Ruang
Accidental Poetry
(1)
aktivitas lain
(39)
Babakan Siliwangi dan sekitarnya
(10)
bahasa rupa-rupa
(27)
bebas
(40)
belajar terjemah
(13)
cerita foto
(19)
cerita pendek
(60)
cuplikan diary SMP
(12)
diari grafis
(7)
gegambaran
(18)
hehijauan
(26)
intrapersonal
(29)
jalan-jalan
(44)
Jelajah Ujung Kulon
(12)
kekebun-kebunan
(15)
kenangan merapi
(14)
kesehatan mental
(11)
kliping
(28)
kontemplasi
(34)
liTERASI
(50)
musik
(55)
news
(5)
pardon my english
(12)
pembacaan
(182)
proyek nyonya teladan
(17)
puisi
(51)
rimbawan kota
(13)
Science Film Festival 2014 YPBB Bandung
(6)
The Harper Anthology of Fiction
(30)
tontonan
(32)
WARBUNG
(9)
Jumat, 13 September 2013
Lembam
secuplik lirik (terjemah bebas):
Aku capek banget, tapi enggak bisa tidur.
Aku kesepian, tapi males ngambil HP.
Rabu, 11 September 2013
Ini potongan dari iklan HP di koran sekitar tujuh tahun lalu. Cowok di iklan ini mirip dengan seseorang di kepalaku. Jadi aku menyimpannya, menempelkannya hingga menimpa gambar peta Amerika Serikat bagian Kentucky-Tennessee-dan-sekitarnya pada sampul buku folio untuk corat-coret. Lalu aku menaruhnya di dalam dus, di puncak tumpukan corat-coret semacam. Sore ini aku menyadari kalau tutup kardus tersebut telah dikencingi kucing, (so ein Mist!), dan aromanya atau zatnya mungkin merembes sampai ke sampul buku ini. Jadi aku melakukan upaya penyelamatan lanjut dengan memindainya lalu memajangnya di sini. Silahkan dinikmati. Ganteng kan. Aroma kencingnya tidak tercium kan?
#2013.09.07
Senin, 09 September 2013
Ambarilé!
Ardian:
Bibe sayang. Akhirnya selesai juga saya garap komposisi-komposisi baru. Waktu baru sampai di sini berapa bulan lalu, waduh, kepala rasanya amburadul. Lalu saya diam saja di apartemen teman saya, cuman mencet-mencet piano. Kadang-kadang ke studio. Sebagian ada sih yang sudah jadi waktu masih di Bandung. Sebenarnya banyak lagi di kepala ini yang mau dikeluarkan. Tapi untuk sementara yang sudah jadi dulu saja saya bagi-bagi. Minta pendapat orang-orang.
Jadi ingat. Belum lama waktu saya baru balik ke Bandung. Mungkin baru beberapa bulan. Saya ikut jipnya Kang Ahéng, lalu menemukan Kamus Kecil Sunda – Indonesia karangan Pak M. O. Koesman di dashboard. Itu buku sudah lama sekali dari tahun 1984. Lalu saya baca-baca. Ternyata waktu pagi anaknya Kang Ahéng mengerjakan PR Basa Sunda di mobil. Hahaha saya juga dulu sok kitu (:suka begitu). Untung keburu. Lalu Kang Ahéng bilang itu buat saya saja. Nanti beliau beli lagi.
Duh. Bibe. Rasanya tiap kata di kamus itu bikin piano di kepala saya jadi berisik. Membacanya enggak sesulit membaca kamus bahasa Jerman. (Padahal dulu saya enggak senang buka kamus tapi lama-kelamaan butuh karena pergaulan.) Apalagi karena memang saya dulu sudah akrab sama bahasa Sunda. Banyak juga yang sama dengan bahasa Indonesia. Misal ada yang artinya sama, seperti “kuda”, “angin”, “batu”, “jalan”, “sawah”, “gunung”, jsb. Tapi ada juga yang beda misalnya “ulah” dalam bahasa Indonesia berarti tingkah laku, sedangkan dalam bahasa Sunda berarti jangan, tidak boleh.
Masih ingat Ambarayah Ambarilé, Bibe? Saya enggak menyangka Teh Ayum bakal pakai nama itu. Padahal saya asal celetuk saja waktu nimbrung obrolan soal rumah makannya itu, waktu baru mau didirikan, sambil baca-baca kamus M. O. Koesman itu. Saya masih ingat beberapa minggu setelah rumah makan itu jadi, saya ajak Bibe ke sana. Menjelang sore Bibe datang. Saya masih mengiringi Ceu Emar sepupunya Teh Ayum nyanyi “A Foggy Day”[1]. Tapi liriknya diganti yang harusnya “a foggy day in London town” jadi “a foggy day in Priangan”. Terus “British Museum” jadi “Rumentang Siang[2]” hahaha. Pas sekali waktu itu kan habis hujan. Di luar masih agak mendung. Bagus sekali Ceu Emar, apalagi ketika melagukannya seperti menyinden. Telinga saya serasa digigit-gigit habis itu digelitiki kemoceng. Brrrr! Untung saya enggak disuruh main lagi. Kita duduk di dekat Aduy, Andar, sama Andihi, masih ingat mereka, Bibe? Terus saya pesan gurame ambarilé, khasnya rumah makan itu. Porsinya besar sekali. Kita makan berdua. Lihat muka Bibe seperti enggak bakal sanggup menghabiskan sendiri hahaha. Lagian saya juga sudah makan itu waktu makan siang. Memang enak sih. Campuran asin, manis, asam, gurih, dan sebagainya meresap merata sampai ke duri-durinya. Makanya disebut ambarilé. Beberapa hari setelah sampai di sini saya masih terkenang-kenang meriahnya rasa gurame itu. Dan jadilah “Gurame Ambarilé”.
Begitu, Bibe. Tiap komposisi ini ada ceritanya masing-masing. Untuk pembuka misal. Saya terinspirasi “Aweuhan Awi Awis” (:gema bambu mahal) waktu anjang ke rumah teman yang punya koleksi alat musik dari bambu. Ada di antaranya dari jenis bambu yang mahal. Sambil santai-santai saya dengar alat musik itu seperti dimainkan angin. Damai sekali. Lalu “Anggel Anggarésol” (:bantal tidak lurus) muncul waktu saya lagi susah tidur. “Aub Angob” (:ikut menguap)—waktu itu saya lagi main ke persawahan punya teman di pinggiran kota. Siang terik panas sekali. Kami minum sari tebu di balé-balé. Tepat di samping saya ada kerbau ikut berteduh juga. Saya sama mengantuknya dengan kerbau itu waktu itu. Saya coba bikin aransemennya untuk saksofon lalu minta teman saya mainkan hahaha. Suara flute mungkin lebih mendekati ya. Tapi dalam suasana begitu rasanya enggak ada yang bisa menggantikan kesyahduan suling bambu. “Arula-arileu” (:berliku-liku) terpikir waktu saya menyetir ke Tasikmalaya, mau menengok saudara Ayah. Kalau bukan saya yang menyetir tapi cuman duduk saja, apalagi di bangku belakang, mungkin saya sudah muntah-muntah. Makanya iramanya cenderung ke swing hahaha. Jangan ikutan pusing, Bibe. Di sana juga saya sempat dengar semacam tembang dari rumah tetangga. Ada baitnya kira-kira begini “…budak leutik bisa ngapung…”[3] (:anak kecil bisa melayang-layang) sampai bikin saya termenung-menung. “Budak kunti meureun,” (:anak kuntilanak mungkin) pikir saya waktu itu. Belakangan ini ketika teringat lagi momen itu saya terilhami untuk memainkannya ulang dengan piano. Begitu juga dengan “Ngancik Enin” (:tinggal di nenek) dan “Hayam Geus Ngampih” (:ayam pulang ke kandang). Itu cerita ketika saya sama adik saya harus tinggal di rumah ibunya Ayah. Ada seminggu lebih. Rasanya seperti berbulan-bulan. Waktu itu orangtua saya lagi keluar negeri. Sedang “Mapay Areuy” (:menyusuri tanaman merambat) tahu-tahu saja muncul waktu saya lagi mengamati lalat naik-naik di gelas saya. Sepertinya waktu itu saya lagi di Cisangkuy[4].
Ah. Banyak juga ternyata. Kapan-kapan disambung lagi ya, Bibe. Saran saya sih langsung saja ke “Antaré” (:santai). Moga-moga bisa mengobati kalau-kalau Bibe lagi capek atau bosan. Juga “Asihan”. Itu mantra supaya disayang orang. Spesial dari Ceu Emar. Beliau juga yang take vocal. Coba saja didengar berulang-ulang barangkali mujarab. Hahaha.
Selamat menikmati ya Bibe.[]
Bibe:
Pernah beberapa kali aku melewati Ambarayah Ambarilé setelah kunjunganku yang pertama… sekaligus yang terakhir. Uang sakuku terasa berat dikeluarkan untuk makan lagi di sana. Selain itu orangtuaku juga sepertinya tidak akan pernah mengajak aku makan di sana sampai kapan pun.
Memindai deretan judul track yang dikirimkan Om Yan menerbangkanku kembali ke masa lalu. Apalagi ketika sampai di “Gurame Ambarilé”. Aku masih ingat samar-samar Om Aduy yang mukanya penuh jerawat, Om Andar yang rambutya gimbal, juga Om Andihi yang bongsor. Aku tidak pernah bertemu mereka lagi. Lalu setelah kekenyangan makan ikan, dengan mobilnya kami berjalan-jalan tanpa tujuan—nganclong. Sampai ke kawasan yang cukup sepi. Persawahan yang tinggal beberapa petak diapit perumahan dari berbagai arah. Langit agak gelap. Hawa lembap mendekap. Tepian sawah cukup lebar untuk kami ngaleut (:jalan beriringan). Ia mencelup-celupkan tangannya ke air yang menggenangi padi. Memanggilku agar ikut mengamati kodok yang sedang asoy-asoyan (:maju sedikit-sedikit). Kami juga sempat ngala (:memetiki) kersen. Lalu kusadari ia menghilang. Ternyata ia sudah kembali ke mobil. Sandaran joknya direbahkan sebagian. Ia memegang buku kecil yang sampulnya didominasi warna hijau. Tertera tulisan berwarna kuning di atasnya: KAMUS KECIL SUNDA – INDONESIA. Menyambut kehadiranku, ia berpaling sejenak dari bukunya lalu menunjuk langit. “Awang-awang angkeub (:langit mendung),” katanya. …sekarang aku sudah sampai di track berjudul sama… “Aneh enggak kedengerannya? Awang-awang angkeub?” Kukira ia sedang mendengarkan lagu di dalam kepalanya. Ia lalu bercerita tentang ayahnya yang doyan menulis sesuatu dalam bahasa Sunda. Entah puisi, bobodoran (:humor), sampai carpon—carita pondok (:cerita pendek). Lalu aku menyodorkan beberapa tangkai bunga yang kutemukan di pinggir sawah. Ia mengucapkan terima kasih tapi tidak kubiarkan tangannya mengambil. “Bukan buat Om,” kataku. “Tapi buat Tante Ri.” …sekarang judul “Anjang ka Anjeun” (:mengunjungimu) tertera di layar ponselku… Ia tersenyum penuh pengertian. “Hm… Tahu gini mah dibawa ke Lembang aja. Lebih banyak di sana bunganya…” Aku langsung menyambut dengan semringah. “Hayuk! Kapan?”
Lalu ia mengantarku pulang. Sampai ke pintu depan. Walau itu berarti ia harus memarkir mobilnya di seberang gang. Lampu di dalam rumah sudah menyala. Sudah magrib waktu itu. Aku menawarinya masuk. Ia tersenyum sambil berkata lain kali saja. Memang ada Papa dan Mama di rumah. Lalu, sudah tidak mengejutkan lagi sih sebetulnya, Papa senewen. Aku bisa maklum kegusaran Papa karena aku sering pergi dengan laki-laki sebayanya (Om Yan lebih muda beberapa tahun sih) yang belum menikah. Tapi ya aku lawan saja. Aku hanya bersikap sebagaimana aku diperlakukan kan. Lalu sesudahnya Mama mendekatiku. Sempat kami membicarakan prasangka Papa yang bukan-bukan. Mama mestinya memihakku. Om Yan kan teman baik Mama sejak SMA, dan lagi CLBK sama mantan pacarnya waktu di SMA. Jadi kami cuman berteman. Bahkan kadang ia memperlakukanku seperti anaknya sendiri, walau memang sih ia tidak punya anak. Jangan-jangan kalau ia punya anak sendiri sikapnya bakal semenyebalkan Papa? Ujung-ujungnya Mama menasihatiku. Budak teh meni atah adol (:ini anak kurang ajar banget sih), omelnya.
Track berjudul “Aping Pangantén” (:menggandeng mempelai) mengalun. Sehabis ini “Bungah Amarwata Suta” (:gembira sekali) yang bagiku terasa seperti nama orang. Mungkin kalau Om Yan punya anak, ia akan menamai anaknya dengan nama itu.
Toh masa itu sudah berlalu. Papa tidak sering-sering lagi mengusikku. Perhatiannya sekarang lebih tercurah pada Mama yang lagi hamil. Lagipula Om Yan sudah kembali ke Boston tanpa menggandeng istri. Tidak Tante Ri. Tidak siapapun. Kami jarang membicarakan itu karena aku tidak enak saja menyinggungnya. Walaupun baginya mungkin ringan saja. Ia mengocehkannya dalam “Ngaprak Jodo” (:mencari jodoh ke mana-mana)—kusetel ulang. Selang beberapa track di atasnya, ada track yang dijuduli “Ambon” (:cinta sepihak). Aku tidak tahu kenapa aku yang sedih. Aku bekap muka dengan bantal. Sampai track yang baru pertama kali kudengar—“Pagéto Amat” (:sehari setelah esok). Aku mengangkat kepala. Lalu ada bonus track yang dibawakannya bersama Ceu Emar. “Di dinya”[5] (:di sana). Memang, ia tidak lagi di sini.
Aku merasa sangat ambarilé.[]
[1] Berdasarkan lagu “A Foggy Day” oleh Dakota Stanton
[2] Nama gedung pertunjukan kesenian di Bandung
[3] Kalau tidak salah dari pupuh Kinanti
[4] Nama kafe di Bandung yang terkenal karena yoghurtnya
[5] Sebetulnya plesetan dari lagu “Dindinha” oleh Ceumar dari album Putumayo Presents: Music from Coffee Lands II. Sama sekali bukan lagu sunda.
Ini sebetulnya catatan pembacaan yang dimodifikasi. Buku yang dibaca adalah Kamus Kecil Sunda - Indonesia (bagian huruf A doang sih), yang disusun oleh M. O. Koesman dan diterbitkan oleh Penerbit Tarate Bandung, cet. 8, 1996.
Matak hampura alurna kedodoran hehehe. Hatur nuhun sadayana anu tos maca. Sampurasuun...
Sabtu, 07 September 2013
I : Varian Zebra
Hari ini kami diberikan kertas bergambar zebra. Kami harus
mewarnainya. Aku tidak mau zebraku jadi zebra biasa. Maka aku mewarnai
belangnya dengan spidol merah. Jadi zebraku bukan zebra cross, tapi zebra nasionalis,
seperti buyutku waktu zaman penjajahan Belanda. Buyutku anggota KNIL. Keren
kan? [1] Di
sebelah kananku Anila lebih ajaib lagi. Ia mewarnai belang di zebranya dengan
berturut-turut warna merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu. Pelangi seperti
mendarat di zebranya. Indah sekali. Di sebelah kiriku Karim malah tidur.
Kepalanya miring membelakangiku. Tapi aku masih bisa mengintip hasil pekerjaannya
di bawah kepalanya. Ia tidak mewarnai sesuai garis. Zebranya separuh hitam
separuh putih, dipisahkan oleh garis lurus yang ia buat sendiri. Mungkin zebranya
peranakan tapir. Garis untuk warna belang zebra di bagian yang putih ia
biarkan saja. Malamnya aku bermimpi menunggangi zebraku di padang berbukit-bukit
hijau yang tetumbuhannya menyerupai permen-permen. Di samping kananku Anila
dengan zebra pelanginya berkerlap-kerlip. “Di rumah aku tambahin
glitter,” kata Anila ceria. Karim menyusul tidak lama kemudian. Ia mengendarai
seekor kuda berwarna abu-abu di samping kiriku. “Ini bukan kuda, ini
zebra,” katanya seolah bisa mendengar pikiranku. “Bukannya tadi zebra
kamu warnanya hitam-putih?” ujarku. Jawabnya, “Iya. Tapi kan aku ketiduran.
Terus kelunturan ilerku.”[]
II : Asal-usul Nyamuk
Malam itu bising sekali. Banyak nyamuk berseliweran di sekitarku.
Memang aku buka jendela karena hawa gerah. Lampu juga kupadamkan karena aku
tidak bisa tidur kalau silau. Kutepuk nyamuk yang hinggap di lengan kiriku.
Dalam keremangan cahaya bulan yang menerobos lewat jendela, aku bisa
melihat nyamuk itu terguling ke sisiku. Bekas tepukanku tidak meninggalkan
darah sama sekali. Dalam sekedip, sekonyong-konyong nyamuk tersebut menjelma
sosok serupa manusia tak berbaju. Cepat-cepat kulempar selimut untuk menutupi
tubuhnya. Untung ia hanya pingsan. Ketika ia siuman, teranglah misterinya.
Begini ceritanya: “Dulu kami menjelma kelelawar. Tapi kemudian manusia
menjadi semakin banyak. Kami pun beralih ke wujud yang lebih efisien, walau
risikonya lebih rentan. Jadi nyamuk, mampuslah engkau sekali tepuk.” Lalu
aku bertanya, “Apa setiap makhluk yang Anda gigit akan jadi vampir juga?”
Dia menjawab, “Tentu tidak. Maaf-maaf saja ya. Kalau ingin regenerasi, kami
juga pilih-pilih.” Lalu aku membiarkannya terbang kembali. Malam berikutnya
aku lagi-lagi sulit tidur. Guling ke sana kemari. Hei, Nyamuk, boleh-boleh
saja kalian gigit aku, tapi mbok ya
tidak usah berdenging-denging begitu. Berisik tahu. Walau mungkin itu tanda
kalian masih punya harga diri. Kalian beri kami sinyal agar kami pun
mengerahkan pertahanan diri, dengan mengibas-ngibas, menepuk-nepuk, atau
menyemprot bau-bauan. Sehingga upaya kalian mencari makan bukanlah kerja
yang pengecut, seperti kutu busuk yang mengisap diam-diam dari dalam
kasur, melainkan suatu perjuangan. Untuk ke sekian kali aku berguling,
menghadap jendela. Tiba-tiba beberapa sosok berjubah tampak. “Berdasarkan
penilaian yang telah kami lakukan selama ini, kami rasa Anda adalah kandidat
yang tepat,” ucap sosok yang di tengah. Sosok di sampingnya menimpali, “Selamat,
Anda terpilih...” Sosok mereka mendekat dengan cara seperti melayang.
“Hei, hei, terpilih apa…?” Aku tidak dengar jelas tadi. Aku beringsut mundur.
Mereka menerkamku di beberapa bagian. Tapi mereka tidak tahu kalau aku
vegetarian. Maka ketika malam-malam mereka menyambangi kasur demi
kasur, aku berburu buah ranum bersama para nyamuk kebun.[]
III : Si Tampan Maut
Hiduplah seorang pemuda yang ketampanannya sungguh terlalu. Gerak-geriknya
mengguncangkan jiwa, hingga banyak pasien baru di panti rehabilitasi.
Senyum-sapanya meluluhkan hati, hingga penyakit kuning mewabah ke seantero
negeri. Ke mana ia berjalan, gadis-gadis mengikuti. “Tampan, bolehkah kami
mengelusmu?” tanya seorang gadis. “Boleh,” jawab Tampan. Begitu berhasil mengelus
si Tampan, melelehlah gadis-gadis itu dibuatnya, hingga meninggalkan
kubangan di jalanan. Warga tidak tahu bagaimana membereskannya. Mereka biarkan
kubangan-kubangan itu diuapkan mentari dan menebar aroma bangkai ke
seantero negeri. Populasi gadis merosot drastis. Para anggota dewan berkumpul
untuk mendiskusikan masalah ini. Kehadiran pemuda itu dianggap mengancam
kelangsungan negeri. “Masa depan negeri ini ada di rahim para gadis. Pemuda
itu tidak boleh berada di negeri ini lebih lama lagi.” Tapi gadis-gadis telah
kadung dimabuk berahi. Mereka mencakar-cakar diri saat pemuda itu
dikerangkeng tentara, dan dibawa ke hutan nun jauh terpencil. Selama
perjalanan yang berputar-putar, penglihatan pemuda itu diselubungi kain
erat-erat supaya ia tidak tahu arah kembali. Ia lalu ditinggalkan di sebuah
gua, bersama penyesalannya karena menjadi terlalu tampan.[]
Kamis, 05 September 2013
Beberapa aforisme (Cungkilan cacatan harian sebulanan ini—Agustus ’13 [yang bisa juga cungkilan dari buku lain—metacungkilan!])
1
Bergaul dan bekerja itu kudu beriringan, sebab pekerjaan itu menopang pergaulan.
2
Dari bab tentang Victor Frankl, Karakter-karakter yang Menggugah Dunia (John
Mc Cain dan Mark Salter, terjemahan T. Hermaya, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2009, cet. 2):
Nietzsche: Manusia yang punya alasan untuk hidup akan dapat
menanggung hampir setiap cara hidup. (hal. 46)
... kesalahan mereka ialah mengharap sesuatu dari hidup, dan ketika hidup tidak memberi apapun kecuali kekejaman, mereka menyerah. Ketahanan hidup bergantung pada pemahaman dan penerimaan atas
harapan hidup; dengan melakukannya, kita
menemukan makna hidup bahkan di dalam penderitaan yang terburuk, dan menikmati beberapa harta yang
masih kita miliki: keramahan mengejutkan dari orang lain, keindahan matahari terbit, keanggunan pohon yang tumbuh di musim semi. (hal. 47)
... makna hidup dapat dicapai dengan tiga cara: "dengan menciptakan karya atau melakukan tindakan, dengan mengalami... dan dengan sikap yang kita ambil dalam menghadapi penderitaan yang tak terelakkan." (hal.
48)
3
Setelah mengetahui betapa rumitnya bahasa Jerman dibandingkan
bahasa Inggris, barangkali selanjutnya pembelajaran bahasa Inggris akan terasa
lebih mudah.
4
angst (jerman, belanda) = hariwang (sunda)
5
Dari Muslim Menemukan
Eropa (Bernard Lewis, terjemahan Ahmad Niamullah Muiz, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1988, cet. 1):
… semua orang sama
sebagai manusia sebagaimana manusia lainnya, tak seorang pun memiliki
kelebihan, atau kebaikan. Setiap pribadi mengatur dirinya dan melangkahkan
kehidupannya dalam dunia ini dengan sendirinya. Dalam keimanan yang sia-sia
serta pandangan yang tak masuk akal itu aliran pikiran baru ini membangun
prinsip baru berikut hukumnya serta melembagakan apa yang dibisikkan oleh
setan kepada mereka, menghancurkan sendi-sendi agama, membuat dasar hukum
untuk segala apa yang diharamkan, dan menghalalkan setiap hasrat yang
dikehendaki nafsunya. Mereka membujuk masyarakat umum dengan pikiran tak susila
itu. Di antara mereka yang menjadi gila menebarkan kedurhakaan terhadap
agama…
Dengan buku-buku yang
berisi kebohongan dan kesalahan berpikir yang dibuat logis… (hal. 176)
6
Dari Mimpi-mimpi
Einstein (Alan Lightman, terjemahan Yusi Avianto Pareanom, Kepustakaan
Populer Gramedia, 2004, cet. 8):
Inilah dunia impuls.
Dunia kesungguhan hati. Dunia di mana tiap kata yang meluncur hanya untuk saat
itu, setiap tatapan sekilas hanya memiliki satu makna, setiap sentuhan tidak
mempunyai masa depan atau pun masa silam, setiap ciuman adalah ciuman yang
spontan. (hal. 30)
9
Ketiak basah seperti rambutan cokelat.
10
Imajinasi + Kemampuan = Karya
Imajinasi – Kemampuan = Mimpi
11
Dari bab “Adler: Psikologi Individual” dalam Teori Kepribadian Edisi 7 Buku 1 (Jess Feist & Gregory J. Feist,
terjemahan Handriatno, Penerbit Salemba
Humanika, Jakarta, 2010):
Individu yang tidak
sehat secara psikologis akan berjuang untuk superioritas pribadi, sedangkan
individu yang sehat secara psikologis mencari keberhasilan untuk semua umat
manusia. (hal. 82)
12
“Menurut kamu, kamu cantik enggak?”
“Tergantung sama pencahayaannya. Tergantung juga lagi ada siapa di deketku.”
13
Dipikir-pikir aku ini enggak pernah SMA,
tapi cuman kursus singkat mengerjakan soal UN/UM/USM/SPMB.
Selasa, 03 September 2013
Daftar buku yang dibaca – Agustus ‘13
Sebagian yang dibaca yang masih di meja. Sebagian lagi sudah ditaruh di lemari.
|
Di sela-sela kesibukan menganggur, alhamdulillah saya masih bisa menyempatkan diri untuk membaca beberapa buku. Berikut adalah daftar buku yang saya baca selama bulan Agustus yang baru saja lalu di tahun 2013 ini. Tapi karena kesibukan yang amat sangat (khususnya dalam bermalas-malasan) acap kali tidak bisa diganggu-gugat, maka mohon maaf saya tidak dapat menyertakan pembacaan yang layak untuk masing-masing buku (bukannya selama ini sudah demikian sih, he). Harap maklum. Terima kasih.
1.
Memahami Mimpi. Nerys Dee, terjemahan Syafruddin Hasani & Supriyanto Abdullah. Pustaka
Populer (kelompok Penerbit LKiS).
Rene Decartes
berkata, “Aku berpikir maka aku ada.” Kalau saya sih, “Aku tidur maka aku
bermimpi.” Kurangi rasa bersalah Anda karena mengidap hipersomnia dengan membaca
buku ini.
2.
Karakter-karakter yang Menggugah Dunia. John McCain dan Mark Salter, terjemahan T.
Hermaya. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, cet. 2.
Cocok bagi Anda yang
pluralis.
3.
Muslim Menemukan Eropa. Bernard Lewis, terjemahan Ahmad Niamullah Muiz. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1988, cet. 1.
Bernard Lewis adalah
seorang keturunan Yahudi yang notabene pakar sejarah Islam. Buku ini bakal
lebih enak dibaca kalau Anda sudah memiliki wawasan mengenai sejarah Eropa
dan sejarah Islam (pra Perang Salib) sebelumnya—barangkali.
4.
Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Dr. Harry Hamersma. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1994, cet. 12.
5.
Pengantar Ilmu Filsafat. Drs. Lasiyo & Drs. Yuwono. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1985, cet. 1.
6.
Filsafat Sana-sini 1. Prof. I. R. Poedjawijatna. Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1975, cet. 1.
7.
Ringkasan Sejarah Filsafat. Dr. K. Bertens. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, cet. 10.
Buku 5 lebih lengkap
dari Buku 4, mungkin karena Buku 4 merupakan salah satu sumber bagi Buku 5.
Tapi justru Buku 7 lah yang paling enak dibaca walau juga paling tebal di antara
yang lain walau juga kurang meliputi filsafat ketimuran. Buku 6 adalah bagi
Anda yang meminati filsafat Jawa.
8.
Perang Salib I 1096-99
– Penaklukan Tanah Suci. David Nicolle & Christa Hook (ilustrator),
terjemahan Damaring Tyas Wulandari Palar. Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta, 2010, cet. 1.
9.
Runtuhnya Islam Spanyol – Granada
1492. David Nicolle & Angus McBride (illustrator), terjemahan Christina M. Udiani. Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2009, cet. 1.
Menarik, bagi yang
meminati dunia militer dan peperangan dan semacam itu.
10. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Prof. Dr. Harun Nasution. NV Bulang Bintang, Jakarta, 1973,
cet. 6.
Pemikiran manusia akan Islam berkembang jadi macam-macam aliran. Jika rasio di kutub utara dan mistis di kutub selatan, hm…
saya di garis khatulistiwa saja deh.
11. Sari Sejarah Filsafat
Barat I. Dr. Harun
Hadiwijono. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, cet. 8.
O_O
12. The Brief Wondrous Life of Oscar Wao. Junot Diaz, terjemahan A. Rahartati Bambang Haryo. Qanita,
Bandung, 2011, cet. 1.
Pembacaan yang rada
layak sudah dipajang pada HUT Kemerdekaan RI ke-68.
13. Catatan Parno PNS Gila. Uyung Haflan. PT WahyuMedia, Jakarta, 2011, cet. 1.
Sebagian tulisan
dalam buku ini masih tertinggal di blog pnsgila.wordpress.com. Sebagian
pengunjung menuding penulis blog (yang kemudian jadi buku) ini telah mencemarI
citra PNS, walau yang bersangkutan pun PNS. Tapi coba deh main ke Balaikota
Bandung[1] sekitar
jam sepuluh-sebelas pagi. Lihat siapa yang duduk-duduk di tepi, bersandal
jepit di kaki, sambil minum kopi.
Tapi yang sibuk betulan
di balik meja memang ada, (dan dengan ramahnya meladeni pemburu data skrispi. Nuhun pisan, Bapak!)
14. Mimpi-mimpi Einstein. Alan Lightman, terjemahan Yusi Avianto Pareanom. Kepustakaan Populer
Gramedia, Jakarta, 2004, cet. 8.
Prosa tentang
relativitas waktu. Terus… *garukgaruk
15. Latar Belakang Pemikiran Barat. Drs. M. A. W. Brouwer. Penerbit Alumni, Bandung, 1982.
Saya memang dangkal.
Ampuun…! Maafkan…! Hauhau…
16. Assalamu’alaikum: Islam Itu Agama
Perlawanan! Eko Prasetyo. Resist Book, Yogyakarta, 2005, cet.
1.
Apakah mereka yang
mengusung-ngusung nama Islam itu juga punya hati untuk rakyat kecil?
17. Maju Iyus Pantang Mundur. Boim Lebon. PT Lingkar Pena Kreativa, Depok, 2004, cet. 1.
Cocok sangat buat
anak rohis.
18. Etiket dan Pergaulan. Ben Handaya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1986, cet. 4.
Kalau Anda pincang
dalam bergaul, itu adalah kesalahan orangtua Anda dalam mendidik anak hingga
menjadikan Anda berkepribadian manja. Ah
ah ah, ah ah ah, aku malu, pu-pu-pu-punya pacar anak mama! [2]
19. Al-Asbun Manfaatulngawur. Pidi Baiq. DAR! Mizan, Bandung, 2010, cet. 1.
Cocok bagi Anda yang
gemar mengoleksi kutipan-kutipan arif.
20. Mencoba Sukses. Adhitya Mulya. GagasMedia, Jakarta, 2012, cet. 1.
Kelucuannya nyata
setelah ditamatkan dan dipikir-pikir.
21. Teori Kepribadian Edisi 7 Buku 1. Jess Feist & Gregory J. Feist,
terjemahan Handriatno. Penerbit Salemba Humanika, Jakarta, 2010.
Para teoretikus
umumnya berasal dari negara-negara berbahasa Jerman, dan mengalami masa lalu
yang tidak bahagia. Mereka menganalisis diri, juga dianalisis dan menganalisis
orang lain. Buku ini menyarikan hasil analisis mereka, yang dengan demikian
memberikan banyak alternatif panduan bagi Anda untuk coba-coba menilai apakah
diri Anda sehat atau tidak. Jika gejala-gejala berlanjut, hubungi psikolog
terdekat.
22. Api Paderi: Pertentangan Kaum Paderi dengan Kaum Adat Menegakkan Islam secara Kaffah. Mohammad Sholihin. Penerbit NARASI, Yogyakarta, 2010, cet. 1.
Bikin penasaran
mengenai sejarah masuknya Islam ke tanah Minang, juga sejarah bohlam dan
muasal impornya ke Indonesia.
23. Drunken Marmut. Pidi Baiq. DAR! Mizan, Bandung, 2009, cet. 1.
Lihat nomor 23.
24. China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI antara Historisitas dan
Mitos.
H. J. de Graaf & Th. G. Th. Pigeaud. PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1998, cet. 1.
Saya sarankan untuk
membaca buku Tuanku Rao karangan M.
O. Parlindungan sebelumnya, utamanya yang bertajuk “Catatan Tahunan Melayu”.
Buku kecil ini merupakan komentar untuk bagian tersebut, yang menyoroti peran
China muslim dalam pemerintahan di Jawa pada abad XV-XVI. Dan sebaiknya jarak
waktu membaca kedua buku ini jangan terlalu jauh—entar keburu lupa! Tuanku Rao sangat saya rekomendasikan
buat Anda baca. Gaya bahasanya yang “sophisticated”
nikmat nian ‘tuk dibaca, dan niscaya akan mencerahkan hari-hari Anda! ;)
25. Drunken Mama. Pidi Baiq. DAR! Mizan, Bandung, 2009, cet. 2.
Mungkin kita mesti
bersyukur kerana tak tergolong sebagai orang-orang yang pernah dikerjai Kang
Pidi, tapi konsekuensinya kita bukanlah siapa-siapa dalam buku ini melainkan
sebagai pembaca saja yang bakal dibikin geli atau tidak semua kembali pada
selera humor masing-masing.
Perlu saya tegaskan bahwa membaca sekian buku tidak serta-merta
bikin saya pintar[3].
Sebaliknya, saya malah jadi makin menyadari kebodohan saya. Punya banyak
waktu kok malah terus-terusan baca, kapan praktiknya.
Kalem ah. Lagi
menempuh pendidikan informal nih.
“… Hanya itu pendidikan yang akan kau terima.”
—kata David Gilmour ketika mengizinkan putranya, Jesse, untuk
tidak lagi bersekolah. (Asalkan mau menonton tiga film seminggu bersama-sama
sang ayah.) Hal. 11. Klub Film. Terjemahan
P. Herdian Cahya Khrisna. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, cet. 1.
Minggu, 01 September 2013
Langganan:
Postingan (Atom)