Rabu, 20 Januari 2021

2. KENAPA HARUS ITB

Risky asal saja naik angkot tanpa melihat jurusan. Tahu-tahu ia terdampar di Alun-alun.

Saat menapaki trotoar, ia gamang.

Ia mampir ke Palaguna, melihat-lihat kaset terbaru, poster-poster film yang sedang diputar, lalu menjauh.

Ia berpapasan dengan seorang anak gelandangan. Penampilannya sungguh tak keruan: rambut lengket, muka cemong, pakaian compang-camping, aroma pesing menyengat.

Ia menaiki jembatan, ke tingkat teratas.

Dari luar, jembatan itu terlihat enak ditongkrongi. Tapi di dalamnya terdapat beberapa gubuk kardus. Lantainya bebercak-bercak hitam. Aroma tak sedap berpusar.

Risky melipat kedua lengannya di atas palang pembatas dan memandangi arus kendaraan di bawah. Ia memikirkan ulang bayangan-bayangan yang melintas di benaknya kemarin malam: kabur dari rumah, keluyuran di jalan, dan, ketika uangnya habis, loncat dari jembatan sembari memeluk RX-78-2.

Pundaknya makin berat saja.

Turun dari jembatan, ia berteduh dari terik matahari di pelataran Masjid Agung. Ia membuka kembali komik Doraemon jilid dua yang sebelum berangkat tadi sempat ditambahkannya ke dalam ransel, cerita "Hari Kelahiranku".

"Tak bergairah. Belajar ... belajar, begitu terus," ucap Nobita. "Beri tahu Ibu, aku sudah bosan. Aku ingin dipercaya!"

"Kalau begitu, mulailah dari dirimu sendiri," kata Ibu.

"Tak ada cara lain. Salahmu sendiri," sahut Doraemon.

"Apakah aku bukan anak kandungnya?" tanya Nobita. "Dipungut dari mana?! Kalau anak kandung, tak akan dimarahi keterlaluan seperti itu. Aaa .... Ibu kandungku, di mana kau?"

Risky membalik halaman-halaman.

"Anak kita besok jadi apa, ya?"

Nobita mendengar suara dari balik pintu tempat kedua orang tuanya bercakap.

"Pasti besok jadi anak yang baik. Cakep dan selalu berbakti pada orang tua."

"Ah, bahagianya kita," ucap Ibu Nobita.

"Kesepian kita telah berakhir," sambut Ayah Nobita. "Aku ingin anak kita besok jadi orang terkenal."

"Aku pun begitu dan kita pun akan lebih bangga," ujar Ibu Nobita.

"Tuh dengar! Bebanmu banyak sekali," kata Doraemon pada Nobita. Keduanya berada di balik pintu ruangan tempat ayah dan ibu Nobita tengah berbincang.

"Aku ingin anak kita rajin belajar," Ayah Nobita melanjutkan.

"Dan selalu jadi juara kelas," Ibu Nobita menyambung.

Risky mengangkat kepala. Di seberangnya, seorang lelaki meraih lengan seorang perempuan. Tapi lelaki itu ditampik dengan kasar. Pasangan itu bertikai, menarik tatapan banyak orang di seputar mereka. Lelaki lain masuk, "Heh, heh, pasea tong di masjid!" Pasangan itu terdiam, beringsut, memasang alas kaki, dan melanjutkan urusan mereka seketika kaki mereka lepas dari lantai masjid. Risky menunduk lagi.

"Ayah, kenapa melihatku seperti itu?" tanya Nobita, yang telah menghambur masuk ke ruangan. Doraemon mendorong Nobita keluar lagi.

Nobita merenung. "Rasanya mereka sudah tak sayang lagi padaku."

Di panel berikutnya, Nobita belajar sampai matanya berupa tanda tambah.

"Nobita, sudah malam, Nak, nanti kamu sakit," kata Ibu Nobita.

"Ayo Nobita, tidur. Besok kamu harus bangun pagi," kata Ayah Nobita.[1]

Risky memandang panel itu sejenak. Lalu ia mendapati pasangan tadi telah menjauh beberapa jengkal dari lantai masjid, duduk di undakan. Tampaknya si perempuan menangis.

Risky memasukkan komik ke ransel, beranjak dan mengedarkan pandang ke jalan.

Yang terdekat itu ke ITB, pikirnya. Selanjutnya Unpad. Kalau ke Ikip, jauh ke atas dan lagi bukan kampus orang tuanya.

Ia tidak tahu angkot jurusan ke ITB, tapi tahu arahnya. Ia mengenakan lagi sepatunya, memasang headphone, dan melangkahkan kaki.

.

Masuklah Risky ke Jalan Ganesa, melewati barisan mobil berlapiskan tahi burung, menghadapi gerbang berhiaskan rimbun kembang kertas yang lagi mekar-mekarnya, disambut spanduk: "SELAMAT DATANG PUTRA DAN PUTRI TERBAIK INDONESIA."

Risky menunduk, meninjau pakaiannya mulai dari sepatu kets, celana jin, kaus, yang ditutupi jaket, dan ransel di punggungnya. Sudahkah cukup untuk menyaru sebagai mahasiswa--putra terbaik Indonesia?

Risky menegakkan badan, memasang tampang percaya diri.

Nanti kalau entah bagaimana ada yang tanya, ia akan mengaku sebagai mahasiswa sini. Jurusan ... Teknik ... Fisika. Ya, itu saja deh. Memang itu pilihannya sewaktu UMPTN kemarin, mengikuti jurusan Papa dulu sewaktu kuliah di sini.

Risky berusaha mengendalikan gerakan kepala dan arah matanya biar tidak terlihat terlalu celingukan bak turis. Tapi, sebagaimana turis yang baru pertama kali jalan-jalan di ITB, tak terelakkan juga memandangi bentuk-bentuk bangunannya, lapangannya, tangganya, kolamnya, pohonnya, mahasiswa-mahasiswinya ....

Tidak seorang pun mengacuhkan dia, tapi Risky tetap menjaga pandangan agar jangan sampai bertatapan dan menarik perhatian putra-putri terbaik Indonesia. Seakan-akan kalau pandangan mereka sampai bertemu, putra-putri terbaik Indonesia itu akan menyatroninya, menginterogasi, "Heh, benar kamu putra terbaik Indonesia?" dan ternyata ia putra terbodoh Indonesia.

"Risky?"

Astaga! Memang takdirnya jadi putra terbodoh Indonesia. Mau mengaku dari jurusan apa dia tadi?

"Eh .... Risky, bukan, yah?"

Hitam, keriting, dan berkacamata, Risky juga merasa kenal. Tapi, siapa namanya? Risky ingat orang ini sepertinya pernah duduk di sebelah dia, dulu, karena teman sebangku sewaktu ... di SMA ....

"Erik. Masih ingat, enggak?"

"Eh, iya, iya ...." Risky menyengir.

"Kamu juga keterima di sini, Ki? Jurusan apa?"

"Eh ..." apa tadi? "Teknik Fisika. Kamu?"

"Biologi. Eh, Teknik Fisika mah bareng atuh sama si Dodi."

"Dodi?"

"Iya, yang dulu duduk depan kita, sebelum kamu pindah."

Oh .... Erik, Dodi ... anak-anak yang duduk di sekitar dia dulu, yang ....

"Zaki di Teknik Sipil, Cipta Teknik Elektro. Koko di Arsitektur. Ngabring tadi kita di rektorat, daftar ulang. Banyak lah anak dari kelas kita dulu yang lolos ke ITB. Paling banyak seangkatan kayaknya."

... yang suka minta jawaban padanya saat ulangan, yang melakukan suatu padanya sehingga dia malas melanjutkan sekolah, sehingga ia dikeluarkan dari SMA negeri yang terbilang favorit itu, dan hanya SMA swasta yang mau menerima dia tanpa mensyaratkan tinggal kelas.

"Woi, Erik!"

Rupanya keempat orang itu sedang duduk-duduk di pinggir teras gedung seberang, sedari tadi memerhatikan Erik dan Risky.

"Woi, ini si Risky!" Erik balas berteriak. "Yang gambarnya alus tea, anjing!" Gambar buatan Risky bagus, katanya. "Hayuk, Ki," ajak Erik mendekati mereka. Tapi Risky sudah lenyap.

Goblok! Goblok! Kenapa lari!? Walau sebetulnya Risky berjalan secepat-cepatnya, menjauhi teriakan yang memanggil-manggil namanya. Langkahnya baru melambat setelah membelok ke Jalan Dago arah BIP.

Sialan! Sialan! Berengsek! Anjing! Dulu gue yang paling pintar di antara mereka! Tapi tetep gue yang paling hina! Kenapa mereka semua pada bisa lolos ke ITB?!

Risky berputar-putar sendiri di pinggir jalan.

Coba kalau gue terus di SMA itu. Coba kalau--dan ia teringat lagi ulah anak-anak itu. Wajahnya memerah. Lehernya mendeguk-deguk.

Bangsat! Bangsat! Bangsat!

Ia lanjut berjalan cepat sampai rumahnya di sekitar Buah Batu.

.

Hidup Risky sebelumnya santai-santai saja. Pulang sekolah siang-siang, lalu makan sambil menonton TV diawasi Simbok. Setelah itu, kadang ia tidur. Sore ia bisa menonton TV lagi, tapi biasanya Simbok rewel mengingatkan dia pada PR atau ulangan. Kadang ada juga anak-anak tetangga yang bertandang ikut menonton TV atau ingin melihat-lihat bacaan dan mainannya. Malam ia bisa menonton TV lagi, tapi kalau tidak ada acara yang menarik lagi--lagi pula salurannya cuma TVRI--ada banyak pilihan bacaan dan mainan sambil menunggu Mama pulang. Belajar pun kadang ia lakoni dengan sukarela, walau seringnya karena disuruh Simbok. Apalagi ketika di tengah belajar itu Mama pulang, pujian mengalir sampai ia tidur nanti.

Di Jepang, sering kali tidak ada pilihan selain belajar. Apalagi karena kendala bahasa, Risky mesti belajar lebih keras daripada anak-anak di kelasnya. Jam sekolah di Jepang lama pula, sampai sore. Ditambah lagi, beberapa hari dalam seminggu ada les bahasa Jepang. Malam ia masih harus belajar lagi. Ia masih sempat menonton TV barang sebentar, tapi sudah itu saja.

Di luar itu, Risky tidak nyaman di rumah. Pernah sepulang sekolah ia mendapati Mama lagi menonjok-nonjok bantal. Risky cuma menaruh tas lalu keluar lagi, berusaha tanpa suara. Lalu ia keluyuran saja dan berakhir di taman yang sepi dekat rumah, duduk di ayunan menunggu sampai hari benar-benar gelap baru pulang. Malam biasanya Papa sudah pulang, masakan siap, dan Risky tinggal makan sebelum mengurung diri di kamar--belajar seperlunya lalu langsung tidur.

Risky tidak menyadari bahwa pada waktu ia duduk-duduk melamun di ayunan itu, ada yang mengenali dia. Shigeo tiap hari pulang melewati taman itu, mendapati seraut wajah familier yang tertekuk murung. Pada awalnya ia acuh tak acuh, namun diam-diam berusaha mengingat-ingat. Begitu ingat, ia terkikik geli sampai susah berhenti. Lama Risky dalam pikiran Shigeo, hingga timbul ide untuk memulai perkenalan kembali. Shigeo memutari taman lalu bersembunyi di semak-semak belakang Risky. Ia mengambil sebutir kerikil lalu melemparkannya ke kepala anak itu. Tepat sasaran. Shigeo memang pitcher yang andal di tim bisbol sekolahnya. Risky menoleh, celingukan, dan cuma mendapati beberapa lansia di kejauhan. Ia mendongak. Mungkin tadi itu ranting jatuh.

"Adaw!"

Kena lagi. Shigeo cekikikan.

Risky waspada. Ia tidak lagi tenang duduk-duduk saja. Namun setelah ia bangkit dan berjalan pergi, ada yang memanggil dia dari belakang. Ia menoleh dan melihat seorang remaja berseragam gakuran sedang menyengir padanya. Wajah itu sepertinya tidak asing.

"Kamu pernah makan malam di rumahku, kan?" tegur Shigeo.

Risky tertegun.

"Eh, sudah bisa bahasa Jepang?" tanya Shigeo.

Risky mengangguk-angguk.

Shigeo memberikan isyarat agar Risky duduk kembali di ayunan. Ia sendiri duduk di ayunan sebelah Risky.

"Kamu masih ingat namaku?" Shigeo bertanya pelan-pelan, supaya Risky dapat menangkapnya baik-baik.

Terus terang Risky tidak ingat. Saat bertamu bersama kedua orang tuanya--tidak lama setelah ia dan Mama menyusul Papa ke Jepang--Risky lebih banyak memerhatikan interior rumah Shigeo yang semitradisional. Ia mengabaikan percakapan yang berlangsung. Lagi pula saat itu ia baru sedikit sekali mengenal bahasa Jepang. Yang ia tahu, sama seperti dirinya, Shigeo juga anak tunggal namun usianya beberapa tahun lebih tua. Saat itu Shigeo sudah SMP. Nantinya saat Shigeo masuk SMA, Risky ke SMP.

"Panggil aja aku Shigeo," lanjut remaja itu.

"Risky."

"Risuki," ulang Shigeo sambil tersenyum.

Setelah pertemuan itu, senja yang dilalui Risky di taman tak begitu temaram lagi. Shigeo kerap lewat di balik pagar taman, memanggil dan melambaikan tangan. Risky balas menyapa dan hatinya menjadi sedikit ceria.

Lalu Shigeo mulai mengajak Risky main ke rumahnya. Saat bertemu Risky untuk kedua kali, ibu Shigeo heran. Ia tidak segera mengenali Risky, dan tumben Shigeo membawa teman yang lebih kecil. Shigeo menjelaskan tentang Risky, dan sempat ia membisikkan sesuatu pada ibunya. Lalu wanita itu terperangah dan tiba-tiba menutupi mulutnya. Matanya tampak geli. Seketika saja ibu Shigeo bersikap sangat ramah kepada Risky. Keluarga itu kerap menjamu kolega asing ayah Shigeo beserta keluarga masing-masing, namun tidak ada yang bertingkah sekonyol anak Indonesia ini saat tak sengaja makan wasabi untuk pertama kali. Risky melonjak dari tempat duduknya, menjejak-jejakkan kaki, dan berlari-lari sambil menjulurkan lidah. Segera setelah peristiwa itu, Risky melupakannya tapi keluarga Shigeo tidak.

"Kamu makan malam di sini aja. Nanti aku antar pulang," kata Shigeo. "Boleh kan, Bu?"

"Eh, apa nanti orang tuanya enggak khawatir?" tanya Ibu Shigeo.

"Telepon aja."

Sementara Risky menelepon ke rumah, Shigeo membisiki ibunya. "Bu, keluarin wasabi lagi."

"Jangan ah, kasihan."

Tapi mereka punya umeboshi. Mereka menyembunyikan seringai girang saat Risky memejamkan matanya rapat-rapat, mulutnya mengerucut menahankan asam yang keterlaluan, dan badannya menggeliat saking tak tahan.

Kamar Shigeo membukakan dunia baru pada Risky, yang menjadikan tahun-tahun berikutnya selama di Jepang tertahankan. Shigeo mengenalkan Risky pada Nintendo, manga, sampai Gundam, yang nantinya membuat Risky kerap merengek pada orang tuanya agar punya sendiri. Apalagi di Jepang ternyata ada banyak sekali jenis bacaan dan mainan yang belum masuk ke Indonesia. Kalau bisa, Risky ingin memiliki semua-muanya!

Banyak gambar cewek nyaris telanjang di koleksi manga Shigeo. Ketika hendak pulang dari kunjungan pribadinya yang pertama kali itu, Risky dihadiahi Shigeo salah satu manga miliknya yang sudah agak kucel. Judulnya Cutie Honey. Melihat kovernya, Risky menyembunyikan buku tersebut di balik bajunya. Ia bertekad untuk menjaganya baik-baik dan jangan sampai orang tuanya mengetahui keberadaan barang itu. Bila sedang sendirian di kamar, ia membuka manga itu, berusaha membacanya, dan semangatnya belajar bahasa Jepang pun melejit supaya bisa benar-benar memahami artinya. Buku komik itu sampai lecek, saking seringnya dibaca dan saking lamanya kesempatan untuk beli sendiri tiba. Tiap kali pergi ke pusat perbelanjaan bersama orang tuanya, Risky dibolehkan untuk membeli satu barang saja. Sering kali ia terpaksa mendahulukan Gundam rakitan atau gim daripada manga.

Tiap kali melihat Shigeo lewat di depan taman, Risky berharap akan diajak main lagi. Tapi sering kali pemuda itu cuma melambaikan tangan, malah kadang seperti yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri sampai-sampai tidak menoleh. Paling sering sebulan sekali Risky diajak main lagi ke rumah Shigeo. Kesempatan yang bagi Risky jarang-jarang itu memang sudah dianggap sering oleh ibu Shigeo. Wanita yang awalnya ramah sekali itu mulai terlihat sungkan saat Shigeo membawa Risky ke rumah untuk kesekian kali.

Risky sudah berada di kamar Shigeo, bersiap main Nintendo. Shigeo sendiri sedang keluar kamar. Pintu ditutup, namun Risky masih dapat menangkap percakapan antara Shigeo dan ibunya.

"Kamu kan sudah SMA. Jangan main terus. Harus belajar lebih keras. Kalau tidak bisa masuk universitas bagus, nanti susah dapat pekerjaan bagus."

"Iya, sudahlah!"

Shigeo kembali ke kamar sambil menyembunyikan kedongkolan, tapi Risky masih dapat melihatnya.

Kalau tidak bisa masuk universitas bagus, nanti susah dapat pekerjaan bagus. Perkataan ibu Sigeo itu tidak pernah dipikirkannya sampai sekarang ini.

Padahal, sebenarnya, sejak Risky SMA, Mama sudah kerap menyindirnya. Tiap kali ada saudara atau tetangga yang mulai kuliah di perguruan tinggi negeri ternama, atau melihat Pak Habibie di televisi, Mama selalu bilang pada Risky. "Kalau bisa sih kuliah di luar negeri. Jerman, gitu, kayak Pak Habibie. Kalau enggak bisa, di ITB juga enggak apa-apa. Papa kamu aja bisa, masak kamu enggak?"

Mama juga suka berbual, "Dulu cowok yang mau pacaran sama Mama banyak. Tapi yang ITB cuma Papa kamu."

Risky tidak pernah benar-benar mendengarkannya. Ia menganggap Mama cuma lagi usil, seperti sewaktu tahu-tahu menyorongkan fotonya semasa muda dalam kostum penari daerah. Lalu Mama mencerocos tentang pengalamannya diundang menari ke sana kemari di depan para pejabat. "Ini waktu Mama seumur kamu lo."

Risky juga mendengar tentang teman-teman Mama semasa kuliah di Unpad yang telah menjadi dosen, diplomat, peneliti di lembaga asing, pengusaha kafe di Bali, atau istri bule yang tinggal di manalah pokoknya Eropa Barat, dan masih pada aktif bekerja. Mama sendiri tidak pernah lolos beasiswa pertukaran pelajar atau lowongan bekerja di luar negeri. Risky tidak pernah berkomentar atas pencapaian ataupun aspirasi yang tidak kunjung kecapaian itu. Ia tidak pernah mengindahkan perkataan Mama, sampai sekarang ini.

Mungkin universitas bagus memang jaminan untuk mendapatkan pekerjaan bagus. Papa dan Mama yang sama-sama lulusan PTN ternama itu memang punya--atau pernah punya--pekerjaan bagus, setidaknya dari kecil Risky termasuk anak paling makmur di antara teman-temannya. Banyak teman Risky yang di samping punya banyak saudara sehingga mesti berbagi juga ibunya di rumah saja seperti Simbok. Sedangkan Mama, di samping bekerja di hotel megah juga tidak punya anak selain Risky. Setelah Mama tidak bekerja dan memberinya adik pun, Risky masih dijatah uang saku yang cukup untuk membeli barang-barang yang dia inginkan--walau bukan yang sangat-sangat mahal dan kadang-kadang ia perlu menabung dulu.

Suatu hari, orang tuanya tidak akan memberi dia uang lagi; ia mesti punya penghasilan sendiri untuk membeli barang-barang yang dia inginkan. Barang-barang itu bukan sekadar buku, kaset, dan model kit, melainkan juga rumah, mobil, kebutuhan sehari-hari untuk istri, anak-anak-anak mungkin.

Berapa besarkah penghasilan yang mesti dia peroleh untuk dapat memenuhi semua itu? Penghasilan besar mesti dari pekerjaan bagus ... universitas bagus?

Baru sekarang, Risky berpikir akan masa depannya yang, kata Andy Liany, lebih kejam dari sekarang. Judul lagunya "Kami Harus Diselamatkan".

Ia harus menyelamatkan diri dari kejamnya masa depan.

Kenapa baru terpikirkan sekarang? Kenapa tidak sedari mendengar ibu Shigeo berkata begitu ia langsung mencamkan dan membangun ambisi? Kenapa tidak sedari dipermalukan Erik dan kawan-kawannya di SMA ia bertekad untuk membuktikan diri? Ia tidak akan menyia-nyiakan UMPTN yang baru saja lewat itu. Ia tidak akan melalui saat ini sambil terbengong-bengong dalam kebegoan. Seorang diri, berteman sepi dan angin malam mencoba merenungi tentang jalan hidup ini ....

Pada saat seperti inilah, Risky butuh berbicara kepada kekasihnya. Gadis itu sesungguhnya sibuk luar biasa: merekam album baru, berpose sebagai model, belum lagi berakting untuk film dan sinetron. Tapi, ia juga tidak pernah pergi dari hati Risky.

Risky melangkahkan kaki, mengambil map yang disimpannya di laci nakas. Map itu dibukanya, dan disimaknya wajah yang terpajang di balik plastik. Dibelainya.

"Nike, adakah kasih suci?"

Wajah yang bercahaya terang itu menyinari dirinya, menyejukkan bak embun pagi; wajah dambaan insan di dunia ini.

Ha ha ha haaa haaaaaa ....

"Ya, Risky," ucap Nike, sekonyong-konyong hadir di depannya, duduk di sebelahnya di tepi tempat tidur. "Aku mengerti kebimbangan hatimu yang penuh tanda tanya."

"Kamu mengerti." Risky terharu. Ia meraih tangan gadis itu dan menciumnya. Seharum bunga.

"Sekarang saatnya menentukan sikapmu dengan satu keyakinan, dan kamu harus tabah menjalaninya."

"Iya, Nike," sahut Risky lembut. Kedua tangannya menggenggam tangan gadis itu, dan ia memandang mata yang bulat itu dalam-dalam. "Bintang 'kan bersinar. Bahagia 'kan datang."

Gadis itu tersenyum.

Risky plong.

Hanya Nike di dada

Yang membuatku mampu

Selalu tabah menjalani ....

Risky menutup map dan bersamaan dengan itu pergi juga Nike, mungkin kembali ke studio rekaman.

Risky bangkit dan mengumpulkan buku-buku pelajarannya selama SMA, juga buku-buku latihan soal baik dari bimbingan belajar maupun yang dibelikan Mama pada minggu-minggu terakhir menuju UMPTN. Ia menumpuk semuanya di meja, lalu duduk dan membuka salah satunya. Ia mulai membaca, lalu menutupnya lagi.

Mulai besok saja. Sekarang sudah malam, sebaiknya tidur ....

.

Sabtu pagi, Risky terbangun oleh sentakan Mama.

"Udah UMPTN, jangan malas-malasan!" Mama melangkahi barang-barang Risky yang bergeletakan di lantai, mencapai jendela, dan menarik gordennya. Serta-merta cahaya matahari merajam penglihatan Risky. "Kamar kayak kandang babi!"

Babi kan lahir dari ibu babi! gerundel Risky. Dengan malas, ia bangkit dan duduk.

Papa menghampiri ambang pintu kamar Risky yang terbuka lebar-lebar. "Ayo, Ki, lihat-lihat kampus swasta."

Risky mengingat percakapannya semalam dengan Nike. Hatinya tidak lagi bimbang penuh tanda tanya. Ia telah menentukan sikap, satu keyakinan. Ia akan tabah menjalaninya. Bintang 'kan bersinar, menerangi hidupnya. Bahagia 'kan datang.

"Aku enggak mau kuliah di swasta," Risky menyatakan keputusannya. "Aku mau belajar buat UMPTN tahun depan. Aku mau ke ITB."

"Alah, paling malas-malasan aja di rumah!" sergah Mama.

"Apa enggak mau sambil kuliah?" tanya Papa.

"Sambil kerja, kek!" sembur Mama.

"Enggak," tegas Risky. Ia melangkah ke meja belajarnya yang kini disirami cahaya matahari. Ia duduk dan membuka satu buku, menampakkan konsentrasi penuh.

"Hah, buang-buang waktu aja!" keluh Mama.

Risky mendengarkan langkah Mama menjauh.

Tidak ada yang sia-sia. Pengalaman yang lalu menjadi akar yang menunjang tekadnya. Akar tunjang, bukan akar serabut. Risky bangga masih mengingat pelajaran Biologi. Ini akan menjadi awal yang baik.

Lalu disadarinya bahwa ia telah menatap paragraf yang sama tanpa memahami sedikit pun isinya. Ini pelajaran apa sih? Risky mengangkat separuh buku untuk melihat sampulnya. Saat menoleh itu, ia mendapati Papa sedang berdiri di belakangnya entah sedari kapan.

"Yakin, enggak sambil kuliah?" Papa mendelik atau memang matanya sangat besar--Risky tidak pernah yakin yang mana.

"Y-y-ya-ya-kin ...." Risky berusaha menekan tanda tanya di ujung ucapannya.

"Apa enggak bisa sambil kuliah?"

"Enggak."

"Memangnya enggak bisa bagi waktu?"

"Enggak--"

"Apa enggak mau belajar bagi waktu?"

"Enggak! Aku mau fokus! Aku butuh konsentrasi!" Risky berdiri, setengah membentak Papa yang kini tidak lebih tinggi dari badannya. Ia tidak bermaksud menantang, tapi entah kalau Papa menganggapnya demikian. Hantaman Papa biasanya tidak terprediksi. Kapan pun itu, Risky siap saja bila mesti berkelahi lagi.

Tapi Papa cuma, "Hm," lalu meninggalkan kamarnya.


[1] Doraemon 2 oleh Fujiko F. Fujio, alih bahasa oleh Arnida Masliza, terbitan PT Elex Media Komputindo, Jakarta, cetakan pertama Desember 1991, cetakan ketujuh November 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain