Gambar dari Tokopedia. |
Penerjemah : Dadan Kamal
Penerbit : Media Qalbu,
Bandung
ISBN : 979-3892-27-7
Cetakan 1, Juni 2006
Ada tiga bab dalam buku ini.
Bab 1. Hati dan Cara Ia Beribadah
Menurut Ibnu Taimiyah, ibadah
adalah segala ucapan dan tingkah laku, baik lahir maupun batin, yang dicintai
dan diridai Allah. Yang dimaksud dengan ibadah hati adalah tingkah laku batin
yang berpengaruh terhadap ucapan dan tingkah laku lahir (halaman 16-17).
Hati dapat rusak karena terlalu
terpaut pada urusan dunia, dosa, terlalu banyak bergaul dengan orang lain,
banyak makan, dan banyak tidur (halaman 53). Cara menghidupkan hati yaitu dengan
mengingat Allah, mengingat kematian, ziarah kubur, serta berkunjung kepada
orang-orang yang saleh (halaman 50).
Berpikir, merenung,
berkontemplasi tentang Allah, cara menghindari larangan-Nya, serta hari akhir
juga merupakan bentuk ibadah hati (halaman 44).
Bab 2. Ibadah Hati yang
Asasi
Bentuk ibadah hati yang
dikemukakan dalam buku ini yaitu ikhlas, tobat, tawakal, takut kepada Allah, dan
berharap kepada Allah.
Pembahasan tentang ikhlas
cukup membuat stres, karena rasanya mustahil. Bahkan kalaupun kita sudah
berusaha mengerjakan amal saleh, masih sangat mungkin dicemari oleh niat-niat
lain yang duniawi. Maka dikatakan bahwa kalau bisa ikhlas sebentar saja sudah
syukur.
Memang ada pemakluman bahwa
ikhlas sangat sulit, dan sebenarnya niat-niat terselubung itu bukannya
memusnahkan pahala sama sekali melainkan menguranginya saja.
Wajar kalau kita beramal karena
niat yang tidak ikhlas lillahi taala. Tapi, seiring dengan bertambahnya ilmu
dan kesadaran, kita mesti meluruskannya. Mungkin di sini perlunya introspeksi
niat secara berkala, untuk meluruskannya sebagaimana dilafalkan dalam doa
iftitah.
Gambar dari RisalahMuslim. |
Selain itu, ketidakikhlasan bukannya alasan untuk tidak beramal.
Agaknya ikhlas semakin sulit
bila tidak benar-benar mengenal atau memahami Allah, yaitu kepada siapa amalan
dipersembahkan.
Lagi pula, dalam kesempitan
hati dan kebodohan akal sebagian manusia, tampaknya lebih mudah bila niat
diterjemahkan ke dalam manfaat-manfaat praktis. Akal manusia mungkin terjebak
dalam tataran duniawi, sehingga tidak sampai pada Tuhan. Untuk bisa mencapai
taraf ikhlas, sepertinya manusia mesti meninggikan akalnya dan meluaskan
hatinya.
Hal yang dapat membangkitkan
keikhlasan dalam beramal yaitu doa, ilmu, semangat jihad, bersahabat dengan
orang-orang ikhlas, serta membaca sejarah orang-orang saleh (halaman 86).
Bab 3. Beberapa Akhlak
Fundamental
Bila ibadah hati merupakan
fondasi, maka akhlak adalah bangunan yang memperkokohnya (halaman 179). Akhlak
yang fundamental yaitu jujur, sabar, dan tawadhu.
Mengenai kejujuran, saya
pikir sangat relevan dengan fenomena kekinian khususnya menyangkut media
sosial. Melimpah konten kabar burung dan lucu-lucuan, tapi berikut ini patut
diperhatikan.
“Suatu
malam aku bermimpi dua lelaki datang kepadaku … mereka berkata: ‘Adapun yang
kamu lihat robek sudut mulutnya adalah seorang pendusta, ia mengatakan
perkataan dusta sehingga perkataan dustanya itu menyebar luas, maka ia harus menanggung
semua dosanya. Ia diperlakukan begitu sampai hari kiamat.” (HR Bukhari)
(halaman 183)
“Celakalah
orang yang berkata dusta dengan tujuan agar ditertawakan orang banyak. Celakalah
dia, celakalah dia!” (HR. Tirmidzi) (halaman 184)
Kesimpulan
Ibadah hati dan akhlak
fundamental sebagaimana yang dituntunkan dalam buku ini sangatlah penting
karena merupakan landasan dari perbuatan, bahkan menentukan bagaimana suatu
perbuatan diterima Allah. Di samping penjelasan dan contoh, buku ini juga
menyertakan petunjuk praktis.
Kebetulan, bersamaan dengan
buku ini, saya membaca Mindfulness for Dummies[1].
Timbul pertanyaan apakah ibadah hati itu serupa dengan being mode,
sedangkan ibadah lahir itu doing mode; dan apakah teknik-teknik mindfulness
dalam buku itu bisa diterapkan untuk memperbaiki ibadah hati. Menurut buku itu
dalam bab 7, “Using Mindfulness for Yourself and Others”, singkatnya,
“Doing
mode is energetic and all about carrying out actions and changing things. Being
mode is a soothing state of mind where you acknowledge things as they are.”
Menurut saya, buku ini layak
untuk dibaca berkali-kali meski ada riwayat-riwayatnya yang tidak mudah
dicerna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar