Buku ini aku temukan
di lemari berisi koleksi buku Mama, ketika aku hendak mengumpulkan buku-buku
petunjuk menulis. Buku ini diterbitkan tahun 1979 oleh Djambatan (Jakarta) atas
kerja sama dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, namun, menilik coretan di pojok
kiri atas halaman belakang, baru dibeli Mama tanggal 8 November 1984. Wow, saat
itu usia kami sama. Lembar paling belakang tersebut bertajuk “Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab
oleh peserta sayembara:” Halaman kedua berisi beberapa pertanyaan yang
personal, yang memberiku gambaran seperti apa Mama saat seusiaku. Lembar itu
tidak dikirim karena tenggatnya tanggal 31 Maret 1980. Seandainya saja ia
membeli buku ini lima tahun lebih cepat, ia masih memiliki peluang untuk
memenangkan satu di antara tiga hadiah menarik dan sepuluh hadiah hiburan. Ya
ampun. Jangan-jangan aku cinta delapan puluhan karena suka menelusuri buku-buku
koleksi Mama. Harga buku ini hanya Rp 1.000,- korting 15% bahkan—berapa time value of money-nya kalau
dikonversikan ke masa kini?
Buku berjudul Kisah Belanda Sepanjang Zaman: Modern
ini memuat sepuluh kisah dari sepuluh pengarang Belanda—A. Koolhaas
(“KUMPULAN”), Simon Carmiggelt (“PERI KEHIDUPAN”), W.F. Hermans
(“LOO-LEE”), Gerard Reve (“MALAM NATAL SUSTER MAGNUSSEN”), Jan Wolkers
(“PENYENGAT”), Harry Mulisch (“PUTERA MAHKOTA”), Bob den Uyl (“BANGKITNYA
KEGUSARAN”), Heere Heeresma (“TUAN FRITS DAN NONA LENI”), Hans Vervoort
(“PEMEGANG BUKU”), dan J. M. A. Biesheuvel (“TUAN MELLENBERG”) yang
dikumpulkan Piet Calis kemudian diterjemahkan Hanzil Tanzil. Piet Calis adalah
seorang dosen Bahasa dan Sastra Belanda, yang pernah bekerja di Universitas
Indonesia tahun 1975-1977. Adapun Hanzil Tanzil adalah pimpinan Pusat Kesenian
Jakarta dan sekretaris Himpunan Penterjemah Indonesia, yang telah berlatih
menerjemahkan sejak di sekolah menengah. Karya terjemah Hazil Tanzil yang lain di
antaranya Kisah Jerman Sepanjang Zaman (dua
jilid: klasik dan modern)—yang-aku-menyesal-kenapa-ibuku-tidak-membelinya-juga-pada-saat-itu-mana-ia-bisa-menerawang-anaknya-suatu-saat-akan-tertarik-dengan-Jerman?
Jumlah halaman tiap kisah
beragam—ada yang pendek seperti “PEMEGANG BUKU” (Hans Vervoort) dan ada yang
panjang semisal “BANGKITNYA KEGUSARAN” (Bob den Uyl). Kisah-kisah tersebut bersumber
dari terbitan tahun ‘40-‘70-an awal. Sesekali pembacaan disela potret para pengarang
yang seluruhnya pria. Pengarang yang tertua lahir tahun 1912 (A. Koolhas),
sedang yang termuda tahun 1939 (J. M. A. Bieshuevel). Setiap kisah diawali
dengan keterangan yang menarik (biografi singkat pengarangnya) maupun
mengganggu (sinopsis sekaligus komentar terhadap kisah yang akan ditampilkan—spoiler alert!).
Setiap pengarang
memiliki keunikannya masing-masing yang sekiranya mewarnai karya yang
dihasilkan. A. Koolhaas misal, konon ia pernah mengurung diri di kandang ayam
untuk mengamati bagaimana perilaku hewan tersebut. Bob den Uyl dan J. M. A.
Bieshuevel pernah mengalami gangguan jiwa. Harry Mulisch memiliki pandangan unik
terhadap para penjahat perang yang mengirim korban mereka ke kamp konsentrasi: ...pemusnahan suku-suku bangsa yang mereka
lakukan dari meja tulis, lebih banyak didorong oleh perasaan tak acuh daripada
oleh rasa benci. … Ia sebetulnya bukan seorang penjahat, ia adalah seorang yang
sanggup melaksanakan dengan sempurna apa saja yang diperintahkan padanya. …
(halaman 61). Gerard Reve menulis roman yang bikin aku penasaran karena
sepertinya menggambarkan apa yang kualami di usiaku sekarang, De Avonden. Karya-karya Jan Wolkers dan
J. M. A. Biesheuvel bersifat autobiografis. A. Koolhaas pernah ke Indonesia,
bahkan Hans Vervoort lahir di Magelang! Dan sebagainya.
Kisah-kisah yang ditampilkan
umumnya realis. Penuturan sepenggal momen dalam kehidupan sehari-hari secara
detail. Kecuali kisah dari A.Koolhaas (“KUMPULAN”) yang berupa fabel. Tokoh utamanya
adalah seekor burung camar. Juga “PUTERA MAHKOTA” dari Harry Mulisch.
Sejujurnya aku tidak begitu menangkap kisah tersebut menceritakan apa.
Mama suka kisah “TUAN
MELLENBERG” dan merasa teridentifikasi dengan pengarangnya, yaitu J. M. A.
Bieshuevel. Kisah tersebut merupakan pengalaman pengarangnya saat dirawat di
klinik psikiatri. Mama selalu suka kisah tentang orang gila. Favoritnya yang
lain adalah kumpulan cerpen Catatan Harian
Orang Gila karangan Lu Xun dari penerbit Jalasutra.
Sedang aku sendiri
lebih tertarik dengan “PERI KEHIDUPAN”, “LOO-LEE”, “PENYENGAT”, “BANGKITNYA
KEGUSARAN”, dan “TUAN FRITS DAN NONA LENI”. “PERI KEHIDUPAN” semacam sketsa
mengenai kehidupan suami-istri dalam nuansa jenaka. Ketidakberdayaan suami di
rumah ketika istrinya ingin bersantai sesekali di hotel. “LOO-LEE” adalah nama
sebuah sungai yang kotor (mengingatkanku pada Sungai Cikapundung yang sewarna
susu Milo), di mana seorang anak kecil membiarkan adiknya ditenggelamkan anak lain
yang lebih besar. Kukira yang dimaksud dengan “PENYENGAT” adalah lebah.
Hubungan antara ayah yang kasar dengan anak yang jahil(?). “BANGKITNYA
KEGUSARAN” bikin aku ingin menuturkan pengalamanku sendiri dengan gaya serupa:
potongan-potongan peristiwa yang entah apa kaitannya namun terjadi secara
kronologis. Hanya kisah ini yang menggerakkanku untuk menandai kalimat-kalimatnya
dengan pensil (salah satunya telah kupajang sebagai status di Facebook),
sementara Mama menyorot kalimat-kalimat mengena baginya dalam buku ini dengan
stabilo warna hijau, yah, maklum, buku ini kan miliknya. Membaca “TUAN FRITS
DAN NONA LENI” serasa menonton film komedi romantis yang bikin aku
terkekeh-kekeh sendiri seraya menanti adegan ehemnya.
Adapun “TUAN
MELLENBERG” yang notabene pamungkas dalam kumpulan ini, mengingatkanku pada
film It’s Kind of a Funny Story
(2010). Situasi dalam kedua kisah tersebut hampir serupa. Seorang muda di
tempat untuk para pengidap sakit-jiwa. Walau tokoh dalam film lebih muda, dan
agaknya hanya menderita galau yang wajar bagi anak seusianya. Barangkali itu
yang menyebabkan kesan dari “TUAN MELLENBERG” tidak sekuat yang ditimbulkannya
pada Mama. Aku sudah pernah mengonsumsi kisah semacam itu sebelumnya. Tapi
mungkin juga karena aku tidak begitu terobsesi dengan kisah tentang orang gila.
Tapi mungkin juga karena aku ingin memiliki kesukaanku sendiri. Sudahlah.
Kisah lainnya. “MALAM
NATAL SUSTER MAGNUSSEN” menceritakan nasib malang seorang wanita yang hidup
sendirian saat disambangi Santa Klaus palsu (baca: sepenangkapanku). “PEMEGANG
BUKU” sebetulnya menarik, tentang bagaimana pegawai korup menanggung getah dari
perbuatannya. Tapi keduanya tidak menimbulkan kesan sekuat kisah-kisah lain
yang telah kusinggung.
Hasil terjemah buku
ini tidak begitu enak menurutku. Walau aku masih bisa menangkap emosi dari
situasi-situasi tertentu dalam kisah-kisah tertentu. Dan menikmatinya. Sepertinya
kesan yang ditimbulkan akan lebih mengena apabila aku memahami bahasa Belanda,
dan membaca buku ini dalam bahasa aslinya tersebut. Untuk saat ini aku baru
bisa berkhayal.
Banyak orang betah
melakukan riset supaya bisa menulis sesuatu yang sebelumnya tidak mereka
kuasai. Banyak pula orang menulis demi uang. Maka kututup pembacaan ini dengan kalimat dari Bob den Uyl dalam “BANGKITNYA
KEGUSARAN” yang menggelitikku.
“…janganlah menulis tentang hal-hal yang engkau tidak
kuasai sepenuhnya, maka dapat disimpulkan, bahwa hal itu hanya dilakukan untuk
memperoleh uang, dan itu memuakkan sekali.” (halaman 71)
Bakal betul-betul
membangkitkan kegusaran kukira. He.[]
:D senang baca review-nya dan tau kalo buku ini masih ada.
BalasHapusDulu aku baca Kisah Jerman Sepanjang Zaman di perpusatakaan sekolah SMAN 1 Surabaya, yang alur cerita dan gaya bahasanya yang agak berbeda dengan pengarang Indonesia di masa yang sama. Desain covernya yang sederhana, selalu kuingat :D
Apa ada versi PDFnya ya?
Sudah pasti susah nyari copy aslinya karena buku ini udah lama banget diterbitkan.
Wah, kalau ada versi pdf-nya, apalagi dari negara2 lain, saya juga mau, Mbak, hehehe.
HapusTerima kasih, Mbak Audee, sudah berkunjung dan meninggalkan jejak :D