http://www.johnadouglas.com/wp-content/uploads/2009/08/HarveyPekar1.jpg |
Crumb menyukai konsep Harvey, dan mau mengerjakan ilustrasinya—Harvey
sebetulnya tidak bisa menggambar. Dan demikianlah kisah lahirnya komik serial American Splendor. Selanjutnya Harvey
bekerja sama dengan sejumlah ilustrator lain dalam mengerjakan komik mengenai
dirinya itu, bukan hanya dengan Crumb. Orang-orang di sekitarnya senang melihat
diri mereka menjadi bagian dari komik tersebut. American Splendor semakin dikenal. Dipentaskan di teater.
Dikumpulkan dan diterbitkan oleh penerbit ternama. Penulisnya diundang berkali-kali
ke acara Late Show with David Letteman
(yang kalau di Indonesia mungkin semacam Bukan
Empat Mata atau Hitam Putih).
Namun Harvey tetaplah Harvey, apapun yang telah American Splendor hantarkan untuknya. Ia
masih petugas berkas. Ia masih mencemaskan segala sesuatu. Dalam wawancara di
film, Joyce mengatakan bahwa sebetulnya ada saja hal-hal membahagiakan dalam
hidup mereka, tapi Harvey tidak memasukkan itu. Harvey pikir kebahagiaan tidak
akan membuat karyanya laku.
I’m just the gloomy guy. It’s my perspective: gloom and doom.
Tampak bahwa Harvey memang menyukai penderitaan, menerimanya
sebagai bagian dari hidupnya, selamanya. Karena penderitaannya, American splendor-nya, sikap negatifnya pada
dunia itulah yang mencetuskan kreativitasnya untuk membuat komik yang terbilang
“baru” pada zamannya, lalu dari komik itu ia mendapatkan penghasilan tambahan,
ketenaran, bahkan Joyce pun pada awalnya mengenal Harvey dari American Splendor. Misery loves company, Harvey bilang.
Bertahun-tahun setelah American
Splendor dan The Quitter,
tepatnya pada tahun 2010, Joyce menemukan Harvey meninggal. Yang menurutku
tragis adalah karena kematian Harvey bukan disebabkan oleh kanker yang pernah diidapnya (fase ini muncul di penghujung film), melainkan akibat obat antidepresan.
Individualisme
Yang aku dapatkan dari kisah Harvey Pekar adalah lebih dari
sekadar soal mencari pekerjaan, tetapi mengenai kehidupan secara keseluruhan.
Aku bukan jagoan jalanan. Aku tidak memiliki pengalaman kerja, maupun pasangan
yang pas seperti Joyce pada Harvey. Aku tidak terhubung dengan orang yang benar-benar
dapat melancarkan karier menulisku. Dan sejumlah perbedaan lain… tapi ada pula
sejumlah persamaan antara aku dengan Mbah Pekar yang membuatku merasa
teridentifikasi: 1) Kami suka mudah. Ketika suatu hal terasa sulit bagi kami,
kami akan meninggalkannya. 2) Kami pribadi insecure.
Apapun hal baik yang terjadi pada kami, kami akan selalu merasa khawatir,
gelisah, cemas, dan sebagainya. 3) Kami hanya tertarik dengan diri sendiri.
Kami menginginkan cerita yang serealistis mungkin. Kalau perlu kami bikin sendiri
cerita yang benar-benar mewakili diri kami. Simak saja pengantar Harvey dalam
film ini.
So if yer lookin’ for romance or escapism or some fantasy
figure to save the day, guess what? Ya got the wrong movie.
Ada adegan dalam film di mana Toby merasa teridentifikasi
dengan film Revenge of the Nerds,
tapi Harvey dengan keras menyanggahnya. Karena nerd dalam film itu tidak mencerminkan Toby dengan sesungguhnya. Kehidupan
mereka lebih baik dari kehidupan Toby. Ini persis dengan ketika aku mengomentari teman-temanku (cewek) yang doyan komedi romantis dari negara-negara Asia Timur, padahal mereka tidak pernah punya pacar. Jelas-jelas eskapisme. 4) Harvey mengoleksi piringan hitam, aku
suka membeli buku. Rasanya seperti kecanduan. 5) Kadang kami terlalu serius dalam menanggapi suatu hal.
Novel grafisnya maupun filmnya benar-benar menyentilku, man! (ikutan cara bicara Paul Giamatti
di film). Terutama saat menonton filmnya, aku ingin ketawa-ketawa sendiri. It makes you feel good to know there’s other
people afflicted like you, menurut kutipan dari Harvey Pekar yang aku
temukan di Goodreads. Lalu ketakutan sesudahnya. Aku menemukan diriku sendiri,
dan apakah aku akan berakhir seperti Harvey? Minus ketenaran. Minus pekerjaan.
Minus pasangan. Minus apapun yang ia miliki tapi tidak kumiliki saat ini dan
tidak yakin akan memilikinya sampai kapanpun.
Aku juga tidak lantas tertarik untuk mulai menulis kisah
tentang diriku sendiri. (Walau sebenarnya aku sudah melakukannya, ngomong-ngomong). Apalagi aku hidup pada zaman di mana semua orang
menulis kisah tentang dirinya sendiri, di blog,
di Facebook, di Twitter, di novel-novel inspiratif. Tina Fey dengan
kehidupannya sebagai kepala penulis acara TV dalam serial 30 Rock. Raditya Dika sebagai representasi anak muda perkotaan dari
kalangan menengah (ke atas?) dengan kegalauan berasmara mendominasi hidupnya dalam
Kambing Jantan dan sekuel-sekuelnya.
Kalau menurut klasifikasi Andrea Ford dan Eric Dodds di TIMES edisi 20 Mei 2013 halaman 32-33, aku (dan siapapun yang lahir
antara tahun 1980-2000) adalah The Milennials—The ME ME ME Generation—dengan tingkat
kemalasan dan kenarsisan yang menjulang jika dibandingkan dengan
generasi-generasi sebelumnya. Setiap orang ingin menunjukkan keunikannya, dan
aku hanya akan tenggelam ditelan keunikan milyaran orang lain.
Kalau aku pernah mengenyam pendidikan filsafat, aku mungkin
akan meninjau bacaan dan tontonan mengenai Harvey Pekar ini dari aspek
eksistensialisme. Atau realisme, kalau aku mahasiswi Sastra. Tapi aku tidak paham
soal itu. Sebagaimana ketika habis membaca novel Ranah
Tiga Warna aku jadi terdorong untuk merantau, ketika berhasil menamatkan The Quitter aku malah tersungkur. Menceritakan
diri sendiri. Sebagaimana Harvey Pekar. Dengan sejujur-jujurnya. Kami hanya ingin menjadi diri kami sendiri, seburuk apapun
itu. Dan kami tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki diri
ini! Sementara orang lain mungkin lebih suka melarikan diri pada omong-kosong dan lamunan, dan mimpi. Kukira Harvey Pekar tidak pernah
menyinggung soal mimpi baik dalam The
Quitter maupun American Splendor—ia
malah terkesan menjauhinya. Agaknya ia tidak bisa mempercayai apapun yang tidak
pasti, tidak tampak, dan barangkali itu sebabnya ia selalu merasa cemas. Ia
bahkan tidak mengerti kenapa Toby mau menghabiskan waktu untuk berdoa—memohon untuk
sesuatu yang tidak pasti pada sesuatu yang tidak tampak. Adegan itupun
dipungkas Toby dengan,
Well, Harvey, I like the ritual. And I’m
very spiritual person. You know, you should try believing in something bigger
than yourself. It might cheer you up.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar