Minggu, 08 Desember 2019

RIP CanoScan LiDE 20 dan Ihwal Perklipingan

Scanner ini sudah berada di rumah kami sejak sekitar 2010--mungkin saja lebih awal, saya tidak ingat pastinya. 2010 itu saya ingat benar karena terekam dalam blog ini, di balik label diari grafis. Rangkaian komik setrip itu mengungkapkan kegalauan saya yang waktu itu masih berkuliah di Yogyakarta sementara terjadi bencana erupsi Merapi. Idenya tidak datang sendiri, tapi karena pada waktu itu memang sedang ada suatu event semacam NaNoWriMo hanya saja untuk diari grafis dan rentangnya lebih singkat. Karena merasa pernah bisa menggambar, saya pun terpicu untuk mencoba bikin juga.

Di samping untuk keperluan pamer pemajangan hasil kreativitas, scanner terutama berguna untuk membuat salinan dokumen-dokumen penting. Misalnya saja, ketika mengikuti seleksi CPNS, peserta akan diminta mengunggah hasil pindai pasfoto, KTP, ijazah, transkrip nilai, surat lamaran, dan sebagainya. Hasil pindai dokumen-dokumen penting tersebut juga berguna sebagai cadangan, kalau-kalau yang asli rusak atau hilang (tapi mudah-mudahan jangan sampai, ya.)

Nah, kalau sedang tidak ada keperluan formal seperti itu, dan bukan pula orang yang keranjingan berkreasi secara visual, scanner pun menganggur.

Untung, di rumah ada koleksi majalah lawas, di antaranya Matra. Cerpen-cerpen Matra ditulis oleh pengarang-pengarang ternama, baik dari Indonesia maupun mancanegara. Sayang rasanya bila dinikmati sendiri saja, sehingga timbul inisiatif untuk memindainya dan menyimpannya di tempat yang bisa diakses oleh orang lain. (Walaupun, ternyata, untuk menyebarluaskan informasi ini memerlukan usaha lain.)

Ketika mengetahui bahwa situs Kliping Sastra Indonesia mengadakan segmen cerpen lawas, saya pun menawarkan diri untuk membagi koleksi ini. Saya bisa saja sekadar memberikan hasil pindai. Tapi, dipikir-pikir, tentu enggak enak apabila mesti mengetik ulang dari hasil pindai. Maka saya pun bersukarela untuk mengetikkan ulang cerpen dari media cetak ini, sedangkan hasil pindai yang dikirim cukup ilustrasinya saja. Kegiatan ini berlangsung selama bertahun-tahun, walaupun tidak teratur. Setelah koleksi Matra habis, pindahlah saya ke Femina, Bobo, dan sebagainya judul-judul majalah lawas yang ada.

Kemudian timbul ide untuk membuat media kliping sendiri.

Ibu saya yang guru Sejarah gemar mengkliping artikel sejarah dari media cetak, entahkah koran, majalah, atau tabloid. Map-map hasil klipingnya sudah ada banyak, menyimpan artikel-artikel dari tahun 1970-an sampai belakangan, dan diberi label menurut masa atau peristiwa, sebut saja "Sejarah Islam di Indonesia", "Zaman Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan", "Perang Kemerdekaan", "Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan 1945-1949", "PKI & G30S", dan seterusnya. Hingga suatu kali saya mendengar ibu saya mengeluhkan kebiasaannya ini. "Capek-capek, enggak terbaca," begitu kira-kira.

Maka saya pun membuat blog yang isinya khusus kliping artikel sejarah dari media cetak. Di samping menyertakan hasil pindai artikel, saya juga mengetiknya ulang supaya lebih mudah diakses. Harapannya, barangkali ada yang sedang mencari informasi sejarah di internet lalu nyasar ke blog itu.

Belakangan terpikir untuk mengkliping tentang yang lain-lainnya juga. Kadang saya membuka koran atau majalah lawas yang tidak memuat cerpen, dan menemukan ada saja artikel menarik yang ingin saya "abadi"kan--barangkali akan ada yang menikmatinya juga. Satu lagi tema khusus yang menarik saya yaitu tentang ekonomi alternatif, khususnya cara-cara yang dapat dilakukan untuk menghemat uang atau energi dan dengan begitu berdampak baik bagi lingkungan serta masyarakat. Adapun topik-topik lainnya masih menyangkut literasi atau hal-hal yang bisa bikin saya relate.

Dengan begini, scanner pun termanfaatkan terus. Walaupun yang dipindai kadang hanya gambarnya saja, sedang teksnya saya ketik ulang. Karena waktu luang saya ada banyak dan kecepatan mengetik saya lumayan, maka saya menikmatinya saja sekalian meresapkan informasi yang ada di artikel.

Di luar hobi kliping, ketika saya aktif lagi di Goodreads, adakalanya saya membaca buku yang datanya belum ada di platform tersebut sehingga mesti saya tambahkan sendiri. Gambar kover buku bisa saja dicari di Google. Tapi adakalanya buku tersebut sudah lawas sehingga tidak ada gambar kovernya yang cukup layak di internet. Kalau gambar kovernya sekadar dipotret dengan kamera smartphone, tentu kualitasnya masih kalah dibandingkan dengan hasil pindai scanner.

Sayang, rupanya masa pakai scanner ini ada batasnya. Minggu sebelumnya, saya masih dapat menggunakannya untuk suatu keperluan formal. Senin kemarin, saya masih dapat memindai satu artikel sejarah. Rabu berikutnya, ketika saya hendak mengkliping lagi, scanner ini berbunyi aneh dan yang muncul di tampilan hanya warna putih saja--tidak ada gambarnya. Saya mencoba berkali-kali, hasilnya sama saja.

Saya pun mencari informasi tentang jam buka dan lokasi service center untuk produk Canon yang ada di kota saya. Terakhir kali saya datang ke sana--sekitar pertengahan 2010 untuk menanyakan harga servis kamera digital yang layarnya pecah--lokasinya masih di sekitar Jalan Lengkong Besar, kalau enggak salah. Sekarang rupanya kantor ini sudah pindah alamat ke Paskal Hyper Square.

Kamis siang itu, di kantor yang sepi, giliran saya pun tiba setelah tidak lama menunggu. Dengan ramah tapi terlalu cepat sehingga saya terbengong-bengong, mbak-mbak di balik konter menerangkan tentang bagian dalam mesin yang pada dasarnya hanya begini dan begitu.

Mbak-mbak itu membandingkan kondisi scanner yang saya bawa ini dengan kondisi scanner milik orang lain yang pernah dibawa ke situ. Kalau jarang dipakai, barang elektronik seperti scanner bisa berkarat, sedangkan yang saya bawa ini masih bagus dan memang tidak pernah ada masalah selama menggunakannya. Diam-diam saya merasa bangga dengan kegiatan mengkliping saya, hahaha. Eh, astagfirullah.

Lalu mbak-mbak itu mengatakan bahwa karena scanner ini diproduksi lebih dari tujuh tahun yang lalu, maka suku cadangnya sudah tidak tersedia. Satu-satunya solusi adalah dengan tukar tambah atau membeli yang baru.

Eh, gimana, gimana?

Tukar tambah berarti meninggalkan scanner lama di situ untuk selama-lamanya, dan membawa pulang yang baru dengan membayar Rp 800.000--pas.

Membeli yang baru berarti membawa pulang scanner lama untuk disimpan saja di rumah, berdebu, dan berkarat, selama waktu yang tidak ditentukan, dan membeli yang baru di tempat lain yang bisa saja harganya kurang dari Rp 800.000.

"Jadi memang sudah waktunya rusak, ya?"

Mbak-mbak itu terus saja tersenyum lebar dengan ramahnya.

Seketika saya jadi ingat sama istilah built-in obsolescence, yang pernah dibahas oleh Mark Boyle dalam bukunya, The Moneyless Manifesto. Mungkinkah ...?

Setelah saya menelepon yang empunya scanner (: yang dulu membelinya dengan harga sekitar Rp 200.000), diputuskan bahwa akan membeli yang baru saja. Scanner itu pun saya bawa pulang.

Sekarang, sampai ada scanner yang baru, sepertinya kegiatan mengkliping mesti vakum.

Berdebu dan berkaratlah dalam damai, CanoScan LiDE 20.

2 komentar:

  1. So, is it time to get a new scanner? I don't know if I could understand the story well, my translation is not that good! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes, I need a new scanner! ^^;
      Thanks for your coming and comment! :)

      Hapus

Banyak Dibuka

Pembaruan Blog Lain