Di Summerhill kamu bebas bermain-main,
selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun! Kamu boleh
tidak mengikuti pelajaran kalau kamu tidak ingin. Kamu bahkan tidak harus bisa
membaca, apalagi menulis. Kamu boleh merokok, mengumpat. Di sini kita tidak
bicara soal baik dan buruk. Kami tidak peduli apa agamamu. Kita merumuskan
aturan bersama-sama. Kamu boleh menentang usul kepala sekolahmu, dan ia tidak
akan merasa terhina sama sekali! Kami hanya ingin memberikanmu kebebasan dan
kasih sayang, mengganti kebencian dan ketakutan di dalam dirimu dengan
kebahagiaan dan keberanian!
Tidak mengherankan apabila kebijakan
Sumerhill menuai banyak kontroversi. Inspektorat Pendidikan Inggris sulit
memberikan akreditasi untuk sekolah ini. Harold Hart, editor buku tentang Summerhill edisi Amerika Serikat,
melakukan banyak penyesuaian supaya buku tersebut diterima pasar di sana. Bagaimanapun
juga Summerhill mampu berdiri hingga puluhan tahun, bahkan menarik banyak murid
dari berbagai negara di luar Inggris.
Alexander Sutherland Neill telah
berpengalaman sebagai guru maupun kepala sekolah sebelum mendirikan sekolah slengean ini pada tahun 1921. Di
sekolah-sekolah umum ia mendapati guru bagaikan dewa kecil yang memperlakukan siswa
bak tentara di barak-barak militer. Sistem yang otoriter akan membuat siswa
tidak bahagia, sedang ketidakbahagiaan adalah sumber kejahatan, kebencian, dan
perang. Anak bermasalah akibat perlakuan salah terhadap mereka di rumah dan di
sekolah, sehingga sepatutnya orangtua dan gurulah yang bertanggung jawab.
Neill percaya bahwa kebebasan akan
membawa kebahagiaan. Untuk membersihkan anak dari sifat buruk, kita harus
membiarkan mereka menyalurkan hasrat-hasratnya. Mengekang egoisme anak hanya
akan membuatnya lebih buruk lagi saat dewasa. Di Summerhill penerapan ide ini
menimbulkan kekacauan tentu saja. Banyak barang yang rusak dan hilang. Banyak
yang terganggu atas ulah yang lainnya. Untuk itulah setiap malam Minggu
diadakan Rapat Umum yang dihadiri seluruh siswa dan staf sekolah. Dengan
demikian kebebasan dikendalikan secara demokratis melalui prinsip swakelola.
Aku pribadi sebetulnya ragu dengan yang
dinamakan “kebebasan”. Walaupun aku tidak yakin untuk mengklaim diri sebagai moralis,
religius, dan responsif, tapi agaknya pendidikan yang kuterima selama ini telah
membentukku menjadi orang yang masih mengindahkan baik-buruk, agama, dan
respek. Hal-hal seperti itu yang malah disingkirkan Neill demi “kebebasan”.
…kami berupaya menciptakan sekolah yang membiarkan
anak-anak bebas jadi diri mereka sendiri. Untuk itu, kami mesti membuang
jauh-jauh semua ketertiban, semua arahan, semua anjuran, semua pengajaran
moral, semua pengajaran agama. –halaman 43
Sejak awal pembacaan buku ini aku
menangkap kebebasan yang diterapkan di Summerhill tetap menuai masalah yang
harus diatasi. Setiap orang bertingkah semaunya, membuatku ngeri. Anak-anak
merusak bengkel dan kebun Neill. Neill menendang balik anak yang menendangnya.
Pada akhirnya Summerhill memang berhasil
mencetak alumni-alumni yang percaya diri, bahagia dengan pekerjaannya, dan
disenangi atasannya. Tapi ada pula siswa yang tidak berhasil dididik sehingga
dipulangkan, atau lulus namun merasa tidak cukup memperoleh sesuatu bahkan
mengatakan Summerhill telah menghancurkan hidupnya. Seolah sama halnya dengan
aku yang menderita selama bersekolah di SMAN *, tapi toh banyak alumni
sealmamater yang sukses.
Di sisi lain ulasan Neill mengenai
psikologi perkembangan anak membuatku lebh memahami keadaanku sekarang. Aku
juga suka dengan pendapatnya berikut.
…saya lebih suka sekolah yang mencetak tukang sapu
yang bahagia daripada sekolah yang menghasilkan sarjana neurotik. –halaman 44
Jikalau Anda mempunyai filosofi hidup yang bagus,
jenis pekerjaan yang Anda tekuni niscaya bukan hal terpenting bagi Anda. –halaman
112
Buku tentang Summerhill edisi Indonesia
diterbitkan Serambi dengan judul Summerhill
School – Pendidikan Alternatif yang Membebaskan (cetakan I tahun 2007). Terjemahannya
enak, walau pembacaanku tersandung banyak kata yang bikin aku heran. Untuk apa
teks ini diterjemahkan kalau pembacanya masih perlu buka kamus, walau dalam
kasus ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia. Adakah dikau mafhum kata-kata
berikut: arkian, ahmak, kasdu, kalis, lamun, lelawa, makul, alufiru, dan banyak
lagi yang akan menambah perbendaharaan kita, namun akan menyusahkan pembaca-praktis.
Keinginan untuk membaca buku ini timbul
setelah aku menyadari isu pendidikan alternatif dalam buku yang sebelumnya
kutamatkan, Klub Film. Aku juga
menyetel ulang film Alangkah Lucunya
(Negeri Ini)[1],
yang menyuarakan pendidikan alternatif khususnya bagi para bocah pencopet. Tentunya
masih banyak contoh yang menunjukkan bahwa pendidikan (formal) tidak bisa
berlaku bagi setiap anak, entah tidak mampu atau tidak cocok.
Bagiku “pendidikan” adalah bidang yang
labil. Kita tidak bisa menerapkan metode yang sama pada semua anak. Metode yang
tidak tepat malah akan membuat anak membenci kehidupannya[2]. Kalau kita
ingin mengoptimalkan potensi seorang anak, maka ia perlu diperlakukan secara
khusus. Ada metode untuk setiap anak. Tapi adakah setiap anak mendapat orang
dewasa yang peduli dan bisa membimbingnya?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar