly scrolling HP :p

Barulah dimulai sesi utama dengan kartu Points of You. Kartu ini mungkin mengingatkan pada tarot, sebagaimana diungkit sendiri oleh Mbak Mitha. Metodenya: kita mengambil kartu secara acak kemudian menginterpretasikan hasil yang diperoleh, mengaitkannya dengan persoalan yang sedang dialami. Namun, saya pikir, alih-alih untuk meramalkan nasib, Points of You merupakan alat bantu untuk memantik self-awareness dan berfokus pada satu permasalahan.

Lingkaran kartu sebelum dijamah peserta.

Kartu pertama yang diambil adalah yang berada di lapisan-lapisan dalam, bentuknya hampir kotak dan berbintik-bintik. Di balik kartu itu ada gambar disertai tulisan. Mbak Mitha menanyakan mana yang kami tangkap terlebih dahulu, gambar atau tulisan? Manapun, kami diminta mengembangkan narasi terkait persoalan diri dari situ.

Pada kartu yang saya ambil, yang pertama-tama tertangkap oleh penglihatan saya adalah gambar kepala kucing oren yang rupanya lagi berusaha minum dari keran yang mengucurkan sedikit air. Kucing oren itu tampak tak terurus, di mata dan hidungnya ada kotoran. Tulisan yang tertera di bawahnya adalah "Solutions" lengkap dengan terjemahannya, "Solusi". Seketika saya pikir mendapat kartu yang bagus, positif--optimistis. Seketika saya dapat mengaitkan diri. Saya suka jika bisa menjadi solusi. Saya orang yang banyak ide. Saya bahkan bisa mengaitkan diri dengan si kucing oren yang tak terurus itu, apalagi rumah saya sendiri literally rumah singgah bagi kucing-kucing buangan kurang perawatan. Seketika baris-baris puisi Chairil Anwar melintas di benak saya, "Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang," memerikan alur hidup saya yang memang "liar"(?). Mungkin pula dari segi akhlak masih rada barbar, ya persis si kucing oren dalam gambar. Yang tak kalah mengena adalah aliran air yang sedikit saja keluar dari keran itu. Si kucing sedang berusaha menyambung nyawa dengan air yang mengucur kecil. Lagi-lagi persis! Saya pun sedang belajar untuk mensyukuri yang sedikit, yang dapat saya peroleh dengan segenap keterbatasan saya. Dengan apapun itu yang telah tersedia di sekitar saya, saya mesti berusaha untuk menyambung hidup sampai ajal tiba. That dirty orange cat striving for a little water from the rusty tap is my new spirit animal

Ciluk ...
Merasa dapat kartu bagus, saya lirik kanan-kiri dan membaca kartu milik orang lain. Ada yang dapat "Guilt"/"Bersalah", ada juga yang "Self-pity"/Mengasihani diri sendiri. Ah, bagi saya mah itu sudah lewat. Saya sudah punya "Solusi"!

Setelah sesaat menginterpretasikan perolehan masing-masing, kami diminta mengambil kartu lain yang berada di lapisan setelah kartu yang pertama itu. Kartu yang ini berbentuk persegi panjang tanpa bintik-bintik. Setelah membalik kartu tersebut, saya menghadapi satu kata yang bikin saya tidak merasa begitu "bagus" lagi, yaitu "Penilaian". Ya, tentu saja. Setelah menemukan "Solusi" dan menjalankannya, kita akan berhadapan dengan "Penilaian". Apakah "Solusi" tersebut memang layak untuk dijalankan? Apakah "Solusi" tersebut benar-benar mengatasi permasalahan? Bagaimanakah "Penilaian" orang lain terhadap "Solusi" yang kita jalankan itu? Bagaimanakah "Penilaian" kita terhadap diri sendiri setelah beberapa lama menjalankan "Solusi" tersebut? Apakah ada perubahan? Atau sama saja? Akankah kita terus menjalankan "Solusi" itu setelah mendapat "Penilaian" dari mana-mana? Ini PR yang mesti dipikirkan dengan serius tentu saja, untuk memutuskan apakah hendak bertahan atau meninggalkan dan cari "Solusi" lain.

... baaa!!!
Kartu berikutnya berada di lapisan lebih luar lagi, bentuknya sama persegi panjang tetapi kembali berbintik-bintik. Kartu ini berisi pertanyaan. Saya mendapat: "Apa yang membuatku sempurna?" Seketika saya menjawab dalam hati: "Tentu saja tidak akan bisa mencapai kesempurnaan!" Hanya kalau berhubungan dengan orang lain saja, khususnya dalam berjual beli, kita dituntut untuk "sempurna". Produk atau layanan yang tidak sempurna akan bikin pembeli kecewa malah enggan membeli lagi. Namun di balik kesempurnaan yang dijualkan itu, apakah memang sempurna? Kita memiliki smartphone yang dibuat dengan sempurna, misalnya. Tidak ada cacat, semua fiturnya berfungsi baik, melancarkan segala kebutuhan digital kita, dan seterusnya. Namun, apakah masih sempurna setelah mengetahui bahwa untuk mengisi dayanya kita menggunakan listrik yang berasal dari batu bara yang untuk membuka tambangnya, pabriknya, dan segala-galanya, mesti dengan merusakkan kesempurnaan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna? So, to hell with "Penilaian?" Di sisi lain, ada baiknya juga untuk bersikap seperti laron yang mengejar bintang alih-alih menabrak lampu langsung mati. Sebagaimana pernyataan yang saya temukan dalam buku The ACT Workbook or Depression and Shame, "You can never reach or achieve a value; rather these are qualities that a person might strive for." Sebagaimana kata mutiara yang konon katanya dari Bung Karno, "Bermimpilah setinggi langit, kalau gagal setidaknya kau jatuh di antara bintang-bintang dan tersedot ke dalam supermassive black hole." Maksudnya, kesempurnaan tetap perlu untuk didefinisikan dan diupayakan sekalipun kita tahu tak akan mencapainya.

Dari urutan kartu yang saya dapatkan, saya menyimpulkan bahwa ini mengenai optimisme, hambatan, dan solusinya. Ya, bahkan "Solusi" pun masih perlu diatasi dengan solusi lain. Seperti yang nanti dikutipkan oleh Mbak Mitha di penghujung acara, "Belajarlah untuk menjadi sempurna dalam ketidaksempurnaan." Lengkapnya, "Belajarlah untuk siap dalam ketidaksiapan."

Setelah merenungkan makna dari kartu-kartu saya sendiri, saya lirik kanan-kiri lagi dan tentunya menyimak peserta-peserta lain yang membagikan interpretasi terhadap kartu-kartu mereka. Sebagai sampel, peserta lain mendapatkan kombinasi kartu berikut.

Guilt/Bersalah - Kegagalan - Apa yang membuat aku bergairah?

Self-pity/Mengasihani diri sendiri - Permulaan - Apa yang membuatku tertawa?

Calling/Panggilan - Terhenti - Apa yang aku hindari?

Now/Sekarang - Cinta - Di area mana aku pernah sukses?

Selain itu, ternyata ada yang mendapat kartu berisi sama misalnya "Kematian" dan "Cinta". Sebelumnya saya kira semua kartu tersebut isinya berbeda.

Apa yang menentukan kita mendapatkan kombinasi kartu tertentu, sedang orang lain memperoleh kombinasi lainnya? Kebetulan? Takdir? Atau kartu ini memang dirancang untuk memuat persoalan-persoalan pribadi yang pokok dan umum, sehingga mau mendapat kombinasi yang manapun, setiap orang pasti bisa mengaitkan diri dan mengembangkan narasi pribadinya? Melihat kombinasi kartu yang didapatkan orang lain, saya pikir saya bisa mengembangkan narasi pribadi juga dari situ. Ada yang tampaknya sebagai persoalan yang sudah berlalu, tapi jangan-jangan cuma terkubur saja oleh persoalan lain padahal belum benar-benar teratasi. Malah, kita bisa saja "memainkan" kartu ini setiap bulan, misalkan, untuk "mengundi" permasalahan mana yang akan jadi fokus kita selama sebulan ke depan. 

Karena kebetulan dalam kesempatan ini saya mendapatkan Solusi - Penilaian - Apa yang membuatku sempurna?, maka saya bisa berfokus pada hal itu untuk sementara waktu. Misalnya, saya pikir telah mendapatkan "Solusi" atas persoalan "insecurity" saya, yakni dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk menemukan makna dari berbagai penyebab rasa itu; ditambah dengan melakukan pendalaman spiritual untuk menyadarkan diri akan apa yang sejatinya perlu dicapai dalam kehidupan ini. Mengingat mati jadi satu cara untuk tenang. Bukan berarti saya merasa percaya diri telah menyiapkan cukup bekal akhirat, melainkan lebih berupa kelegaan karena serasa dibantu mengerucutkan tujuan sehingga menyingkirkan sekian persoalan lain yang rupanya tidak begitu esensial.

Jadi saya pikir telah menemukannya, meski masih sering teralihkan. Saya hendak menjalani kehidupan dengan jawaban itu, tapi bagaimanakah saya akan menyikapi penilaian dari mana-mana yang akan menyambut dalam perjalanan ini? Penilaian yang munculnya bukan hanya dari orang lain, melainkan juga diri sendiri. Toh penilaian dari diri sendiri bisa saja tidak kalah sadis daripada orang lain. Mungkin penilaian-penilaian itu bukannya untuk ditolak sama sekali, mungkin ada baiknya dipertimbangkan dengan tenang. Manakah yang boleh ditolak dan yang perlu diterima? Saya perlu terus belajar untuk menjadi bijaksana, dapat membedakan mana yang dapat ditoleransi mana yang tidak dan sebatas apa menoleransinya.
The reason we struggle with insecurity is because we compare our behind-the-scenes with everyone else's highlight reel.
- Steven Furtick
Mbak Mitha menanggapi setiap peserta yang telah berbagi seperti memberikan konseling singkat, yaitu dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan masukan. Di slide beliau menampilkan types of insecurity, 50 questions to know your deepest insecurities, serta cara-cara untuk coping atau penyelesaian konflik yang saya catat sebagai berikut:

1. Kenali alasan, kenapa dan bagaimana bisa terjadi (mengajukan pertanyaan-pertanyaan),
2. Efeknya pada diri (mengenali jenis-jenis emosi),
3. Ketahui berapa lama telah terjadi,
4. Apa yang perlu dikelola, bagaimana caranya?

Pada akhirnya, kita perlu menentukan tindakan dan melaksanakannya. Tindakan itu dirumuskan secara berkala: apa yang akan dilakukan dalam sehari ke depan, seminggu, sebulan? Contoh yang diberikan di antaranya afirmasi diri dan duduk hening. Cara-cara ini merupakan latihan mental agar tidak terpuruk ketika jatuh lagi. 

Kembali pada perumpamaan laron yang mengejar bintang dikombinasikan dengan masukan dari The ACT Workbook for Depression and Shame, setelah menentukan "bintang" (value) yang hendak dicapai, you need to set goals that are in line with them. Value berarti arah yang hendak dituju berdasarkan apa yang dianggap penting, cahaya pemandu untuk mencapai kebermaknaan. Meski begitu, value bersifat abstrak: hanya arahan, bukan instruksi mendetail untuk mencapainya. Detailnya ditetapkan berupa goal yang diiringi intention, yaitu cara untuk mewujudkan value jadi tindakan pada waktu dan tempat tertentu. 

Terima kasih untuk Nutrihub, Forum Indonesia Muda, Yayasan Cintai Diri Indonesia, Mbak Kadek Pramitha, dan terutama teman saya (dan temannya) yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti acara ini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain