Sepulang dari Jepang, mereka kembali
tinggal di Tangerang. Risky masuk kelas tiga SMP. Tidak lama setelah itu, Papa
mendapat penempatan baru. Risky melanjutkan ke SMA di Bandung.
SMA pertama Risky, seperti yang sudah
disebutkan, adalah SMA negeri yang terbilang favorit. Pada awalnya, Risky
mengikuti pelajaran dengan baik. Tuntutan belajar keras selama di Jepang masih
membekas. Malah ia menjadi sasaran sontekan bagi anak-anak di sekitarnya, Erik
dan kawan-kawan.
Mereka menaruh perhatian pada Risky
bukan hanya pada waktu mengerjakan ulangan dan PR. Pada pelajaran-pelajaran
yang membosankan, kalau sedang tidak ada bacaan menarik untuk diintip, Risky
suka mencoret-coret bagian belakang bukunya. Objek yang bisa digambar Risky
pada waktu itu cuma dua, yang sekaligus menjadi memorabilianya dari pengalaman
tinggal di Jepang: berbagai model robot dari anime kegemarannya serta aneka
pose dari koleksi majalah porno Shigeo. Yang menarik perhatian anak-anak di
sekitarnya tentu saja yang belakangan itu.
Shigeo menyimpan koleksinya di bawah
kasur. Begitu kasurnya diangkat, tampak majalah porno berjejer-jejer. Majalah
biasanya ditaruh di bagian belakang toko. Orang bisa membuka plastiknya dan
melihat-lihat isinya tanpa mesti membeli. Kerap kali Risky tergoda untuk
menjangkau yang sudah dibuka, tapi terlalu malu untuk mendekat. Shigeo sendiri
tidak suka membeli, tapi menyelundupkan majalan itu di balik bajunya. Kerap
kali Risky diminta bantu mengawasi supaya tidak ada yang memergoki aksinya itu.
Setiap majalah yang berhasil dibawa pulang dianggap Shigeo sebagai tropi.
Shigeo pernah menghadiahi Risky salah
satu tropinya itu. Risky menyimpan majalah itu di tempat yang dia anggap paling
aman di kamarnya. Tapi, entah bagaimana, suatu kali Papa mengetahuinya. Dengan
gulungan majalah itu, Risky ditampar. Ia tidak pernah melihat majalah itu lagi.
Di Indonesia, yang begitu lebih susah
didapat. Yang mudah paling-paling membaca novel erotis, tapi mesti membayangkan
sendiri. Kalau novel itu miliknya, Risky melipat halaman yang berisikan adegan
itu supaya langsung ketemu bila sewaktu-waktu memerlukan bahan fantasi. Tapi,
karena sudah pernah melihat yang jelas (walau tidak secara langsung),
sesungguhnya Risky tidak puas. Ia coba memanggil ingatan-ingatan nan
mengesankan itu--pose-pose favoritnya--merekamnya dalam kertas.
Gambar Risky memang kasar karena ia
tidak menguasai anatomi. Tapi kelihatannya masih lebih bagus daripada
sketsa-sketsa yang tersebar di dinding bilik-bilik ruang ganti kolam renang
Centrum. Erik dkk sendiri kemampuan menggambarnya tidak sampai setaraf Risky.
Erik meminta Risky memberikan gambarnya.
Risky menurut saja. Ia tidak mengira bahwa suatu hari karya seninya akan
terpampang di papan mading.
Sudah begitu, nama dan kelasnya tertera
di sudut kertas.
Terang Risky langsung mengetahui siapa
pelakunya. Diiringi pandangan jijik cewek-cewek, termasuk cewek yang sedang
jadi incarannya waktu itu, Risky meninggalkan papan mading, menuju kelasnya,
dan menonjok Erik. Dodi dan lain-lain berusaha melerai keduanya, namun jelas
kepada yang mana mereka berpihak. Keduanya dipanggil ke ruang BK.
Di ruang BK, Risky diminta tinggal lebih
lama daripada Erik. Guru BK yang menangani dia tampak terkesan oleh gambarnya.
"Sebetulnya kamu ada bakat,"
kata guru pria itu. "Coba saja dipakaikan baju," sembari mengulurkan
gambar itu kembali pada pembuatnya.
Risky memandangi gambar itu, mencoba
membayangkan sebuah baju. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi segan. Guru pria
itu memerhatikan dan mendorongnya, menunggu, hingga Risky bersuara, "Saya
enggak cita-cita jadi modiste, Pak."
Guru itu termangu, dan bertanya,
"Lalu apa cita-cita kamu?"
Ganti Risky yang terkelu.
Cita-citaku ... apa?
Pertanyaan itu bergulung-gulung di benak
Risky, dan tidak kunjung terjawab. Sementara itu, ia mulai segan bersekolah.
Tiap hari bertemu anak-anak yang telah berulah padanya itu, kegondokannya
bertambah. Mereka bertingkah padanya seperti yang tidak bersalah.
Ia mulai mogok bersekolah. Pagi-pagi
dari rumah ia mengenakan seragam, tapi perginya ke tempat umum. Keluar dari WC,
putih abunya berganti jadi pakaian biasa. Ia keluyuran di jalan, keluar masuk
pusat perbelanjaan, lihat-lihat mainan, makan di restoran, baca buku di
perpustakaan, dan kadang melamun saja di atas jembatan, memerhatikan orang lalu
lalang, menghitungi Suzuki yang seliweran, menyaksikan tawuran dari kejauhan,
apa pun sampai waktunya pulang sekolah. Kadang ia lanjut kelayapan, kadang juga
langsung pulang. Sebelum pulang ia mengganti lagi pakaiannya dengan seragam
sekolah.
Sekalinya Risky kembali ke sekolah, itu
karena diseret orang tuanya yang telah mendapatkan pemberitahuan. Pihak sekolah
memberikan Risky pilihan: boleh tetap bersekolah di situ tapi tinggal kelas,
atau naik kelas tapi di sekolah lain. Orang tua Risky berusaha memasukkan dia
ke sekolah negeri lain, tapi semuanya mengajukan syarat yang sama.
"Sekolah lain" yang dimaksud rupanya hanya sekolah swasta, dan bukan
sembarang sekolah swasta melainkan yang diketahui umum sebagai tempat buangan
anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri.
Risky kembali pergi ke sekolah. Tapi
pelajaran sekolah benar-benar sudah tidak menarik baginya. Guru-gurunya tampak
cuek, apalagi murid-muridnya. Risky bisa melewatkan seharian di sekolah, setiap
pelajaran, sambil menunduk, entahkah untuk baca komik atau novel, main Game
Boy, atau tidur, tanpa ada yang menegur. Kalaupun ada guru yang rewel, Risky
masih bisa menggambar karena dari jauh toh terlihat seperti yang sedang
mencatat pelajaran.
Untuk mengejar kualitas sekolah negeri,
Risky didaftarkan dan diwanti-wanti agar mengikuti bimbingan belajar dan kursus
bahasa Inggris sepulang sekolah. Untuk kursus bahasa Inggris, Risky cukup
berminat menghadiri. Tapi untuk bimbingan belajar, ia datang semaunya saja.
PR dikerjakan asal-asalan. Bahan ulangan
dibaca sepintas lalu baru semalam sebelum waktunya. Menjadi misteri bagaimana
ia bisa naik tingkat demi tingkat. Tahu-tahu saja sudah waktunya kelulusan. Hanya
sedikit murid dari sekolah itu yang berminat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Bahkan untuk UMPTN pun, ia menerapkan sistem kebut semalam.
Mengenang masa SMA hingga UMPTN yang
silam, Risky tahu tidak akan mungkin ia lolos UMPTN yang berikut tanpa mengubah
cara belajarnya. Ketika melihat soal-soal, berusaha mengerjakan salah satunya,
roda-roda di otaknya terasa seret. Mungkin berkarat, perlu diminyaki, atau
apalah, sebab ketika dipaksakan bergerak padahal baru sebentar saja kepalanya
sudah pening.
Ketika melihat-lihat buku pelajaran
kelas 1, Risky tahu, ia akan membutuhkan satu tahun ke depan--satu tahun PENUH,
tanpa disambi kuliah di kampus swasta atau kerja atau apalah mau orang
tuanya--untuk mengejar ketertinggalan tiga tahun.
Ia akan belajar sendiri dengan buku-buku
yang sudah ada padanya. Ia tidak harus mengandalkan bimbingan belajar, guru
privat, atau apapun yang berbayar. Tidak, dengan Mama yang terus saja berkoar
tentang tiga tahun uang SPP dan biaya bimbel yang tersia-siakan, tentang
dirinya sendiri yang tidak lagi punya penghasilan, tentang harga-harga yang
terus naik, dan tentang sejuta hal lain yang akan mengiringi Risky belajar
selama satu tahun ke depan ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar