Baru April 2014 ini aku terpikir untuk mengumpulkan cerpen dan membacanya secara
bulanan. Cara yang lebih ringan ketimbang mengumpulkan cerpen dalam setahun sekaligus dari lima harian nasional, yang per tahun bisa mencapai dua ratusan, dan membacanya mau-tak-mau di layar komputer pula sehingga tentunya mata lama-lama akan berat. (Tapi aku mungkin akan melakukan lagi yang seperti itu, kapan-kapan). Tapi blog Lakon Hidup tempat aku mengunduh cerpen-cerpen itu tidak selalu bisa diharapkan, tahun 2013 sempat jarang update. Sementara, di
rumah orangtuaku berlangganan Pikiran
Rakyat (selanjutnya kusingkat jadi PR) dan Kompas.
Pernah dulu Republika tersedia secara
kontinyu juga di rumah. Dulupun sewaktu SD aku pernah menyobeki cerpen dari PR,
Kompas, Nova, dan entah apa lagi, lalu mengumpulkannya dalam satu map.
Kubawa ke kasur untuk dibaca sebelum tidur. Tapi sudah amat lama aku tidak
ingat memegangnya lagi. Sepertinya map itu sudah dibuang oleh Mama. Sayang
sekali. Pengumpulan cerpen sebenarnya sudah kulakukan lagi sejak bertahun-tahun
terakhir ini, dari Kompas dan PR itu. Tapi aku melakukannya kalau sedang
ingin saja. Akibatnya koleksiku tidak lengkap dan aku tidak peduli untuk
melengkapinya. Lagipula setelah terkumpul, bundel itu terbenam saja di dasar
rak, ditimpa tumpukan kertas yang isinya macam-macam, tak terbaca.
Pada April 2014 ini terdapat empat hari Minggu (tanggal 6, 13, 20, dan 27)
sehingga ada delapan cerpen yang kudapatkan dari dua harian. Harian pertama
yaitu PR. Lingkupnya regional Jawa Barat
(dan Banten?). Cerpen dimuat di halaman 23, yang judulnya PERTEMUAN KECIL,
bersama-sama puisi dan “Wisata Bahasa”. Harian kedua berlingkup nasional yakni Kompas. Cerpen terdapat di halaman 20,
SENI, bersama-sama esai yang tidak selalu bicara soal sastra, tapi juga
meliputi berbagai bentuk seni lainnya seperti teater, wayang, atau patung, dan
tidak selalu kubaca karena tidak mengerti. Aku membaca cerpen-cerpen itu secara
berurutan berdasarkan tanggalnya, yaitu mulai dari tanggal yang termuda,
selang-seling antara PR dan Kompas. Agaknya
aku mendahulukan PR karena proximity.
Mungkin...
Tadinya aku terpikir untuk menulis pembacaan untuk tiap-tiap cerpen
sepanjang satu halaman buku tulis. Tapi setelah membaca cerpen pertama, aku
kehilangan minat. Setelah membaca cerpen keempat, aku melipat kumpulan cerpen
itu lagi dan meletakkannya di depan untuk dibaca lagi, entah kapan. Kuduga aku
punya masalah dengan cerpen. Tapi aku tidak hendak meruwetkannya di sini. Bagaimanapun
dari empat cerpen pertama, ada satu cerpen yang menurutku mending, membuatku
senyam-senyum sesudah membacanya, yaitu “Bidadari Serayu” dari Sungging Raga (Kompas, 6 April 2014). Kalau bukan
kereta, yang dibicarakannya adalah sungai, Sungging Raga itu, tapi tidak
selalu. Menarik ketika seorang penulis tampaknya senang mengangkat satu hal
secara terus-menerus. Entah itu tema, atau latar tempat, atau malah karakter—seperti
Nick Adam (atau Adams? Atau Addams?) dalam cerpen-cerpen Hemingway. Seolah satu
hal itu begitu penting atau begitu sering dia temui dalam hidupnya sehari-hari,
sehingga dia memikirkan atau terpikirkan olehnya terus-menerus.
Awalnya aku kurang begitu senang dengan cerpen ini. Bagaimana ya...
Baru-baru ini aku membaca beberapa tulisan di internet tentang kalimat pertama
yang menjerat, sebagaimana dalam novel Metamorfosis Kafka, yang memengaruhi sastrawan termasyhur yang sedang banyak dibicarakan
karena belum lama ini meninggal, Gabriel Garcia Marquez. Dalam artikel tentang
Marquez yang ditulis Anton Kurnia di PR, 28/04/14, dikatakan bahwa banyak
pengarang Indonesia yang terpengaruh oleh Marquez. Dan mungkin juga Kafka. Aku pernah
membaca Metamorfosis dalam edisi
bahasa Indonesia di perpustakaan kota Jogja. Aku tamatkan buku itu nyaris dalam
sekali duduk karena tipis. Sedang Marquez, aku baru membaca cerpennya, “A Very Old Man with Enormous Wings” dan beberapa tulisan tentang novelnya yang
tampaknya paling digembar-gemborkan, Seratus
Tahun Kesunyian, yang kalimat pertamanya sama memikat dengan kalimat
pertama dalam Metamorfosis. Dengan
pembacaanku yang baru sedikit dan tidak mendalam itu, aku tidak punya kapasitas
menjelaskan bagaimana karakteristik karya Kafka, Marquez, maupun para pengarang
Indonesia yang terpengaruh oleh salah satu dari mereka atau malahan keduanya. Hanya
dengan feeling dan kesoktahuan karena
beberapa kali membaca tulisan yang menyebut-nyebut “realisme magis”, ciri yang dikatakan melekat pada kesusastraan Amerika Latin dan Marquez termasuk di antaranya, tanpa
benar-benar memahaminya, aku menerka-nerka agaknya cerpen “Bidadari Serayu” ini
terpengaruh oleh hal-hal yang tersebut tadi itu. Coba baca kalimat pertamanya: Di sungai Serayu, pada suatu pagi tahun
1886, ditemukan sesosok mayat lelaki mengambang, tubuhnya tersangkut di salah
satu besi penyangga bendungan. Oh, bukankah ini menarik? Kita ingin tahu
mengapa bisa sampai ada mayat yang tersangkut di bendungan. Ini seperti pembuka
berita kriminal: "Ditemukan Mayat di
Bendungan", atau semacam itu. Kemudian unsur realisme magis ada pada
masuknya legenda tentang Sunan Kalijaga dan penunggu sungai yang berkepala
gadis namun tubuhnya menyerupai makhluk lain, juga tentang bidadari-bidadari
yang suka menumpang mandi. Nah, keberadaan mahkluk gaib inilah yang dicurigai
sebagai penyebab timbulnya mayat. Maka, warga pun mengotori sungai yang tadinya
berwarna hijau hingga menjadi cokelat agar bidadari-bidadari itu enggan mandi
lagi di sana, dan demikian menghindari jatuhnya lebih banyak korban. Namun setelah bidadari
tidak mandi di sungai lagi, warga kebingungan bagaimana mengubah warna
sungai kembali menjadi hijau. Mereka pun memutuskan untuk tidak menceritakan
pada keturunan mereka bahwa sungai Serayu dulunya berwarna hijau. Setelah
sampai pada bagian ini dan menangkap adanya satir yang halus, barulah aku menikmatinya.
Selain itu, aku terganggu dengan pengarang yang tiba-tiba masuk ke dalam
cerita ketika “scene” berganti: Sejenak kita tinggalkan warga di balai desa.
Sambil menunggu perundingan itu selesai, saya—sebagai penulis cerita—akan menyajikan
beberapa intermeso sebagai berikut:… Paragraf baru. Alkisah, dalam sudut pandang lain, dalam platform cerita yang
berbeda, para bidadari… dan seterusnya. Mengapa paragraf yang pertama itu
harus ada sih? Mengapa pengarang tidak langsung saja pada Alkisah…? Seolah dia ingin pembaca ngeh akan keberadaan dirinya,
atau mengingatkan bahwa “cerita ini cuma dongeng lo, saya bisa menceritakannya
sesuka saya” atau semacam itu. Padahal dari pengarang yang sama, dalam
cerpennya yang lain, “Biografi Kunnaila” (Jawa
Pos, 4 November 2012), aku justru tergeli-geli ketika diingatkan bahwa yang
kubaca adalah cerita pendek belaka: Namun
Watono telah berjanji bahwa dalam cerita pendek ini dia tak berniat macam-macam
pada Kunnaila, dia tak mau memaksakan konflik dan jalan cerita sesuai
kehendaknya, dia hanya ingin dirinya muncul dalam cerita pendek ini meski cuma
satu paragraf. Bedanya, dalam cerpen yang kedua aku jadinya merasa Watono betulan
“hidup” sehingga bisa mengadakan perjanjian dengan penulis cerita.
Di satu sisi, tiru-meniru dalam menulis disarankan sebagai bentuk
pembelajaran. Di sisi lain, aku bertanya-tanya mengapa kita tidak mengembangkan
kreativitas sendiri. Walaupun, katanya, kreativitas memang akan muncul dengan
sendirinya seiring kita menguasai teknik-teknik yang “diajarkan oleh guru kita”,
atau pengarang yang karyanya kita jadikan sumber belajar sehingga kita
merasakan kedekatan emosional dengannya dan menganggapnya sebagai “guru”, atau
bisa juga pengarang tersebut mengajarkan secara langsung, tatap-muka,
teknik-teknik menulis pada kita, manapunlah. Maka sebetulnya aku kurang senang
dengan perkataan “si ini terpengaruh oleh si itu” atau “si itu terpengaruh oleh
si anu”, karena rasanya seperti tuduhan, walaupun si tertuduh mungkin saja
mengakui kalau dia memang belajar dari si ini, itu, atau anu. Tapi jikapun
tiru-meniru ini memang lazim dalam dunia kesusasteraan yang telah terbangun selama…
lama sekali, menjadi pertanyaan, yang dimaksud dengan “gaya yang orisinal” itu
seperti apa sih?
Aku merasa siap untuk membaca sisa cerpen pada pagi hari berikutnya. Dari
empat cerpen kloter kedua, ada satu cerpen lagi yang memikatku, yaitu “Angela”
dari Budi Darma (Kompas, 20 April 2014).
Karya pengarang ini yang pertama aku baca adalah novel Olenka, yang membuatku tertakjub-takjub, entah mengapa, mungkin
karena… keanehannya. Mungkin terutama dengan bagaimana beliau memasukkan cerita
dari karya-karya pengarang lain, bahkan potongan koran, ke dalam karyanya
sendiri sehingga tampak seperti kolase, tapi bahan yang utama berasal dari
imajinasinya sendiri tentunya. Ajaib. Sejak itu aku tertarik untuk membaca
karya-karyanya yang lain. Rafilus,
cerpen-cerpennya dalam Kritikus Adinan
yang belum kubaca semua, maupun yang terserak di koran. Tapi aku tidak menjadi
lebih tertarik lagi. Ada satu cerpennya yang termasuk ke dalam kumpulan cerpen Koming 2010-2012 pilihanku yaitu “Pohon Jejawi” (Kompas, 20 Juni 2010). Hingga bertemulah aku dengan “Angela”. Aku
teringat kembali akan gaya sang pengarang yang terasa “heboh”, entah terpengaruh oleh pengarang yang mana, dan
karakternya yang aneh. Di paragraf kelima, setelah dalam paragraf-paragraf
sebelumnya narator dengan tenang mengantar kita memasuki cerita, tahu-tahu
Angela yang baru muncul di paragraf ketiga itu “menggigil, kemudian jatuh,
menggelepar-gelepar, nafasnya mendengus seperti nafas penghabisan sapi seperti
disembelih”. Angela kemudian bercerita bahwa dirinya dijaga bak porselen oleh
orangtuanya. Bahkan ketika ada lelaki lewat, “jendela dan pintu rumah harus
ditutup rapat”. Setelah dewasa Angela menjadi tidak bisa dekat dengan lelaki
manapun.
Dalam pelarian dia bergulat melawan bajingan, penjual manusia, biarawan
palsu, polisi berhati anjing, iblis bertopeng manusia, dan semua bernafsu untuk
memperkosa. Mula-mula dia selalu memberontak, tapi akhirnya dia hanya menyerah,
karena baik memberontak maupun menyerah hasilnya sama: dia tetap perawan. Pada saat
mereka hampir berhasil memperkosa, siapa pun laki-laki jahat itu, pasti
mendadak lunglai. Seluruh tulang tubuh mereka seolah-olah kehilangan tulang,
dan jadilah tubuh mereka onggokan daging.
...
...laki-laki Ethiopia itu, sama saja. Gagah. Tapi tidak mampu menjebol
harta karun saya.
Dalam interpretasiku, Angela sebenarnya ingin merasakan hasrat seksual
sebagaimana manusia normal.
“Tanganmu selalu dingin. Tidak seperti orang lain.”
“Tangan? Kamu kan belum pernah meraba-raba seluruh tubuh saya. Tangan
boleh dingin, siapa tahu bagian-bagian lain hangat.”
Namun penjagaan yang ketat sedari masa kecilnya entah bagaimana menjadikannya frigid, atau malahan menjadikan pihak lelaki "loyo", tidak bisa "bangun", atau semacam itu (ngertilah... :-P). Entah
ada berapa kata “dingin” yang tersebar di sepanjang cerpen ini. Dia ingin
lelaki yang bisa membangkitkan hasratnya tapi tidak kunjung menemukannya. Malah lelaki itu jadi ikut-ikutan "dingin". Kalau interpretasiku benar, cara pengarang mengungkapkan wanita frigid, dan entah bagaimana dia menjadi frigid, menurutku wow.
Tidak lurus, begitu. Dan bagaimana cerpen ini ditutup—aku menyarankanmu untuk
membacanya sendiri—dengan kata “mampus” membuatnya terasa diakhiri secara begitu
saja namun membekas. Entahlah. Kurasa kekuatan pengarang ini ada pada diksinya
dan karakter yang suka bertindak seolah di luar kesadarannya dan karena itu,
aneh.
“… Angela
merasa dirinya tidak kotor, tanpa sadar berseru: ‘Santiago Nasar’. Maka
disembelihlah Santiago Nasar oleh Pablo dan Pedro Vocario.”
Aku teringat karakter wanita dalam novel Rafilus juga tampaknya membuat pengakuan seperti Angela dalam
cerpen ini. Kalau karakter dalam Rafilus
mengungkapkan hasrat kewanitaannya untuk memiliki anak dan sebagainya—tolong
beritahu kalau ingatanku kabur, Angela mengatakan bahwa dirinya mewarisi darah
pembunuh dan penjudi. Aku juga
teringat bahwa satu-dua cerpen Danarto yang kubaca di majalah MATRA edisi akhir era ’80-an memiliki
gaya tutur yang juga heboh, namun cerpen-cerpen Budi Darma masih bisa
ditoleransi oleh akalku, dan aku tidak hendak membahasnya lebih jauh karena
kurangnya pendalamanku atas keduanya—apalagi yang pertama.
***
Kuduga aku punya masalah dengan cerpen, dan fiksi pada umumnya. Tapi aku
tidak hendak meruwetkannya di sini. Kukira dengan terus membaca dan menyoroti
yang menarik menurut perasaan kita sendiri (walau jumlahnya hanya segelintir
dari keseluruhan yang kita baca), dan bukannya mengikuti saja pendapat orang
lain (semisal kita mengapresiasi Metamorfosis
Kafka atau Seratus Tahun Kesunyian Marquez
karena kita sendiri merasakannya
sebagai karya yang menarik, dan bukan karena orang-orang mengatakannya demikian),
merupakan usaha untuk menjaga agar hasrat itu tetap menyala.[]
Lakon Hidup mulai 2 bulan lalu (diusahakan) selalu update, Day. Aku admin barunya.
BalasHapusWaha, keren. Terima kasih, Mbak Desi :D
HapusAnalisnya menggelitik
BalasHapusHummm iya. Aku setuju dg pernyataan dg tidak setuju atas orang yg bilang pada seseorang ini tulisannya terpengaruh oleh si ini, si ini tulisannya terpengaruh oleh si itu. Ada yg sering bilang aku begitu, padahal aku tidak pernah bertemu dg orang yg disebutkannya atau pun oernah membaca karyanya. Namanta saja baru tahu setelah dia mengungkapkan seperti itu. Tapi aku woles aja.. hehehe.
BalasHapus