Kamis, 19 Oktober 2023

Bahasa Indonesia, Bahasa Kita: Akan Diganti dengan Bahasa Inggris? -- Sekumpulan Pandangan dan Pendapat

Gambar di-screeshot
dari Ipusnas.
Edisi yang Diperbaharui
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : PT. Dunia Pustaka Jaya, Bandung
Cetakan pertama, November 2001
Cetakan kelima, Desember 2015
Edisi elektronik, 2018
ISBN 978-979-419-545-1 (PDF), 978-979-419-368-6

Di dalam buku ini ada 17 tulisan yang hampir semuanya semula pernah diterbitkan di media cetak (surat kabar, majalah) atau merupakan makalah yang dipersiapkan penulisnya sebagai pembicara. Semuanya bertalian dengan bahasa, jelasnya bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing yang dalam pemakaiannya sehari-hari oleh masyarakat di negara kita terdapat banyak problem. Dalam pengantar untuk edisi yang diperbaharui, sudah dipermaklumkan bahwa dalam tulisan-tulisan ini akan ada pengulangan-pengulangan karena dibuat dalam waktu berlainan untuk keperluan dan publik berlainan. Memang setelah membaca beberapa buku (almarhum) Pak Ajip, banyak ditemukan pengulangan. Tidak apa-apa, Pak, biar tercamkan dalam-dalam di sanubari.

Setelah membaca sebagian besar tulisan, saya menangkap benang merah atau garis besarnya adalah anjuran pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar sekalian kritik terhadap pencampuradukkannya dengan bahasa asing serta lunturnya kebanggaan penggunaan bahasa nasional dan terutama bahasa daerah. Persoalan ini kita alami sehari-sehari.

Dalam pengalaman saya sendiri, acap kali saya heran bila menemukan terbitan berbahasa Inggris yang padahal dibuat orang Indonesia untuk orang Indonesia. Terbitan tersebut misalnya konten Instagram, ada pula novel (biasanya yang pop) yang judulnya doang berbahasa Inggris tapi isinya umumnya berbahasa Indonesia--seakan-akan kalau judulnya berbahasa Indonesia tidak akan menarik pembaca. Di sisi lain, saya sendiri termasuk pelaku yang doyan mencampuradukkan berbagai bahasa baik dalam berbicara maupun menulis wkwkwk. Indonesia, Inggris, Sunda adalah komposisi bahasa saya sehari-hari. Saya duga ini problem bagi siapa saja yang sehari-harinya terpapar oleh lebih dari satu bahasa, sehingga timbul kekacauan dalam pikirannya dan ketika mesti mengeluarkan pendapat secara spontan maka terjadilah pencampuradukkan itu. Walau demikian, bagi Pak Ajip tampaknya itu tidak boleh jadi pembenaran. Dalam tulisan "Berbanggalah dengan Bahasa Indonesia", beliau mencontohkan sosok founding father Bung Hatta yang walaupun menguasai berbagai bahasa asing, tetapi dapat mengendalikan kemampuan itu menyesuaikan dengan tempat dan audiensnya; tahu kapan bisa sepenuhnya berbicara dalam bahasa Belanda, tahu kapan mesti sepenuhnya dalam bahasa Indonesia, tanpa mesti mencampuradukkannya. Pengendalian diri macam itulah yang beliau sarankan. Nasihatnya di halaman 129, "... jangan dibiasakan berpikir dalam bahasa asing kalau sedang berbicara dalam bahasa Idonesia, sehingga tidak memperhatikan aturan kalimat bahasa Indonesia."

Saya menduga Pak Ajip menghendaki prioritas penguasaan bahasa sebagai berikut:
  1. bahasa daerah,
  2. bahasa nasional (Indonesia),
  3. bahasa asing (di antaranya Inggris, yang paling mendominasi). 
Sedangkan di masyarakat kenyataannya berbolak-balik. Bahasa daerah ditinggalkan, bahasa nasional masih acak-acakan sudah keburu dicampuri bahasa asing. Buat saya sendiri, bahasa Indonesia yang pertama, bahasa Inggris kedua, sedang bahasa daerah bagai pengisi latar atau aksen saja (^^;)v Bukannya tidak ada kesadaran untuk mengapresiasi dan mendalami kedaerahan. Cuma, lagi-lagi, kenyataan menunjukkan bahwa penguasaan bahasa daerah tidaklah menjadi keharusan dalam pergaulan sehari-hari apalagi di kota besar tempat saya telah menghabiskan sebagian besar umur. 

Membaca buku ini memantik saya untuk merenungkan lagi pemakaian bahasa saya sendiri. Namun, betapapun penguasaan ketiga macam bahasa di atas tampak merupakan gagasan yang ideal, kenyataannya waktu mulai terasa sempit, tenaga makin terbatas, dan situasi sehari-hari yang sedang dialami pun tidak menjadikan hal tersebut sebagai tuntutan. Apalagi untuk bahasa daerah, sebagaimana yang sudah dimaklumi sendiri oleh Pak Ajip di halaman 46, "... penguasaan bahasa daerah dengan baik tidak mempunyai nilai sosial." Nah! Kecuali kalau kelak di Duolingo ada bahasa Sunda dan/atau bahasa Jawa, tentu dengan senang hati saya akan memainkannya mempelajarinya di sana 😂

Yang saya herankan, sepanjang buku ini, tidak sekali pun saya temukan Pak Ajip mengungkit bahasa Arab. Padahal bahasa Arab kiranya boleh dikatakan termasuk bahasa asing yang mulai menggeser kosakata bahasa nasional, sebagai contoh mas/mbak jadi akh/ukh, pria/wanita jadi ikhwan/akhwat, maaf jadi afwan, terima kasih jadi jazakumullah khairan katsira, berprasangka buruk jadi suuzan, menggunjing jadi gibah, dan masih banyak lagi. Memang sepertinya kosakata bahasa Arab itu baru mulai umum belakangan khususnya di komunitas tertentu, sementara tulisan-tulisan dalam buku ini dibuat sudah belasan tahun lalu bahkan lebih lama lagi sedang kini Pak Ajip sudah tiada. Saya pun jadi bertanya-tanya, seandainya masih hidup dan aktif menulis, bagaimanakah kira-kira sikap Pak Ajip terhadap fenomena ini. Saya pikir, sebagai muslim yang taat, mestilah beliau memaklumi bahwa penguasaan bahasa Arab boleh dianggap penting untuk menunjang ibadah. Namun di sisi lain, sebagaimana terhadap bahasa Inggris, beliau tampak tidak suka bila bahasa daerah/nasional makin terkikis oleh bahasa asing.

Gambar di-screenshot
dari Instagram.
Buku ini dibahas dalam Klub Buku Laswi (bertempat di belakang Toko Buku Bandung yang sekaligus di depan Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut 2, Bandung) pada Rabu, 18 Oktober 2023 kemarin. Di ujung pembahasan ini, Kang Wanggi Hoed memberikan tanggapan menarik yang mengingatkan saya pada ungkapan "bahasa menunjukkan budaya". Kang Wanggi menangkap kekhawatiran Pak Ajip akan fenomena beringgris-ria ini, yang di balik itu sesungguhnya ada suatu kepentingan. Simpelnya: dengan maraknya penginggrisan, tanpa disadari masyarakat pun mengalami pembaratan--jelasnya, mengadopsi nilai-nilai barat yang individualistis, materialistis, dan seterusnya, sehingga menyisihkan nilai-nilai kedaerahan yang mengutamakan gotong-royong, menghargai lingkungan hidup, dan seterusnya, sebagaimana bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tampak memberikan efek psikologis tertentu pada audiensnya, yang entah bagaimana mempersepsikan bahwa kalau dalam bahasa asing itu lebih menarik sedang dalam bahasa sendiri (nasional/daerah) itu inferior. Sayangnya, dampak budaya ini tidak dikupas lebih lanjut dalam tulisan-tulisan Pak Ajip di buku ini. Oke, kita harus melestarikan bahasa daerah, memperbaiki bahasa Indonesia, dan bijaksana dalam mempergunakan bahasa Inggris. Tapi, mengapa harus demikian? Mengapa itu penting? Apa dampaknya dari melakukan atau tidak melakukan? Bagaimana meyakinkan masyarakat akan dampak-dampak yang terluputkan itu? Bagaimana pemahaman itu dapat berguna dalam kehidupan sehari-hari yang mereka jalani? Dan, apakah dengan menuliskannya saja cukup? Siapakah yang mau membacanya belum lagi mengamalkannya dalam skala luas? Bukankah Pak Ajip pun sudah banyak menulis tentang hal ini tapi kenyataan makin jauh panggang dari api? Barangkali ini PR bagi penerus Pak Ajip untuk menjawabnya.

(Buku ini ada di Goodreads tapi cuma 1 edisi dan tanpa kover sebagaimana yang saya baca di Ipusnas. Maka saya mengulasnya di blog ini dengan menyertakan kover dari Ipusnas. Namun kopi yang saya baca di Ipusnas ini ada satu halaman yang tidak ada, yaitu halaman 89.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain