Setelah 200 tahun lebih, baru terbit satu buku lagi yang memberi petunjuk rinci untuk bunuh diri. Ditemukan jenazah yang tengah memegang buku tersebut.
SEMANGAT berani mati pada orang Jepang kambuh lagi. Cuma, berbeda dengan zaman kamikaze yang telah bikin sengsara bangsa lain hingga Perang Dunia II, di zaman komputer ini orang Jepang masih luas dilanda pikiran suntuk yang bermuara pada bunuh diri.
Menurut Keisatsucho (kepolisian Jepang), tahun lampau tercatat 22.104 kasus bunuh diri, meningkat seribu lebih dari tahun sebelumnya. Pelakunya 14.296 adalah pria. Catatan "Buku Putih Bunuh Diri" itu menunjukkan pula lonjakan korban remaja dan mereka yang separuh baya. Yaitu, mereka yang berusia di bawah 20 tahun naik 70 kasus dan yang berusia 40 tahun ke atas naik 285 kasus.
Musabab meningkatnya angka tadi, menurut polisi, adalah banyaknya penganiayaan dan kekerasan di sekolah, serta makin terasanya resesi ekonomi. Dalam buku tadi juga dirinci lokasi bunuh diri. Terbanyak terjadi di rumah sendiri, di laut, danau, dan sungai. Juga di gunung, rumah sakit, gedung tinggi, dan dalam kendaraan.
Cara menghabisi nyawa sendiri yang paling populer adalah menggantung diri. Berikutnya, ada yang terjun dari gedung jangkung, meloncat ke tebing terjal, menenggelamkan diri, atau menenggak racun dan memilih memakai gas. Kasus paling sedikit adalah menjerembapkan diri di depan kereta api yang sedang melaju.
Tradisi harakiri ini sudah berlangsung berabad-abad, dan itu bisa dilacak intinya di buku kuno Hagakure (Daun Terpendam). Buku karangan Tsunemoto Yamamoto ini memperkenalkan seni untuk mati alias bushido atau jalan samurai. Yamamoto hidup tahun 1659-1719, pernah menghamba pada Nabeshima, penguasa di daerah Saga, Pulau Kyushu, pada zaman Shogun Tokugawa.
Meski zaman samurai disilih era komputer, di tengah surga fasilitas untuk menikmati hidup, orang Jepang belum seluruhnya merdeka dari dorongan melakukan bunuh diri. Misalnya, akibat suntuk urusan keluarga, gara-gara penyakit, musabab sekolah, atau karena patah hati dalam bercinta.
Jadi, ternyata masih lumayan banyak pecandu jisatsu (bunuh diri) di negeri anak cucu Tenno Heika itu. Padahal, sudah ada pusat pencegahan, dan ada nomor telepon khusus polisi yang siap melayani mereka yang putus asa. Para calon pembunuh diri dipersilakan meminjam kuping polisi untuk menumpahkan sekeranjang keluhan. Dengan demikian, diharapkan, mereka batal menghabisi riwayatnya di dunia fana ini.
Belum diketahui, sejauh mana pusat pencegahan itu mampu menahan semangat bunuh diri di Jepang. Namun, gelagatnya kian meruyak--dan situasi ini ada yang meliriknya bagai lahan bisnis khas--yang melahirkan Hagakure abad komputer. Peluang ini diisi Wataru Tsurumi, 39 tahun, yang baru-baru ini mengarang buku The Complete Manual of Suicide.
Buku seharga 1.200 yen--sekitar Rp 20 ribu--itu seperti buku petunjuk untuk calon pembunuh diri. Segala cara bunuh diri dimuat di situ, dilengkapi contoh kasusnya. Misalnya, cara memilih obat yang tepat dijelaskan sepanjang 41 halaman. Dan obat itu ada yang mudah didapat tanpa resep dokter.
Diuraikan di situ jenis obat antimabuk kendaraan, yang mengandung zat pembunuh. "Minum saja 30 tablet. Harganya 800 yen untuk enam tablet. Lebih jitu diminum bersama obat tidur," tulis Tsurumi. Selain itu, juga ditunjukkan pelbagai benda yang amat akrab dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat yang dapat menyudahi denyut jantung.
Rokok, sabun, bensin, minyak tanah, dan garam, misalnya, menurut buku itu, bisa diramu hingga menjadi racun. Kemudian masih ada pembuka jalan ke arah kematian dengan menjerat leher di tali gantungan, terjun, menyayat nadi, dan sebagainya. Sekaligus juga ditunjukkan tempat-tempat yang layak untuk bunuh diri, seperti Aoigahara Jukai di kaki Gunung Fuji. Jatahnya sampai enam halaman.
Kawasan seluas 2.500 hektare ini, dengan pepohonan tinggi yang lebat, pernah dijuluki majalah Time sebagai belantara bunuh diri. Masuk ke rimba itu lumayan sukar, apalagi keluar, sehingga dianggap ideal oleh peminat bunuh diri. Tempat itu jadi terkenal setelah Seicho Matasumoto menulis cerita bersambung di sebuah majalah wanita 1959-1960. Di situ, lokasi tadi disebut sebagai tempat bunuh diri seorang istri yang dikhianati suaminya.
Polisi tiap tahun melakukan pemeriksaan. Mereka menemukan 30-40 mayat yang diperkirakan bunuh diri di rimba setan itu. Dan pertengahan Oktober lalu, 300 personel polisi serta petugas pemadam api menemukan lima mayat serta satu pemuda yang masih luntang-lantung di situ.
Selain itu, polisi juga menemukan, dua di antara jenazah yang terkapar memegang buku Tsurumi. Walhasil, baik polisi maupun kepala desa setempat amat jengkel terhadap buku setebal 198 halaman itu. "Ah, mereka bunuh diri bukan karena membaca buku saya, sebab dalam buku itu saya hanya menunjukkan bunuh diri sebagai alternatif," kata Tsurumi kepada koran Yomiuri.
Ed Zoelverdi dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Sumber: Tempo Nomor 35 Tahun XXIII - 30 Oktober 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar